Share

PPRS 07

Penulis: HaniHadi_LTF
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-15 05:13:28

Kenna berhenti di depan lift, air matanya mengaburkan pandangan. Tetapi sesuatu dalam dirinya menuntut kepastian. Mungkin aku salah dengar, pikirnya. Ia menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu memutar tubuh. Langkahnya kembali mengarah ke ruang kerja Barel.

" Apa sekarang ruangan Barel dipindah? Kenapa aku tadi tidak membaca?" Dia berharap dia salah ruang.

Saat dia sampai dan berdiri lagi di depan pintu, tangannya gemetar saat netranya menangkap nama yang tertera. Ini benar ruangannya. Ia mengumpulkan keberanian, kemudian mendorong pintu perlahan. Masih tidak terkunci.

"Bukannya Sabtu kemarin kita sudah menghabiskan waktu bersama. Kita bahkan sampai melakukannya berkali kali, apa itu kurang?" Suara wanita itu terdengar manja.

"Jadi Sabtu itu Barel tak ke luar kota karena pekerjaan tapi karena..." gumam Kenna. Kenna tahu betul tabiat suaminya yang selalu menuntut perhatian lebih di tempat tidur hingga dia kemarin sempat heran kalau Barel tak respon padanya. "Pantas dia tak lagi menyentuhku di hari Minggu itu, ternyata dia telah dipuaskan wanita ini," batin Kenna tak tahan lagi.

"Aku takkan pernah merasa puas denganmu, Sayang."

Hati yang terluka membuat Kenna segera membuka pintu. Dia berusaha keras menahan air mata yang siap tumpah.

Saat tubuh Barel mendekap wanita itu, Kenna sadar, yang patah bukan hanya hati, tapi harga diri yang selama ini ia pertahankan mati-matian.

Yang pertama terlihat adalah Barel. Wajahnya kaget setengah mati, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri. Dia segera bangkit dari tubuh wanita yang dikungkungannya di sofa panjang ruangan itu.

Seorang wanita segera bangun dengan rambut yang acak-acakan. Gaun  ketat yang ia kenakan hanya menutupi sebagian tubuhnya, memperlihatkan belahan dada yang sengaja ditonjolkan. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.

"Kenna..." suara Barel patah. "Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?"

"Apa karena kantor kamu jauh dari rumah kita, kamu tak menyangka aku akan datang ke sini dan kamu bisa seenaknya memadu cinta di sini?"

Wanita itu hanya memandang santai, bahkan menyisir rambutnya dengan jari.

"Aku kira kamu lembur," suara Kenna rendah, "apa ini yang kamu sebut kerja keras?"

"Kenna, aku bisa jelaskan," Barel bangkit, mendekatinya. Tetapi Kenna mengangkat tangannya, menghentikannya.

"Jelaskan apa? Kamu pikir aku bodoh?" katanya, suara mulai bergetar. "Aku lihat dan dengar semuanya. Semuanya!"

"Aku..." Barel terdiam. Wajahnya tegang.

Wanita di sofa menghela napas panjang, memutar bola matanya. "Astaga, Barel, ini hanya masalah kecil. Kenapa kalian ribut sekali," katanya santai.

Mata Kenna membara. Ia menoleh ke arah wanita itu. "Dan kamu? Siapa kamu sebenarnya?"

Wanita itu berdiri, tetap tenang. "Nama aku Kiandra," katanya sambil menyodorkan tangan, seolah ini pertemuan biasa. "Aku rekan bisnis sekaligus,..."

"Rekan bisnis pakai acara desah-desah? Ini lelucon yang luar biasa, Mas!"

"Dengar dulu, Kenna. Aku cuma..."

"Cuma apa?" Kenna memotong tajam. Matanya mulai basah lagi, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. "Cuma main-main? Cuma butuh hiburan? Apa aku kurang cukup buat kamu, Mas?"

"Kenna, tolong," suaranya memohon, tetapi Kenna menggeleng kuat.

"Kamu nggak usah tolong-tolong aku. Yang kamu harus lakukan sekarang cuma jawab satu hal, berapa lama ini terjadi?"

Barel tidak menjawab. Diamnya adalah jawaban yang paling menyakitkan bagi Kenna.

"Oh Tuhan," guman Kenna, "aku bodoh sekali. Aku yang selalu mencoba memperbaiki semuanya, sementara kamu sibuk... dengan ini."

Wanita bernama Kiandra mendecak pelan, kemudian melangkah ke pintu setelah memakai blazernya kembali. "Kayaknya aku harus pergi," katanya enteng. "Aku nggak mau ganggu drama rumah tangga kalian."

Langkahnya terhenti saat Kenna menoleh tajam. "Beraninya kamu! Kamu tahu dia sudah menikah."

Kiandra hanya mengangkat bahu. "Salah kamu juga. Kalau dia bahagia sama kamu, dia nggak akan cari aku."

Kata-kata itu menusuk tepat di jantung Kenna. Ia membeku sejenak, sebelum akhirnya bersuara, lirih namun penuh emosi. "Keluar dari sini!"

Kiandra hanya tersenyum kecil, lalu melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Dia hanya mengambil handphone-nya dari tas kecil yang dijinjitnya.

 "Halo, Rangga. Kayaknya kamu harus siap-siap jemput pujaanmu," ucap Kiandra saat dia sudah di luar ruangan

Sementara masih di dalam ruangan, Barel mencoba bicara, tetapi Kenna tidak memberinya kesempatan.

"Jangan bilang apa-apa lagi, Mas," katanya pelan, dengan nada dingin yang membuat suaminya terdiam. "Aku sudah cukup dengar dan lihat. Aku nggak mau dengar kebohongan lainnya."

Ia memutar tubuh, melangkah cepat keluar ruangan. Barel mengejarnya, tetapi ia tidak peduli. Ia masuk ke lift dengan cepat, memencet tombol, dan pintu tertutup tepat sebelum Barel bisa masuk.

Barel merutuki dirinya. Ia hanya mencintai wanita itu, wanita yang ia perjuangkan dari keluarganya yang tidak setuju karena Kenna hanya dari kalangan biasa. Terlebih dia anak panti yang tak tahu asal usulnya.

Barel menatap lantai, seolah ada sisa jejak wanita itu di sana. Hatinya mendadak kosong, seperti ruangan yang baru saja ditinggalkan cahaya.

Di luar gedung, hujan sudah menjadi deras. Udara dingin menggigit, tetapi Kenna tidak peduli. Ia berjalan keluar, berdiri di depan gedung dengan pakaian yang mulai basah.

Tas berisi makanan di tangannya terasa berat, seolah mencerminkan beban yang kini menghimpit dadanya. Ia menatap ke jalanan yang kosong, air matanya bercampur dengan tetesan hujan.

Lampu mobil mendekat dari kejauhan. Sebuah sedan putih berhenti. Pintu terbuka, dan seorang pria keluar membawa payung besar. Langkahnya cepat menuju ke arah Kenna. Wajahnya yang tampan nampak menunjukkan kekhawatiran. Pria itu berhenti di depannya, membuka payung, dan memayunginya tanpa berkata apa-apa.

Hujan terus mengguyur. Di bawah payung itu, Kenna hanya bisa menatap pria itu.  Air matanya masih mengalir tanpa suara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   122. Ada lagi?

    "Praba, pengantinnya datang!”Suara Najla memecah kerumunan. Beberapa tamu yang semula berdiri langsung menoleh ke arah pintu aula.Seorang perempuan melangkah pelan masuk. Gaun putih sederhana menempel di tubuh mungilnya. Di sebelahnya dia orang ibu dan satu bapak setengah baya. "Kenna.. " Salah satu ibu itu menyapa. Dia ibunya Praba. "Assalamu'alaikum, Tante! " Kenna menyalami perempuan itu. "Selamat ya! " "Terimakasih, Tante. "Gadis berbaju pengantin mengulas senyum. Wajahnya bersih, lembut, dengan senyum malu-malu. Kenna menahan napas. “Winda?” suaranya nyaris bergetar.Sasha menatap sekilas lalu tersenyum kecil. “Winda Windary? Sekelas kita dulu kan?”Kenna mengangguk pelan. “Dia dulu selalu bareng aku dan Sasha.”"Apa khabar kalian? "Tanpa banyak kata, mereka berpelukan. Penghulu menatap arlojinya lalu tersenyum lega. “Alhamdulillah, sudah lengkap sekarang. Mari kita lanjutkan.”Praba melangkah menyambut Winda. Ada sinar bahagia yang belum pernah terlihat sebelumnya di m

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   121. Air mata,...

    "Rangga? " Assalamu'alaikum, Kenna. Apa khabar? Mata Rangga memburam. Inginnya ia memeluk Kenna saat itu juga. Kerinduan tak lagi dapat ia bendung. Kenna hanya bisa mematung. Mata itu bahkan hampir menetes tak terkendali. "Pak, ini kapan dimulainya? " Suara Penghulu terdengar dari dalam. "Van, cepat bawa pengantin perempuannya," ucap Najla pula. "Sebentar, pengantinnya belum datang. ""Apa maksudnya, Evan?" tanya Kenna terbata, matanya beralih dari Evan ke penghulu yang sudah duduk tenang di depan.Evan tersenyum tipis, agak menahan gugup. "Kita tunggu sebentar lagi, Pak biar yang datang lengkap. Setelah itu baru mulai."Najla berdiri di sisi Evan, menggenggam tangan Kenna lembut tapi terasa menekan. "Mas Praba nunggu pengantinnya datang dulu ya, Van" ucap Najla, matanya menusuk penuh arti.Praba mengangguk pelan, lalu menatap Kenna. "Nggak apa-apa, aku tunggu," suaranya tenang, tapi Kenna bisa menangkap nada aneh di sana, seolah dia sendiri tidak yakin apa yang sedang terjadi.K

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   120. Air mata

    "Apa benar itu Praba?" bathin Kenna lagi.Evan menegakkan tubuh. Senyumnya menegang saat Kenna menatapnya.Kenna terpaku. Evan berusaha menjaga ekspresi, namun tatapannya sekilas tertuju pada Najla di sampingnya. Najla menatap balik dengan senyum tipis, tapi matanya berbinar. "Jadi itu yang kamu ceritakan bisa membeahagiakan Mbak Kenna?" tanya Najla tanpa suara, hanya melalui gerak bibir.Evan berpura-pura tidak paham. Ia mencondongkan tubuh ke depan, berusaha mengalihkan perhatian pada acara.Kenna menunduk. Jantungnya berdegup aneh. Ia mengingat percakapan singkat dengan Evan seminggu lalu, tentang pria yang katanya tekun beribadah, pekerja keras, dan mapan. Saat itu, Evan bilang, "Orang itu pantas buat kamu, Mbak Kenna. Aku cuma ingin Mbak bahagia."Jadi maksudnya... Praba?Senyum Praba kini tertuju padanya. Tatapan itu hangat, seperti dulu saat mereka masih sama-sama di SMA. Tapi entah kenapa, bukan kehangatan yang Kenna rasakan, melainkan sesak."Kenna?" Praba menghampiri. Sat

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   119. Apa dia?

    Serius, Van? Seminggu aja udah siap semua?” tanya Najla. Suaranya terdengar tak percaya ketika ia berdiri di depan lift.Evan mengangguk pelan. “Iya. Semua urusan administrasi udah beres. Mbak Kenna cuma perlu hadir.”Najla menatapnya curiga. “Cepat banget. Kamu yakin orang itu bukan sembarangan?”“Justru karena bukan sembarangan, makanya bisa secepat ini,” jawab Evan dengan senyum samar.Najla menghela napas. “Aku cuma takut kamu salah langkah. Katamu Pak Rangga suka Mbak kenna."“Tenang aja,” ucap Evan singkat, nada suaranya tenang, tapi matanya menatap jauh, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dia memang tak ignin Najla tahu sesuatu, mengingat sifat Najla yang blak blakan.Pagi itu langit mendung. Kabut tipis turun dari bukit, menutupi jalanan yang sepi. Sebuah mobil hitam berhenti di depan apartemen. Kenna melangkah keluar dengan langkah ragu, wajahnya teduh tapi mata sayunya tak bisa menutupi kecemasan.Evan menunggu di sisi mobil, mengenakan kemeja biru dan celana hitam rap

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   118. berharap

    "Apa?""Kamu nggak akan pernah jatuh cinta sama dia."Sejenak Evan tergelak. "Aneh banget kamu.""Van, aku serius, janji nggak?"Nada suara Najla kali ini berat, seperti ada yang ia tahan.Evan menatap wajah gadis itu di bawah lampu jalan yang temaram. Rambut Najla sedikit lembap, menempel di pipinya yang pucat. "Aku janji," katanya akhirnya, pelan tapi mantap.Mereka berjalan pulang dalam diam. Langkah keduanya pelan, hanya suara gerimis yang menimpa jaket Evan dan sandal Najla. Tak ada tawa atau obrolan ringan seperti biasanya. Malam seolah menelan kata-kata mereka.Najla sempat memegang lengan Evan sebentar, hanya beberapa detik, sebelum melepaskannya saat mereka tiba di depan apartemen."Nggak masuk dulu, Naj?" tanya Evan, berusaha terdengar biasa.Najla menggeleng, menatap pintu kaca lobi. "Nanti aja. Aku mau langsung pulang. Biar kamu istirahat."Evan menatapnya, mencoba membaca sesuatu dari mata Najla, tapi yang tampak hanya kelelahan dan sedikit kecewa."Hati-hati, ya," ucapny

  • PESONA PRIA RIVAL SUAMIKU   PPRS 117. Mau nikah?

    "Mbak Kenna, kamu kelihatan pucat," ucap Evan pelan sambil meletakkan cangkir teh ke meja.Kenna hanya mengangguk kecil. "Aku nggak apa-apa. Cuma capek mikir hidup aku aku di sini."Suara sendok beradu dengan gelas mengisi ruang tamu kecil itu. Udara pagi masuk lewat jendela yang setengah terbuka, membawa aroma tanah lembab sisa hujan semalam.Evan menatapnya. "Jangan mikir begitu Mbak. Aku kan bilang, tempat ini aman buat kamu."Kenna tersenyum tipis, tapi matanya enggan menatap Evan. "Aman sih, Van, tapi aku nggak bisa lama-lama di sini.""Kenapa?" Evan memiringkan kepala, suaranya pelan tapi jelas ada nada khawatir."Najla kemarin datang," jawab Kenna, lirih. "Dia tanya-tanya. Katanya kamu aneh akhir-akhir ini. Seolah dia curiga aku, Van."Evan mendesah, lalu mengusap tengkuknya. "Aku udah jelaskan ke dia soal Mbak. Jadi Mbak nggak usah khawatir.""Bagaimanapun juga," potong Kenna cepat. "aku nggak mau jadi alasan kalian ribut. Aku memang harus pergi."Hening menggantung di antara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status