Kenna berhenti di depan lift, air matanya mengaburkan pandangan. Tetapi sesuatu dalam dirinya menuntut kepastian. Mungkin aku salah dengar, pikirnya. Ia menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu memutar tubuh. Langkahnya kembali mengarah ke ruang kerja Barel.
" Apa sekarang ruangan Barel dipindah? Kenapa aku tadi tidak membaca?" Dia berharap dia salah ruang.
Saat dia sampai dan berdiri lagi di depan pintu, tangannya gemetar saat netranya menangkap nama yang tertera. Ini benar ruangannya. Ia mengumpulkan keberanian, kemudian mendorong pintu perlahan. Masih tidak terkunci.
"Bukannya Sabtu kemarin kita sudah menghabiskan waktu bersama. Kita bahkan sampai melakukannya berkali kali, apa itu kurang?" Suara wanita itu terdengar manja.
"Jadi Sabtu itu Barel tak ke luar kota karena pekerjaan tapi karena..." gumam Kenna. Kenna tahu betul tabiat suaminya yang selalu menuntut perhatian lebih di tempat tidur hingga dia kemarin sempat heran kalau Barel tak respon padanya. "Pantas dia tak lagi menyentuhku di hari Minggu itu, ternyata dia telah dipuaskan wanita ini," batin Kenna tak tahan lagi.
"Aku takkan pernah merasa puas denganmu, Sayang."
Hati yang terluka membuat Kenna segera membuka pintu. Dia berusaha keras menahan air mata yang siap tumpah.
Saat tubuh Barel mendekap wanita itu, Kenna sadar, yang patah bukan hanya hati, tapi harga diri yang selama ini ia pertahankan mati-matian.
Yang pertama terlihat adalah Barel. Wajahnya kaget setengah mati, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri. Dia segera bangkit dari tubuh wanita yang dikungkungannya di sofa panjang ruangan itu.
Seorang wanita segera bangun dengan rambut yang acak-acakan. Gaun ketat yang ia kenakan hanya menutupi sebagian tubuhnya, memperlihatkan belahan dada yang sengaja ditonjolkan. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.
"Kenna..." suara Barel patah. "Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?"
"Apa karena kantor kamu jauh dari rumah kita, kamu tak menyangka aku akan datang ke sini dan kamu bisa seenaknya memadu cinta di sini?"
Wanita itu hanya memandang santai, bahkan menyisir rambutnya dengan jari.
"Aku kira kamu lembur," suara Kenna rendah, "apa ini yang kamu sebut kerja keras?"
"Kenna, aku bisa jelaskan," Barel bangkit, mendekatinya. Tetapi Kenna mengangkat tangannya, menghentikannya.
"Jelaskan apa? Kamu pikir aku bodoh?" katanya, suara mulai bergetar. "Aku lihat dan dengar semuanya. Semuanya!"
"Aku..." Barel terdiam. Wajahnya tegang.
Wanita di sofa menghela napas panjang, memutar bola matanya. "Astaga, Barel, ini hanya masalah kecil. Kenapa kalian ribut sekali," katanya santai.
Mata Kenna membara. Ia menoleh ke arah wanita itu. "Dan kamu? Siapa kamu sebenarnya?"
Wanita itu berdiri, tetap tenang. "Nama aku Kiandra," katanya sambil menyodorkan tangan, seolah ini pertemuan biasa. "Aku rekan bisnis sekaligus,..."
"Rekan bisnis pakai acara desah-desah? Ini lelucon yang luar biasa, Mas!"
"Dengar dulu, Kenna. Aku cuma..."
"Cuma apa?" Kenna memotong tajam. Matanya mulai basah lagi, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. "Cuma main-main? Cuma butuh hiburan? Apa aku kurang cukup buat kamu, Mas?"
"Kenna, tolong," suaranya memohon, tetapi Kenna menggeleng kuat.
"Kamu nggak usah tolong-tolong aku. Yang kamu harus lakukan sekarang cuma jawab satu hal, berapa lama ini terjadi?"
Barel tidak menjawab. Diamnya adalah jawaban yang paling menyakitkan bagi Kenna.
"Oh Tuhan," guman Kenna, "aku bodoh sekali. Aku yang selalu mencoba memperbaiki semuanya, sementara kamu sibuk... dengan ini."
Wanita bernama Kiandra mendecak pelan, kemudian melangkah ke pintu setelah memakai blazernya kembali. "Kayaknya aku harus pergi," katanya enteng. "Aku nggak mau ganggu drama rumah tangga kalian."
Langkahnya terhenti saat Kenna menoleh tajam. "Beraninya kamu! Kamu tahu dia sudah menikah."
Kiandra hanya mengangkat bahu. "Salah kamu juga. Kalau dia bahagia sama kamu, dia nggak akan cari aku."
Kata-kata itu menusuk tepat di jantung Kenna. Ia membeku sejenak, sebelum akhirnya bersuara, lirih namun penuh emosi. "Keluar dari sini!"
Kiandra hanya tersenyum kecil, lalu melenggang pergi tanpa menoleh lagi. Dia hanya mengambil handphone-nya dari tas kecil yang dijinjitnya.
"Halo, Rangga. Kayaknya kamu harus siap-siap jemput pujaanmu," ucap Kiandra saat dia sudah di luar ruangan
Sementara masih di dalam ruangan, Barel mencoba bicara, tetapi Kenna tidak memberinya kesempatan.
"Jangan bilang apa-apa lagi, Mas," katanya pelan, dengan nada dingin yang membuat suaminya terdiam. "Aku sudah cukup dengar dan lihat. Aku nggak mau dengar kebohongan lainnya."
Ia memutar tubuh, melangkah cepat keluar ruangan. Barel mengejarnya, tetapi ia tidak peduli. Ia masuk ke lift dengan cepat, memencet tombol, dan pintu tertutup tepat sebelum Barel bisa masuk.
Barel merutuki dirinya. Ia hanya mencintai wanita itu, wanita yang ia perjuangkan dari keluarganya yang tidak setuju karena Kenna hanya dari kalangan biasa. Terlebih dia anak panti yang tak tahu asal usulnya.
Barel menatap lantai, seolah ada sisa jejak wanita itu di sana. Hatinya mendadak kosong, seperti ruangan yang baru saja ditinggalkan cahaya.
Di luar gedung, hujan sudah menjadi deras. Udara dingin menggigit, tetapi Kenna tidak peduli. Ia berjalan keluar, berdiri di depan gedung dengan pakaian yang mulai basah.
Tas berisi makanan di tangannya terasa berat, seolah mencerminkan beban yang kini menghimpit dadanya. Ia menatap ke jalanan yang kosong, air matanya bercampur dengan tetesan hujan.
Lampu mobil mendekat dari kejauhan. Sebuah sedan putih berhenti. Pintu terbuka, dan seorang pria keluar membawa payung besar. Langkahnya cepat menuju ke arah Kenna. Wajahnya yang tampan nampak menunjukkan kekhawatiran. Pria itu berhenti di depannya, membuka payung, dan memayunginya tanpa berkata apa-apa.
Hujan terus mengguyur. Di bawah payung itu, Kenna hanya bisa menatap pria itu. Air matanya masih mengalir tanpa suara.
Rangga menatap Kemna dengan khawatir, tetapi ia tetap menjaga jarak aman. Ia memegang payung besar itu di atas kepala mereka, melindungi tubuh perempuan itu yang sudah setengah basah. Mata Kemna, yang memerah dan sembap, tetap terpaku pada tanah. Napasnya berat, seolah kata-kata yang ingin keluar tertahan di tenggorokan."Ayo, aku antar pulang. Nggak baik kamu di sini terus," ajak RanggaPerempuan itu tetap diam. Tangannya menggenggam tas dengan kuat, jari-jarinya memutih. Rangga menunggu, sabar, tanpa mendesak. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya suara serak itu keluar."Rangga... aku nggak mau pulang."Pria itu mengernyitkan dahi. "Kenapa?"Kenna mengangkat wajahnya sedikit, matanya menatap Rangga dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada luka yang begitu dalam di sana, tetapi juga kelelahan. Ia menggigit bibir, berusaha keras menahan isak."Dia selingkuh," kata Kenna akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar. "Di ruang kerjanya... dengan perempuan lain."Rangga terdiam. Ternyat
Kenna berhenti di depan lift, air matanya mengaburkan pandangan. Tetapi sesuatu dalam dirinya menuntut kepastian. Mungkin aku salah dengar, pikirnya. Ia menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu memutar tubuh. Langkahnya kembali mengarah ke ruang kerja Barel." Apa sekarang ruangan Barel dipindah? Kenapa aku tadi tidak membaca?" Dia berharap dia salah ruang.Saat dia sampai dan berdiri lagi di depan pintu, tangannya gemetar saat netranya menangkap nama yang tertera. Ini benar ruangannya. Ia mengumpulkan keberanian, kemudian mendorong pintu perlahan. Masih tidak terkunci."Bukannya Sabtu kemarin kita sudah menghabiskan waktu bersama. Kita bahkan sampai melakukannya berkali kali, apa itu kurang?" Suara wanita itu terdengar manja."Jadi Sabtu itu Barel tak ke luar kota karena pekerjaan tapi karena..." gumam Kenna. Kenna tahu betul tabiat suaminya yang selalu menuntut perhatian lebih di tempat tidur hingga dia kemarin sempat heran kalau Barel tak respon pad
Kenna menatap pria yang baru saja keluar dari dalam panti. Jantungnya berdegup tak karuan saat melihat sosok yang ramah memberi salam itu."Aku sudah kirim pesan, tapi kamu abaikan." Suara bariton Rangga segera terdenga lagi. Kenna masih terdiam tak percaya."Aku pikir aku mau mengajakmu ke panti ini. Tak tahunya kamu juga ke sini. Jodoh ya?""Maaf, aku tadi langsung ke sini. Kangen emak-emak aku," jawab Kenna, mencoba terdengar wajar. Tapi ia tahu, ia mulai tak bisa menghindar dari sorot mata Rangga."Jadi kamu dari panti ini?" tanya Rangga menyipit, seolah tak percaya. Padahal mulanya dia mau mengajak Kenna ke sana, seolah itu dunia baru yang harus dikunjungi Kenna."Iya, di sinilah rumahku. Aku dibesarkan oleh orang-orang hebat yang menyayangi aku seolah aku ini bagian dari hidup mereka." Dengan terharu Kenna merangkul kedua orang tua yang kini juga menatapnya dengan bangga."Dalam keterbatasan kami membesarkannya. Dia tumbuh menjadi gadis hebat. Belajar agama, bisa kuliah tanpa
Makin hari, Kenna merasa Barrel bukanlah lelaki yang dia kenal. Bahkan saat mereka menghadiri sebuah acara, Kenna merasa Barrel tidak lagi bisa menjadi pembelanya."Mas, bisa nggak kamu membelaku?" tanya Kenna setelah mereka sampai di rumah."Apanya yang dibela? Benar kan kata mereka, kamu masih belum juga memberiku anak?""Apa kamu pikir ini salahku?""Sudahlah, Ken. Aku ada kerjaan."Kenna melempar sepatunya. Hampir mengenai kaki suaminya. Tetapi lelaki itu hanya melangah menjauh. Tanpa kata-kata..Air mata tak lagi dapat dibendung Kenna. Di menelungkupkan wajahnya di bantal sofa.Handphone-nya berkedip.["Ada yang ingin kau ceritakan? Aku di sini."]Kenna menutup mata sejenak. Jarinya mengetik balasan, tanpa sadar bahwa ia membuka ruang yang semakin sulit ia tutup.["Kadang aku merasa kosong. Apa itu wajar?"]Balasan datang cepat.[ "Lebih dari wajar. Dan aku tahu betapa beratnya jika kau harus memikul itu sendirian."]Air mata jatuh kembali. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama,
Langkah Kenna cepat meninggalkan kafe. Jantungnya berdetak begitu keras sampai terasa di telinga. Udara sore itu sejuk, tapi telapak tangannya basah. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi."Satu jam," bisiknya. "Hanya satu jam."Tapi mengapa rasanya seperti ia membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup rapat?Di parkiran, ia duduk di dalam mobil tanpa langsung menyalakan mesin. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Mencoba memutar ulang percakapan tadi. Wajah pria itu... sorot matanya, kata-katanya—terlalu jujur, terlalu tepat menyentuh sisi rapuhnya. "Aku hanya ingin tahu kenapa senyummu tetap muncul meski matamu sering kosong.""Siapa dia, sebenarnya?" Kenna bertanya-tanya.Kenna menghela napas panjang. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ini bukan salah Rangga. Bukan juga salah siapa-siapa. Ia yang datang. Ia yang membuka ruang.Dan untuk pertama kalinya sejak Barel berubah dingin, seseorang menatapnya dengan penuh perhatian. Bukan sebagai istri yang gagal punya
Di lain tempat.Malam itu Rangga sulit memejamkan matanya. Keinginannya untuk bertemu dengan Kenna begitu kuat. Hinggah tak perduli malam-malam dia menghubungi seseorang. Dia ingin tahu, siapa Kenna sebenarnya."Bagaimana?" Pagi belumlah hilang, saat Rangga sudah menelpon Pak Anang, orang kepercayaannya. "Bos, wanita itu namanya Kenna Humairah. Istrinya Barel. Iya, Barel Herlambang dari Jaya Persada Group."Rangga menatap layar laptopnya dalam diam. Pria itu baru saja menyimak laporan dari anak buah kepercayaannya yang ia tugaskan menyelidiki sosok Kenna yang akhir-akhir ini muncul terus di pikirannya."Apa? Kamu yakin?""Saya cek dua kali. Pernah ada dokumentasi waktu mereka diundang acara penghargaan pengusaha muda. Lengkap. Nama, perusahaan, juga akun media sosialnya. Semua mengarah ke satu titik. Kenna adalah istri dari rival utama bisnis Bapak."Rangga menyandarkan tubuhnya ke kursi. Untuk sesaat, ia terdiam. Tangannya menyentuh dagu, berpikir dalam. Hatinya sempat berdebar wak