"Nona, mari ikut kami.”
Qale menghentakkan kakinya, berdiri tegak menghadapi dua pria bertato yang baru saja menghadang di depan motor ojek online yang ditumpanginya. Dia baru saja keluar dari kosan, hendak ke tempat kerjanya. “Suruhan Ayah? Minggir,” jawabnya dingin, menahan amarah. Entah mengapa ayahnya kumat lagi, ikut campur di hidupnya setelah sekian tahun. Salah satu pria itu menahan stang motor. “Jangan melawan.” “Berani sentuh aku, dan aku bakal teriak!” Tangan kasar mereka mencengkeram lengan Qale. Ia meronta, berusaha melepaskan diri. Ojol motor yang dipesannya tadi langsung kabur melihat keributan. “Lepas!” pekik Qale sambil menyikut perut lelaki itu. Pria itu meringis, tapi temannya sudah menarik tubuh Qale lebih kuat lagi. Gadis itu melawan, menendang keras lutut lawannya. Dalam kekacauan itu, Qale berhasil lolos. Ia berlari di antara kendaraan, menyelinap masuk ke dalam gang kecil. Langkah cepatnya nyaris membuat terpeleset, tapi ia terus berlari tanpa menoleh. Napasnya pun ikut memburu. Beberapa menit kemudian, ia berhenti di depan halte dan naik kendaraan umum. Tak lama Qale tiba di sebuah toko kue kecil. Tempat kerjanya. Napasnya belum stabil saat ia masuk ke dalam ruang ganti. Dia melihat dua orang preman tadi dari kaca dalam toko. Mereka takkan berani mengganggu di sini, pikirnya. Meski mungil, toko kue yang dia sewa dengan sahabatnya ini lumayan ramai. Toko ~Anak Lipat spesialisasi menjual croissant berbagai isian dengan harga terjangkau. Rasa nikmat dan tidak pasaran, membuat menu andalan mereka selalu diburu pelanggan. Beberapa jam kemudian, hari mulai gelap. Qale menutup tokonya, sang kawan sedang sakit sehingga ia sendirian hari ini. Malam ini Qale terpaksa pulang. Penasaran dengan keinginan ayahnya. Dia kini berdiri kaku di depan meja makan rumahnya. Tak ada suara. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak pelan tapi menyayat. Sang ayah duduk di seberangnya. Matanya tajam, mengamati Qale tanpa berkedip. “Masih demen ngelawan. Sejak kapan dagangan bodohmu itu lebih penting dari Ayah?” Qale menegakkan dagunya. Matanya menatap dingin. “Aku kerja karena aku ingin hidup, Yah. Aku nggak minta uang dari Ayah. Jadi jangan hina kerjaanku,” tegasnya sambil mengepal jari di sisi tubuh. “Tukang kue! Bikin malu! ... Pekan depan ada kerabat lama mau liat kamu. Mereka nagih janji konyol yang dibuat ibumu itu," ucap Ayah Qale sinis. “Kenapa aku?” suara Qale pecah. “Bukannya kakak yang akan menikahinya?" sanggahnya menatap nanar. Drama apalagi ini? Hening. Sang ayah hanya memandangi Qale tanpa berkedip, membuat Qale seolah memiliki kekuatan membantah lagi. "Aku nggak mau. Kakak saja!" "Dia akan menikah dengan kekasihnya." Qale menyeringai, melihat sekeliling, merasa lucu dengan kalimat ayahnya. "Lalu aku yang dikorbankan? ... Kakak itu bisa melakukan banyak hal, Yah! Percaya padaku sekali ini saja!" Qale masih ingat, dia selalu menjadi tertuduh atas segala kekacauan. Dia sering melihat kejanggalan bahwa kakaknya seolah berpura-pura menjadi gadis cacat. Sempat menyelidiki tapi entah mengapa dirinya selalu sial, entah karena sang kakak selalu dibela ayah atau ada setan yang membantunya. "Dia cacat, Qale!" sentak sang ayah. "Siapa yang mau menikahi kakakmu jika bukan kekasihnya? Yang kondisinya serupa!" Qale terdiam. Dari dulu, sejak kejadian itu, sang ayah tak pernah percaya padanya. "Ayah bahkan nggak pernah mau dengerin aku!” Sebuah napas berat terdengar dari seberang meja. Tapi tak ada jawaban. Hanya keheningan. Dinginnya malam seolah menelannya. Qale berbalik. Melangkah ke kamar, menutup pintu tanpa suara. Tapi tubuhnya roboh begitu begitu pintunya terkunci. Ia terduduk di lantai. Isaknya pecah dengan tangan yang membungkam mulutnya sendiri. ["Tuhan, kalau beneran aku bawa sial dan hanya duri di hidup Ayah. Utuslah Izrail, tapi aku pengen mati di toko sambil ngopi dan makan croissant dulu."] batinnya lelah. Tapi malam itu, seperti biasa, tak ada pelukan. Tak ada jawaban. Qale terbangun, dia tertidur di tempat tadi. Wajahnya setengah basah. Dan dia menangis lagi. Dadanya masih terasa sesak. Seperti ada yang menghimpit. Kepalanya mulai berdenyut. Ingatan lamanya kembali datang. Dia bangkit perlahan, meraih foto ibunya di nakas. Mengusapnya getir. "Ibu kenapa mati konyol sih?" lirih Qale. ["Ada bangkai di sini!"] ["Nyonya ditemukan!"] Itu saja yang bisa ia ingat. Tapi tak ada yang pernah menjelaskan. Ayahnya selalu bungkam. Selalu dingin. Qale lalu berwudhu. Ia duduk di sisi ranjang, membuka mushaf milik ibunya dan mulai membaca perlahan. Keesokan pagi, dia mencari sang ayah, hendak pamit pulang ke kos. Meski satu kota, semenjak lulus SMK, Qale memilih tinggal terpisah. Berbekal keterampilan dan resep andalan ibunya, dia dipercaya oleh orang tua sahabatnya membuka toko kue. Dari sana, dia bisa kuliah meski di universitas terbuka di akhir pekan. "Sudah 4 tahun berlalu, masih saja begini." Qale akhirnya pergi tanpa pamit. "Gimana kalau aku wisuda? Masa mau sewa ortu palsu sih? ... Padahal aku pengen viral, diantar wisuda naik sapi," kekehnya saat ojol pesanannya datang. Keseharian Qale berkutat membuat adonan pastry di toko yang diberi nama "Anak lipat" bagai kisah hidupnya yang terlipat-lipat oleh harapan dan tekanan keluarga. Menu di toko mereka kebanyakan nyeleneh, hasil pemikiran Qale dari adaptasi hidupnya. Membuat toko kecil itu seketika trending di kalangan teman-temannya, dari satu kampus ke kampus lain. Malam itu, toko sudah sepi. Qale duduk di lantai belakang sebelum pulang, memeluk lututnya sambil menatap layar ponsel. Notifikasi terus berdentang. Grup alumni, grup kampus, DM Instagram—semuanya ramai. Temannya dari jurusan Marketing mengirim pesan : “Qale... kamu kuat, ya?” Disusul link video pendek. Tangannya gemetar saat menekan tautan. Video itu bukan sembarang video. Rekaman kabur dari tahun-tahun lalu. Seorang wanita ditemukan tergeletak, tubuhnya setengah tenggelam di kolam dekat rumah lama mereka. Orang-orang berteriak. ["Ada bangkai di sini!"] ["Nyonya ditemukan!"] Suara-suara itu menghantam dadanya. Ingatan samar berkelebat—air, teriakan, kain putih, dan tangan ayahnya yang menariknya menjauh waktu itu. Caption video: [“Anak durhaka yang menyebabkan ibunya bunuh diri? Kini jualan croissant nyeleneh. Aib keluarga!”] Qale membeku. “Siapa yang nyebarin ini?” gumamnya, matanya memerah. Ia membuka komentar. Ratusan. Ribuan. Beberapa membela, tapi lebih banyak yang menyalahkan. “Cocok, muka pembawa sial.” “Lagi viral, nih. Anak lipat, lipat dosa juga.” Nafasnya memburu. Ia bangkit mengintip dari celah jendela toko yang tertutup. Memastikan tidak ada yang menguntitnya. “Kenapa baru muncul sekarang?” desisnya. Di tengah kekalutan, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia angkat, berharap seseorang akan menjelaskan. Tapi yang terdengar hanya suara berat dan pelan. Seolah bicara dari balik kain basah. "Nikmati satu per satu karmamu." Klik. Sambungan terputus...Qale membuka jaket, mengganti baju dan menghapus riasan. Kebaya pernikahan sudah dia kembalikan tadi. Dia langsung mengeluarkan banyak barang tak berguna, membuangnya. Gudang toko “Anak Lipat” sore itu tak lagi pengap seperti sebelumnya. Setelah itu, ia menuju kos untuk mengambil sisa barang-barang. Dan pulang. Mushaf milik ibu yang tertinggal di rak buku kamarnya, ia peluk sebagai obat rindu. “Ibu, sekarang aku bakal tinggal di toko,” gumamnya, meyakinkan diri. "Lebih murah."Malam itu, saat Qale hendak kembali ke toko, Lea muncul di depan pintu kamarnya. Dia memanggil."Dek? Qale, kah?" ujarnya pelan, merasakan kehadiran seseorang di depannya.Qale berhenti, menoleh ke samping. "He em, aku."“Kenapa nggak dateng ke pestaku?” tanya Lea datar.Qale mengernyit. Ah, dia ingat dan berkata, “Pesta?”“Eh, lupa ngabarin, ya...” Lea mengangkat bahu pura-pura lupa. Dia berjalan pelan, meraba, mendekati Qale.Qale hanya tersenyum kecil. “Selamat, ya, Kak.”Saat hendak pergi, Lea menahan len
Malam itu, Qale bermimpi.Dia sedang menggambar di lantai rumah lamanya. Crayon berserakan. Ibunya mendorong kursi roda kosong ke sebuah kamar di ujung lorong. Samar, terdengar suara sang ibu dari dalam, membujuk agar seseorang mau makan dan minum obat."Ayo ... sedikit saja. Ini bubur kesukaanmu."Kemudian ibunya keluar, menghampiri Qale. "Ayo, kita pulang." Sang ibu menarik paksa putrinya. "Tapi crayonku ... (ketinggalan)."Ibunya hanya tersenyum samar. Pelan-pelan, dunia berubah menjadi kabut.Qale terbangun dengan napas berat. Tangannya masih meraba bawah bantal, seperti mencari sesuatu yang hilang. Crayon itu … crayon merah yang patah. Warnanya memudar. Ia meraihnya, tapi selalu menghilang tepat saat jarinya menyentuh.“Nanti kita cari bareng, ya,” suara ibunya terdengar seperti gema dari masa yang sudah mati.Crayon itu masih belum ia temukan. Bahkan setelah ibunya tiada.***Hari-hari Qale kian sepi. Karena diskors, berita video viral, sehingga toko "Anak Lipat" nyaris kosong.
Ayah memintanya pulang hari itu. Suasana ruang makan rumah mereka begitu sunyi, seperti ruang tunggu sebelum eksekusi. Qale duduk di hadapan pria itu—ayah yang tak pernah benar-benar jadi rumah. Ada rasa iba melihat lelaki di hadapannya ini. Rambut mulai memutih, kerutan kasar kian tampak. Namun, ayah tetap angkuh. Merasa paling berhak atas hidup Qale.Dia meneguk pelan teh tawar yang sejak tadi tak disentuhnya. Hambar, seperti hidupnya. “Ayah tahu kamu malu,” ucap ayahnya pelan tapi penuh tekanan. "Malu karena punya kakak cacat dan sekarang harus menikahi pria lumpuh," katanya sambil memainkan gelas di atas meja. Ayahnya mengatakan bahwa dia juga sebenarnya tidak tahu persis siapa pria yang akan melamar Qale. Dia hanya menerima surat tulisan tangan istrinya yang mengatakan bahwa akan datang seorang pria lumpuh dan buta mata kiri yang akan menikahi putrinya, sebagai balas budi. Entah dimana ibu Qale pernah bertemu keluarga ini. Yang jelas, beberapa bulan lalu, urusan mereka datan
Qale mengulang-ulang pesan suara itu. Kalimat berat yang mengendap dalam rongga kepala: “Nikmati satu per satu karmamu.” Siapa? Kenapa sekarang? Apa yang mereka tahu … semuanya kah? Tangannya gemetar saat menekan layar, mencoba mencari akun yang menyebarkan video. Tapi akun itu sudah hilang. Dihapus, dibersihkan seolah tak pernah ada. Ia menelusuri kolom komentar. Banyak yang membawa nama lokasinya—rumah lamanya. Bahkan ada yang tahu tanggal kejadian. Beberapa malah menyebut nama ibunya. Menggali luka yang belum sempat tertutup. Membuka ingatan samar yang ingin dia lupakan. Ting! DM masuk. Anonim. Tanpa foto. Hanya satu file suara. Qale ragu, tapi rasa penasarannya menang. Dia menekan tombol itu. Klik. “Maaf… maafin Ibu, Qale… Ibu nggak bisa lindungi kamu. Maafin Ibu ya, Nak…” Suara itu ... pelan. Rapuh. Seperti berbisik seolah takut ketahuan. Tangisan lirih menyertainya. Gemetar. Lelah. Putus asa. Qale menutup mulutnya, menggigit jarinya sendiri. Mat
"Nona, mari ikut kami.” Qale menghentakkan kakinya, berdiri tegak menghadapi dua pria bertato yang baru saja menghadang di depan motor ojek online yang ditumpanginya. Dia baru saja keluar dari kosan, hendak ke tempat kerjanya. “Suruhan Ayah? Minggir,” jawabnya dingin, menahan amarah. Entah mengapa ayahnya kumat lagi, ikut campur di hidupnya setelah sekian tahun. Salah satu pria itu menahan stang motor. “Jangan melawan.” “Berani sentuh aku, dan aku bakal teriak!” Tangan kasar mereka mencengkeram lengan Qale. Ia meronta, berusaha melepaskan diri. Ojol motor yang dipesannya tadi langsung kabur melihat keributan. “Lepas!” pekik Qale sambil menyikut perut lelaki itu. Pria itu meringis, tapi temannya sudah menarik tubuh Qale lebih kuat lagi. Gadis itu melawan, menendang keras lutut lawannya. Dalam kekacauan itu, Qale berhasil lolos. Ia berlari di antara kendaraan, menyelinap masuk ke dalam gang kecil. Langkah cepatnya nyaris membuat terpeleset, tapi ia terus berlari tanpa