LOGINQale mengulang-ulang pesan suara itu. Kalimat berat yang mengendap dalam rongga kepala:
“Nikmati satu per satu karmamu.” Siapa? Kenapa sekarang? Apa yang mereka tahu … semuanya kah? Tangannya gemetar saat menekan layar, mencoba mencari akun yang menyebarkan video. Tapi akun itu sudah hilang. Dihapus, dibersihkan seolah tak pernah ada. Ia menelusuri kolom komentar. Banyak yang membawa nama lokasinya—rumah lamanya. Bahkan ada yang tahu tanggal kejadian. Beberapa malah menyebut nama ibunya. Menggali luka yang belum sempat tertutup. Membuka ingatan samar yang ingin dia lupakan. Ting! DM masuk. Anonim. Tanpa foto. Hanya satu file suara. Qale ragu, tapi rasa penasarannya menang. Dia menekan tombol itu. Klik. “Maaf… maafin Ibu, Qale… Ibu nggak bisa lindungi kamu. Maafin Ibu ya, Nak…” Suara itu ... pelan. Rapuh. Seperti berbisik seolah takut ketahuan. Tangisan lirih menyertainya. Gemetar. Lelah. Putus asa. Qale menutup mulutnya, menggigit jarinya sendiri. Matanya panas. Ia mengenali suara itu. Suara yang sudah lama ia cari dalam mimpi. Suara terakhir ibunya yang tak sempat pamit sebelum mati tenggelam dalam misteri. Dia terduduk. Napasnya pendek-pendek. Seolah paru-parunya baru saja bocor. Pikirannya berkecamuk, apakah seseorang kini mengintainya. Menggali luka lamanya. Tapi siapa? Untuk apa? Hari berikutnya, toko croissant Anak Lipat masih buka seperti biasa. Sahabat sekaligus rekan bisnisnya, urung datang tapi dia mengirimi Qale pesan suara. Dengan nada murung, dia berkata, [“Aku… nggak bisa lanjut dulu, Qale. Maaf banget. Papaku lihat video itu. Dia marah.”] Hening. Qale memejamkan mata, ada sesak yang datang. Dia merasa ditinggalkan. Lagi. “Sementara aja, kan? Sampai semua tenang dulu?” ujarnya dengan nada serak. Wajahnya dipaksa tersenyum, meski tak ada yang melihat dan perihnya seperti ditampar tanpa ampun. ["Iya. Maaf."] “Gapapa. Terima kasih udah nemenin sejauh ini,” gumamnya saat menekan pesan suara balasan. Dia meletakkan gawai itu di atas meja. Kepalanya ditempelkan pada pinggir meja, menghembuskan napas berat ke lantai. Lagi-lagi sendirian, diabaikan, dan ditinggalkan, pikirnya. Sore menjelang malam, toko sepi. Qale berdiri sendirian di dapur. Ia menatap oven yang menyala, menghembuskan aroma croissant coklat dan keju. Tangannya sibuk, tapi hatinya retak. Dapur menjadi tempat pelarian Qale. Tapi hari itu, rasanya sesak. Napasnya seperti tagihan pinjol jatuh tempo, mencekik. Dia membuka laci di bawah meja. Menarik tumpukan dokumen lama. Gambar-gambar miliknya untuk sang ibu. Beberapa sudah lapuk. Yang lainnya tersiram kopi entah kapan, dan meninggalkan noda. Di antara itu, Qale menemukan selembar kertas kusut. Tulisannya pudar. Tapi masih terbaca beberapa kalimat : [“Jika aku pergi lebih dulu … maafkan aku. Aku hanya ingin kalian selamat. Tolong jaga Qale…”] Tangan Qale bergetar. Air matanya menetes di atas surat itu saat dia membacanya. "I-ibuu ... Ibu tahu mau pergi, kan? I-ibuu tahu sedang terancam. Siapa, Bu? Kenapa nggak bilang ke ayah atau aku?" Dia memejam, meluruhkan banyak tetes bening dari pelupuk matanya. Tanpa pikir panjang, Qale mengumpulkan kertas-kertas lama itu, meletakkannya di baskom logam. Disiram alkohol pembersih oven lalu disulut korek api. Api menyala. Kertas itu berubah jadi abu. Seperti kepingan ingatan masa lalu yang dikubur paksa. Tok. Tok. Tok. Bunyi pintu kaca depan. Qale segera menutup baskom api dengan loyang alumunium. Lalu berjalan ke depan toko berniat membuka pintu, tapi terheran, tidak ada siapapun di sana. "Dih, sepi." Qale mengendikkan bahu lalu memutuskan menutup semua tirai toko dan kembali ke dapur, merapikan croissant yang baru matang sebelum pulang. *** Keesokan harinya, Qale tetap berangkat kuliah. Rambut pendek coklat tua itu terikat. Senyum khas yang menampilkan gigi gingsulnya pun memudar pagi ini. Lengkap dengan mata sembab yang ia tutupi pakai concealer tipis dan hoodie abu-abu yang menenggelamkan wajahnya. Di halte, ada bisik-bisik. Di pintu masuk kampus, ada tatapan sinis. Langkah kakinya berat. Tapi Qale mencoba tetap menapak. Dia pura-pura tak mendengar komentar teman-teman satu jurusan yang tertawa kecil di belakang punggungnya. “Itu Qale, kan?” “Iya. Yang ibunya katanya bunuh diri itu...” “Dengar-dengar, karena ulahnya. Sampai di konseling dia karena masih di bawah umur.” “Tukang croissant itu? Katanya viral.” Kata-kata itu bukan lagi peluru. Tapi tembakan yang menghantam jantungnya. Huft. Qale menghempas napas ke udara sambil terus berjalan menunduk. Di ruang kelas, bangku sebelahnya kosong. Padahal biasanya terisi teman satu kelompok tugas. Qale memandangi bangku itu. Tapi mereka bahkan tak menoleh, pura-pura membuka buku sambil menempel ke teman lain di ujung ruangan. "Sorry," kata Qale, entah mengapa meminta maaf. Dia hanya tak ingin terasing. "Kalian aman, kok." Tapi, mereka tetap acuh, seolah Qale tak ada di sana. Qale tersenyum kecil, seperti biasa. Senyum meski hatinya gemeretak. Aman. Kata yang menyakitkan saat ini. Saat kelas bubar, dosen memanggilnya. Perasaannya sudah tak enak. Pasti ada hubungannya dengan kejadian kemarin. Dan benar saja. Di ruang itu, Qale duduk kaku. Tiga staf kampus ada di sana. Salah satunya, wakil dekan. Mereka meminta Qale istirahat di rumah sampai semuanya aman kembali. Pihak kampus mendapat keluhan terkait video viral itu dan beberapa pihak merasa terganggu. Qale ingin tertawa. Tapi tenggorokannya tercekat. "Ok, Pak," jawabnya singkat penuh kecewa. [“Kalau bukan aku yang mereka gencet, siapa lagi? Aku nggak punya backingan. Nggak punya siapa-siapa…”] Dia keluar dari ruangan itu dengan napas pendek menahan amarah. Langit di luar sudah mendung. Kampus yang dulu jadi tempat pelariannya kini ikut menolaknya. Di luar pagar kampus, Qale duduk di halte. Diam, merenungi nasib yang lagi-lagi tak memihaknya. Tangannya gemetar halus saat notifikasi benda pipih ini berdenting lagi. Satu DM masuk. Akun anonim. Kali ini mengirim gambar. Sebuah foto lama. Qale kecil dan ibunya, berdiri di samping kolam. Caption foto: ["Mulai ingat bagaimana kejadiannya?"] Huft. "Bodo amat. Malas mikir, sesukamu, laaah!" omelnya pada ponsel yang dia pegang. Kesal, marah, penasaran, semua jadi satu. "Aku lupaaaaa, bagian mana yang aku lupakan ya Tuhaaan?" batinnya, sambil mengusap dada. Dia memutuskan naik angkutan umum langsung ke toko, setidaknya di sana Qale tak kesepian. Ada saja yang dikerjakan. Setiba di toko, seperti biasanya, sebelum membuka tirai, Qale memeriksa cctv. Kamera pengawas toko croissant menangkap sosok pria yang muncul di depan pintu malam sebelumnya. Dia tampak seperti pengantar barang, tapi tak pernah mengetuk, hanya menatap lama… dengan tatapan datar. Wajah Qale mendekati layar, dia memperbesar tampilan dan mengamati dari dekat. Tapi, buram. "Heh, siapa lu? Kenapa nggak masuk?" gumamnya. "Apa dia cuma mau lihat … atau memastikan aku masih hidup?" Matanya masih menatap layar tapi pikirannya mengelana. . .Malam turun perlahan di atas tembok tinggi lapas.Di dalam sel bernomor 27, Lea duduk di ranjang sempitnya. Angin dari jendela kecil meniup ujung rambut pendeknya, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi.Di pangkuannya, kertas putih terlipat rapi. Pena hitam di tangannya sempat ragu menari, tapi akhirnya bergerak pelan.Tulisan pertama muncul:“Untuk Deni, suamiku.”Lea menarik napas panjang. Setiap huruf yang ia tulis terasa berat, tapi juga menenangkan.“Aku sudah lihat lukisanmu. Dari ayah.Aku tahu kita merindu—karena tembok ini, tapi karena ingatanku terpaku padamu.""Aku baik-baik saja. Cukup mengingat kalau cintamu pernah menyelamatkanku sekali, waktu aku nyaris gak punya alasan buat bertahan.”Lea berhenti menulis. Air matanya jatuh di atas kertas, meninggalkan noda kecil. Ia tersenyum samar, menatap langit hitam di luar jeruji.“Aku pikir kebahagiaan itu tentang bebas.Tapi ternyata, bebas itu tentang hati yang tenang. Terima kasih sudah ngajarin aku mencintai lagi.”
Gerimis makin rapat saat mereka meninggalkan pemakaman.Bakar masih diam, menatap jalanan basah di depan. Ria di sebelahnya, memeluk tas kecil di pangkuan, matanya sesekali menatap jendela yang dipenuhi titik-titik hujan.Radio memutar sisa lagu ~So Far Away, tapi kini suaranya terdengar lebih tenang.“Bapak lebih tenang,” ucap Ria akhirnya, pelan.Bakar menoleh sekilas, bibirnya bergerak membentuk senyum tipis. “Kadang yang bikin berat,” katanya pelan, “rasa bersalah yang belum selesai.”Ria mengangguk pelan. “Kalau gitu … terima kasih udah ngajak aku ke sana, Pak. Aku jadi ngerti sesuatu.”“Ngerti apa?”“Bahwa kadang, luka yang gak disembuhin bisa bikin kita nyakitin orang yang gak salah.”Bakar terdiam. Matanya masih ke depan, tapi rahangnya sedikit mengeras.“Termasuk kamu?” tanyanya datar, nyaris seperti gumaman.Ria tak menjawab. Hanya senyum kecil di ujung bibirnya yang seolah berkata ya, tapi aku udah gak marah lagi.Mobil terus melaju, menyisakan keheningan yang aneh—bukan di
Lea mendengus kesal. “Aku hanya…”Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu di dadanya. “Aku hanya ingin Ayah percaya … bahwa aku gak lagi jadi orang yang sama.”Suara itu pelan, tapi menggigit.“Aku tahu aku salah. Aku nyakitin banyak orang, termasuk Ayah … tapi bukan berarti aku gak bisa berubah.”Hasan menatap putrinya lama. Ada sorot ragu, tapi juga iba yang ditahannya sejak lama.“Ayah gak pernah berhenti pengin percaya, Lea,” ucapnya tenang. “Tapi percaya itu bukan sesuatu yang dikasih. Itu harus kamu buktiin.”Lea menunduk, mengusap wajahnya cepat-cepat. “Aku cuma takut gak sempat buktiin, Yah.”Hasan tersenyum tipis, tapi penuh getir. “Masih ada waktu, Nak. Selama kamu gak menyerah sama dirimu sendiri.”Sunyi.Suara jam dinding terdengar jelas, diikuti derit halus kursi yang bergeser.“Ayah…” panggil Lea pelan.Hasan menatapnya lagi.“Aku cuma pengin dianggap manusia lagi,” ucap Lea, kali ini hampir berbisik. “Bukan kesalahan yang selalu diingat.”Hasan memejamkan mata sejenak
Sore itu toko tutup lebih cepat. Ria membereskan loyang dan adonan yang belum sempat diolah.Rini sudah pulang, menyisakan aroma roti setengah matang yang tertinggal di udara.Telepon dari Nadia baru masuk menjelang magrib."Gimana Nad?" tanya Ria cemas. Nadia sempat ikut menyusul ke rumah sakit dengan motornya tadi.“Udah aman, kata dokter cuma kontraksi ringan. Tapi harus banyak istirahat,” ucapnya lega.Ria mengembuskan napas panjang, duduk di kursi dekat pintu.Syukurlah.Tapi di sela lega itu, ada rasa lain yang menghantui, apakah usulnya soal perekrutan tadi bikin Qalesya kepikiran?Suara langkah sepatu terdengar tepat kala pintu terbuka. Bakar baru datang, menenteng plastik berisi minuman.“Aku kira kamu udah pulang,” katanya datar sambil meletakkan satu botol di depan Ria.“Lagi nunggu kabar, Pak,” jawab Ria pelan.“Qale udah baikan. Aku barusan dari rumah sakit.”“Oh…” Ria menunduk. “Syukurlah.”Hening beberapa detik. Hanya bunyi kipas angin yang berputar lambat.“Kamu tadi p
Keesokan siang, udara toko terasa menggoda oleh aroma butter dan adonan croissant yang baru keluar oven.Ria sibuk di dapur dengan Rini. Nadia di depan berdua dengan Qalesya. Pemilik Anak Lipat itu menghindari memegang butter, mual katanya.Bakar baru datang dengan Wafa. Dia langsung ke belakang, matanya tak lepas dari gerak-gerik Ria.Terlebih setelah pria kemarin, datang lagi ke toko. Kebetulan Ria ke depan membawa baki croissant untuk dipajang di etalase.Pria itu menghampiri Ria. Bakar melihatnya tersenyum yang entah kenapa terasa menyebalkan di matanya.Ria berbicara seperlunya. Pelan dan tetap sopan. Namun bagi Bakar, caranya tersenyum tipis saja sudah cukup membuat dadanya terasa aneh.Begitu pria itu pamit, Bakar langsung melangkah mendekati Ria yang sedang beres-beres meja stainless.“Dia mantanmu?” tanyanya datar.Ria berhenti mengelap meja. “Kenapa, Pak?”“Ngajak balikan?” lanjutnya. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan bara kecil yang tak bisa disembunyikan.Ria me
Tiga hari sudah, Ria dan Bakar nyaris tak bertukar sapa.Suasana toko jadi canggung. Bakar tetap datang dengan Wafa seperti biasa, di jam makan siang. Tapi tanpa berani bersitatap dengan Ria langsung.Ria, di sisi lain, menenggelamkan diri dalam pekerjaan, berusaha seolah semuanya baik-baik saja.Namun, setiap kali mereka berpapasan di dapur yang sempit, jantungnya berdegup aneh karena bingung harus bersikap bagaimana.Qalesya memperhatikan keduanya sejak pagi.Ketika melihat Ria menghela napas kesekian kalinya di depan oven, ia langsung memutuskan sesuatu.“Kak Ria, nanti tolong antar pesanan buat Bu Widya ya. Sekalian bantu cek nota,” katanya santai. "Aku bisa antar, Nyah. Bos nggak ada jadwal siang ini," ujarnya menyambar ucapan Qale.“Oke." Qale mengangguk."Aku bisa sendiri, Kak,” potong Ria cepat.“Musim hujan. Daripada pake motor 3 roda atau ojol, sama aja kan diantar Pak Bakar,” jawab Qale lembut, tapi tegas.Bakar hanya mengangguk pelan.Ria tidak membantah lagi, meski ekspr







