Share

BAB 2. SIAPA DIA?

Author: QIEV
last update Huling Na-update: 2025-06-23 13:55:22

Qale mengulang-ulang pesan suara itu. Kalimat berat yang mengendap dalam rongga kepala:

“Nikmati satu per satu karmamu.”

Siapa? Kenapa sekarang?

Apa yang mereka tahu … semuanya kah?

Tangannya gemetar saat menekan layar, mencoba mencari akun yang menyebarkan video. Tapi akun itu sudah hilang. Dihapus, dibersihkan seolah tak pernah ada.

Ia menelusuri kolom komentar. Banyak yang membawa nama lokasinya—rumah lamanya. Bahkan ada yang tahu tanggal kejadian. Beberapa malah menyebut nama ibunya. Menggali luka yang belum sempat tertutup. Membuka ingatan samar yang ingin dia lupakan.

Ting! DM masuk.

Anonim. Tanpa foto. Hanya satu file suara.

Qale ragu, tapi rasa penasarannya menang. Dia menekan tombol itu.

Klik.

“Maaf… maafin Ibu, Qale…

Ibu nggak bisa lindungi kamu.

Maafin Ibu ya, Nak…”

Suara itu ... pelan.

Rapuh.

Seperti berbisik seolah takut ketahuan.

Tangisan lirih menyertainya. Gemetar. Lelah. Putus asa.

Qale menutup mulutnya, menggigit jarinya sendiri. Matanya panas. Ia mengenali suara itu. Suara yang sudah lama ia cari dalam mimpi. Suara terakhir ibunya yang tak sempat pamit sebelum mati tenggelam dalam misteri.

Dia terduduk. Napasnya pendek-pendek. Seolah paru-parunya baru saja bocor. Pikirannya berkecamuk, apakah seseorang kini mengintainya. Menggali luka lamanya. Tapi siapa? Untuk apa?

Hari berikutnya, toko croissant Anak Lipat masih buka seperti biasa. Sahabat sekaligus rekan bisnisnya, urung datang tapi dia mengirimi Qale pesan suara.

Dengan nada murung, dia berkata, [“Aku… nggak bisa lanjut dulu, Qale. Maaf banget. Papaku lihat video itu. Dia marah.”]

Hening.

Qale memejamkan mata, ada sesak yang datang. Dia merasa ditinggalkan. Lagi.

“Sementara aja, kan? Sampai semua tenang dulu?” ujarnya dengan nada serak.

Wajahnya dipaksa tersenyum, meski tak ada yang melihat dan perihnya seperti ditampar tanpa ampun.

["Iya. Maaf."]

“Gapapa. Terima kasih udah nemenin sejauh ini,” gumamnya saat menekan pesan suara balasan.

Dia meletakkan gawai itu di atas meja. Kepalanya ditempelkan pada pinggir meja, menghembuskan napas berat ke lantai. Lagi-lagi sendirian, diabaikan, dan ditinggalkan, pikirnya.

Sore menjelang malam, toko sepi. Qale berdiri sendirian di dapur. Ia menatap oven yang menyala, menghembuskan aroma croissant coklat dan keju.

Tangannya sibuk, tapi hatinya retak.

Dapur menjadi tempat pelarian Qale. Tapi hari itu, rasanya sesak. Napasnya seperti tagihan pinjol jatuh tempo, mencekik.

Dia membuka laci di bawah meja. Menarik tumpukan dokumen lama. Gambar-gambar miliknya untuk sang ibu. Beberapa sudah lapuk. Yang lainnya tersiram kopi entah kapan, dan meninggalkan noda.

Di antara itu, Qale menemukan selembar kertas kusut. Tulisannya pudar. Tapi masih terbaca beberapa kalimat :

[“Jika aku pergi lebih dulu … maafkan aku. Aku hanya ingin kalian selamat. Tolong jaga Qale…”]

Tangan Qale bergetar. Air matanya menetes di atas surat itu saat dia membacanya.

"I-ibuu ... Ibu tahu mau pergi, kan? I-ibuu tahu sedang terancam. Siapa, Bu? Kenapa nggak bilang ke ayah atau aku?" Dia memejam, meluruhkan banyak tetes bening dari pelupuk matanya.

Tanpa pikir panjang, Qale mengumpulkan kertas-kertas lama itu, meletakkannya di baskom logam. Disiram alkohol pembersih oven lalu disulut korek api.

Api menyala.

Kertas itu berubah jadi abu. Seperti kepingan ingatan masa lalu yang dikubur paksa.

Tok. Tok. Tok. Bunyi pintu kaca depan.

Qale segera menutup baskom api dengan loyang alumunium. Lalu berjalan ke depan toko berniat membuka pintu, tapi terheran, tidak ada siapapun di sana.

"Dih, sepi." Qale mengendikkan bahu lalu memutuskan menutup semua tirai toko dan kembali ke dapur, merapikan croissant yang baru matang sebelum pulang.

***

Keesokan harinya, Qale tetap berangkat kuliah. Rambut pendek coklat tua itu terikat. Senyum khas yang menampilkan gigi gingsulnya pun memudar pagi ini. Lengkap dengan mata sembab yang ia tutupi pakai concealer tipis dan hoodie abu-abu yang menenggelamkan wajahnya.

Di halte, ada bisik-bisik.

Di pintu masuk kampus, ada tatapan sinis.

Langkah kakinya berat. Tapi Qale mencoba tetap menapak. Dia pura-pura tak mendengar komentar teman-teman satu jurusan yang tertawa kecil di belakang punggungnya.

“Itu Qale, kan?”

“Iya. Yang ibunya katanya bunuh diri itu...”

“Dengar-dengar, karena ulahnya. Sampai di konseling dia karena masih di bawah umur.”

“Tukang croissant itu? Katanya viral.”

Kata-kata itu bukan lagi peluru. Tapi tembakan yang menghantam jantungnya.

Huft. Qale menghempas napas ke udara sambil terus berjalan menunduk.

Di ruang kelas, bangku sebelahnya kosong. Padahal biasanya terisi teman satu kelompok tugas.

Qale memandangi bangku itu. Tapi mereka bahkan tak menoleh, pura-pura membuka buku sambil menempel ke teman lain di ujung ruangan.

"Sorry," kata Qale, entah mengapa meminta maaf. Dia hanya tak ingin terasing. "Kalian aman, kok."

Tapi, mereka tetap acuh, seolah Qale tak ada di sana. Qale tersenyum kecil, seperti biasa. Senyum meski hatinya gemeretak. Aman. Kata yang menyakitkan saat ini.

Saat kelas bubar, dosen memanggilnya. Perasaannya sudah tak enak. Pasti ada hubungannya dengan kejadian kemarin.

Dan benar saja.

Di ruang itu, Qale duduk kaku. Tiga staf kampus ada di sana. Salah satunya, wakil dekan.

Mereka meminta Qale istirahat di rumah sampai semuanya aman kembali. Pihak kampus mendapat keluhan terkait video viral itu dan beberapa pihak merasa terganggu.

Qale ingin tertawa. Tapi tenggorokannya tercekat. "Ok, Pak," jawabnya singkat penuh kecewa.

[“Kalau bukan aku yang mereka gencet, siapa lagi? Aku nggak punya backingan. Nggak punya siapa-siapa…”]

Dia keluar dari ruangan itu dengan napas pendek menahan amarah. Langit di luar sudah mendung. Kampus yang dulu jadi tempat pelariannya kini ikut menolaknya.

Di luar pagar kampus, Qale duduk di halte. Diam, merenungi nasib yang lagi-lagi tak memihaknya. Tangannya gemetar halus saat notifikasi benda pipih ini berdenting lagi.

Satu DM masuk.

Akun anonim. Kali ini mengirim gambar. Sebuah foto lama. Qale kecil dan ibunya, berdiri di samping kolam.

Caption foto:

["Mulai ingat bagaimana kejadiannya?"]

Huft.

"Bodo amat. Malas mikir, sesukamu, laaah!" omelnya pada ponsel yang dia pegang. Kesal, marah, penasaran, semua jadi satu.

"Aku lupaaaaa, bagian mana yang aku lupakan ya Tuhaaan?" batinnya, sambil mengusap dada.

Dia memutuskan naik angkutan umum langsung ke toko, setidaknya di sana Qale tak kesepian. Ada saja yang dikerjakan.

Setiba di toko, seperti biasanya, sebelum membuka tirai, Qale memeriksa cctv.

Kamera pengawas toko croissant menangkap sosok pria yang muncul di depan pintu malam sebelumnya. Dia tampak seperti pengantar barang, tapi tak pernah mengetuk, hanya menatap lama… dengan tatapan datar.

Wajah Qale mendekati layar, dia memperbesar tampilan dan mengamati dari dekat. Tapi, buram.

"Heh, siapa lu? Kenapa nggak masuk?" gumamnya. "Apa dia cuma mau lihat … atau memastikan aku masih hidup?" Matanya masih menatap layar tapi pikirannya mengelana.

.

.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
QIEV
Hmm, entah xixixi
goodnovel comment avatar
ani nur meilan
Duh... masa lalu Qale kok ada yg ungkapin.. Siapa dan ada maksud apa??
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 51.

    Qale masuk ke toko dengan wajah muram. Dia masih tidak mengerti mengapa sikap Wafa berubah padanya.Ria datang lebih awal, langsung memekik senang melihat dekorasi toko pagi ini. Pita emas dan coklat mendominasi. Ada yang menjuntai, diikat dengan balon senada di salah satu dinding. Juga sebagian kecil menggantung di tengah ruangan.Hiasan rempah di etalase menjadi ciri khas bahan tambahan onbitjkoek, menguatkan vibes kue ini. Parcel dengan wadah kaca, di meja kasir menjadi contoh bahwa onbitjkoek mereka cocok dan elegan untuk hantaran."Keren!" kata Ria kagum. "Siapa yang dekor, Kak?" tanyanya pada Qale.Qalesya tersenyum tipis, "Kak Wafa. Meja itu, menurutmu apa yang kurang?" ujar Qale menunjuk ke bagian sudut kasir.Ria menoleh. "Eeh, semua dah lengkap. Ehm, sisa kartu nama aja," ucapnya. "Ada tester, kue utuh di tray, vas bunga lucu ... Kak Wafa emang cool," sambungnya."Katanya itu ide Elan?" Gadis itu mendongak. "Elan cuma minta ada meja center poin aja kok. Yang siapin alatnya

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 50.

    Qale kembali ke belakang hanya mengambil ponsel, tanpa menyapa Wafa. Dia langsung masuk ke kamar dan tidak keluar lagi meskipun Wafa memanggilnya untuk makan malam. "Kayaknya Iran kalah, Bos. Di sini dah perang dunia 3," celetuk Bakar melewati Wafa yang mengetuk pintu kamar Qale. "Perang sama kamu, yok!" kesal Wafa. Asprinya ini makin lama makin berani nyeletuk. Bakar menoleh. Tangannya terangkat ke atas. "Ampun, Bos. Saya masih normal ... masa perang pedang-pedangan," katanya diikuti bola mata yang mendelik ke atas. Wafa melotot, Bakar tertawa lepas sambil lalu ke dapur. Akhirnya, Wafa batal makan malam dan masuk ke kamarnya. Dua hari berlalu sejak pemotretan itu. Pagi ini Qale kembali ke rutinitasnya—kuliah, mengurus pesanan, dan membereskan toko Anak Lipat. Seolah tidak terjadi apa-apa. Wafa selalu datang. Menemani. Tapi kini menjadi pendiam. Mereka duduk bersebelahan di toko, Wafa di meja sudut, sementara Qale di kasir. Lagu D'Masiv ~jangan menyerah menemani kesunyian mere

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 49.

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai linen jendela kamar yang tidak tertutup semalaman. Wafa terbangun, melihat jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi.Dia turun dari ranjang, duduk di kursi rodanya lalu keluar kamar. Ingin melihat Qale, sebelum orang lain melihatnya lebih dulu.Perlahan dia membuka pintu kamar Qlae. Tidak masuk, hanya berhenti di kusen pintu saja. Wafa memandangi istrinya yang meringkuk di ujung ranjang, kepala bersandar pada tumpukan bantal, tangan masih memeluk buku resep tipis.Wafa menatap lama. Ada damai yang menenangkan hati. “Pulas ... imut banget, sih,” gumamnya pelan.Dia perlahan mendekat, menarik selimut yang melorot, lalu menyentuh ujung rambut, menyingkirkannya karena menutupi pipi sang istri."Pagi, Sya," bisiknya sambil menowel pipi Qale sebelum keluar kamar.Cahaya pagi masuk lewat celah tirai ruang tengah, berpendar lembut hingga ke ruang makan. Aroma kopi memenuhi udara, membuat suasananya jadi hangat.Qale keluar kamar dengan rambut sedikit basah

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 48.

    Rumah bercat putih itu berdiri anggun di balik pagar kayu, bergaya Eropa klasik dengan jendela besar dan tirai linen yang tertata rapi. Dua jam dari kota, tapi terasa seperti dunia lain, lebih tenang, lebih jujur.Qale turun lebih dulu, berdiri terpaku di halaman. Baru kali ini dia puas menatap bangunan itu dari luar. Wafa di kursi rodanya menatap istrinya dari sisi mobil.“Masuk, Sya. Angin mulai dingin,” katanya pelan, hampir seperti bisikan angin.Langkah pertama Qale terasa lebih ringan. Rumah itu wangi kayu tua, dengan lukisan kecil di dinding juga bunga gantung di sisi teras.Dia mendorong kursi roda suaminya masuk, mendekati meja bundar dekat jendela di ruang tengah. Di atasnya, ada sebuah map biru dan secangkir teh melati mengepul pelan."Aku pengen kamu lihat ini sebelum kita makan." Wafa meminta Qale duduk sambil mendorong map ke hadapannya.Qale membuka map. Matanya tertumbuk pada serangkaian surat rujukan medis, pengantar dokter, hingga dokumen perjalanan rumah sakit luar

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 47.

    Ruang kecil di belakang kantor pengadilan sore itu terasa pengap, meski pendingin ruangan menyala.Hasan duduk di ujung meja, tangannya menggenggam botol air mineral berukuran sedang. Matanya menatap kosong ke depan, ke arah Wafa yang duduk tenang di kursi roda, namun tak menyembunyikan kecemasan.Dua pengacara duduk mendampingi mereka, menjaga kejelasan prosedur. Hening. Tak ada suara selain detak jam dinding.“Tolong ... ceritakan semuanya,” kata Hasan. Suaranya serak, lirih, seperti menggantung beban yang terlalu lama tak diucapkan.Wafa mengangguk. Dia menatap map yang dibawanya, lalu membuka lembar demi lembar dokumen kronologi. Di antara semua yang tertulis, hal paling sulit disampaikan adalah kebenaran yang selama ini dia tahan sendiri.“Malam itu, Qalesya dibujuk anak-anak tetangga untuk main ke halaman belakang,” ujar Wafa pelan. “Lea tahu, dan dia sengaja mengambil boneka kesayangan Sya dari kamar. Ditaruh di dekat kolam...”Hasan mengernyit. “Boneka...,” desahnya berat. Ben

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 46.

    Ria mengangguk. "Hu um. Baru saja," jawabnya pelan, sedikit sungkan. Lelaki itu sudah lama tak terlihat, dan kini... tampak begitu berbeda. Ria mengamati Wafa yang langsung pamit lagi tanpa banyak bicara. "Masih pakai kursi roda, tapi perasaan ada yang beda," gumam Ria dari dalam toko. "Sebenarnya hubungan mereka apa, sih? Pacar, saudara, pasangan?" lanjutnya, mata mendelik ke atas sambil berpikir keras. Sejak awal masuk kerja, tak pernah sekalipun Qale menjelaskan siapa pria itu.*** Langit Jakarta pagi itu menggantung mendung tipis—seolah ikut memeluk kecemasan yang menggumpal di dada Qalesya. Ia berdiri di lobi pengadilan, menggenggam erat map berisi surat-surat ibunya. Bukan bukti, tapi bekal keberanian. Elan duduk tak jauh darinya. Sesekali menatap layar ponsel, lalu kembali diam. Ia tahu ini bukan waktunya melontarkan candaan. Sorot matanya tak lepas dari Qale, yang tampak tenang di luar, meski jiwanya seperti kapal yang dihantam gelombang dalam diam. "Lo siap?" tanya Elan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status