Winda menyambung keinginan putranya. Ada harapan tersemat untuk Qale. Gadis ini, begitu rendah hati dan tangguh. Ada semangat dalam diri Qale, selain pintar dan kreatif. Winda hanya berharap keluarganya memiliki banyak penerus yang memiliki jiwa seperti Qalesya.Wafa satu-satunya harapan, putranya sulit dimengerti tapi justru dari Qale lah, dari Rahayu, Wafa banyak belajar mengerti dan mendengar."Gimana, Sayang?" tanya Winda lagi, "mau, kan?" Hening. Semua perhatian tertuju pada Qalesya yang menunduk."Butuh waktu?" sambung Hasan, ikut bicara. Ruang rawat masih sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Qale duduk bersandar di bantal, wajahnya masih pucat, tapi matanya jernih.Perlahan, kepala yang menunduk itu terangkat. Melihat sang ayah dan mertuanya, lalu beralih ke Wafa.Di hadapannya, Wafa menatap penuh harap, sementara Winda dan Hasan berada di sisi lain, ikut menyimak percakapan yang terasa berat.“Aku … ragu, Kak.” suara Qale parau. Ia menunduk lagi, jemari salin
Pandangannya jatuh pada Qale yang meringkuk di lantai. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar halus, dan celana di bagian bawah sudah ternodai cairan merah pekat.“Sya…” suara Wafa tercekat. Ia berjongkok, meraih tubuh istrinya yang dingin dan lemas. “Ya Tuhan…” Dia menepuk pipi istrinya beberapa kali. Qale mulai hilang kesadaran.“Sa—sakiiitt…” rintih Qale pelan, masih memejam, tangannya refleks menutupi perut. “Aku … ada yang keluar…”Wafa membeku sesaat. Dunia seolah berhenti berputar ketika ia melihat noda darah itu semakin deras. Ia tahu betul apa artinya.“Tidak … tidak … jangan bilang…” gumamnya parau. Dengan sekali gerakan, ia mengangkat Qale ke dalam gendongan. Tanpa tongkat, tanpa kursi roda. Semua kepura-puraan yang ia bangun selama ini runtuh.Langkahnya mantap, cepat, meski dadanya seperti dirobek dari dalam.Di luar, beberapa anak buah Bakar sudah menunggu. Mereka terbelalak melihat Wafa berlari sambil menggendong istrinya.“Bawa mobil!! SEKARANG!!!” bentak Wafa, matanya mera
“Jangan!!” suara Bakar pecah di udara, terlambat satu detik. Mobil hitam itu sudah melesat meninggalkan Bakar yang berlari dengan napas tercekik.“Nyaaahh!!” Bakar berteriak histeris, sekujur tubuhnya bergetar menahan marah.Bakar kembali ke mobil, langsung mengejar sendiri. Ia berusaha meminta bantuan, tapi kendaraan penculik sudah menghilang ke jalan raya.“Kenapa lengah?!” Dia menoleh dengan mata penuh api, suaranya pecah. Terngiang suara Wafa di telinganya, jika bosnya tahu hal ini. [“Aku titip Qale padamu, Bakar! Kenapa bisa kecolongan begini?!”]Bakar terdiam, mobilnya melaju pelan, wajahnya pucat. “Saya salah. Saya terlambat … Saya salah…” tangannya mengepal, rahangnya mengeras. “Tapi saya janji, saya bakal temukan Anda, hidup-hidup.”Bakar lalu berkoordinasi dengan beberapa anak buahnya. Setelah itu, dia menghubungi Wafa.Seperti dugaannya, suara Wafa menggema di ponsel. Dia sampai menjauhkan benda itu dari telinganya."Kamu dimana?" ucap Wafa setelah meluapkan amarah sesaat t
Sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas di kamar mereka. Alih-alih menunggu jawaban Wafa, Qale memilih merebahkan diri, membelakangi Wafa, matanya terpejam tapi pikirannya berisik. Suara ayahnya dan jawaban setengah hati Wafa terus bergema di kepalanya.Ia menarik napas panjang, menahan sesak di dadanya.Di belakangnya, Wafa duduk diam dekat tepi ranjang. Tatapannya tertuju pada punggung Qale. Ia ingin bicara, tapi lidahnya terasa kelu. Tangannya terulur, tapi sebelum menyentuh, Qale bergeser menjauh.“Aku capek.” Suaranya datar, dingin.Wafa hanya mengangguk kecil, meski dalam hati ada kecewa yang hadir. Malam itu berlalu tanpa percakapan, penuh jarak yang tak terlihat tapi terasa menusuk.Keesokan harinya, suasana rumah masih dingin. Qale fokus menemani ayahnya sarapan, sementara Wafa sibuk menelpon pengacara dan memeriksa perkembangan kasus.Qale lalu menyempatkan diri berkirim pesan menanyakan kondisi Ria, memastikan toko kembali beroperasi.“Karyawan baru akan
Suasana rumah masih menegang setelah amukan Hasan. Napasnya tersengal, wajahnya pucat pasi, lalu tubuhnya limbung. Untung saja Qale sigap, bersama Mbak Mun menopang lengan lelaki itu sebelum terjerembab di lantai. “Ayah!” seru Qale panik. “Tuan! hati-hati, jangan dipaksakan,” Mbak Mun ikut berseru wajahnya tegang. Dengan terburu, mereka memapah Hasan masuk ke kamar. Wafa ikut menyusul, kursi rodanya meluncur cepat, tatapannya penuh kecemasan. Hasan direbahkan di ranjang, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Qale masih menahan perasaan bercampur, marah, iba, sekaligus takut. “Ayah, jangan maksain diri lagi. Aku bisa menyelesaikan semua masalahku sendiri,” ucap Qale, suaranya bergetar. “Gugatan Kak Wafa sudah masuk. Aku cuma ingin ayah fokus saja ke kesehatan ayah. Aku butuh ayah mendukungku.” Hasan menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. Namun bibirnya tetap menyusun pesan yang meng
“Bos, yakin mau vacation sementara beliau?” Bakar nyeletuk sambil melihat Wafa dari spion dalam."Nggak lama, numpang nge-charge doang paling," jawab Wafa datar, melirik nakal pada Qale yang langsung menengok ke arahnya."Fast charging dong," sambar Bakar, tergelak.“Mulutmu ckck … untung cuma sopir. Nggak perlu dapat warisan,” balas Wafa, menjulurkan lidahnya persis anak kecil.“Loh, warisan?” Bakar ngakak. “Hibah dari tuan besar lebih mevvah dari milik Anda, Bos. Lagian saya cuma latihan nyupir, maklum ... majikan yang tertunda," jawabnya sambil menaik-turunkan alisnya.Qale yang duduk di samping Wafa menahan senyum, menoleh ke arah Bakar. “Tolong spill di episode berapa, launching majikan barunya ya.”“Siap, Nyah. Senyum aja yang banyak dulu. Itu suplemen buat saya juga,” lanjut Bakar dengan gaya sok serius.Wafa mendengus. “Heh. Suplemen suplemen. Colok juga nih mata!" Qale mencubit lengan Wafa pelan, membuat tawa kecil mengisi kabin mobil itu. Untuk sesaat, perjalanan terasa rin