Share

Terenggut

Untuk beberapa saat lamanya, aku hanyut dalam buaian indah ini. Meski ada sebagian sisi logika yang menolak, tapi seluruh syaraf di permukaan tubuhku mendamba kelembutan ini.

Danar ... lagi-lagi dia berhasil membawaku kembali ke masa lalu. Saat kami melewati setiap hari penuh suka cita dan canda tawa. Saat kami menunjukkan kemesraan kepada semesta.

Ini salah. Dilihat dari sisi mana pun tetaplah salah. Namun, entah mengapa aku tak pernah mendapati kesalahan yang begitu dibenarkan oleh hatiku sendiri.

Aku mengerjap, ketika kami kembali berjarak. Sementara debaran dalam dada semakin menggila, seperti jantung ini akan lepas dari tempatnya. Untuk sejenak aku memejam. Berusaha memegang kendali atas hati, yang tiba-tiba menyusupkan perasaan aneh.

Tampak wajah Danar masih begitu dekat, ketika aku membuka mata beberapa saat kemudian. Bibirnya menyunggingkan senyum lembut, khas seseorang yang baru saja melabuhkan rindu.

Kenapa Danar tidak bertanya? Bukankah seharusnya dia bertanya tentang hidupku sejak berpisah darinya?

“Maaf kalau aku lancang.” Danar berucap pelan. Kemudian, ia menghapus jejak basah di bibirku menggunakan ujung jarinya.

Tak sanggup membalas tatapannya yang menusuk, aku berpaling. Banyak hal yang tak bisa kuartikan dari sorot yang menuntut itu.

Apa aku juga masih mencintainya?

Tuhan ... pertanyaan macam apa itu?

Ah, tapi ... bukankah cinta memang tidak pernah memilih tempat untuk tumbuh? Layaknya bunga yang tetap bisa mekar di medan perang, atau sebuah biji kecil yang tetap tumbuh di ladang gersang.

Danar meraih pipiku, memaksa agar wajah kami berhadapan. Kembali aku menengadah, dan merasakan hangat napasnya menyapu wajah. Hal yang memaksaku menikmati kebersamaan ini, di atas pijakan yang salah.

Ya, salah. Salah karena ciuman yang tadi membuatku menyandang gelar pengkhianat. Salah ... karena rasa untuknya masih terpelihara, sedangkan raga dan jiwa ini telah terikat janji suci. Aku sudah menikah. Tidak menutup kemungkinan, Danar pun sama.

“Tunggu di sini!” Danar tersenyum seraya bangkit. Sikapnya seperti tak berniat memberiku kesempatan berpikir jernih.

Benar saja. Langkahnya terayun menuju para pemain musik, lalu ia duduk di sebuah kursi kayu bulat tinggi. Ada gitar di tangannya, dan anganku melayang ketika dawai itu dipetik untuk pertama kali. Lagu itu ... adalah lagu yang pernah ia bawakan untuk melamarku, beberapa tahun yang lalu.

“Terima! Terima!”

Teriakan itu kian riuh memenuhi telinga. Sementara itu, aku nyaris tak tahu harus berkata apa. Perasaanku benar-benar campur aduk sekarang. Baru saja aku bisa melalui sidang skripsi dengan baik dan akan bernapas lega, hal seperti ini menyambut begitu kaki ini menjejak pintu keluar.

Untuk sesaat, aku masih mencerna apa yang terjadi di depan mata. Berikut kalimat Danar yang memintaku menjadi istrinya. Kapan ia datang? Bukannya ia bilang tengah sibuk mengurus pekerjaan di Bali?

Aku masih bergelut dengan kebingungan sampai beberapa saat. Sementara di depan sana, Danar masih berdiri tegak, dengan sekuntum mawar merah dalam genggaman.

“Aku nggak bisa berpuisi, Arini. Aku juga nggak bisa menjanjikan semua jalan di depan sana akan berakhir manis di antara kita.” Danar berkata sembari mengayun langkah, mendekatiku yang mematung.

“Aku juga nggak bisa menjanjikan banyak harta, tapi seperti yang kamu tau, aku punya banyak cinta.” Danar kian mendekat, mengembangkan senyuman yang kian memikat.

“Huuuuu!” Lagi-lagi, seruan itu menggema di lantai sembilan, fakultasku berada. Sementara itu, alunan musik akapela yang tadi mengiringi telah terhenti.

“Disaksikan semua orang di sini, aku berjanji akan selalu setia, dan mencintamu. Karena itu, kuulang sekali lagi ... maukah kamu, Arini Indah Paramita untuk menjadi istriku?”

Danar berhenti, saat jarak antara kami tersisa satu langkah saja. Namun, kali ini sosoknya buram, karena air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Diakah pangeran yang aku tunggu?

Tak peduli pada semua mata yang menyaksikan lamaran ini, aku menenggelamkan diri dalam pelukan Danar. Kudekap seerat mungkin lelaki yang aku cintai ini, seakan-akan tak ingin berpisah lagi. Sebab rasa dalam hatinya sama dengan yang melanda hati ini, mungkin rasaku lebih dalam lagi.

“Diterima nggak, nih?” Danar bertanya sembari mengusap punggungku.

“Nggak mau! Nggak mau!” Aku masih terisak di dadanya, merasakan buncah bahagia tak terkira.

“Beneran, nih? Ntar aku diambil orang gimana?”

Aku menjeda pelukan, dan menatap Danar dengan gemas. namun, dia hanya tersenyum, dan menghapus air mata yang membasahi pipiku.

“Tunggu aku, ya, Sayang. Aku nggak akan lama.”

Aku hanya mengangguk. Setelah selesai tahun lalu, dia memang berpamitan akan ikut bekerja di kapal pesiar. Sebuah cita-cita yang dia sampaikan sejak lama. Hanya saja, aku tidak tahu jika dia akan pulang secepat ini, dan kembali ke Jakarta tepat saat aku ujian skripsi.

Setahun menjalani hubungan jarak jauh, lalu dia kembali dengan sebuah lamaran, siapa yang tidak terharu? Aku pikir, responsku tak berlebihan bukan? Aku bahkan tidak sempat bertanya atau sekadar menolak.

Usai melamarku, kami tidak langsung pulang. Dia membawaku ke sebuah kafe, kemudian berjalan-jalan mengitari kota Jakarta. Katanya, ini adalah bentuk meluapkan kebebasanku, yang berhasil menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan di kampus.

“Kangen tauk!” Aku melayangkan protes. Sementara tatapanku terarah keluar, pada kepadatan kendaraan jalanan Jakarta di sore hari.

“Kan aku udah di sini?” Satu tangan Danar mengusap pipiku dengan lembut, seperti biasanya.

“Kenapa nggak bilang kalo mau ke sini?”

“Kalo bilang, nggak jadi kejutan, ‘kan?” Diacaknya rambutku sekilas.

Aku berbalik, dan menatapnya yang tengah tersenyum. “Kapan balik lagi?”

“Kayaknya nggak balik lagi. Cuman ngambil satu trip aja kemarin.”

“Bukannya kamu pengen nge-cruise dari lama? Kenapa malah udahan?”

“Ya ... lumayan buat memenuhi penasaran. Lagian, papaku udah tua, dan aku diminta nerusin usaha di Bali.”

Aku mengangguk, sembari memutar-mutar cincin di jari manis. Emas putih yang baru saja disematkan Danar, entah mengapa tampak sangat manis di jemariku. Aku merasa menjadi perempuan paling bahagia hanya karena sebuah cincin kecil ini. Ya, sebahagia itu rasanya.

“Karena itu, aku mau kamu nunggu sebentar.”

“Apa menunggu setahun ini, aku masih kurang sabar? Toh kita baik-baik aja, ‘kan?” Aku mencebik.

“Ah, cantiknya anak ini!” Lagi, diacaknya rambutku.

“Kenapa kamu selalu minta aku menunggu?” Aku penasaran.

“Karena banyak yang harus aku beresin, sebelum benar-benar bawa kamu masuk ke keluargaku.”

“Mereka nggak suka sama aku, ‘kan?” Aku bertanya lagi.

Danar menoleh, lalu tatapan kami saling mengunci. Lampu merah di depan sana, membuat ia bisa menggenggam dan mencium tanganku.

“Bukan nggak suka. Cuma aku yang belum berhasil meyakinkan mereka dengan pilihanku.”

Aku menarik napas dalam. “Sama aja, Nar. Mereka nggak suka sama aku.”

“Sayang ... kok ngambek?”

“Kalo gitu, kasih aku alasan buat nunggu kamu.” Akhirnya, kalimat pemungkas itu keluar. "Karena aku nggak mau nunggu sesuatu yang sia-sia."

Danar tampak berpikir sebentar. Kemudian, dia menarik napas panjang, dan menatapku serius. “Kita ke Makassar. Aku mau ketemu orang tua kamu.”

“Adat orang Makassar berbeda!”

“Aku cuman mau nitipin orang yang aku sayang. Aku mau—“

“Aku bukan barang!” Aku menyela.

Dua hari setelah hari itu, Danar benar-benar memenuhi ucapannya. Kami ke Makassar. Ditemuinya Ibu dan Ayah, lalu dia berjanji akan datang dengan sebuah pernikahan. Hal yang membuatku tersanjung, dan percaya sepenuh hati dengan semua janjinya.

Tak hanya itu, Danar juga berhasil membuat ibuku jatuh cinta dengan sikapnya yang santun. Menghabiskan waktu sepekan di Makassar, banyak yang terjadi di antara kami, termasuk kenangan yang membekas dalam, tanpa bisa kuhapus.

“Aku hanya pergi tuk sementara

Bukan ‘tuk meninggalkanmu selamanya

Kupasti kan kembali pada dirimu

Tapi kau jangan nakal

Aku pasti kembali ....”

Tepukan beberapa pengunjung membuat lamunanku buyar. Kisah masa lalu itu mengabur, mengembalikanku ke dunia nyata.

Aku melihat ke arah para penyanyi dan pengunjung lain. Improve yang dilakukan Danar sangat apik, membuat beberapa pengunjung seperti hanyut pada suaranya yang merdu. Termasuk aku.

Ya ... Danar memang kembali, menepati janji.

Setelah menghilang tanpa kabar. Setelah membuatku terjebak pada pernikahan tanpa cinta. Setelah membuat hatiku porak-poranda karena mendamba dan merindunya. Setelah aku terjebak jauh tanpa bisa kembali untuk sekadar memutar arah.

Ya ... Danar memang benar-benar kembali. Setelah raga kami sama-sama telah termiliki. Setelah aku mengemban status seorang istri.

Ya. Istri. Dan seorang istri sepertiku taj seharusnya berada di sini, bersamanya. Tak kuasa menahan desakan lara di hati, aku bangkit.

Menyadari itu, dengan cepat aku menuju pintu keluar sembari menahan tangis. Aku bahkan tak peduli dengan riuh yang terjadi di belakang sana, karena lagu yang terhenti mendadak.

“Rin, tunggu!”

Derap langkah terdengar sebelum aku mencapai lift. Lenganku ditarik dari belakang, lalu Danar memaksa menenggelamkanku dalam pelukannya.

“Aku udah nungguin kamu! Enam tahun, Danar! Enam tahun!” Aku nyaris berteriak sambil meronta.

“Aku minta maaf untuk itu. Aku minta maaf karena—“

“Dan kamu terlambat! Kamu terlambat!” Kupukul dadanya sekuat yang aku bisa. Akan tetapi, gerakan itu terhenti saat ia mengeratkan dekapannya.

Aku masih menjerit, tak peduli jika akan menjadi perhatian orang yang melintas. Hatiku sangat sakit mengingat semuanya. Ketika keadaan memaksaku berhenti mencintainya, ketika aku dipaksa lupa akan rasa untuknya.

Pintu lift terbuka, dengan cepat Danar memojokkanku ke dalam sana. Lalu, dia membungkam tangisanku dengan lembut, tapi menuntut. Kami saling bertaut, seakan-akan meluapkan semua rasa yang pernah terenggut.

**

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status