"Paman Wage, Kenapa Eyang tidak ikut kesini?" tanya Lindu Aji setelah berada di atas kapal yang akan menyeberangkan mereka ke Pulau Santong.
"Tetua Damarjati ada kepentingan lain yang tidak bisa ditinggal. Apa beliau tidak bilang kepadamu?" jawab Senopati Wage sekaligus bertanya balik.Lindu Aji menggeleng pelan. "Eyang tidak bilang apapun, Paman." jawabnya sebelum menyandarkan punggungnya di sebuah peti kayu milik penumpang lain.Tidak terasa kapal sudah penuh dengan penumpang dan akan segera berangkat menuju pulau Santong.Di atas kapal terlihat ada beberapa peserta turnamen dari beberapa perguruan kecil dan menengah. Itu terlihat dari simbol yang terdapat di masing masing seragam mereka.Juga terlihat beberapa orang wanita yang kesemuanya berbaju ungu. Mereka adalah rombongan dari perguruan Teratai Ungu.Di kapal satunya, terlihat Satriaji dan rombongan dari perguruan macan putih berada di sudut kapal.Lindu Aji dan PSudah sadarnya Lindu Aji sudah tentu membuat Ki Damarjati senang. Begitu pula si Belang yang bahkan tidak ingin jauh dari pemuda yang menjadi temannya selama 17 tahun terakhir itu."Apa saja yang sudah kau pelajari dari ayahmu, Lindu?" Ki Damarjati menatap cucunya yang terlihat jauh berbeda auranya. Luka-lukanya pun hilang dengan sendirinya."Ayah mengajarkan ilmu Guntur Membelah Bumi, Eyang.""Guntur Membelah Bumi? Apakah kamu mau menunjukkan kepada Eyang?" Ki Damarjati antusias ingin melihat kemampuan baru cucu angkatnya itu."Bukannya Lindu tidak mau, Eyang, tapi ayah mengatakan kalau ilmu ini khusus untuk menghadapi manusia Iblis nanti. Dan juga kalau aku mempraktekannya, yang ada hanya kehancuran, Eyang." Lindu Aji tersenyum melihat raut penasaran di wajah kakeknya. "Waktu di sana, Lindu menghancurkan gunung yang besarnya hampir tiga kali lipat dari gunung yang kita tempati ini. Padahal Lindu hanya mengeluarkan kekuatan sebesar sepuluh persen
Sementara itu, pelatihan yang dilakukan Lindu Aji sudah hampir mencapai akhir. Dan kali ini Lindu Aji harus benar-benar fokus jika tidak ingin berakhir dengan kegagalan. "Untuk tahap yang yang terakhir ini paling sulit dari semua tahapan Anakku. Kalau kamu tidak bisa menyelesaikan tahapan terakhir ini, maka semua pelatihan yang kamu jalani setahun ini akan sia-sia. Pelatihan yang terakhir ini adalah pengikat semua ilmu yang telah kau pelajari. Apa kamu sudah siap, Nak?" "Aku siap, Ayah." Lindu Aji menjawab tanpa keraguan. "Baiklah, sekarang ikut Ayah." Lindu Aji berjalan mengikuti ayahnya menuju sebuah tempat yang menurutnya sangat berbeda dengan semua tempat yang pernah didatanginya di alam Dewa. Di tempat tersebut matahari berjumlah 7. Pencahayaan juga sangat terang menyilaukan mata. Panas dan debu yang pekat membuat tempat tersebut bagaikan miniatur Neraka. Lindu Aji berkeringat luar biasa d
Ki Damarjati dan semua ketua perguruan nampak berkumpul di dalam satu kamar yang lebar. Di hadapan mereka, tubuh Lindu Aji terbaring lemah di ranjang. Tetua Wibisono yang ahli dalam bidang pengobatan pun menyerah dengan kondisi Lindu Aji. Yang bisa dia lakukan hanya mengobati luka luar saja."Bagaimana, Tetua, apakah tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menyadarkan Lindu?" tanya Ki Nalasetya."Entahlah Nala, yang aku ketahui sekarang cucuku mengalami mati suri. Kita hanya bisa menunggu kesadarannya kembali. Tampaknya benar jika pedang ini yang membuat Lindu bisa bertahan sampai sekarang," jawab Ki Damarjati."Sekarang coba ceritakan, kenapa Lindu sampai menahan jurus yang dikeluarkan Walondo? Apa dia bertarung dengan Walondo?"Ki Nalasetya yang sudah diselamatkan Lindu Aji menarik napas perlahan."Lindu tadi menyelamatkan aku, Tetua. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah mati saat ini. Padahal sejak awal aku sudah memperingatkannya aga
BlaaaaaarrrPertemuan dua tenaga dalam besar sontak menimbulkan ledakan yang hebat. Hampir semua orang yang berada di sekitar kompleks Perguruan terpental karena tidak kuat menahan tekanan yang ada. Sebagian ada yang langsung tewas baik dari anggota aliran hitam maupun dari aliran putih, dan ada yang terluka parah ataupun sedang.Sedangkan mereka yang berada dalam tahap pendekar pilih tanding ke atas masih bisa menahan tekanan tersebut dengan tenaga dalamnya, meski harus sedikit mengalami luka dalam.Suara ledakan bahkan terdengar sampai radius puluhan kilometer dan getaran seperti gempa bumi juga terasa sampai istana kerajaan Pamenang.Semua orang yang mendengar dan merasakan dampak pertemuan dua tenaga dalam tingkat tinggi tersebut bertanya-tanya, bersumber dari gerangan apakah itu yang baru saja mereka dengar dan rasakan?Ki Damarjati yang sedang terbang dengan kecepatan tinggi menuju pulau Santong juga mendengar suara ledakan tersebut
Suroseto yang menguping pembicaraan di Perguruan Rajawali Putih ternyata mempunyai rencana lain. Dia memberi tugas kepada Ki Lingga, ketua Perguruan Tengkorak Hitam beserta murid anggota perguruannya menunggu di dekat dermaga untuk mengantisipasi bantuan yang akan datang dari aliran putih maupun dari istana.Sekitar 200 orang murid Perguruan Tengkorak Hitam bergerak maju menyerang Pasukan Garda Pamungkas. Dentingan suara nyaring logam yang beradu terdengar bersahutan. Pekikan penyemangat maupun jeritan kesakitan, bahkan suara kematian menyayat jiwa terdengar ramai menambah ngerinya suasana.Penumpang dan pekerja yang berada di dermaga lari berhamburan menghindari pertempuran yang sedang terjadi. Mereka tentu tidak ingin turut menjadi korban, dan pergi dari dermaga adalah jalan untuk selamat.Senopati Wijaya bergerak maju menggebah kudanya menghampiri Ki Lingga yang bahkan belum beranjak dari tempatnya sedari tadi.Mendekati 10 langkah, Senopati Wi
"Kekuatan Senopati kerajaan Pamenang memang bukan isapan jempol saja. Aku akui kau memang hebat, Wage, tapi dari kita berdua belum ada yang kalah," ucap Mata Setan. Seusai berucap, Mata Setan kembali menyerang Senopati Wage dengan jurus-jurus andalannya. Sementara itu Lindu aji terlibat pertarungan yang tak kalah sengit dengan Nyi Suketi. Bersenjatakan Tongkat berkepala ular di tangannya, Nyi Suketi menyerang Lindu Aji dengan penuh emosi. Emosi karena dia merasa dilecehkan harus menghadapi pemuda yang lebih pantas menjadi cucunya. Tongkat berkepala ular di tangan Nyi Suketi meliuk-liuk bagai seekor ular yang bergerak mengejar mangsanya. Kecepatan yang ditunjukkan Nyi Suketi membuat Lindu Aji terpontang panting menghindarinya. Hingga pada suatu kesempatan, tongkat Nyi Suketi berhasil menghantam dengan telak dada Lindu Aji yang membuat pemuda tersebut terlontar sejauh lima tombak ke belakang. Rasa nyeri langsung terasa dari dadanya. Nampaknya tongkat berkepala ular milik Nyi Su