Share

5. RANA

Author: AYAS
last update Last Updated: 2025-11-06 21:29:35

Mengikuti perintah nenekku yang menginginkan aku menghadiri kencan buta Sabtu malam itu, aku terpaksa menutup The Garnets lebih awal. Aku sudah memberitahu Tasa mengenai izinku, tapi ia tidak merespon.

Tidak adanya respon dari Tasa berarti dia tidak peduli, yang juga berarti, aku bebas pergi.

Tasa pernah mengatakan padaku, kalau aku ingin pulang lebih awal, atau jika aku punya kesibukan macam apa pun, aku bebas menutup tokonya. Dia bahkan pernah memintaku menutup toko di hari valentine karena dia tidak mau aku kewalahan mengurus bunga-bunganya.

Benar-benar bos yang aneh, tapi aku menyukainya. Aku menyukai upah dan fleksibilitas yang ia berikan padaku.

"Setidaknya, nenekmu mempunyai selera," merupakan pendapat Dahlia saat aku melakukan facetime dengannya dan Ara. Dahlia mengomentari foto Rayan Bhatt yang tertera di I* pria itu.

Aku sedang mempersiapkan diri untuk kencanku, memakai make-up dan semacamnya. Aku bahkan meminjam dress Ara, karena aku tidak mau terlihat jelek di depan kencan butaku. Aku tidak mau nenekku berpikir aku menyabotase kencan butanya dengan sengaja berpenampilan buruk rupa.

"Ara, lihat, bagaimana pendapatmu tentangnya?" Dahlia sedang bersama Ara sore itu.

Mereka berencana pergi ke bioskop untuk menonton film rom-com yang baru rilis minggu kemarin. Aku seharusnya pergi dengan mereka, tapi yah..., karena kencan ini, aku tidak jadi pergi.

"He's okay."

"Okay?" tanya Dahlia. "Hanya itu?"

"Well, aku lebih menyukai pria dari karakternya, bukan dari tampangnya, Lia. Jika aku bisa bertemu dengannya secara langsung, mendengar caranya bicara, caranya bersikap, and then aku bisa membuat kesimpulanku mengenainya."

"Aku lupa aku berbicara dengan Disney Princess," kata Dahlia, dan aku tertawa.

"Guys, aku sudah selesai, dan sebentar lagi jam tujuh. Sudah saatnya aku pergi." Aku berpamitan pada dua temanku yang sedikit murung karena aku tidak jadi bergabung pada movie-date mereka.

"Kabari kami kalau dia buruk," kata Dahlia.

"Kabari kami kalau dia baik." tambah Ara.

"Jangan lewatkan detail kencanmu, the good and the bad, and the s3xs, and yeah, selalu pakai pengaman, Baby."

"Dahlia!!!" Aku dan Ara serentak menegur Dahlia, tapi dia hanya mengendikkan bahu dan melayangkan ciuman jarak jauh padaku. "Stay safe."

***

Alta Mura adalah nama restoran tempat aku akan bertemu dengan Rayan Bhatt. Setibaku di sana, Rayan belum menampakkan batang hidungnya, jadi aku pergi ke kamar mandi untuk mengecek penampilanku sekali lagi.

Di depan cermin lebar yang memantulkan diriku, aku memperhatikan penampilanku.

Malam ini, aku memakai gaun yang kupinjam dari Ara, gaun hitam panjang yang bergaya elegan dan modern. Gaun itu berpotongan rendah dan longgar di area dada, tali spaghetti tipis bertengger di pundakku—menjadi penopang gaun itu agar ia tidak melorot dan mempertontonkan dadaku pada semua orang yang menyantap makan malam mereka di Alta Mura.

Pada bagian rok gaun itu, terdapat belahan tinggi di bagian paha yang sejak tadi menggangguku, membuatku tidak nyaman berjalan karena kakiku begitu terekspos.

Sepasang sepatu tinggi dengan tali hitam membelit hingga pergelangan kakiku.

Tarik napas. Buang napas. Tarik napas.

Meski sudah pergi ke kencan buta beberapa kali, aku masih merasa tidak nyaman ketika harus mengulang situasi ini. Ketika aku harus memperkenalkan diriku pada pria asing yang akan menatapku seperti aku adalah benda yang dilelang di dalam etalase kaca.

Seakan-akan mereka menilai kepantasanku untuk mereka. Seakan-akan aku bukan manusia.

"Tenangkan dirimu, Rana. Semuanya akan baik-baik saja. Ini hanya kencan biasa." Aku mengingatkan diriku, menyemangati diriku agar aku tidak kehilangan kewarasanku dan mengamuk seperti banteng di arena.

Setelah sesi terapi dan sugesti diri di depan cermin, aku kembali ke dalam restoran dan menemukan sosok Rayan Bhatt telah duduk di meja yang sudah tereservasi atas nama kami berdua. Kedatanganku disadarinya, ia langsung berdiri dan menarikkan bangku untukku.

Hmm, gentleman.

"Selamat malam, Miss. Ferreira." Rayan tersenyum simpul kepadaku, "Kau sangat menawan malam ini, aku hampir tidak mengenalimu."

"Well, aku tidak selalu seperti ini." Aku hanya berpenampilan seperti ini demi memenuhi keinginan nenekku. Agar ia tahu aku memenuhi keinginannya. Aku bahkan mengirim fotoku padanya sebelum aku pergi berkencan. Foto yang kemudian dikomentarinya dengan pujian.

Gaun pilihan Ara membuat nenekku melihatku sebagai wanita.

Katanya, aku akhirnya terlihat seperti wanita. Entah apa aku selama ini di matanya. Ikan? Kecoa?

"Aku dengar kau datang ke Newyork untuk bekerja. Aku harap kencan ini tidak membebanimu." Aku berbasa-basi pada Rayan.

"Pekerjaan adalah pekerjaan, permintaan keluarga adalah hal yang berbeda."

Permintaan keluarga adalah prioritas. Setidaknya kami sepaham akan satu hal.

"Apa yang kau lakukan di Newyork?" tanyaku, berusaha menunjukkan ketertarikan pada Rayan walau sebenarnya, aku tidak begitu menyukai caranya yang sejak tadi memindaiku.

"Seminar." Sahutnya dengan arogan. "Kau mungkin tidak tahu ini, tapi teknologi selalu berubah. Kami, sebagai pria yang bekerja di bidang teknologi, perlu terus meng-upgrade pengetahuan kami."

"Wow. Aku sangat tidak tahu," sahutku. Jika Dahlia di sini, aku bisa memastikan Rayan akan kehilangan dua gigi depannya. Cara pria itu berbicara sangat..., congkak.

"Bagaimana denganmu, apa yang kau lakukan di Newyork? Aku mendengar informasi tentangmu dari bibiku, katanya kau lulusan Columbia, creative writing. Apa kau penulis semacam itu?"

"Tidak..., aku...,"

"Jurnalis?"

Aku menggeleng, "Aku berusaha menjadi editor," kataku.

"Berusaha?"

"Aku belum mendapat panggilan."

"Oh." Entah bagaimana caraku mendeteksinya, aku bisa merasakan ketertarikan Rayan padaku menurun dari 80 persen menjadi 60 persen.

"Apa kau mempunyai pekerjaan lain?" tanyanya.

"Aku bekerja sebagai florist dan..." Sekarang 40 persen.

"Kau sangat cantik, Rana. Dan jujur saja, kau sangat mengesankan. Namun, aku akan jujur di sini, aku mencari wanita untuk dijadikan istri, dan di era ini..., wanita bekerja untuk mendukung suaminya. Kau mungkin terbiasa pada pemahaman kuno kalau tugas wanita adalah melayani suaminya. Kau bisa memasak, maka kau lulus, kau memperoleh suami. Tapi aku tidak berpikir memasak saja cukup, kau mengerti?"

"..."

"Kau seharusnya mengambil jurusan yang lebih baik saat kuliah."

Aku terpana, tawa hampir lolos dari bibirku saat mendengar racauan panjang Rayan Bhatt yang begitu menghina.

Aku hanya datang ke kencan buta ini karena nenekku, demi Tuhan. Aku sudah cukup tertekan, aku tidak datang kemari untuk mendengar pria asing menghinaku hanya karena ia merasa lebih baik dengan pekerjaannya yang Ugh!

Dia hanya karyawan, sialan! Dia bukan pemilik Microtech, mengapa dia begitu—

Aku akan membunuhnya!

Aku akan membunuhnya dan meminum darahnya di sini!

"Sugar?" Sebuah suara yang rendah dan layak desau angin malam menyapa telingaku, memadamkan api amarah yang membara di dadaku.

Aku menoleh untuk menemukan wajah dari suara yang sangat familier itu, suara yang kerap hadir di mimpiku belakangan ini, suara yang seharusnya tidak ada di sini, dan ketika aku berpaling, aku merasakan sebuah ciuman mendarat di bibirku, ciuman lembut yang membuat tubuhku membeku.

Otakku berhenti berfungsi. Yang ada di pikiranku saat itu hanya satu, Sebastian menciumku. Bibir Sebastian di bibirku!

Ketika ciuman itu berakhir, aku menemukan sepasang mata hijau Sebastian menatapku. Kehadirannya seakan mendominasiku.

Sebastian Winter. Seperti nama belakangnya, kehadirannya seperti membawa musim dingin menyertainya.

"Aku dengar kau berkencan hari ini," ujarnya dengan tenang. Tangannya berlabuh di pundakku, melingkupiku. "Aku terluka. Aku pikir kau sudah melamarku."

"Se-Sebastian..." Apa yang pria ini pikirkan?

Tunggu, kenapa dia di sini? Kenapa dia menciumku tadi? Oh, Rayan! Apa yang akan Rayan pikirkan?! Tidak, bukan itu, apa yang akan Rayan sampaikan pada nenekku—

"Apa kau pacarnya?" tanya Rayan kepada Sebastian.

"Bukan," kataku. "Ya," kata Sebastian.

"Rana adalah milikku," tambah Sebastian lagi, tatapan mata kami kembali bertemu dan aku sama sekali tidak memahami arti dari tatapannya.

Dalam sepersekian detik yang terasa lama ketika mata kami bersua, Sebastian pun kembali menatap Rayan dengan delik tajam dominan. "Aku harap kau sudah mengerti situasinya."

Dalam arti lain, Sebastian mengusir Rayan.

Tapi Rayan—sebagai pria yang merasa kecerdasannya tiada dua—tidak bergerak. "Keluarga Rana mengatur kencan buta kami," katanya. "Mereka tidak pernah bilang kalau Rana memiliki kekasih."

"Well, apa itu penting?"

"Penting bagiku karena waktuku terbuang sia-sia di sini."

Sebastian menyeringai dingin. Seringai yang cukup untuk membuat temperatur di ruangan itu sedingin antartika.

Dengan suara yang dalam, Sebastian memberikan peringatan pada Rayan. "Bukan hanya waktu yang akan terbuang dari hidupmu kalau kau terus berada di sini, Ryan."

"Namanya Rayan," bisikku. Entah kenapa aku merasa perlu mengoreksinya.

Sebastian tidak memedulikan koreksiku, dan terus menatap Rayan dengan binar mata tajam menikam.

Rayan meneguk ludah.

Sepertinya insting untuk melindungi diri dari bahaya telah mengambil alih kecerdasan dan ego tingginya, ia beranjak dari meja itu dan menatapku dan Sebastian bergantian.

"Keluargaku akan mendengar semua ini," ujarnya, lebih kepadaku.

Sialan, keluargaku akan mendengar semua ini!

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PLEASE, MR. WINTER   5. RANA

    Mengikuti perintah nenekku yang menginginkan aku menghadiri kencan buta Sabtu malam itu, aku terpaksa menutup The Garnets lebih awal. Aku sudah memberitahu Tasa mengenai izinku, tapi ia tidak merespon.Tidak adanya respon dari Tasa berarti dia tidak peduli, yang juga berarti, aku bebas pergi.Tasa pernah mengatakan padaku, kalau aku ingin pulang lebih awal, atau jika aku punya kesibukan macam apa pun, aku bebas menutup tokonya. Dia bahkan pernah memintaku menutup toko di hari valentine karena dia tidak mau aku kewalahan mengurus bunga-bunganya.Benar-benar bos yang aneh, tapi aku menyukainya. Aku menyukai upah dan fleksibilitas yang ia berikan padaku."Setidaknya, nenekmu mempunyai selera," merupakan pendapat Dahlia saat aku melakukan facetime dengannya dan Ara. Dahlia mengomentari foto Rayan Bhatt yang tertera di IG pria itu.Aku sedang mempersiapkan diri untuk kencanku, memakai make-up dan semacamnya. Aku bahkan meminjam dress Ara, karena aku tidak mau terlihat jelek di depan kencan

  • PLEASE, MR. WINTER   4. SEBASTIAN

    Tubuh wanita itu menegang ketika aku menegurnya. Di tengah malam, mengenakan piama satin merah yang kontras di kulit putihnya, aku melihatnya melenggang dari arah kamar Ara. Ia hendak menuju dapur ketika aku membuyarkan apa pun itu yang sedang ia pikirkan sampai ia tidak menyadari kehadiranku.Dia hanya berjalan melewatiku, seakan-akan aku hanyalah pajangan batu yang tidak menarik perhatiannya. "Sebastian," gumamnya dengan keterkejutan, ia menoleh ke arahku dengan mata membola. "Kau pulang?" "Kelihatannya?" sahutku.Aku melenggang santai menghampirinya, menikmati setiap gerak-gerik kecanggungan yang tercipta di tubuhnya. Bagaimana sepasang matanya berbinar waspada, jari-jarinya saling bertaut di bawah dada, dan bagaimana ia mundur seinci demi seinci dariku. "Se-selamat datang kalau begitu, selamat malam, maksudku. Aku dan Dahlia menginap malam ini. Permintaan Ara..." "Hmm." Aku menunggu lanjutan ucapan Rana dengan alis terangkat sebelah. Di bawah tatapanku, ia meneguk ludah kak

  • PLEASE, MR. WINTER   3. RANA

    Entah sudah berapa kali ketenanganku retak hari ini. Ketika aku berpikir aku telah menemukan ketenanganku—telah move on dari kejadian malam itu, memori dari momen panas itu datang menghampiriku. Membuat ketenanganku tergoyahkan dan aku memekik histeris sendirian.Lupakan, Rana, lupakan. Itu hanya permainan biasa. Aku pernah melakukan hal yang lebih dari itu dengan mantanku dulu. Dulu, beberapa tahun lalu.Tapi kejadian ini baru, masih sangat segar di kepalaku. Aku tidak bisa lupa. Bagaimana bisa aku melupakannya? Seumur hidupku, aku tidak pernah melakukan hal segila itu. Maksudku, aku tidak pernah menghampiri sembarang pria dan memintanya menjamahku hingga aku klimaks di tangannya.Aku selalu percaya di antara aku, Ara, dan Dahlia, akulah yang lebih dewasa secara pemikiran, lebih logis dan dapat diandalkan. Aku tidak pernah, maksudku jarang, melakukan kesalahan. Ketika aku melakukan kesalahan pun, kesalahanku itu terbilang kecil dan sepele.Sekali lagi, aku tidak—aku bukan tipe

  • PLEASE, MR. WINTER   2. SEBASTIAN

    Rana Ferreira adalah namanya, wanita yang kini berdiri kikuk di sebelah Arabella. Tatapannya memantul ke mana-mana, selain menatapku. Ia menghindari menatapku.Kecanggungan terlihat jelas dari bahasa tubuhnya yang awkward dan kaku. Seakan-akan ia ingin melarikan diri secepat mungkin dari hadapanku. Betapa lucu. Padahal semalam ialah yang menghampiriku. Dirinya dan kegilaannya bergelayut di leherku, menarik atensiku, dan memaksaku untuk menciumnya.Dia adalah iblis penggoda yang membuatku hampir lepas kendali dan melakukan hal gila yang aku yakini, pasti akan kusesali. "Kopi," tawarku pada Ara dan Rana. Kendati ingatan tentang kejadian semalam mengisi kepalaku, membuat darahku berdesir panas, aku menyikapi kehadiran adikku dan Rana dengan tenang—kasual seperti biasa. "Tidak, terima kasih." Ara menjawabku dengan cengiran manis dan lugunya.Nampaknya, Ara masih gembira atas perayaan ulang tahunnya kemarin yang berjalan spektakuler, ia tidak mencium kejanggalan dari kebisuan sahabatny

  • PLEASE, MR. WINTER   1. RANA

    Pada malam itu, beberapa gelas anggur merah telah mengalir melewati kerongkonganku. Kenikmatannya menyengat lidahku—terasa lembut dan kaya, seperti kemewahan yang tidak pernah kucecap sebelumnya.Pada hari-hari biasa, aku tidak akan pernah menenggak anggur merah dan berbagai minuman beralkohol lainnya. Namun, malam ini berbeda. Malam ini, sahabat dekatku yang bernama Arabella Winter merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga. Sebagai teman dekat yang bergembira, aku membebaskan diriku untuk mencicipi anggur merah itu di pesta Arabella. Mencicipi atau tepatnya menumpahkan cairan manis itu di mulutku.Saat itu, aku pikir tidak ada salahnya. Toh, kapan lagi aku bisa menikmati minuman itu secara gratis?Aku hanya akan menikmati beberapa teguk anggur, mengobrol santai bersama teman-temanku yang sebenarnya hanya terdiri dari Arabella dan Dahlia, berdansa di bawah lampu kristal yang menggantung indah di tengah ballroom hotel tempat pesta ulangtahun Arabella diselenggarakan, dan aku mun

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status