Share

6. SEBASTIAN

Penulis: AYAS
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-26 13:16:10

Kencan buta Rana berakhir seperti yang kuharapkan—berantakan.

Kepuasan merayap di benakku ketika sosok Rayan Bhatt berlalu meninggalkan meja yang tadi dihuninya dan Rana.

Satu jam yang lalu, aku berencana menghabiskan sabtu malamku dengan beristirahat di rumah. Aku sudah menolak ajakan Alistair untuk pergi ke Hesperides, aku menolak ajakan bermain tenis dari Theo. Aku menolak atau bahkan mengabaikan banyak ajakan keluar dari rekan dan kenalanku.

Aku sudah menyusun rencana bersantaiku malam ini. Aku akan membaca tiga buah buku yang sudah kucampakkan untuk beberapa minggu dan menikmati sebotol scotch untuk diriku sendiri.

Santai dan sunyi, situasi yang paling pas bagiku.

Aku tidak akan mengira kalau diriku akan berada di sini, di sebuah restoran biasa yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya, menggagalkan kencan buta seseorang yang seharusnya tidak berarti apa-apa bagiku.

Rana Ferreira seharusnya tidak memiliki dampak sebesar ini pada diriku, tapi di sinilah aku sekarang, di tempat bernama Alta Pura setelah aku mengetahui Rana akan menghadiri kencan buta di sana.

Aku teringat ketika berselisih dengan Dahlia dan Arabella di tangga yang terhubung pada lantai dua. Keduanya berpenampilan untuk keluar, dan keabsenan satu peserta dari pertemanan mereka membuatku menghentikan langkah Arabella.

Aku tidak pernah menanyakan eksistensi teman-teman Arabella sebelumnya, tapi malam itu aku menanyakannya dengan bahasa yang kubuat setidak-mencolok mungkin. "Kalian hanya pergi berdua?"

"Begitulah," kata Ara saat itu, bibirnya mengerucut lesu.

"Apa yang terjadi pada—" Aku berpura-pura melupakan nama salah satu temannya, berpura-pura tidak peduli ketika pada kenyataannya, aku menghentikan mereka adalah karena aku tidak melihat Rana.

"Rana berkencan malam ini," Dahlia yang menimpaliku. "Dia akan menikmati malam panas dengan pangerannya sementara aku dan Ara hanya menikmati romansa lewat film. Ugh.." Dahlia berpaling ke Ara dan bertingkah dramatis, "Princess, kapan giliran kita memiliki pacar?"

Apa maksudnya? Rana memiliki kekasih? Kapan? Kenapa aku tidak tahu ini? Tunggu, aku memang seharusnya tidak tahu. Kenapa aku begitu penasaran padanya? Ini membuatku gila.

"Aku sudah memiliki pacar," sanggah Ara.

"LDR tidak masuk hitungan," balas Dahlia, mengejek Ara.

"Please, Dahlia, kau bicara seakan-akan Rana mau pergi ke kencan buta itu. Aku percaya kalau dia bisa memilih, dia akan memilih bersama kita."

Oh, Kencan buta.

Kencan buta?

"Kencan buta?" tanyaku keluar tanpa sadar, nyaris seperti ketakjuban.

"Itu bukan apa-apa, Sebastian." Ara nampak menyesal sudah membeberkan situasi Rana padaku yang terbilang orang asing dalam lingkar pertemanan mereka.

"Rana akan menyukainya," kata Dahlia lagi, senyumnya mekar dengan percaya diri. "Rayan Bhatt terlihat sangat tampan, I*-nya dipenuhi oleh foto gym, aku percaya Rana akan sangat puas padanya. Dia akan membicarakan pria itu setiap kita bertemu."

Dengusan remeh tanpa sadar lepas dari bibirku, membuat Dahlia dan Ara menatapku. Aku tidak merespon tatapan bingung mereka dan segera melanjutkan langkahku menuju kamar. Setiba di sana, aku meraih ponsel yang sejak tadi kubisukan, dan menghubungi Theo.

[Temukan seseorang untukku.]

***

"Kenapa kau di sini?" tanya Rana padaku, saat aku mengisi bangku bajingan yang tadi duduk di seberangnya. Tatapan waspada dan curiga itu kembali menghiasi matanya.

"Kebetulan," jawabku, "Aku ada pekerjaan di sekitar sini."

"Oh..." Aku bisa melihat ada pertanyaan yang hendak menyusul dari bibirnya, tapi ia kesulitan merangkai satu kalimat karena kegugupannya.

Sebenarnya, aku juga bertanya-tanya mengapa aku berada di sana. Mengapa aku merepotkan diriku meminta bantuan Theo untuk menemukan lokasi kencan Rana, dan mengapa aku sangat ingin menggagalkan kencan buta dan bodoh itu?

Sekali lihat saja, aku tahu kalau Rana sangat tidak pantas bersama pria itu. Pria yang memancarkan arogansi dangkal lewat jam tangan palsu dan setelan Giorgio Armani yang hanya dipakainya setahun sekali. Mungkin dua kali, kalau dia merayakan Diwali.

Pria perhitungan seperti Rayan Bhatt tidak akan bisa memuaskan Rana. Dia tidak akan tahu cara menyentuh wanita pada umumnya, melihat bagaimana ia setuju pergi ke kencan buta.

Bukannya bertingkah seperti pejantan asli dengan mencari belahan jiwanya sendiri, dia malah pergi ke kencan buta seperti pecundang.

"Mengapa kau membiarkannya berbicara seperti itu padamu?" aku memutuskan bertanya duluan pada Rana. Mengingat bagaimana Rayan Bhatt merendahkan Rana, aku seharusnya tidak membiarkan pria itu pergi begitu saja.

Aku mungkin akan bermain dengannya nanti.

Rana mengendikkan bahu dan tersenyum kecut, "Rayan tidak salah. Maksudku, cara penyampaiannya mungkin agak kasar, tapi setelah kupikir lagi, Rayan mengatakan kebenaran."

Rayan. Rayan. Rayan.

Mereka baru bertemu sekali, demi Tuhan, kenapa Rana terus menyebutkan nama pria itu seakan mereka sudah kenal lama?

"Apa yang benar dari ucapannya?" sahutku, sebisa mungkin tidak terdengar sarkastik. Satu-satunya yang benar tentang eksistensi Rayan adalah betapa pantas ia memperoleh tinju di wajah.

"Aku belum menjadi apa-apa, Sebastian. Aku tidak layak menjadi istri."

"Apa kau ingin menjadi istrinya?"

Rana meneguk saliva, sepasang bola matanya kembali menatapku, tapi kali ini tidak ada kewaspadaan, hanya kelembutan yang bercampur dengan kesenduan.

"Tidak," sahut Rana, "Terlalu cepat untukku menikah, lagipula..., lihat aku, aku tidak layak." Mendung melingkupi wajah Rana dan aku akan membunuh Rayan karena sudah membuat perempuan ini meragukan kualitas dirinya sendiri.

"Maksudku adalah..." kata Rana lagi, "Aku tidak..., aku masih..."

"Kau masih berkembang," potongku. Aku tidak mau ia melanjutkan kalimatnya dengan ucapan menyedihkan yang tidak benar. Tidak pantas.

"Kau masih muda, masih dalam proses mencari jati diri. Kau tidak perlu meratapi masa mudamu seakan-akan kau sudah berusia sembilan puluh tahun dan akan mati besok."

"Kau sudah menjadi CEO, dan berapa umurmu? Tiga puluh?"

"Aku memang tiga puluh tahun, dan aku memang seorang CEO, tapi aku juga Sebastian-fvcking-Winter, Rana. Kau tidak bisa membandingkan dirimu padaku. Tidak terkecuali kau memiliki leluhur yang sudah membangun bisnis mereka sejak perang dunia kedua. Aku terlahir di jalan ini, kau terlahir untuk menemukan jalanmu."

Rana menyimak ucapanku tanpa suara, dan itu membuatku—untuk pertama kalinya—merasa ingin memotong lidahku sendiri. Aku tidak percaya aku sudah bicara panjang lebar di depan wanita itu. Bertingkah seperti motivator.

"Aku tidak bermaksud mengguruimu," kataku lagi. Aku sudah terlalu banyak bicara.

"Terima kasih," ujar Rana. Bibirnya melengkung membentuk senyum tulus. "Kau benar, aku seharusnya tidak begitu stress memikirkan masa depanku."

"Dan Ryan adalah bajingan," aku menambah daftar kebenaranku.

"Pfft..., namanya Rayan."

Aku tidak peduli siapa namanya.

Rana tertawa, keceriaannya membuatku agak lega. Aku tidak menyukai kemurungan yang sempat menghiasi parasnya. Dia lebih indah ketika dia berbahagia.

Otakku, apa yang baru saja kau pikirkan?

"Waah, aku tidak menyangka kencan butaku akan menjadi sesi terapi dengan Sebastian-fvcking-Winter," ucap Rana, lalu tersenyum malu-malu. "Maaf sudah membuatmu mendengarkan omong kosongku."

Itu bukan omong kosong. Apa yang ia rasakan bukan omong kosong. Aku ingin membantahnya, tapi aku sudah terlalu banyak bicara aku mungkin akan menggunting lidahku sendiri kalau aku berbicara seserius dan sebijaksana tadi.

Aku memutuskan mengganti topik serius dan awkward itu dan melayangkan tanya tentang topik lain kepada Rana, "Kenapa kau pergi ke kencan buta?"

Rana mengulum bibir bawahnya sebelum menanggapi dengan rona merah menyebar samar di pipinya. Manis. Dia sangat manis. Bagaimana bisa aku melewatkannya selama ini?

"Nenekku memaksaku," kata Rana, "Ini mungkin asing bagimu, tapi di keluargaku, perintah nenekku adalah mutlak. Aku tidak bisa membantahnya, dan dia menginginkan aku, sebelum aku berusia 25, menemukan jodohku."

"Apa yang akan terjadi ketika kau berusia 25?"

"Dia akan memaksaku menikahi pria pilihannya."

"What?" itu sangat absurd.

"Aku tahu," kata Rana, dia membaca ekspresiku dan tersenyum kaku. "Lupakan masalahku, kau umm..., ciuman tadi..., apa maksudnya?"

"Itu tidak berarti apa-apa," sahutku, berusaha kasual. Aku hanya ingin menciumnya, jadi aku menciumnya. Tindakanku murni impulsif.

"Tidak ada arti apa pun?"

"Aku hanya ingin menyingkirkan bajingan tadi dari hadapanmu," ujarku, berusaha merasionalitaskan kegilaanku.

"Aah..." Rana mengangguk-angguk seakan ia memahami intensiku, walau sebenarnya, dia sama sekali tidak tahu.

Rana tidak tahu kalau dirinya adalah penyebab mengapa aku menjadi seperti ini.

"Aku mengapresiasi kebaikanmu," tutur Rana. Kebaikan dan diriku sebenarnya tidak begitu jalan beriringan, tapi aku membiarkan Rana berpikir demikian.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PLEASE, MR. WINTER   11. RANA

    "Kita akan bicara nanti," kata Sebastian padaku, setelah membantuku memakai kembali piamaku.Ekspresi yang terlukis di wajah pria itu adalah kemenangan dan kelicikan. Ia nampak begitu puas telah membuatku klimaks untuk ketiga kalinya. Sungguhan, pria itu gila, dan aku, aku lebih gila darinya.Bagaimana bisa aku membiarkan Sebastian Winter menyentuhku lagi, membuatku klimaks, setelah aku memintanya untuk melupakan segalanya? Kemana perginya harga diriku ketika alih-alih meninju wajahnya atau menendang selangkangannya, aku malah mengerangkan namanya?Mengapa aku begitu mudah?Setiap berada di hadapan Sebastian, aku sepertinya kehilangan kontrol diriku. Pria itu seperti menyihirku, mengendalikanku. Ia merenggut akal sehat dari kepalaku, dan membuatku luluh sepenuhnya dalam sentuhannya."Ki-kita akan bicara nanti," sahutku, tidak bisa menahan diri tergagap. Aku bahkan tergagap di depannya. Memalukan. "Bicara yang benar-benar bicara

  • PLEASE, MR. WINTER   10. SEBASTIAN

    Sesuatu terjadi pada Rana, entah apa. Beberapa hari ini, ketika ia berkunjung ke mansion kami untuk menghabiskan waktu dengan Ara, aku kerap merasakan tatapannya jatuh kepadaku. Seakan-akan ia mengintaiku.Ketika aku membalas tatapannya, ia akan membuang muka dan berpura-pura tidak memperhatikanku. Yang tidak Rana ketahui adalah, dia buruk dalam berpura-pura. Dia juga buruk dalam pengintaian. Dia begitu kentara, aku bisa merasakan tatapannya mengebor tengkukku. Bahkan saat ini—saat aku mengambil air mineral dari lemari dingin, aku bisa merasakan matanya tertuju padaku.Aku baru menyelesaikan lari pagiku, dan di meja makan, Dahlia, Ara, dan Rana duduk bersantai menikmati jus jeruk dan beberapa menu sarapan.Menilai dari penampilan Ara, Dahlia, dan Rana yang masih mengenakan piama, mereka pasti menginap di sini tadi malam."Sebastian, ayo sarapan bersama kami," ajak Ara.Aku menghampiri meja makan dan menempa

  • PLEASE, MR. WINTER   9. RANA

    Situasiku dengan Sebastian, 'kesalahan kedua' kami menyebutnya, tinggal di benakku hingga fajar tiba.Sulit bagiku untuk memejamkan mata ketika yang kuingat dan kurasakan adalah Sebastian. Napas pria itu yang berembus di depan wajahku, sentuhan jemarinya yang menyusuri tulang belakangku, sapuan lidahnya di kulitku, segala hal tentang pria itu bergentayangan di benakku.Seringainya. Mata hijaunya. Suaranya. Sentuhannya.Aku memikirkan bagaimana seorang Sebastian, pria yang selama ini kupandang tak kurang dan tak lebih sebagai kakak Ara dan seorang CEO muda, berhasil membuatku klimaks hanya dengan tangannya. Apa aku begitu kesepian selama ini hingga sentuhan Sebastian mempengaruhiku sebegitu besarnya?Padahal, dengan mantan terakhirku, aku tidak pernah terpuaskan semudah itu. Kami berhubungan badan, dan aku mengerang dengan kepalsuan yang menyedihkan. Aku bisa menjadi aktris Hollywood dari seberapa hebat aku memalsukan klimaksku.Aku seharusnya tidak semudah itu di depan Sebastian, tapi

  • PLEASE, MR. WINTER   8. SEBASTIAN

    Aku tidak berbohong ketika aku mengatakan Rana telah mengubahku menjadi binatang. Binatang buas yang haus dan lapar akan dirinya.Aku sudah berciuman dengan banyak wanita, tidur dengan beberapa, dan tentunya, aku bukan baru dalam hal bercinta. Aku seharusnya lebih terkendali dan dewasa. Namun, malam ini, bersama Rana dan menciumnya, aku seperti kehilangan kendali diri.Keserakahan memenuhiku, nafsuku menggebu-gebu aku pikir akan meledak saat itu.Aku pikir aku akan menakuti Rana dengan betapa lapar aku memangsanya, tapi sepertinya ia sangat menikmati bagaimana caraku mendominasinya.Ia seperti mencair di dalam dekapanku, leher dan wajahnya merah bersemu. Bibirnya bengkak dan merah akibat ciumanku. Peluh menyeruak samar dari pori-pori kulitnya, membuat ia terlihat mengkilap dan berlumur dosa."Sebastian..." ucapnya lagi, jari-jemari lentiknya bertumpu di lenganku, menahanku dari menyentuh pusat tubuhnya yang sudah basah.Aku tak m

  • PLEASE, MR. WINTER   7. RANA

    Setelah kencan butaku yang gagal, Sebastian dengan baik hati menawarkan diri untuk mengantarku pulang.Katanya, bisnisnya di area itu telah selesai. Meski aku merasa agak sungkan merepotkannya, atau lebih tepatnya, sungkan berduaan dengannya, dia serius ingin mengantarku pulang. Tatapannya yang jatuh kepadaku seperti tatapan raja kepada bawahannya. Mutlak tak tertolak. Aku tidak memiliki keberanian untuk membantahnya.Aku berujung duduk di belakang mobil Sebastian dan duduk berdampingan dengan pria itu sementara supirnya—pria yang kukenali bernama Andre—menyetir mobilnya membelah jalan raya Newyork yang sangat macet pada Sabtu malam itu."Apa kau memiliki rencana untuk menolak perjodohan nenekmu?" Sebastian kembali menanyakan situasi mengenai perjodohanku yang akan terjadi tahun depan."Umm, aku belum memikirkannya." Bohong, aku sudah memikirkan solusinya, tapi aku masih belum yakin solusi itu layak dicoba atau efektif. Tidak ketika lawanku adalah Farida Tiwari. Sekali delikan, wanita

  • PLEASE, MR. WINTER   6. SEBASTIAN

    Kencan buta Rana berakhir seperti yang kuharapkan—berantakan.Kepuasan merayap di benakku ketika sosok Rayan Bhatt berlalu meninggalkan meja yang tadi dihuninya dan Rana.Satu jam yang lalu, aku berencana menghabiskan sabtu malamku dengan beristirahat di rumah. Aku sudah menolak ajakan Alistair untuk pergi ke Hesperides, aku menolak ajakan bermain tenis dari Theo. Aku menolak atau bahkan mengabaikan banyak ajakan keluar dari rekan dan kenalanku.Aku sudah menyusun rencana bersantaiku malam ini. Aku akan membaca tiga buah buku yang sudah kucampakkan untuk beberapa minggu dan menikmati sebotol scotch untuk diriku sendiri. Santai dan sunyi, situasi yang paling pas bagiku.Aku tidak akan mengira kalau diriku akan berada di sini, di sebuah restoran biasa yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya, menggagalkan kencan buta seseorang yang seharusnya tidak berarti apa-apa bagiku. Rana Ferreira seharusnya tidak memiliki dampak sebesar ini pada diriku, tapi di sinilah aku sekarang, di tempat ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status