LOGINSetelah kencan butaku yang gagal, Sebastian dengan baik hati menawarkan diri untuk mengantarku pulang.
Katanya, bisnisnya di area itu telah selesai. Meski aku merasa agak sungkan merepotkannya, atau lebih tepatnya, sungkan berduaan dengannya, dia serius ingin mengantarku pulang. Tatapannya yang jatuh kepadaku seperti tatapan raja kepada bawahannya. Mutlak tak tertolak. Aku tidak memiliki keberanian untuk membantahnya. Aku berujung duduk di belakang mobil Sebastian dan duduk berdampingan dengan pria itu sementara supirnya—pria yang kukenali bernama Andre—menyetir mobilnya membelah jalan raya Newyork yang sangat macet pada Sabtu malam itu. "Apa kau memiliki rencana untuk menolak perjodohan nenekmu?" Sebastian kembali menanyakan situasi mengenai perjodohanku yang akan terjadi tahun depan. "Umm, aku belum memikirkannya." Bohong, aku sudah memikirkan solusinya, tapi aku masih belum yakin solusi itu layak dicoba atau efektif. Tidak ketika lawanku adalah Farida Tiwari. Sekali delikan, wanita dengan eyeliner tebal itu bisa membuat tatapanku terpaku ke lantai sepenuhnya. Solusi yang kupikirkan adalah : A. Berbicara baik-baik dengan nenekku dan menjelaskan kalau aku tidak mau menikah. B. Mengikuti rencana Arabella dan menemukan pasangan palsu. C. Bunuh diri. Oke, aku tidak seputus-asa itu untuk mengambil jalan C. Namun, aku juga tidak segila itu untuk memilih B dan melibatkan orang asing dalam masalahku. A adalah pilihan yang paling rasional, tapi Farida Tiwari adalah wanita yang berdiri di luar kata rasional. Jika nenekku rasional, dia tidak akan menjodohkanku! "Apa yang akan terjadi kalau kau membantah nenekmu?" Suara Sebastian menarikku dari lamunanku. "Ummm, dia akan marah besar. Dia akan berhenti mencintaiku." Aku mungkin tidak akan diperbolehkan kembali lagi ke Miami, atau dalam bahasa lebih frontal, aku dibuang dari kartu keluarga. Aku tidak mau itu. "Berhenti dicintai adalah kata yang lucu," ujar Sebastian, matanya mengerling jenaka padaku. "Apa maksudnya?" Aku merasa ada kesinisan dalam ucapannya, tapi ia hanya menggeleng dan kembali mengutak-atik ponselnya. Aku penasaran dengan isi kepala Sebastian. Di satu-waktu, ia mampu membuatku tenggelam dalam kecanggungan, segan, dan terintimidasi akan keberadaannya, tapi di satu waktu yang berbeda, ia membuatku penasaran padanya, nyaman padanya, dan aku merasa, sedikitnya, bisa bercanda dengannya. Seakan-akan kami bisa berteman. Mungkin. Padahal kami bukan teman, dan mengingat kesalahan yang sudah tercipta di antara kami di malam terbodohku itu, aku seharusnya menghindari Sebastian. Ugh! Mengingat kejadian malam itu, sensasi panas kembali menyebar di tubuhku, membuat tengkukku merinding. Bagaimana bisa aku bercengkerama normal dengan pria yang pada minggu lalu, telah membuatku mencair di tangannya? Aku pikir setelah pagi itu, ketika aku memintanya melupakan segalanya, kami tidak akan memiliki ruang untuk berinteraksi lagi. Namun, malam ini kami malah berciuman. Keparat, aku berciuman dengan Sebastian! "Gaunmu cantik," ujar Sebastian, membuyarkan isi kepalaku. Aku menatap penampilanku sendiri dan tersenyum kaku. "Terima kasih. Aku meminjam gaun ini dari Ara." "Aku tahu," sahutnya. "Aku yang menghadiahkan gaun itu untuknya." "A-ah..." Well, ini memalukan. "Aku menghadiahkannya gaun itu pada Ara natal lalu, tapi karena ukurannya tidak pas, Ara tidak pernah memakainya." Aku mengangguk-angguk, tidak tahu harus mengatakan apa. Kecanggunganku terhadap Sebastian kembali mendominasi, terima kasih kepada ingatanku tentang malam itu yang terbit kembali ke permukaan. Aku menoleh ke arahnya, dan kegugupanku bertambah ketika mataku bertemu dengan matanya. Ia memandangku secara terbuka—dingin, tajam, dan berbahaya—dan aku sesegera mungkin mengalihkan pandanganku kepada apa pun selain wajahnya. Apa pun selain mata hijaunya. Aku berpura-pura bodoh dan apatis pada kenyataan kalau saat itu, di dalam mobil yang udaranya terasa dingin dan menyesakkan, tatapan Sebastian membakarku. Sebastian tengah menganalisa penampilanku seperti seekor singa yang sedang memantau mangsanya. Ia tidak malu-malu saat memindaiku dengan tatapan tajam bercampur nafsu itu. Tangannya tidak menyentuhku, tapi aku merasakan tatapan matanya telah menjamahku dari ujung kaki hingga kepala. Sebelumnya, aku adalah wanita yang tidak pernah menyukai cara pria memandangku seperti benda, tapi di hadapan Sebastian, aku tidak merasa seperti makhluk rendahan melainkan sebongkah berlian. Antisipasi memenuhiku seperti peserta yang menantikan penilaian juri. Seluruh sarafku menegang dan jantungku berdebar tak karuan. Apa yang Sebastian pikirkan saat menatapku? Apakah dia terkesan, atau dia memandangku terlalu vulgar dan rendahan? Apakah dia menyukai penampilanku? Tidak suka? Badai pertanyaan dan kegugupan mengotori benakku. Aku tidak mabuk malam itu, tapi dari cara otakku berhenti berfungsi, aku sudah seperti orang yang meneguk berliter-liter whiskey. "Dengan penampilanmu, kau seharusnya bisa memilih priamu sendiri, Sugar." Entah bagaimana, ia yang mengganti namaku menjadi Sugar membuat sensasi asing menyengat tubuhku, menjalar dari dada menuju celah di antara kakiku. Kendati panggilan itu terkesan manis dan jenaka, aku merasakan percikan bahaya di dalamnya. Aku merasa seperti kembali pada situasi di malam itu, ketika aku tersudutkan di dinding dengan Sebastian memenjaraku. Aku merasa panas. Basah dan panas. "Ada apa dengan penampilanku?" tanyaku sambil menggigit bibir. Aku menoleh kepadanya dengan takut-takut. Aku takut dia akan membaca isi kepalaku kalau mata kami bertemu. Aku takut ia memahami panas yang menggelora di dadaku, basah di celahku, dan riuh debaran jantungku. Lalu, mata kami bertemu sekali lagi. Ketenangan bertemu kegugupan. Ia membacaku sebagaimana aku membacanya. Gairah memercik lewat tatapan kami yang bersua, panas membara. Tangannya bergerak naik menangkup rahangku. Ibu jari bermain lembut mengusap pipiku, hidungku, dan bergerak lama menggoda di bibirku. "Kau menawan, Sugar." Aku menawan? Menurutnya aku menawan? Aku? "Menurutmu begitu?" Napasku menderu. Akal sehat seakan berkemas untuk meninggalkan benakku. Aku merasakan ibu jarinya menyelip di bibirku, membelah bibirku hingga terbuka. Tanpa memutuskan kontak mata, ia merapatkan wajahnya pada wajahku. Hangat napasnya menyapu kulitku. Bibirnya menyapa bibirku. Dalam sepersekian detik yang terasa lama, aku menyambut ciuman Sebastian dan memejamkan mata. Bibirnya yang melahap bibirku sangat menggambarkan karakternya, sangat dominan dan tak terelakkan. Lidahnya tenggelam di mulutku, membawa lidahku menari dalam tarian buas yang tak bisa kutandingi. Bibirnya menghisap dan menggigit bibirku, menggelapkan akal sehatku. Sementara bibirnya mendominasi bibirku, melahapku dengan candu, sebelah tangan Sebastian merengkuh punggungku. Sebastian menarikku rapat di tubuhnya. Tangannya yang lain menangkup rahangku--mengusap pipiku sebelum turun dengan halus menuju leher dan tengkukku. Ia menekanku padanya, sementara ciuman kami semakin dalam dan basah, semakin buas dan dipenuhi oleh gairah. Kami seharusnya tidak melakukan ini. Aku seharusnya meminta Sebastian untuk berhenti. Tapi sialan, ciuman Sebastian begitu memabukkan. Saat mata kami bersua, aku seperti tersihir olehnya. Sihir yang membuatku tidak bisa menolaknya. Aku tidak ingin menolaknya. Logika yang kubangga-banggakan sebagai kelebihanku, tembok yang menjagaku dari melakukan kesalahan, telah diruntuhkan Sebastian. Ia mengubahku menjadi wanita yang tak berdaya di bawah pagutannya, seluruh tubuhku terbakar oleh api tak kasat mata. Aku bahkan tidak menyadari kalau mobil kami telah berhenti, dan Andre telah meninggalkan kami. Aku baru menyadari hal itu ketika ciuman kami terlepas dan bibir Sebastian berpindah ke leherku. Mengendusku dan meraup kulitku dalam lumatan panas yang membuatku mengerangkan namanya. Di luar jendela, samar-samar aku melihat ada tembok gelap mengapit kami. Yang berarti, Andre telah meninggalkan kami di sebuah gang sempit untuk melakukan apa pun ini. Sheesh, apa yang kami lakukan? "Sebastian.." desisku, ketika giginya menancap di leherku. "Kau menggigitku." Ia mendongak dan menatapku, dan kilau jenaka bercampur nafsu mengisi matanya. "Aku menandaimu sebagai milikku, Sugar." "Apa kau binatang?" Hanya binatang yang perlu menandai wilayah mereka. Sebastian menyeringai dan menarikku ke pangkuannya. Telapak tangannya yang panas dan kasar berlabuh di pangkal pahaku, mengusap naik menuju celah basah yang berdenyut kuat saat ia menyentuhnya. "Kau yang menjadikanku binatang, Sugar." ***"Kita akan bicara nanti," kata Sebastian padaku, setelah membantuku memakai kembali piamaku.Ekspresi yang terlukis di wajah pria itu adalah kemenangan dan kelicikan. Ia nampak begitu puas telah membuatku klimaks untuk ketiga kalinya. Sungguhan, pria itu gila, dan aku, aku lebih gila darinya.Bagaimana bisa aku membiarkan Sebastian Winter menyentuhku lagi, membuatku klimaks, setelah aku memintanya untuk melupakan segalanya? Kemana perginya harga diriku ketika alih-alih meninju wajahnya atau menendang selangkangannya, aku malah mengerangkan namanya?Mengapa aku begitu mudah?Setiap berada di hadapan Sebastian, aku sepertinya kehilangan kontrol diriku. Pria itu seperti menyihirku, mengendalikanku. Ia merenggut akal sehat dari kepalaku, dan membuatku luluh sepenuhnya dalam sentuhannya."Ki-kita akan bicara nanti," sahutku, tidak bisa menahan diri tergagap. Aku bahkan tergagap di depannya. Memalukan. "Bicara yang benar-benar bicara
Sesuatu terjadi pada Rana, entah apa. Beberapa hari ini, ketika ia berkunjung ke mansion kami untuk menghabiskan waktu dengan Ara, aku kerap merasakan tatapannya jatuh kepadaku. Seakan-akan ia mengintaiku.Ketika aku membalas tatapannya, ia akan membuang muka dan berpura-pura tidak memperhatikanku. Yang tidak Rana ketahui adalah, dia buruk dalam berpura-pura. Dia juga buruk dalam pengintaian. Dia begitu kentara, aku bisa merasakan tatapannya mengebor tengkukku. Bahkan saat ini—saat aku mengambil air mineral dari lemari dingin, aku bisa merasakan matanya tertuju padaku.Aku baru menyelesaikan lari pagiku, dan di meja makan, Dahlia, Ara, dan Rana duduk bersantai menikmati jus jeruk dan beberapa menu sarapan.Menilai dari penampilan Ara, Dahlia, dan Rana yang masih mengenakan piama, mereka pasti menginap di sini tadi malam."Sebastian, ayo sarapan bersama kami," ajak Ara.Aku menghampiri meja makan dan menempa
Situasiku dengan Sebastian, 'kesalahan kedua' kami menyebutnya, tinggal di benakku hingga fajar tiba.Sulit bagiku untuk memejamkan mata ketika yang kuingat dan kurasakan adalah Sebastian. Napas pria itu yang berembus di depan wajahku, sentuhan jemarinya yang menyusuri tulang belakangku, sapuan lidahnya di kulitku, segala hal tentang pria itu bergentayangan di benakku.Seringainya. Mata hijaunya. Suaranya. Sentuhannya.Aku memikirkan bagaimana seorang Sebastian, pria yang selama ini kupandang tak kurang dan tak lebih sebagai kakak Ara dan seorang CEO muda, berhasil membuatku klimaks hanya dengan tangannya. Apa aku begitu kesepian selama ini hingga sentuhan Sebastian mempengaruhiku sebegitu besarnya?Padahal, dengan mantan terakhirku, aku tidak pernah terpuaskan semudah itu. Kami berhubungan badan, dan aku mengerang dengan kepalsuan yang menyedihkan. Aku bisa menjadi aktris Hollywood dari seberapa hebat aku memalsukan klimaksku.Aku seharusnya tidak semudah itu di depan Sebastian, tapi
Aku tidak berbohong ketika aku mengatakan Rana telah mengubahku menjadi binatang. Binatang buas yang haus dan lapar akan dirinya.Aku sudah berciuman dengan banyak wanita, tidur dengan beberapa, dan tentunya, aku bukan baru dalam hal bercinta. Aku seharusnya lebih terkendali dan dewasa. Namun, malam ini, bersama Rana dan menciumnya, aku seperti kehilangan kendali diri.Keserakahan memenuhiku, nafsuku menggebu-gebu aku pikir akan meledak saat itu.Aku pikir aku akan menakuti Rana dengan betapa lapar aku memangsanya, tapi sepertinya ia sangat menikmati bagaimana caraku mendominasinya.Ia seperti mencair di dalam dekapanku, leher dan wajahnya merah bersemu. Bibirnya bengkak dan merah akibat ciumanku. Peluh menyeruak samar dari pori-pori kulitnya, membuat ia terlihat mengkilap dan berlumur dosa."Sebastian..." ucapnya lagi, jari-jemari lentiknya bertumpu di lenganku, menahanku dari menyentuh pusat tubuhnya yang sudah basah.Aku tak m
Setelah kencan butaku yang gagal, Sebastian dengan baik hati menawarkan diri untuk mengantarku pulang.Katanya, bisnisnya di area itu telah selesai. Meski aku merasa agak sungkan merepotkannya, atau lebih tepatnya, sungkan berduaan dengannya, dia serius ingin mengantarku pulang. Tatapannya yang jatuh kepadaku seperti tatapan raja kepada bawahannya. Mutlak tak tertolak. Aku tidak memiliki keberanian untuk membantahnya.Aku berujung duduk di belakang mobil Sebastian dan duduk berdampingan dengan pria itu sementara supirnya—pria yang kukenali bernama Andre—menyetir mobilnya membelah jalan raya Newyork yang sangat macet pada Sabtu malam itu."Apa kau memiliki rencana untuk menolak perjodohan nenekmu?" Sebastian kembali menanyakan situasi mengenai perjodohanku yang akan terjadi tahun depan."Umm, aku belum memikirkannya." Bohong, aku sudah memikirkan solusinya, tapi aku masih belum yakin solusi itu layak dicoba atau efektif. Tidak ketika lawanku adalah Farida Tiwari. Sekali delikan, wanita
Kencan buta Rana berakhir seperti yang kuharapkan—berantakan.Kepuasan merayap di benakku ketika sosok Rayan Bhatt berlalu meninggalkan meja yang tadi dihuninya dan Rana.Satu jam yang lalu, aku berencana menghabiskan sabtu malamku dengan beristirahat di rumah. Aku sudah menolak ajakan Alistair untuk pergi ke Hesperides, aku menolak ajakan bermain tenis dari Theo. Aku menolak atau bahkan mengabaikan banyak ajakan keluar dari rekan dan kenalanku.Aku sudah menyusun rencana bersantaiku malam ini. Aku akan membaca tiga buah buku yang sudah kucampakkan untuk beberapa minggu dan menikmati sebotol scotch untuk diriku sendiri. Santai dan sunyi, situasi yang paling pas bagiku.Aku tidak akan mengira kalau diriku akan berada di sini, di sebuah restoran biasa yang tidak pernah kukunjungi sebelumnya, menggagalkan kencan buta seseorang yang seharusnya tidak berarti apa-apa bagiku. Rana Ferreira seharusnya tidak memiliki dampak sebesar ini pada diriku, tapi di sinilah aku sekarang, di tempat ber







