Share

4. SEBASTIAN

Penulis: AYAS
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-06 21:21:50

Tubuh wanita itu menegang ketika aku menegurnya.

Di tengah malam, mengenakan piama satin merah yang kontras di kulit putihnya, aku melihatnya melenggang dari arah kamar Ara. Ia hendak menuju dapur ketika aku membuyarkan apa pun itu yang sedang ia pikirkan sampai ia tidak menyadari kehadiranku.

Dia hanya berjalan melewatiku, seakan-akan aku hanyalah pajangan batu yang tidak menarik perhatiannya.

"Sebastian," gumamnya dengan keterkejutan, ia menoleh ke arahku dengan mata membola. "Kau pulang?"

"Kelihatannya?" sahutku.

Aku melenggang santai menghampirinya, menikmati setiap gerak-gerik kecanggungan yang tercipta di tubuhnya. Bagaimana sepasang matanya berbinar waspada, jari-jarinya saling bertaut di bawah dada, dan bagaimana ia mundur seinci demi seinci dariku.

"Se-selamat datang kalau begitu, selamat malam, maksudku. Aku dan Dahlia menginap malam ini. Permintaan Ara..."

"Hmm." Aku menunggu lanjutan ucapan Rana dengan alis terangkat sebelah.

Di bawah tatapanku, ia meneguk ludah kaku. Jelas sekali bagiku, Rana belum melupakan interaksi kami malam itu. Dia mungkin memintaku untuk melupakan kejadian itu, tapi dia sendiri masih mengingatnya.

Sama sepertiku, dia masih mengingat segalanya.

Aku tidak pernah memperhatikan Rana Ferreira dengan mendetail sebelumnya, tapi malam ini, di tengah kesunyian yang melingkupi kami, aku menjadi menyadari segala hal tentangnya. Bahwa, meski berdarah India, genetik ayahnya yang seorang Portugis, tercetak kental pada fisiknya.

Di bawah pencahayaan hangat lampu malam itu, wajahnya terbingkai indah oleh rambut cokelat gelap yang tebal dan ikal. Beberapa helai poni menjuntai berantakan di dahinya, menyentuh alisnya. Di bawah alis itu juga, sepasang iris cokelat madu membalas tatapanku dengan waspada.

Seakan-akan aku akan menerkamnya di sana.

Mungkin aku ingin menerkamnya di sana.

Mengingat betapa indah wajahnya, dan betapa semakin dekat aku kepadanya, semakin jelas aku mengingat bagaimana bibir merah muda itu memanggil namaku. Mengerang dengan nafsu menggebu.

Aku ingin menghapus kecerdasan di matanya, menyingkirkan kewarasannya, dan membuat ia melupakan namanya. Aku ingin melihatnya kembali pada situasi ketika satu-satunya yang ada di pikirannya adalah diriku.

"Sekarang sudah tengah malam," ucapku kembali. Aku menghentikan langkahku ketika jarak tubuhku dan Rana tersisa selangkah.

Aku bisa menggapainya dengan ujung jariku, menepikan rambutnya, atau bahkan mencuri ciuman dari bibirnya. Namun, aku tidak melakukannya. Aku tidak cukup gila untuk bergerak mengikuti gairahku semata.

Memenjarakan nafsu dan gelombang panas yang menghantam tubuhku, aku berusaha sebaik mungkin menampilkan ketenanganku di depannya. Seakan-akan aku tidak menginginkannya, tidak ingin meletakkannya di meja makan dan mencecap setiap inci tubuhnya seperti pria kelaparan.

Aku menatapnya seakan-akan ia tidak berarti apa-apa.

"Kenapa kau belum tidur?" Tanyaku.

"Dahlia memintaku mengambil ice cream-nya," sahut Rana, ia menggigit bibirnya kemudian. Aku ingin menggigit bibirnya.

"Ice cream tengah malam?"

"Ya."

Sebenarnya aku tidak begitu heran. Jika Rana adalah gambaran wanita rasional dan cerdas di lingkar pertemanan Ara, maka Dahlia adalah wujud dari keabsurdan. Memikirkan kalau wanita itu adalah vocalist dari band bawah tanah yang bergenre emo saja sudah sangat aneh, aku tidak akan heran kalau ia akan menyantap ice cream-nya tengah malam.

Aku tidak peduli pada keanehan Dahlia, tapi demi menahan Rana lebih lama di hadapanku, aku mengulur waktu untuk mempertanyakannya dan kewarasan temannya.

Aku ingin mendengarnya bicara lebih lama, aku ingin melihatnya melihatku lebih lama, aku ingin dirinya untukku, dan aku sendiri tidak tahu mengapa aku begitu terpikat padanya.

Permintaannya untuk melupakan kejadian malam itu adalah hal paling normal untuk dilakukan. Paling tepat.

Namun kejadian malam itu tidak normal, tidak tepat, tidak mungkin aku lupakan.

Dahaga baru melingkupiku, dan aku percaya, sebelum aku memenuhi dahaga ini dengan Rana, aku tidak akan bisa kembali seperti semula. Aku tidak akan bisa memenuhi keinginannya dan keinginanku untuk melupakan kejadian malam itu.

***

Perbincanganku dengan Rana di dapur tengah malam itu tidak berakhir memuaskan bagiku. Meski aku ingin menahan Rana lebih lama di depanku, Ara dan Dahlia datang untuk merebutnya dariku. Mereka terkejut melihat kehadiranku, tapi keterkejutan itu tak bertahan lama, mereka langsung fokus ke Rana dan mengajak wanita itu kembali ke kamar.

Rana pergi dengan napas lega, sementara aku tinggal sendirian dengan kedongkolan.

Sialan, ada apa dengan diriku?

Mengapa aku begitu terpaku pada sahabat adikku ketika pada realita, aku mampu memiliki wanita mana saja yang kuinginkan?

Rana bahkan tidak begitu..., oke, dia sangat menawan. Dia cantik, cerdas, dan dewasa. Ia memiliki suara yang merdu di telinga, tatapan lembutnya memancarkan kebaikan dan keramahan, dan ia sangat menggugah gairahku.

Tiba-tiba saja, segala fantasi kotorku berkaitan dengannya. Pikiranku menjadi dipenuhi olehnya.

"Banyak hal mengerikan sudah terjadi padaku, tapi sepertinya situasi Sebastian lebih serius," ucapan Theo menarik perhatianku.

Malam itu, demi tidak sendirian memikirkan Rana dan CD-nya yang masih bertengger di meja lampuku, aku pergi ke Hesperides—sebuah klub elite dan eksklusif di tengah kota Newyork. Sarangnya kaum elite dan konglomerat untuk sekedar berpesta, bersosialisasi, atau melakukan transaksi rahasia.

Aku adalah anggota club itu, disertai Theodore Vance dan Alistair Delamare yang sekarang menemaniku duduk di sebuah meja di lantai dua.

Kami menikmati beberapa gelas cocktail. Theo menceritakan tentang perjalanannya di Italia pekan lalu, ketika ia terlibat baku tembak dengan sekelompok grup yang menyerang pertemuannya dengan klien. Theo bercerita dengan sikap santai, meski telinga diperban karena terserempet peluru.

"Sesuatu sudah pasti terjadi," tambah Alistair, ia melirikku dengan seringai lebar.

"Aku tidak mendengar ada kejadian spektakuler terjadi pada Winter Group belakangan ini, jadi pasti bukan pekerjaan yang mengganggumu, melainkan hal personal." Jiwa putera jaksa di dalam diri Alistair ia gunakan untuk menganalisaku, membuatku mendecak kesal.

"Tidak ada yang terjadi," sangkalku.

"Tidak ada yang terjadi, tapi kau terlihat seperti akan bangkrut besok."

"Sebentar, sebentar," sela Theo, sangat begitu terpikat pada topik mengenai diriku. "Mungkin, dengarkan aku, mungkin..., karena tidak ada yang terjadi, makanya kau seperti ini."

"Seperti apa, sialan? Jangan menuduhku macam-macam."

"Aku tidak menuduhmu, kau memang terlihat seperti ini sejak tadi," Theo menunjukkan ekspresi serius di wajahnya sebelum kembali memandangku dengan jenaka. "Pikiranmu tidak ada di sini, yang mana itu berarti, kau sedang memikirkan hal lain. Sesuatu, mungkin?"

"Atau seseorang," imbuh Alistair.

Aku tidak menjawab tebakan mereka, tapi Alistair dan Theo menarik kesimpulan kalau yang mengganggu pikiranku adalah seseorang. Mereka semakin tertawa riuh atas tebakan mereka sendiri.

"Seorang Sebastian Winter memikirkan seseorang. Stress karena seseorang. Luar biasa. Aku ingin bertemu orang ini dan menjabat tangannya. Dia membuatmu terlihat seperti manusia."

"Aku memang manusia."

"Kau, temanku, adalah vampire." Theo menepuk punggungku. "Jadi siapa bajingan beruntung itu? Apa yang sudah dia lakukan sampai kau memikirkannya?"

"Aku tebak itu perempuan," tambah Alistair lagi, seringainya semakin licik saat aku mendelik menatapnya.

"Woaaaah, a woman." Theo sampai terperangah. "Ini sangat spektakuler. Kau tertarik pada perempuan!"

"Tentu saja aku tertarik pada perempuan, bodoh."

"Ya, tapi ini adalah tertarik tertarik. Kau tahu maksudku. Ini langka. Kau tidak pernah memikirkan perempuan sebelumnya. Jadi, apa ini? Haruskah kami mempersiapkan bachelor party untukmu?"

"Keparat, aku tidak akan menikah." Mana mungkin aku akan menikahi Rana. Wanita itu mungkin memikatku lewat fisiknya, tapi itu saja. Pernikahan tidak akan pernah terjadi. Selain karena aku belum ingin menikah, Rana juga bukan tipe wanita yang pantas bersanding denganku.

Rana Ferreira berada di kelas sosial yang jauh di bawahku, dan aku tidak merasa seperti pangeran dalam dongeng Cinderella.

"Baiklah, akan kuluruskan pada kalian, aku memang memikirkan perempuan, tapi itu tidak seserius yang kalian pikirkan."

"Kalau tidak serius, mengapa kau begitu serius?"

"Situasinya rumit."

"Rumit?" Alistair meninggikan alisnya.

Aku menarik napas. "Dia adalah teman Ara."

"Ohh..." Alistair mengulum bibir, menahan umpatan. "Kau bermain terlalu jauh, Man."

"Aku tidak melihat ada masalah di situ," kata Theo.

Di antara kami bertiga, Theo adalah pria yang tidak bermoral. Ia tidak memiliki permasalahan apa pun selama keinginannya terpenuhi. Kotor atau bersih tidak ada dalam kamusnya. Yang ia pikirkan hanya dirinya.

Aku lebih menyukai sikap Theo daripada Alistair yang memikirkan segalanya berdasarkan salah dan benar.

Biasanya, aku menyukai sikap Theo, tapi malam ini, aku tidak tahu. Aku merasa saran Theo begitu berbahaya.

Dia akan menjerumuskanku pada sesuatu yang berbahaya.

"Seperti yang kau bilang, ini tidak serius. Jadi, untuk apa kau memperlakukannya seperti sesuatu yang besar. Jika kau menginginkannya, kau bisa memilikinya. Kau seorang Winter, kau bisa memiliki apa pun yang kau inginkan."

"..."

"Kau juga bisa mencampakkannya kalau kau sudah selesai."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PLEASE, MR. WINTER   5. RANA

    Mengikuti perintah nenekku yang menginginkan aku menghadiri kencan buta Sabtu malam itu, aku terpaksa menutup The Garnets lebih awal. Aku sudah memberitahu Tasa mengenai izinku, tapi ia tidak merespon.Tidak adanya respon dari Tasa berarti dia tidak peduli, yang juga berarti, aku bebas pergi.Tasa pernah mengatakan padaku, kalau aku ingin pulang lebih awal, atau jika aku punya kesibukan macam apa pun, aku bebas menutup tokonya. Dia bahkan pernah memintaku menutup toko di hari valentine karena dia tidak mau aku kewalahan mengurus bunga-bunganya.Benar-benar bos yang aneh, tapi aku menyukainya. Aku menyukai upah dan fleksibilitas yang ia berikan padaku."Setidaknya, nenekmu mempunyai selera," merupakan pendapat Dahlia saat aku melakukan facetime dengannya dan Ara. Dahlia mengomentari foto Rayan Bhatt yang tertera di IG pria itu.Aku sedang mempersiapkan diri untuk kencanku, memakai make-up dan semacamnya. Aku bahkan meminjam dress Ara, karena aku tidak mau terlihat jelek di depan kencan

  • PLEASE, MR. WINTER   4. SEBASTIAN

    Tubuh wanita itu menegang ketika aku menegurnya. Di tengah malam, mengenakan piama satin merah yang kontras di kulit putihnya, aku melihatnya melenggang dari arah kamar Ara. Ia hendak menuju dapur ketika aku membuyarkan apa pun itu yang sedang ia pikirkan sampai ia tidak menyadari kehadiranku.Dia hanya berjalan melewatiku, seakan-akan aku hanyalah pajangan batu yang tidak menarik perhatiannya. "Sebastian," gumamnya dengan keterkejutan, ia menoleh ke arahku dengan mata membola. "Kau pulang?" "Kelihatannya?" sahutku.Aku melenggang santai menghampirinya, menikmati setiap gerak-gerik kecanggungan yang tercipta di tubuhnya. Bagaimana sepasang matanya berbinar waspada, jari-jarinya saling bertaut di bawah dada, dan bagaimana ia mundur seinci demi seinci dariku. "Se-selamat datang kalau begitu, selamat malam, maksudku. Aku dan Dahlia menginap malam ini. Permintaan Ara..." "Hmm." Aku menunggu lanjutan ucapan Rana dengan alis terangkat sebelah. Di bawah tatapanku, ia meneguk ludah kak

  • PLEASE, MR. WINTER   3. RANA

    Entah sudah berapa kali ketenanganku retak hari ini. Ketika aku berpikir aku telah menemukan ketenanganku—telah move on dari kejadian malam itu, memori dari momen panas itu datang menghampiriku. Membuat ketenanganku tergoyahkan dan aku memekik histeris sendirian.Lupakan, Rana, lupakan. Itu hanya permainan biasa. Aku pernah melakukan hal yang lebih dari itu dengan mantanku dulu. Dulu, beberapa tahun lalu.Tapi kejadian ini baru, masih sangat segar di kepalaku. Aku tidak bisa lupa. Bagaimana bisa aku melupakannya? Seumur hidupku, aku tidak pernah melakukan hal segila itu. Maksudku, aku tidak pernah menghampiri sembarang pria dan memintanya menjamahku hingga aku klimaks di tangannya.Aku selalu percaya di antara aku, Ara, dan Dahlia, akulah yang lebih dewasa secara pemikiran, lebih logis dan dapat diandalkan. Aku tidak pernah, maksudku jarang, melakukan kesalahan. Ketika aku melakukan kesalahan pun, kesalahanku itu terbilang kecil dan sepele.Sekali lagi, aku tidak—aku bukan tipe

  • PLEASE, MR. WINTER   2. SEBASTIAN

    Rana Ferreira adalah namanya, wanita yang kini berdiri kikuk di sebelah Arabella. Tatapannya memantul ke mana-mana, selain menatapku. Ia menghindari menatapku.Kecanggungan terlihat jelas dari bahasa tubuhnya yang awkward dan kaku. Seakan-akan ia ingin melarikan diri secepat mungkin dari hadapanku. Betapa lucu. Padahal semalam ialah yang menghampiriku. Dirinya dan kegilaannya bergelayut di leherku, menarik atensiku, dan memaksaku untuk menciumnya.Dia adalah iblis penggoda yang membuatku hampir lepas kendali dan melakukan hal gila yang aku yakini, pasti akan kusesali. "Kopi," tawarku pada Ara dan Rana. Kendati ingatan tentang kejadian semalam mengisi kepalaku, membuat darahku berdesir panas, aku menyikapi kehadiran adikku dan Rana dengan tenang—kasual seperti biasa. "Tidak, terima kasih." Ara menjawabku dengan cengiran manis dan lugunya.Nampaknya, Ara masih gembira atas perayaan ulang tahunnya kemarin yang berjalan spektakuler, ia tidak mencium kejanggalan dari kebisuan sahabatny

  • PLEASE, MR. WINTER   1. RANA

    Pada malam itu, beberapa gelas anggur merah telah mengalir melewati kerongkonganku. Kenikmatannya menyengat lidahku—terasa lembut dan kaya, seperti kemewahan yang tidak pernah kucecap sebelumnya.Pada hari-hari biasa, aku tidak akan pernah menenggak anggur merah dan berbagai minuman beralkohol lainnya. Namun, malam ini berbeda. Malam ini, sahabat dekatku yang bernama Arabella Winter merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga. Sebagai teman dekat yang bergembira, aku membebaskan diriku untuk mencicipi anggur merah itu di pesta Arabella. Mencicipi atau tepatnya menumpahkan cairan manis itu di mulutku.Saat itu, aku pikir tidak ada salahnya. Toh, kapan lagi aku bisa menikmati minuman itu secara gratis?Aku hanya akan menikmati beberapa teguk anggur, mengobrol santai bersama teman-temanku yang sebenarnya hanya terdiri dari Arabella dan Dahlia, berdansa di bawah lampu kristal yang menggantung indah di tengah ballroom hotel tempat pesta ulangtahun Arabella diselenggarakan, dan aku mun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status