“Lyra, selama dua jam nanti, jangan ada yang menggangu saya.”
Perempuan yang merasa namanya terpanggil, mendongak. Membenarkan letak kaca mata tebalnya dan memandang sang bos yang berdiri menjulang di depannya.
“Baik, Sir,” jawabnya menyanggupi. Memangnya apa lagi yang harus Lyra jawab selain kata iya. Sebagai asisten, Lyra hanya membantu masalah pekerjaan dan memenuhi permintaan sang atasan. Tidak ikut campur dengan masalah pribadi sang atasan apalagi hobi yang terbilang aneh.
“Semua telepon masuk, kamu handle saja. Nanti kamu laporkan setelah saya senggang.”
Tanpa perlu dijelaskan, dia sudah tahu kegiatan apa yang dilakukan bosnya di ruangannya setelah ini. Apalagi barusan seorang wanita cantik baru saja masuk. Entah wanita keberapa dalam minggu ini, setiap hari selalu berganti. Jarinya bahkan tidak mampu menghitung sangking banyaknya.
Brian, seorang eksekutif muda, dengan wajah yang rupawan dan rahangnya yang tegas. Tidak sulit baginya berganti wanita dalam hitungan jam apalagi dengan daya pikatnya yang tinggi. Hampir tiap jam dikelilingi wanita-wanita cantik yang siap melebarkan pahanya dengan suka rela. Bahkan bertekuk lutut hanya untuk menjadi teman ranjangnya semalam. Hanya sampai itu, Brian lumayan keras menjaga batasannya. Dia tidak suka terikat pada hubungan yang terlalu serius, semuanya hanya selingan untuk menyegarkan otaknya kembali.
Mungkin bila dihitung, dari 1000 wanita, hanya 1 wanita yang di luar kriterianya. Lyra, wanita yang menjadi asistennya sendiri. Wanita di bawah standar tapi memiliki otak yang sangat encer. Apalagi pekerjaannya yang selalu memuaskan membuat Brian mempertahankan wanita itu sampai lima tahun ini.
“Oh, ya. Kamu sudah siapkan kontrak dengan HK?” tanya Brian, saat baru selangkah dia berjalan. Dia baru ingat, nanti malam harus kembali meeting dengan perwakilan dari HK. Pertemuan penting dan lumayan memerlukan banyak persiapan sebelumnya. Bahkan semua karyawan bekerja lebih keras pada kesempatan ini, terutama Lyra.
Lyra mengangguk mantap, mengambil sebuah map cokelat dan tumpukan file yang sudah disusun rapi. “Semua sudah siap, Sir.”
Brian mengangguk puas. Tanpa berkata lagi, dia kembali melanjutkan langkah. Kali ini langkahnya sangat buru-buru. Ada hal mendesak yang harus dituntaskan, apalagi ini berkaitan pada pangkal pahanya yang mengembung.
Dia memang sengaja mengundang wanita ke kantornya. Ada ruangan khusus yang sering digunakannya untuk sekadar melepaskan hasrat yang kadang tidak tahu waktu. Brian pun sudah biasa melakukannya di kantor, apalagi dengan kesibukannya yang hampir memakan waktu.
Lyra hanya memandang kepergian atasannya dengan tatapan datar. Dia tidak pernah ikut campur pada apa pun yang menjadi hobi sang atasan. Pekerjaannya cukup pada berkas, bukan pada kebutuhan seksual Brian yang terlampau tinggi. Sering dia mendengar beberapa karyawan wanita bergosip di kantin atau kamar mandi. Bertanya dengan penasaran seperti apa wanita yang sedang berdekatan dengan pria itu. Lyra hanya menjawab seadanya, apalagi Brian bukan orang yang suka bermain dengan bawahannya sendiri. Pria itu selalu membawa orang luar.
Selagi menunggu kegiatan sang atasan selesai, Lyra memutuskan berselancar di mesin pencarian. Mulai mempelajari harga saham dan berita ekonomi yang setiap detiknya terus terupdate.
-oOo-
“Fuck, lebih dalam!”
“Shhh ….”
“Oh, come on, Baby!”
Brian semakin terangsang mendengar kata-kata kasar yang sejak tadi wanita itu desahkan. Dia makin melesakkan miliknya makin dalam, hampir menyentuh dinding rahim wanita di bawahnya. Peluhnya mengucur deras, napasnya memburu, semakin mengejar sesuatu yang terasa akan segera sampai.
Brian makin bergerak cepat, hampir tidak terkendali. Sampai sesuatu yang terasa akan meledak, dia segera mengeluarkan miliknya. Mengurutnya cepat sampai cairan panas itu keluar dan menyembur di atas perut wanita yang sudah tergeletak pasrah.
Raut kepuasan tercetak di wajah keduanya. Wanita yang terbaring lemah itu melihat semuanya dengan decakan puas, mengagumi milik Brian yang tak pernah mengecewakan.
“Padahal aku tidak sedang masa subur. Kenapa kamu tidak mengeluarkannya di dalam?” tanya Donna, wanita yang pada hari ini menjadi teman ranjangnya.
Donna, seorang model papan atas yang selalu mengisi laman majalah dewasa. Tanpa dijelaskan, Brian sudah dapat menebak banyak lelaki yang menikmati wanita ini. Apalagi dia bisa merasakan milik wanita itu yang tidak lagi rapat.
Mendengar pertanyaan tadi, Brian hanya mampu mengedikkan bahunya pelan. “Hanya ingin di luar,” jawab Brian sekenanya.
Brian bangkit, memungut kembali pakaiannya yang tercecer di lantai. Tanpa melihat lagi pada Donna yang masih terbaring di atas ranjang dalam keadaan telanjang bulat. Bahkan selimut tidak berfungsi sebagaimana kegunaannya. Wanita itu seakan dengan sengaja mempertontonkan kemolekan badannya yang bugil.
“Tidak mau lanjut?” tanya Donna, memandang Brian dengan lekat dan menggoda. Bisa merasakan milik Brian adalah sebuah kebanggaan baginya. Apalagi di kalangan model, lelaki itu cukup terkenal dan mendapat julukan hot man. Semua temannya berlomba mendapatkan Brian dalam genggaman, bukan hanya menjadi teman tidur. Bila bisa, menjadi pasangan hidup Brian yang jelas akan menguntungkan mereka. Kedudukan pria itu lumayan tinggi dan pasti bisa menjamin kehidupan pasangannya juga.
“Tidak. Aku masih ada rapat setelah ini.” Brian melihat arlojinya, terdengar dengusan pelan. Kali ini dia tidak terlalu bernafsu. Entah karena Donna kurang menggairahkan, atau memang karena pikirannya sedang terbebani pada meeting-nya sebentar lagi. Dua-duanya membuat birahinya tak seperti biasa.
“Kamu cepat berpakaian dan keluar!” usir Brian secara terang-terangan.
Donna mendelik, tak suka dengan sikap Brian yang tak berperasaan. “Kamu ngusir aku?” tanyanya dengan bibir yang terbuka lebar. Baru beberapa menit yang lalu sikapnya hangat, sekarang pria itu kembali menjadi dingin dan tak berperasaan.
“Aku hanya menyuruh kamu berpakaian dan keluar.”
“Sama saja!” sentak Donna kesal. Dia berdiri, menghampiri Brian yang sudah kembali rapi dengan pakaiannya.
Tanpa mempedulikan ketelanjangannya, Donna berdiri berhadapan dengan Brian. Tangannya terulur, menyentuh dada pria itu, menggambar sesuatu secara abstrak. “Aku selalu siap saat kamu sedang jenuh,” katanya, diakhir dengan kerlingan menggoda.
Brian menyingkirkan tangan Donna, mundur selangkah untuk memperbesar jarak di antara mereka. Wajahnya datar, memandang wanita itu dengan asing.
“Kita bicarakan lain waktu,” katanya asal.
Donna tersenyum miring. Dia mengangguk, akhirnya mau memakai baju sebelum disuruh dua kali. Dia tahu Brian adalah orang yang tidak suka dibantah. Apa pun yang disuruh, harus selalu dituruti. Donna tidak keberatan, selama bisa membuat pria itu menjadi miliknya.
Setelah beberapa saat basa-basi, Donna keluar dari ruangan yang menjadi tempatnya bercinta barusan. Penampilannya sudah kembali rapi, berjalan dengan dagu terangkat tinggi.
Gayanya yang angkuh menjadi ciri khas sendiri. Dia selalu merasa paling segalanya, orang-orang hanya serpihan kecil yang tidak ada harganya. Keluar dari ruangan, Donna melirik ke meja asisten, di sana Lyra masih berkutat dengan komputernya. Tampak sangat sibuk hingga tak menyadari keberadaannya.
Donna mendengus, pantas saja orang bilang asisten Brian tidak akan menjadi ancaman, penampilannya bahkan di bawah standar. Kaca mata tebal, wajah pas-pasan, dan seragam longgar seperti wanita hamil. Tidak ada yang menarik, Donna pun tidak perlu merasa tersaingi.
Lyra yang merasa diperhatikan, mendongak. Dia menatap Donna yang tak berhenti memperhatikannya. Dia tahu wanita model itu tengah menilai penampilannya, tidak sulit menebak. Lyra selalu hapal pada setiap gerak-gerik dan tatapan orang-orang padanya.
“Ekhem, ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya Lyra, menggunakan bahasa formalnya untuk menegur si model.
Donna tersenyum sinis, mengibaskan tangan seringan kapas. “Tidak ada,” katanya dan melenggang pergi begitu saja.
Sikap menyebalkan yang hanya disambut gelengan kepala oleh Lyra. Dia kembai berkutat pada pekerjaannya.
“Tidak salah banyak perusahaan yang bekerja sama dengan Anda.”Brian yang mendengar pujian tersebut tersenyum puas. Sebenarnya sudah sering sekali dia mendengar kalimat senada, tapi tetap saja hatinya tak pernah biasa.Memiliki perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang komunikasi jelas tidak segampang yang dilihat orang. Banyak kerja keras dan juga usaha, naik turun bukan hal baru bagi mereka.Brian memulai semuanya dari titik nol. Memulai dari hal kecil sampai bisa merengkuh banyak negara agar ikut bekerja sama dalam lingkarannya. Bahkan menyeleksi orang-orang yang bernaung dalam atap yang sama, bersinergi untuk mengembangkan perusahan tersebut sampai berhasil di titik ini.“Saya harap kerja sama ini bisa berjalan dengan lancar,” timpal Brian, mengalami salah satu perwakilan dari Hong Kong.Mereka sudah melalui meeting yang cukup panjang, saling memahami visi misi satu sama lain untuk mendapatkan kesamaan
Lyra meraup wajahnya yang tampak pucat. Sapuan make up tipis sudah memudar bahkan hilang, meninggalkan sisa wajahnya yang polos. Lipstik nude kesayangannya bahkan ikut menghilang. Maklum, semua produk yang digunakannya hanya make up murahan. Meski gajinya lumayan tinggi sebagai seorang asisten, Lyra tetap tidak bisa bertindak boros. Apalagi masih banyak hutang yang harus segera dilunasinya.Lyra menatap pantulan wajahnya di cermin. Menatap wajah basahnya dengan jejak air yang masih menetes.“Sialan!” rutuknya berkali-kali. Ini karena ulah atasannya. Lyra merasa meriang membayangkan kejadian Brian dengan wanitanya tadi.Ada sesuatu yang asing, mendebarkan dalam hatinya. Melihat secara langsung adegan panas tersebut membuatnya merasa panas dan basah bersamaan. Meski dia selalu menampilkan wajah datar, tetap saja Lyra tidak bisa menampik keras perasaan asing tersebut. Rasa lumrah yang muncul seiring dengan kedewasaannya. Ada r
Lyra menatap Brian dengan wajah basahnya, bibirnya bergetar. Namun, dia masih berusaha berdiri, meski kakinya terasa seperti jelly.“Pulang.” Hanya itu yang mampu diucapkannya. Dia tidak mau semakin lama di sini.Brian yang sejak tadi memandangnya, akhirnya mengangguk. Dia mengulurkan tangan, bermaksud mambantu wanita itu. Namun alih-alih menyambut uluran tersebut, Lyra malah melewati sang atasan dengan langkah tertatih. Dia memeluk dirinya sendiri. Bukan saja karena udara malam yang menusuk kulitnya, tapi bayangan kejadian tadi cukup membuat bekas ketakutan tak mau juga hilang.Sebuah mobil berhenti di depan mereka. Lyra masuk lebih dulu ke kursi depan, mendudukkan diri di sana. Dia memejamkan mata, agar tidak ada pertanyaan yang diberikan Brian.Sementara Brian masih belum berhenti dengan rasa penasarannya. Keadaan Lyra lengkap dengan tatapan kesedihan itu berhasil menarik rasa empatinya yang sempat hilang. Dia melihat sisi lain dar
Hari berikutnya, semua kembali seperti semula. Lyra dengan kesibukan yang tidak pernah selesai dan Brian masih dengan hobinya membawa wanita di sela pekerjaannya. Lyra hanya diam saja, tidak peduli dengan kegiatan pria itu sepeti sebelumnya. Selama Brian tidak menganggu pekerjaannya dengan menyuruh wanita yang datang dan mengaku memiliki anak dari pria itu. Hal biasa, yang sudah diatasi oleh pihak keamanan. Lyra menggeleng, ngeri juga dengan hobi pria itu.“Lyra, nanti malam kamu ikut saya ke London.”Lyra lekas mendongak saat mendengar suara yang sudah akrab dengan telinganya. Dia menatap Brian dengan bingung. “Maaf?”Pria itu sangat panjang umur, pikir Lyra. Baru saja dipikirkan, tahu-tahu sudah muncul di depannya, bahkan dia tidak sadar sejak kapan Brian keluar dari ruangannya.Brian yang sudah berdiri di depan meja Lyra, menatap wanita itu dengan tajam. apa sejak kejadian beberapa hari lalu, fungsi telinga wanita itu bermasalah
Brian sesekali menatap sang asisten yang duduk bersebrangan dengannya. Sejak tadi wanita itu memasang aksi bungkam seribu kata. Bahkan wajahnya kembali datar, tidak ada ekspresi apa pun. Mereka tidak terlibat dalam satu obrolan, kecuali masalah jadwal di London nanti.Brian mendengus, sampai kapan dia akan terus memperhatikan eskpresi Lyra. Hanya karena pernah melihat wanita itu bersemu dan menangis dalam satu malam, Brian selalu dibuat penasaran setelahnya. Apalagi gairahnya selalu tersulut pada wanita yang tidak akan ditidurinya.“Sorry, Sir. Apa ada yang bisa saya bantu?”Sebuah suara dari seorang pramugari cantik menyapa gendang telinganya. Brian mengalihkan perhatian, menatap penampilan pramugari tersebut dari atas ke bawah. Dia sedikit tidak asing dengan wajah wanita itu.Dia memberikan senyum miring saat melihat tatapan penuh arti dari sang pramugari. Tanpa diucapkan, dia tahu wanita itu berusaha menggodanya. Apalagi dengan dua
Lyra bangun dengan tubuhnya yang terasa segar. Rasanya ini pertama kali baginya bisa tidur nyenyak tanpa bayangan pekerjaan kantor yang menghantui setiap saat. Lyra tersenyum, menatap langit-langit kamar, tapi sesaat kemudian dahinya mengerut samar. Lyra seakan tersadar ini bukan kamarnya, terlalu besar dan bersih. Dengan gerakan cepat, Lyra merubah posisinya menjadi duduk. Dia mengucek matanya berkali-kali, memastikan tempatnya saat ini. Iya, ini bukan tempatnya.Dia berusaha menggali ingatannya yang sempat blank sehabis bangun tidur. Hingga ingatannya terakhir kali berhenti di pesawat sebelum take off.“Holly shit! Jangan bilang aku ketiduran?” Lyra menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Jika benar dirinya tertidur, jelas ada yang membantunya ke kamar ini. Dalam artian menggendongnya. Lyra makin memaki dirinya sendiri. Jika benar ada yang menggendongnya, maka siapa?Siapapun itu, dia berharap bukan Brian. Sungguh, rasanya
Lyra tak hentinya menatap pergelangan tangannya yang dipegang erat dan punggung pria yang berjalan di depannya dengan kening berkerut. Ribuan tanda tanya bersarang di otaknya. Apalagi dengan keputusan sang atasan yang dinilainya terlalu gegabah, sulit dimengerti.Pasalnya kerja sama ini bernilai besar, terlalu besar hingga sayang sekali dilewatkan. Dan seorang Brian, malah memutuskan semua sepihak dengan enteng padahal keberhasilan tinggal di depan mata. Mereka hanya tinggal tanda tangan dan semua sepakat.Lyra menggeleng, semakin tidak bisa membaca jalan pikiran pria itu. Memang, pria sangat rumit.“Apa pun pertanyaan yang berada di otak kecilmu itu, tidak akan saya jawab,” kata Brian yang sudah berhenti dan berhadapan dengan Lyra. Dia sejak tadi memperhatikan bagaimana kening Lyra yang terus berkerut dan menggangu pemandangannya.Lyra hampir memutar bola matanya, tapi ditahan sekuat tenaga. Sebagai gantinya, dia tersenyum sopan, berusaha tid
Brian memandang jam di pergelangan tangannya. Sudah dua jam dan wanita itu belum juga keluar. Padahal dirinya sendiri tidak butuh waktu lama untuk mempersiapkan diri.“Dia sedang dandan atau tenggelam?” dumelnya dengan nada kesal. Malam ini sesuai dengan tujuan kemari, mereka akan menghadiri sebuah pesta besar relasi bisnisnya. Brian memang tidak pernah melewatkan satupun undangan dari relasinya, karena saat itu dia bisa mengenal orang baru sekaligus membangun koneksi. Di beberapa kesempatan, dia juga mendapatkan teman ranjang. Namun, kali ini sepertinya hasrat untuk melakukan hal terssebut tidak ada sedikit pun.Brian berusaha bersabar, sedikit lagi. Sambil menunggu Lyra keluar, dia menyibukkan diri dengan ponselnya. Menghubungi karyawannya yang bertugas menghadle pekerjaannya selama di London. Meski tidak berada di sana, dia tidak pernah sedetik pun lepas tangan terhadap perkembangan perusahaan dan masalah sekecil apa pun.Sampai lima belas menit k