Kegelapan.Kegelapan total yang pekat, dingin, dan menyesakkan. Aku tidak bisa melihat tanganku sendiri meskipun sudah kuangkat tepat di depan wajahku. Suara langkah kaki Zarthus yang menjauh telah lenyap, meninggalkanku sendirian dalam keheningan yang begitu tebal hingga seolah bisa kuraba.Aku merosot ke lantai batu yang dingin dan lembap, memeluk lututku erat-erat. Air mata yang sejak tadi kutahan dengan susah payah akhirnya tumpah juga, mengalir tanpa suara di pipiku yang kotor. Aku menangis dalam diam. Menangisi kebodohanku, nasib sialku, dan yang paling menyakitkan, menangisi Riel dan Arista.Ini semua salahku.Seandainya aku tidak sok pahlawan. Seandainya aku terus berlari. Mungkin kami bertiga bisa lolos. Tapi tidak. Aku, Liora si gadis biasa, malah bertingkah seperti pahlawan kesiangan. Pahlawan macam apa yang berakhir meringkuk ketakutan seperti tikus di dalam sel musuh?Bagaimana keadaan Riel sekarang? Lukanya parah. Apakah Arista bisa merawatnya sendi
Sial. Sangat, sangat sial.Pemimpin patroli Umbra itu—aku akan memanggilnya Zarthus dalam hati, karena aku menolak untuk mati tanpa mengetahui nama penculikku—masih mencengkeram lenganku dengan kasar. Tawa rendahnya yang mengerikan seolah masih menggema di antara pepohonan mati di sekeliling kami.Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya mulai berjalan, menyeretku dengan paksa. Setiap langkahnya mantap dan penuh tujuan, sementara aku hanya bisa terseok-seok di sampingnya, mencoba untuk tidak terjatuh di atas tanah yang lembap dan berbau busuk ini.Kami melangkah lebih dalam ke perbatasan Ngarai Bayangan.Dan tempat ini… adalah definisi dari mimpi buruk.Jika Perbatasan Senja terasa seperti hutan yang sedang tertidur, maka tempat ini adalah hutan yang telah mati dan kini arwahnya gentayangan penuh amarah. Pepohonannya kurus, hitam legam seperti arang, dahan-dahannya yang telanjang mencuat ke langit kelabu seperti cakar-cakar yang kurus, seolah mencoba menggapai cahaya yang tak akan p
Sial. Sangat, sangat sial.Tawa rendah yang serak dan mengerikan dari balik helm hitam itu terasa seperti paku-paku dingin yang menancap langsung di gendang telingaku. "Jadi… kau yang telah mengambilnya, Anak Manusia."Cengkeraman tangan berzirah di lenganku mengencang. Dinginnya logam menembus jubah dan kulitku, seolah ingin meremukkan tulangku. Aku mencoba meronta, tapi tenaganya luar biasa kuat, seperti mencoba melawan kekuatan batu gunung. Aku tak bisa bergerak. Aku benar-benar terperangkap."LIORA!"Teriakan panik Riel dan Arista terdengar dari kejauhan. Mereka berhenti, berbalik dengan gerakan patah-patah. Wajah mereka yang tadi sempat lega kini pucat pasi, dipenuhi horor dan keputusasaan."Lepaskan dia, makhluk kegelapan!" geram Riel, pedang peraknya kembali terang
Kami telah ditemukan.Lolongan serak dan penuh penderitaan dari serigala yang telah dirusak itu merobek keheningan malam, menjadi lonceng kematian bagi persembunyian kami. Seketika, patroli Umbra yang tadinya menyebar langsung berhenti serempak. Kepala-kepala berhelm hitam itu menoleh ke arah kami, mata di balik celah zirah mereka pasti sedang menyala penuh kemenangan."SIAPKAN SENJATA!"Suara Riel yang tegas menggema di ceruk batu kami, membuyarkan kepanikanku yang hampir membeku.Tidak ada waktu untuk lari. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Ini adalah pertarungan. Di sini. Sekarang juga.Dari balik pepohonan, para prajurit Umbra melangkah maju dengan gerakan serempak yang dingin, zirah hitam mereka seolah menyerap cahaya rembulan. Seperti bidak-bidak catur mematikan yang perlahan menutup semua jalan keluar. Di depan mereka, kawanan serigala yang matanya menyala merah buas itu menggeram rendah, siap menerkam begitu mendapat perintah."Arista, kau ambil sisi kiri! Aku kanan!" perint
Setelah keajaiban kecil itu, aku langsung terduduk lemas di atas hamparan lumut, napasku tersengal. Pandanganku sedikit berputar, rasanya seperti baru saja lari maraton sambil mendonorkan separuh darahku. Daun emas di tanganku yang tadi bersinar terang kini cahayanya meredup, seolah ia juga ikut kelelahan.Hebat. Jadi kekuatanku ini punya baterai yang bisa habis juga. Dan sepertinya tidak ada power bank di dunia antah berantah ini.Riel dan Arista segera menghampiriku, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran."Liora, kau tidak apa-apa?" tanya Riel cemas, berlutut di sampingku."Cuma… capek banget," jawabku, mencoba tersenyum tapi lebih mirip meringis. "Rasanya seperti seluruh tenagaku, bahkan sebagian dari semangatku, ikut tersedot masuk ke dalam pohon itu.""Kau tida
Kami bertiga menunduk hormat sekali lagi ke arah taman suci itu sebelum akhirnya berbalik, meninggalkan puncak Menara Lumina. Di telapak tanganku, daun emas itu terasa hangat dan hidup, berdenyut dengan energi harapan.Sebuah harapan yang kini terasa begitu berat di pundakku.Saat kami melangkah keluar dari gerbang pualam, aku mengira kami akan kembali dihadapkan pada hutan remang-remang yang menyesatkan. Ternyata aku salah.Hutan di sekitar menara seolah telah berubah. Kabut tipis telah sirna, digantikan oleh pilar-pilar cahaya keemasan yang menembus kanopi perak. Di hadapan kami, sebuah jalur yang tadinya tidak ada kini terbentuk jelas, seolah karpet lumut hijau sengaja digelar untuk menyambut kami.Sang Penjaga Hutan Tertidur menepati janjinya.Hutan ini benar-benar membukakan jalan untuk kami."Luar biasa…" bisik Arista, matanya membelalak takjub.Kami berjalan menuruni lereng dengan langkah yang jauh lebih ringan. Tak ada lagi ilusi, tak ada lagi rintangan. Bahkan suara hutan pun