“Jangan menatapnya terlalu lama. Kau bisa lupa siapa dirimu.”
Ana mengangkat wajahnya dari cermin kecil di ruang rias. Suara itu datang dari pelayan tua di belakangnya—yang hari ini ditugaskan mendandani Putri Clarissa.
Ana hanya menunduk dalam. Tangannya gemetar saat menyentuh bros emas yang tersemat di dada gaun birunya. Gaun itu bukan miliknya. Nama ini pun bukan miliknya. Tapi malam ini, ia akan melangkah ke tengah aula sebagai Putri Clarissa—dalam acara pertunangan politik yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Semuanya demi sang Ratu. Ia merasa terjebak di sana. Padahal ia hanyalah seorang koki yang ditugasi untuk membuat kue tart ulang tahun untuk sang putri. Tak dinyana, tiba-tiba ia diseret masuk ke dalam ruang rias sang putri.
Sebuah veil tipis menutupi wajahnya, menyamarkan identitas yang ia pinjam. Beberapa kali ia menghela nafas sesak. Ia tidak bisa melarikan diri seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Takdir sedang mempermainkannya.
“Yang Mulia menunggu di aula. Ingat, Ana Merwin, kau bukan siapa-siapa.” Wanita bersanggul Valmere Knot itu berkata dengan nada sinis.
Ana mengangguk perlahan lalu menegakkan punggungnya. Jantungnya berdentum keras di balik tulang rusuknya. Setiap langkah terasa berat seperti sedang berkelana di hutan belantara. Sungguh, ia tidak tahu apakah ia bisa pulang atau justru malah tersesat.
Aula megah disulap begitu indah. Mata Ana menyipit tatkala disambut oleh cahaya berasal dari chandelier lilin yang berkilauan. Beberapa detik ia merasa seperti seorang putri yang sesungguhnya. Semua netra langsung terpacak padanya. Bisik-bisik para tamu undangan pun mulai menggema ke udara.
“Putri Clarissa menjadi tumbal sang Ratu,” ujar salah satu duchess di balik kipas bermotif heraldik yang menutupi setengah wajahnya.
“Ratu Seraphina sangat mencintai Putri Clarissa sampai pernikahannya pun diatur,” jawab yang lain dengan nada satir.
“Kalian tahu, pangeran dari keluarga Ravensel itu monster. Tak ada satu wanita pun yang tertarik padanya. Dia hanya pangeran yang terbuang, keji dan pembunuh berdarah dingin,” imbuh yang lain ikut memprovokasi. Seketika gosip itu langsung memanas di telinga Ana.
Pantas, Putri Clarissa tidak bersedia dijodohkan dengan pria semacam itu. Sepengetahuan dirinya, gadis itu menyukai pria yang tampan.
“Aku dengar, dia bahkan membunuh ibu kandungnya sendiri,” kata yang lain sembari saling lirik penuh arti saat Ana melewati mereka.
Perasaan Ana makin tak karuan setelah mendengar gunjingan mereka. Ia merasa seperti sedang berada di tiang gantung. Seburuk itu kah calon suami Putri Clarissa?
“Kau tau, dia memakai topeng phantom karena wajahnya terluka saat perang. Ia cacat dan buruk rupa. Lengkap sudah, siapa juga yang mau menikah dengannya kalau karena bukan kepentingan politik,” lanjut wanita lain yang ikut bergabung bersama mereka.
Sebelum Ana sempat mundur, gadis bangsawan lain sudah menarik tangannya. Ia adalah sepupu Putri Clarissa dari sang raja, Lady Amber yang terkenal dengan kecerdasannya dalam ilmu hitung.
“Selamat ya! Aku harap kau bisa bersenang-senang dengan pangeran itu. Tak apalah dia berwajah jelek, tapi kau bisa mendapatkan kompensasi, kan? Kekuasaan, kekayaan… yah, apa pun yang diimpikan gadis-gadis istana.”
Amber tertawa pelan, manja, tanpa menyadari kekakuan Ana. Ia benar-benar tidak menyadari siapa gadis yang diajak bicara olehnya.
“Ayahku bilang kau sangat beruntung dijodohkan dengannya. Katanya, hanya karena dia cacat dan temperamental, kau bisa mendapatkan hak veto dalam istana kelak! Bukankah itu menguntungkan?” Amber terkikik. Ia memang gadis yang ekspresif.
Ana hanya menghela nafas pelan mendengar celotehan gadis berambut pirang itu.
Amber berjalan mendekatinya, berbisik pelan. “Asal kau kuat menahan baunya saja. Mulutnya bau seperti telur busuk dan bawang putih mentah. Dia jarang mandi dan lebih sering bermandikan darah,”
Ana semakin bergidik ngeri mendengar ucapan Lady Amber meskipun dengan nada setengah bercanda. Bukan tanpa alasan, para putri bangsawan lain juga mengatakan hal yang sama tentang pangeran itu.
Tubuh Ana membatu, bukan hanya karena rasa takut, tapi karena perasaan getir dan amarah yang menyesakkan dada. Ia hanyalah pelayan istana yang dipaksa mematuhi perintah sang ratu. Ia tidak bisa memilih.
“Lady Amber...” Ana akhirnya membuka suara, datar. “Apa kau selalu mengukur cinta dan pernikahan dengan fisik dan jabatan?”
Tunggu, Lady Amber merasa asing mendengar suara Putri Clarissa yang terdengar lain. Namun sebelum ia menjawab pertanyaan Ana, ia langsung ditarik oleh ibunya, Lady Leoni.
“Aku pinjam dulu, Amber, Clarissa,” kata Lady Leoni tersenyum canggung pada Ana. Lalu ia menarik pergelangan tangan putrinya. “Kau harus berkenalan dengan putra bangsawan dari timur. Ayo!”
Ana hanya mendesah pelan tatkala melihat kepergian mereka. Ia hampir terpancing dan membongkar identitasnya sebagai Putri Clarissa yang palsu.
Semua orang membungkuk menghormatinya. Mereka menatap Ana dengan tatapan yang rumit. Di balik Veil, Ana justru menatap mereka dengan tatapan tajam. Ia menekuri setiap orang yang berada di sana. Dalam hati, ia bertanya, apakah di antara mereka adakah yang masih berhubungan darah dengannya?
Tak berselang lama, para tamu undangan yang berasal dari para bangsawan tinggi itu menoleh dengan keheranan ke arah yang lain, saat Pangeran Leonhart Ravensel muncul dari balik lengkungan gerbang istana yang menjulang pongah dan diselimuti aura kelam yang membuat bulu kuduk meremang.
Para putri bangsawan yang hadir menahan nafas saat pria itu melangkah melewati mereka. Seakan pangeran yang dijuluki the Black Phantom itu adalah jelmaan dewa iblis yang bisa menghabisi siapapun yang tidak disukainya.
Topeng besi menutupi separuh wajahnya. Terlihat misterius. Sorot matanya tajam, tak bisa dibaca. Semua orang membisu—bukan karena terpana, tapi takut.
Menurut rumor yang beranak pinak, wajahnya cacat karena luka perang sehingga mengenakan topeng phantom. Ia juga pernah menghabisi seorang penjaga hanya karena melihat wajahnya tanpa izin. Ia bukan pangeran yang di elu-elukan oleh para wanita. Ia adalah pangeran yang terbuang.
Ana menunduk dalam-dalam saat pangeran itu mendekat. Sial, justru langkah pria bertubuh tinggi besar itu berhenti… tepat di hadapannya.
Tubuh Ana bergetar hebat. Bagaimana kalau ia ketahuan bukan Putri Clarissa?
Di istana Kerajaan Velmont, Ratu Seraphina berjalan bolak balik dengan gelisah. Ia sedang menunggu kabar dari kastil Pangeran Leonhart.“Bagaimana? Apa Pangeran Leonhart membatalkan pernikahan?” tanya Ratu Seraphina pada Duke Arvin yang baru saja menyambanginya.Duke Arvin membungkuk di hadapannya. “Maafkan hamba, Yang Mulia. Belum ada kabar apapun tentang hal itu. Hanya saja menurut informan, mereka baru saja tiba di kastil Pangeran Leonhart,” tukas Duke Arvin dengan hati-hati. Ratu Seraphina menghela nafas pelan. Perlahan ia kembali ke singgasananya. Ia duduk, menatap Arvin seperti menimbang hidupnya. “Leon pasti jijik melihatnya. Si pelayan buruk rupa itu pasti akan diusir, dan Velmont tidak akan punya alasan untuk menuntut balik mahar. Benar-benar ide gila. Tapi … apakah akan berhasil?”Duke Arvin tertawa pendek, pahit. “Rencanaku selalu berhasil, Yang Mulia. Kita tinggal tunggu saja waktunya. Tak mungkin Pangeran Leonhart menahan gadis itu lebih lama. Pilihannya … dia akan menge
Mendengar teriakan Madam Mia, Ana langsung mencari cermin rias. Matanya membulat dan bibirnya menganga saat melihat wajahnya di sana.“Apa yang terjadi pada wajahku?” gumam Ana dengan tak percaya.“Apa kau merusak wajahmu dengan sengaja Ana?” kata Madam Mia langsung mendekat. Ia menilik wajah Ana dari jarak sangat dekat. Bahkan ia menyentuh bagian pipi kanan dan kirinya bergantian.“Ough, gatal, Madam,” kata Ana dengan lenguhan pelan. Ia meringis kesakitan.Madam Mia menghela nafas berat, “Jika Baginda Ratu tahu, kau—”“Cepat obati dia dan rias!” Suara kharismatik terdengar. Baik Ana maupun Madam Mia langsung membungkukan badan mereka, menyapa sang ratu. Madam Mia mengangguk pelan seraya menjawab, “baik, Yang Mulia,”Ratu Seraphina menatap Ana sebentar dengan tatapan yang rumit lalu pergi begitu saja meninggalkan mereka. Aneh, reaksinya datar.“Ana, apa yang terjadi?” desak Madam Mia—masih kaget kenapa wajah Ana berubah mengerikan.Ana mencoba mengingat kejadian semalam. “Madam, sem
Malam itu, di kamar, Ana duduk memeluk lututnya di tepi ranjang. Tangan lentiknya menggenggam liontin berukiran bunga lily yang berkilauan indah. Ia bisa melihat pantulan wajah cantiknya dari sana.Oh, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?Berbagai doa melangit. Berharap ada keajaiban datang.Mata Ana terasa panas. Ia tidak bisa membayangkan dirinya akan menikah dengan pangeran keji dan buruk rupa. Menikah dengannya sama seperti menggali kuburannya sendiri.Seketika ingatannya berlabuh pada hari di mana sebelum ia dipanggil pihak istana untuk datang. “Ana… kau punya hak untuk tahu ini.”Suara parau itu datang dari seorang wanita tua bersurai keperak-perakan yang tengah berdiri di bangku kayu dekat pintu dapur istana. Tangannya gemetar saat membawa sebuah kotak kayu berbahan walnut dengan pengait dari logam yang sudah berkarat tergerus waktu.Ana menoleh tatkala mendengar suaranya. Sontak, ia menghentikan pekerjaannya. Ditaruhnya periuk berisi sup daging yang baru saja diangkatnya. “B
Ratu Seraphina menelan salivanya. “Kau?” tanyanya tak bisa menyembunyikan rasa semburat penasaran sekaligus keterkejutannya. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Ana tanpa veil.Bergegas, Ana menunduk dalam. Ia juga tak kalah terkejut melihat reaksi sang ratu. Sebaliknya, ia mengira Ratu Seraphina begitu jijik dan benci melihatnya. ‘Tak mungkin! Matanya mirip …’ batin sang ratu dengan perasaan yang berkecamuk.Ratu Seraphina memangkas jarak di antara mereka. Tangannya terulur pada wajahnya namun segera ia menariknya kembali.“Yang Mulia, dia gadis yang menggantikan Putri Clarissa,” lapor Duke Arvin dengan nada hati-hati. Ia sedikit menunduk, tahu betul bahwa kabar ini bukan hal sepele. Ia hanya ditugasi mencari gadis yang mirip dengan Putri Clarissa.Berusaha menormalkan perasaannya, Ratu Seraphina berdiri membelakangi jendela besar aula timur, sorot matanya kosong menatap kebun mawar yang sedang mekar. Wajahnya tenang—hingga sulit ditebak apakah ia marah, sedih, atau curiga.Ana dud
Ana menunduk dalam-dalam saat pangeran itu mendekat. Sial, justru langkah pria bertubuh tinggi besar itu berhenti… tepat di hadapannya. Jarak mereka hanya beberapa jengkal. Ana bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya yang beraroma mint campur rosemary. Aneh, katanya wangi nafasnya bau bawang putih dan telur busuk. Tapi aroma nafasnya harum. Apalagi … ciumannya. Beberapa detik Ana mengusik pikiran itu. “Angkat wajahmu,” suaranya dalam dan dingin.Ana mendongak—hanya setengah. Sungguh, mendadak ia diserbu rasa takut bercampur gugup yang tinggi. Ada banyak ketakutan yang menyelimuti dirinya. Bagaimana kalau ia ketahuan bukan Putri Clarissa? Mungkin jasadnya akan berakhir di balairung eksekusi kerajaan.Pangeran Leonhart menatap gadis itu seperti ingin menyelami isi kepalanya. “Lebih tinggi.”Dengan ragu, Ana menengadah, menatap matanya. Seketika keheningan turun. Ana bisa melihat jelas tatapan gelap milik pangeran itu. Manik matanya berwarna hitam pekat seperti batu obsidian. Indah na
“Jangan menatapnya terlalu lama. Kau bisa lupa siapa dirimu.”Ana mengangkat wajahnya dari cermin kecil di ruang rias. Suara itu datang dari pelayan tua di belakangnya—yang hari ini ditugaskan mendandani Putri Clarissa.Ana hanya menunduk dalam. Tangannya gemetar saat menyentuh bros emas yang tersemat di dada gaun birunya. Gaun itu bukan miliknya. Nama ini pun bukan miliknya. Tapi malam ini, ia akan melangkah ke tengah aula sebagai Putri Clarissa—dalam acara pertunangan politik yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Semuanya demi sang Ratu. Ia merasa terjebak di sana. Padahal ia hanyalah seorang koki yang ditugasi untuk membuat kue tart ulang tahun untuk sang putri. Tak dinyana, tiba-tiba ia diseret masuk ke dalam ruang rias sang putri.Sebuah veil tipis menutupi wajahnya, menyamarkan identitas yang ia pinjam. Beberapa kali ia menghela nafas sesak. Ia tidak bisa melarikan diri seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Takdir sedang mempermainkannya.“Yang Mulia menunggu di aula.