Kereta kuda masih berderap di jalan berbatu. Ana duduk dengan wajah ditekuk kaku, menunduk dalam-dalam. Bayangan tawa lirih para bangsawan wanita saat mereka menyindir cadarnya tadi terus terngiang di kepala.Ia menjadi merasa bersalah pada Pangeran Leon.Tangannya meremas kain gaun hingga kusut.“Pangeran…” suaranya pelan, nyaris hilang tertelan derit roda kereta.Leon tidak langsung menjawab. Ia hanya menggerakkan alis, menandakan mendengar.Ana menelan saliva. Ia memberanikan diri. “Hamba… merasa bersalah.”Alis Leon terangkat tipis. “Bersalah?”“Karena cadar ini.” Ana mendongak sedikit, suaranya bergetar. “Tadi mereka… menertawakan Pangeran karena membawa istri yang bersembunyi di balik kain. Seolah-olah Pangeran… tidak mampu memilih wanita yang layak.”Sunyi sejenak. Hanya napas Leon yang terdengar berat.Ana buru-buru menunduk lagi, melanjutkan dengan nada penuh penyesalan, “Seharusnya hamba tidak memakainya. Seharusnya hamba lebih berani menampilkan diri, walau rupanya buruk.”
“Naiklah.” Suara Leon datar ketika ia membuka pintu kereta kuda.Ana menunduk sopan sebelum melangkah masuk. Gaun sederhananya berwarna krem pucat, wajah tetap tertutup veil tipis. Begitu ia duduk, suara berderit pintu menyusul tertutup, dan Leon ikut duduk di hadapannya.Dalam ruang kereta yang sempit, getaran roda di jalan berbatu membuat tubuh Ana sedikit berguncang. Ia bisa merasakan tatapan dingin Leon, namun ia tetap menunduk, berusaha tidak salah tingkah.“Jangan banyak bicara nanti,” Leon akhirnya bersuara, matanya menajam. “Hanya jawab seperlunya. Kau tahu apa yang dipertaruhkan jika mereka mencurigaimu.”Ana menggenggam erat kain gaunnya. “Hamba mengerti, Tuan.”Kereta terus melaju hingga akhirnya berhenti di halaman besar milik bangsawan keluarga Luthmere. Para pelayan berbaris, dan beberapa bangsawan wanita sudah menunggu di beranda, gaun mereka penuh hiasan permata.Begitu Leon turun, semua menunduk hormat. Ia lalu menoleh sekilas pada Ana, memberi isyarat. Ana pun menuru
Raja Edric dan rombongan sudah kembali ke istana Ravensel. Kini Ana resmi tinggal di kastil Ebony sebagai ‘istri Pangeran Leonhart’.Malam itu adalah malam pertama Ana menempati kamar barunya. Untuk sesaat ia merasa lega dan syukur. Ia bisa mendapat tempat yang layak, bahkan lebih dari layak.Ana baru saja akan membaringkan tubuhnya di atas ranjang ketika suara ketukan berat terdengar dari pintunya.Tok… tok… tok.Ana tertegun. Siapa yang datang larut begini? Dengan hati-hati ia membuka pintu, dan mendapati Leon berdiri di sana, menyilangkan tangan di dada. Sorot matanya dingin, tapi ada kilatan tak sabar.“Apa ada yang—” Ana belum sempat selesai, Leon sudah menyela.“Kenapa kau masih menyalakan lampu di jendela? Dari luar, orang bisa melihat siluetmu dengan jelas.”Ana berkedip, tak menyangka. “hamba hanya… takut gelap, Yang Mulia.”Leon mendengus, lalu masuk begitu saja tanpa diminta. Langkah sepatunya berat di atas karpet. “Takut gelap? Kau tidur di kandang kuda berbulan-bulan, tap
Malam itu, lorong-lorong kastil terasa lebih sunyi dari biasanya. Ana berjalan perlahan menuju kamarnya, langkahnya ringan, tapi hatinya berat.Ia masih mengingat cengkeraman Leon di pinggangnya saat berkuda. Begitu nyata, begitu hangat, meski akhirnya diakhiri dengan kalimat dingin yang menusuk.“Sebuah pertunjukan?” gumam Ana dengan mengigit bibir bawahnya. Hatinya berdenyut pilu kendati ia sadar, mungkin selamanya Pangeran Leon hanya menganggapnya sebagai tawanan.Saat hendak membuka pintu, suara langkah berat mendekat dari arah berlawanan. Pangeran Leonhart berjalan dengan gagah. Bahkan derap sepatu boot yang dipakainya menggema di udara.Ia baru saja kembali dari istal, wajahnya tetap seperti biasanya, tegas, dingin, tak terbaca.Ana menunduk sopan. “Selamat malam, Tuan.”Leon berhenti tepat di hadapannya, menatap lama di balik veil tipis yang masih ia kenakan. Ada jeda panjang, hingga akhirnya bibirnya bergerak. “Kenapa masih memakainya? Ayah sudah kembali ke kamarnya. Tidak ad
Saat Pangeran Leonhart dan Ana Merwin memainkan perannya sebagai sepasang suami istri yang serasi, di balik dinding kamar salah satu pelayan, suara desahan dan racauan terdengar tak karuan.Dinding kokoh dan dingin itu merupakan salah satu saksi bisu di mana telah terjadi pengkhianatan sendiri di dalam Ravensel.Helena, pelayan pribadi yang selama ini dikenal patuh, terbaring di ranjang kamarnya. Rambut panjangnya terurai, wajahnya memerah bukan karena malu, melainkan karena gairah. Di atasnya, Lord Mervyn, sang kanselir kerajaan, menunduk penuh hasrat. Tangannya mencengkeram erat pinggang Helena seolah ia ingin menahan waktu agar tak pernah bergerak.“Bagaimana mungkin… kita bisa terus begini tanpa ada yang curiga?” bisik Helena di sela helaan napasnya. Matanya sayu dan wajahnya memerah.Mervyn terkekeh lirih, menunduk ke telinganya. “Karena semua mata tertuju pada Raja dan Pangeran. Tidak ada yang mengira seorang pelayan dan kanselir bisa menjalin hubungan rahasia.”Helena menatapn
Keesokan harinya,Suara logam beradu terdengar ketika Leon menghunus pedang dari dinding, memeriksanya seakan mencari-cari ketidaksempurnaan. Evander masuk tanpa didahului ketukan, langkahnya ringan namun mantap.“Masih saja kau periksa sendiri semua pedang? Seolah pandai besi tak cukup dipercaya,” kata Evander sambil menyeringai tipis.Leon menoleh sekilas, lalu kembali menatap bilah perak di tangannya. “Kepercayaan mudah diberikan, Evander. Tapi pedang yang tumpul bisa menghabiskan nyawa.”Evander mendekat, matanya mengamati kakaknya. “Kau bicara seakan dunia ini hanya berisi pengkhianat.”Leon menyarungkan pedang dengan gerakan tegas, kemudian menatap adiknya lekat-lekat. “Karena memang begitu. Kau masih muda, Evander. Belum banyak melihat tikaman dari belakang.”Evander terdiam sejenak. Ia ingin menceritakan pertemuannya dengan Lord Mervyn, tapi menahan diri. Hanya ada satu hal yang benar-benar ingin ia sampaikan saat itu. “Aku tidak peduli siapa yang mencoba menebas punggungmu. A