MasukDi istana Kerajaan Velmont, Ratu Seraphina berjalan bolak balik dengan gelisah. Ia sedang menunggu kabar dari kastil Pangeran Leonhart.
“Bagaimana? Apa Pangeran Leonhart membatalkan pernikahan?” tanya Ratu Seraphina pada Duke Arvin yang baru saja menyambanginya.
Duke Arvin membungkuk di hadapannya. “Maafkan hamba, Yang Mulia. Belum ada kabar apapun tentang hal itu. Hanya saja menurut informan, mereka baru saja tiba di kastil Pangeran Leonhart,” tukas Duke Arvin dengan hati-hati.
Ratu Seraphina menghela nafas pelan. Perlahan ia kembali ke singgasananya. Ia duduk, menatap Arvin seperti menimbang hidupnya. “Leon pasti jijik melihatnya. Si pelayan buruk rupa itu pasti akan diusir, dan Velmont tidak akan punya alasan untuk menuntut balik mahar. Benar-benar ide gila. Tapi … apakah akan berhasil?”
Duke Arvin tertawa pendek, pahit. “Rencanaku selalu berhasil, Yang Mulia. Kita tinggal tunggu saja waktunya. Tak mungkin Pangeran Leonhart menahan gadis itu lebih lama. Pilihannya … dia akan mengembalikannya ke istana. Pernikahan hanya terjadi secara simbolik. Atau—”
“Atau dia menghabisinya—” sela sang ratu bernada getir, membayangkan gadis yang mirip seseorang di masa lalunya itu mati dipenggal oleh Pangeran Leonhart.
Duke Arvin menelan salivanya. Untuk soal itu, ia tidak tega hanya sekedar membayangkannya. Ana pernah menyelamatkannya saat ia pernah digigit ular berbisa. Ia tidak akan lupa kebaikan gadis itu.
“Apa kau sudah mendapat informasi soal asal usul gadis itu?”
Ratu Seraphina mengganti topik pembicaraan.
Duke Arvin menunduk, meski matanya tak benar-benar menatap lantai marmer. Ada sesuatu di balik tatapannya—entah kesangsian, atau sekadar cemas. Ia menengadah. “Dia hanya gadis yatim piatu dari Panti Merlow, Westmere. Anak-anak di panti itu kebanyakan anak dari korban perang, Yang Mulia,”
Ratu Seraphina bernafas lega. Ia bangkit, gaunnya bergoyang menyapu lantai. Namun di balik keanggunannya, tatapannya masih tajam dan dalam. “Kau telah melakukan pekerjaan yang sempurna, Arvin. Kau layak dihargai.”
Duke Arvin tersenyum mendengar pujian sang ratu.
Malam itu Ratu Seraphina mungkin bisa tidur nyenyak. Sebelum beranjak ke atas ranjang, ke dua tangan melingkari tubuhnya, membuatnya terhenyak.
“Ibu,” bisik suara seorang gadis yang terdengar familiar.
Ratu Seraphina menoleh lalu mencubit hidungnya. “Kenapa kau kembali? Belum waktunya kau muncul, Clarissa,”
Putri Clarissa memasang wajah yang ditekuk. Ia berbicara pelan. “Aku lelah harus menyembunyikan wajahku ini, Ibu.”
“Tunggulah sebentar!” kata Ragu Seraphina dengan tersenyum samar.
.
.
.
Pangeran Leonhart menyeringai dingin setelah melihat wajah asli Ana—yang dikira cacat dan penyakitan.
“Jadi ini hadiah yang mereka kirim padaku? Mereka mendapat wilayah tambang sedangkan aku? Pelayan buruk rupa.”
Ia mencengkram dagu Ana dengan paksa. Lalu ia mendorongnya hingga ke dinding.
Pria itu mengira jika gadis itu masih bisa dimanfaatkan. Setidaknya wajah cantik dan tubuh moleknya bisa sedikit menghiburnya malam itu. Namun, di luar dugaan, ia ingin muntah melihat wajahnya.
“Lepaskan aku, Yang—” gumam Ana saat berusaha melepas cengkraman satu tangan kekar Pangeran Leonhart.
Tenaganya kalah jauh. Postur tubuh dirinya dan pria itu sangat kontras. Di hadapannya ia seperti seekor kelinci. Dan, Pengeran Leonhart seperti lambang kerajaan, seekor singa yang lapar.
Dengan begitu mudah, pria keji itu menarik tubuh mungil Ana. Nafas Ana pendek-pendek, saat cengkraman Pangeran Leonhart menekan nadi di lehernya.
Alih-alih mendengar suara Ana yang nyaris hilang, Leonhart menatapnya dengan sorot permusuhan. “Ratu telah menghina kerajaan Ravensel.”
Air mata sudah mengambang di matanya yang sialnya indah—berwarna hijau zaitun. Namun ia tidak gentar. “Aku siap dihukum, Yang Mulia,” katanya setelah cengkraman Leonhart mengendur.
Tunggu, gadis itu sama sekali tidak takut. Ia mengira jika gadis itu akan memelas dengan menangis kencang. Namun … cara ia bicara seperti tak gentar. Tatapannya menyiratkan luka yang tak kasat mata.
Pangeran Leonhart menarik diri. Tubuh gadis itu jatuh terhuyung ke lantai. Nafasnya masih memburu. Ia menghirup udara rakus.
Pangeran Leonhart menatap gadis itu lagi. Kali ini tak sebengis tadi.
“Apa kau tidak takut aku akan memenggal kepalamu? Kesalahanmu sangat fatal! Kau sudah berpura-pura menjadi Putri Clarissa!”
Ana hanya bisa terbaring lemah. Tubuhnya menggigil karena kelelahan, napasnya tersengal, dan bibirnya bergetar pelan—berusaha mengucap sesuatu, namun suara itu tak kunjung keluar. Hanya udara dari bibirnya yang setengah terbuka.
“Pengawal, bawa dia pergi!” suara dingin Pangeran Leonhart menggema seperti palu hukuman, menghantam dada Ana.
Pintu kamar terbuka. Dua pengawal bertubuh tinggi besar dan bersenjata melangkah masuk tanpa ragu. Ana menoleh panik, matanya membelalak. Belum sempat ia bergerak, kedua tangannya sudah dicengkeram keras. Ia diseret keluar kamar pengantin seperti tahanan hina.
Gaun pengantinnya terseret lantai, dan pandangannya kabur oleh air mata. Malam pertama yang seharusnya sakral dan indah berubah menjadi malam hukuman dan penghinaan.
Ana akan meminta penjelasan pada Leon malam ini. Sayangnya, Leon pulang larut malam, Ana sudah lebih dulu tidur. Keesokan harinnya, Leon menghela napas pelan melihat pemandangan setiap pagi hari. Seperti biasa, Ana bangun dan duduk di sofa yang berada tak jauh dari ranjang besar milik mereka. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan dan tubuhnya terlihat lesu. Ia menggenggam tepi meja dengan keras, tubuhnya membungkuk saat merasakan gelombang mual dari perutnya. Namun ia tampak berusaha mengendalikan dirinya. Di depannya semangkuk bubur gandum dan air minum sudah tersedia. Ana kini lebih sering sarapan di kamar karena kondisinya tak memungkinkan jika berbaur di aula makan bersama Raja Edric. Bubur kesukaannya itu tampak tidak menggugah selera. Baunya tak sedap. Dan, sialnya, bau itu justru mengundang rasa mual yang ditahannya sedari tadi. “Kenapa?” Leon menghampirinya, melihat Ana yang sama sekali tidak terlihat ketertarikan pada bubur gandum dengan kaldu ayam itu. Ia meringis dan m
Malam itu, hutan Blackwood tampak mencekam. Tidak hanya karena binatang buas yang berkeliaran di sana. Namun ada hal yang lebih berbahaya dan mengancam. Pasukan Dragoria yang terkenal karena kekejamannya sedang mencari seorang putri dari Velmont Raya yang tengah melarikan diri. Clarissa kini menjadi target buruan, setelah ia nekat memutuskan kabur dari upacara pernikahannya. Setiap langkahnya di hutan dipantau bayangan, dan para penjaga kerajaan mulai menyebar untuk mencarinya.Beruntung Lord Cedric menjalankan tugasnya, ia berhasil menyelamatkan Clarissa sementara. Pertama dari aksi binatang buas. Lalu ke dua, pasukan Dragoria. Lord Cedric berhasil membawa Clarissa bersamanya. Sesaat, Clarissa mendapat perlindungan. Di tengah hutan Blackwood Lord Cedric berlari ringan dan hati-hati melewati pepohonan sembari menggendong Clarissa. Ia tidak mengalami kesulitan saat menggendongnya sebab gadis itu tampak mungil di matanya. Mungkin baju zirah lebih berat dari bobot gadis itu. Hembusan
Malam itu suasana balairung istana Velmont tampak sangat indah. Tempat itu sudah disulap menjadi tempat upacara pernikahan Clarissa dengan pangeran Thorian dari kerajaan Dragoria.Dekorasi bebungaan berwarna-warni memenuhi setiap sudut ruangan, sedangkan bunga lili yang merupakan lambang resmi Velmont Raya ditata indah di sepanjang lorong dan pilar marmer.Di atasnya, ribuan lilin yang menyala dalam chandelier kristal menggantung anggun. Cahaya temaramnya memantul pada dinding dan lantai batu, memberikan kilau hangat yang menyoroti podium tempat upacara agung itu akan dilangsungkan.Di kamar pengantin, Clarissa sudah tampak cantik dalam gaun berwarna putih yang menampilkan siluet tubuhnya yang sempurna. Rambutnya juga sudah ditata, disanggul model Braided Crown. Rambutnya dikepang melingkar seperti mahkota di
Sore itu Mary merasa aneh kenapa dia tidak bisa bertemu dengan Ana. Padahal ia ingin berpamitan padanya. “Ibu, kenapa melamun?” tanya Isabella melihat ibunya diam menatap keluar jendela di balik tirai kereta—yang membawa mereka pulang hari itu. Mary memang tidak berniat untuk menginap setelah melihat reaksi kakak sepupunya–Raja Edric yang terlihat dingin pada mereka. Apalagi reaksi Leon yang jelas menolak kehadiran putrinya. Mendengar suara putrinya, Mary menoleh. “Ibu tidak bisa berpamitan dengan Lady Ana. Mungkin dia masih marah padamu,”Isabella mendengus pelan, tatapannya menajam tertuju pada ibunya. “Kenapa Ibu cari muka di depan Raja Edric dan Leon? Sudah jelas Leon tidak suka kedatangan kita. Aku menyesal datang.”Mary mencondongkan tubuhnya, mengamati wajah putrinya yang seolah tanpa dosa. “Kau pikir Ibu cari muka? Kau memang harus mencuci hatimu dengan air suci! Kepalamu diisi dengan pikiran buruk,” Wanita itu mengibaskan kipasnya, menatap kembali pada jendela kereta. Sem
Raja Edric mengangguk pelan setelah mendengar permintaan maaf Lady Isabella. Permintaan maaf itu mudah dilakukan oleh siapapun. Namun pertanyaannya adalah permintaan maaf itu tulus dari hati terdalam ataukah hanyalah semacam formalitas demi menjaga hubungan yang baik dengan keluarga kerajaan?Suara Lady Isabella pecah, gemetar seperti badai. Ia menatap Raja Edric dengan tatapan yang berkaca-kaca, penuh penyesalan. “Yang Mulia, saya memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekhilapan yang telah saya lakukan pada Pangeran Leon. Sungguh, saya menyesalinya.”Lady Isabella menunduk dalam. Air matanya jatuh tanpa diundang. Lady Mary mengusap punggung putrinya dengan lembut, memberikan dorongan kekuatan. Semoga saja ia bisa belajar dari kesalahannya di masa lampau dan mulai memperbaikinya. “Permintaan maafmu telah kudengar, Lady Isabella,” imbuh Raja Edric tenang. Nada suaranya sopan tetapi dingin. Namun jika orang sadar sikap dingin tapi tenang itu sangat berbahaya.Raja Edric mem
Sebuah kereta dengan ornamen emas bermotif lilitan bunga mawar tiba di halaman istana Ravensel. Seorang wanita berambut keperak-perakan disanggul turun dibantu oleh seorang pengawal. Ia membetulkan syal yang melilit lehernya tepat kakinya baru mengayun beberapa langkah di halaman istana Ravensel.Ia bergumam sembari menyebarkan pandangannya ke segala sudut. Helaan napas ringan lolos dari bibirnya saat tatapannya terpaku pada pilar-pilar istana Ravensel yang megah dan raksasa. Ia merasa seperti seekor kelinci melihat betapa besar kekuasaan Ravensel di negeri Barat. “Sudah enam kali musim panas aku tak datang kemari,” gumamnya lirih, senyum tipis tergurat di wajahnya. Ia menyerahkan tas kecil yang ditentengnya kepada dayang setianya. Lalu ia menoleh ke arah belakang. Dahinya berkerut membentuk lipatan kertas. “Bella belum turun?” tanyanya pada dayang setianya. Dayang mengangguk lalu menjawab pelan. “Belum Nyonya.”Lady Mary, wanita berusia enam puluh lima tahun itu mendecak pelan. Ia







