Share

Pagi yang Enggan Kembali
Pagi yang Enggan Kembali
Penulis: Erwintiyati

1. Pupusnya Cinta Sejati

"Oke, jari ke ujung rambut. Senyum. Wajah serong kiri," tangan fotografer memberi aba-aba.

Perempuan itu mematung sambil berhitung sampai tiga dalam hati. Lalu berganti gaya mengikuti arahan orang di belakang kamera. Di sela-sela fokusnya, ia sadar jika dirinya sedang menjadi target bahan lamunan. Tapi hal itu tak sedikit pun mengusik profesionalitasnya. Ia tetap tampil elegan dengan pesona berkelasnya. Ia serahkan semua keindahan tubuhnya pada lesatan cahaya yang rakus membidik.

Ruangan yang membentang luas tanpa sekat itu seolah menjadi panggung miliknya seorang. Stiletto merah terang menambah cantik kaki hingga betisnya yang ramping memanjang. Warna kuning langsat merata memoles kulit. Cerah dan mulus di semua titik. Berhenti sampai di lutut, peplum skirt dengan warna senada membungkus bentukan tubuhnya yang menjual. Lalu disambung kemeja batik lasem bermotif liuk-liuk layaknya batang beserta serpihan batu, yang potongan kainnya menyuguhkan kemolekan membetahkan mata. Rambutnya terurai dan menari manja karena tiupan angin buatan. Ia bergaya, tersenyum, memainkan lirikan mata, menghipnotis dengan gerakan jemari, semua terjadi begitu mudahnya. Penuh nyali, penuh kendali.

Sesekali rasa penasaran membujuk seujung lirikan matanya pada laki-laki di atas kursi pojok ruangan. Laki-laki berperawakan ideal tanpa lemak berlebih ataupun tulang tak berdaging itu seolah terkuasai oleh sihir. Nyaris tak ada kedipan mata yang menyela. Gurat-gurat kegagahan terukir seolah tak akan pernah memudar digerayangi usia. Merah alami warna bibirnya menyempurnakan terangnya kulit wajah yang putih bersih.  Wanita mana pun pasti tak kuasa menahan kencangnya degup jantung di bawah tatapan semacam itu.

Sayangnya, fakta itu tak cukup menggoyahkan benteng pertahanan yang Ria bangun belasan tahun. Dia adalah salah satu perempuan yang merasa tidak terganggu dengan keberadaan Danar, seberapa pun menggodanya jutawan muda itu. Tak peduli berapa kali laki-laki itu menunjukkan kesungguhan perasaannya. Bagi Ria, keberadaan istri dan anak Danar sudah menjadi alasan pakem.

“Oke, cukup, Mbak,” kata laki-laki pemegang kamera sambil mengacungkan jempol. Sesi berfoto disudahi.

Danar datang mendekat sambil tersenyum. "Aku selalu merindukan tempat ini, karena ini satu-satunya tempat yang kamu tidak dapat menolak untuk datang." Dua tangannya masing-masing menyusup ke saku samping celana. Langkahnya pelan lalu berputar sekali mengelilingi Ria yang beridri di tempat. Ia berhenti dan menghadapkan badan. Beberapa saat keduanya saling pandang. 

Di dekat dua orang yang mematung itu, fotografer berdeham. Ia terlihat sudah cukup lama menunggu untuk menyela. Ria menundukkan wajahnya, terlihat salah tingkah. Tapi Danar masih dengan posisi yang sama. Laki-laki itu kemudian menunjukkan layar kameranya. Ria mengangguk beberapa kali.

"Sudah. Saya percaya semuanya bagus," sela Danar.  Ria mengangkat wajahnya, sedikit tersipu. Laki--laki itu tersenyum bangga. Bangga karena bisa menyodorkan gombalannya untuk ke seribu sekian kalinya. "Thank you," lanjut Danar mengajak bersalaman. Tangan kirinya masih di dalam saku.

“Terima kasih, Mas Danar,” Ria meraih tangan di depannya. Cukup lama Danar tak melepas genggaman. Sementara itu, tim juru kamera membereskan perlengkapan. Payung reflektor,  stand background, dan softbox dibiarkan saja, dan lainnya mereka masukkan kedalam tas tahan air. 

“Makan malam?” Belum sempat Ria menjawab, Danar langsung menyambung, "ini perintah, bukan pertanyaan." Genggaman tangannya semakin erat. Cahaya di matanya menatap penuh keyakinan. Ria tertawa kecil. Lalu satu anggukan diberikan.

Dua  tangan yang bersatu itu terlepas, tapi Danar melangkah mendekat. Ria hanya mundur sedikit, dan itu tak cukup membantu. Napas laki-laki itu terasa hangat berembus di tengkuk lehernya. Aroma parfum yang khas menyapa ramah di hidungnya. Dia rasakan juga dua bibir yang selalu tampak lembab itu semakin mendekat ke telinga. "Bilang pada Aru, kamu ada lembur," bisiknya.

Ria reflek bergerak mundur, cukup lebar jarak mereka kali ini. "Oke," sambut Ria cepat, dan susah payah dia sembunyikan napasnya yang berat. Dia tersenyum, menunjukkan kepatuhan pada seorang bos. Jemari lentiknya menyelipkan rambut di pelipis ke belakang telinga. Perlahan dia memutar badan dan menuju ruang ganti.

Sayup-sayup terdengar ponsel Danar berdering. Ria menguping, dan dengan cepat dia dapat menebak bahwa orang yang menelepon adalah istrinya. Suara laki-laki itu perlahan semakin lirih, agaknya dia berjalan ke luar. Dari bidang cermin yang  membentang 2 meter di hadapannya, ia saksikan monster kebencian masih setia bersinggah dalam dirinya. Ia tak pernah marah, justru ia mengasihani orang-orang yang  berdatangan menyuguhkan cinta kepadanya. Mereka semua hanyalah orang-orang bodoh di matanya.

Ria duduk dan mendekatkan wajahnya ke cermin. Perlahan dia amati detail setiap bagian mukanya. Meskipun perawatan menjadi kewajiban yang harus ditunaikan, tapi tetap saja hukum alam akan menjalankan perannya dengan baik. Bingkai mata dan sudut bibir yang mulai malas mengencang. Garis-garis halus yang datang bertamu. Rahang yang makin menonjol dan posisi pipi yang tak sekukuh dulu berdiam di atas. Semua perubahan itu dapat dia saksikan. Sementara orang lain selalu melihat seorang Ria tak berubah dari muda hingga sekarang.

"Kalau saja bukan untuk menghidupi diriku bersama Aru, tentu aku memilih memakai daster di rumah, bersantai-santai," ujarnya seolah sedang berdioalog dengan bayangannya sendiri. "Agar aku tidak pernah bertemu Danar," lanjutnya. Dalam hitungan detik, Ria memejamkan mata, dan bulir bening mengalir di pipinya. Harusnya, sedikit lagi Danar akan sampai. Andai saja laki-laki itu menjawab cepat pertanyaannya kala itu. Tapi ia bersyukur, karena Danarlah ia menemukan keyakinan yang utuh. Cinta sejati tidak pernah ada.

“Mbak Ria,” seorang OB mengetuk pintu. Ria menarik tisu di meja dengan cepat dan menepuk perlahan ke pipinya. "Pak Danar titip pesan, katanya ini pulang sebentar, nanti balik lagi ke kantor," jelasnya begitu Ria muncul di bingkai pintu.

"Oh. Ada urusan apa, ya, Mas, katanya?"

"Wah, kurang tahu, Mbak. Tadi saya dengar istrinya telepon, sih."

"Oh, begitu. Oke." Ia lemparkan senyum pada pemuda di depannya.

"Ini minum dan cemilannya, Mbak. Saya bantu taruh di dalam atau ..."

"Tidak usah, biar saya saja," potong Ria dan mengambil alih nampan dengan hati-hati. Dia bilang terima kasih dan anak muda berseragam putih itu meninggalkannya.

Getar ponsel di tas menderu-deru. Cepat-cepat ia letakkan nampan ke meja dan meraih benda yang masih tak sabaran terus memanggil-manggil.

“Iya, Sayang?” sapanya.

“Bunda lembur lagi?”

“Iya. Maaf, ya,” nadanya terdengar memelas. “Kamu sudah makan belum?”

“Niatnya mau nunggu Bunda pulang.” Terdengar ketus, anak itu ingin tunjukkan rasa kecewanya. Ria bilang maaf sekali lagi dan menyuruh putrinya untuk segera makan. Obrolan mereka selesai, tapi getar berikutnya menyusul begitu gambar latar belakang ponselnya tampak baru dua detik.

"Iya, Mas Danar. Ada apa?”

“Aku pulang sebentar. Nanti balik lagi jemput kamu, ya. Kamu bisa tunggu di kantor, kan?”

"Iya, Mas."

Ria berkemas lebih cepat. Tak banyak yang dia kerjakan. Hanya berganti pakaian. Ia tiba 10 menit lebih awal di ruang kaca sebelum sebuah Lamborghini putih menepi di halaman depan. Danar turun dari kemudi, menyambut bidadari yang berlari-lari kecil kearahnya.

“Kita langsung ke tempat makan?” tanyanya setelah masuk ke dalam mobil kembali, siap menyalakan stater. Perempuan di sebelahnya mengangguk.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status