Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya.
Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah.
Sepekan pertama Ria tak mampu mengendalikan air matanya. Di saat orang-orang tertidur lelap, ia terjaga dan sesenggukan tiada henti. Jam tidurnya tidak teratur. Setiap hari kelopak mata itu membengkak dan garis hitan di bawah mata tergores jelas. Kesedihannya dirasakan juga oleh si kecil yang ikut-ikutan rewel sepanjang hari. Lelahnya kian berlarut-larut. Luka jahitan yang belum mengering menambahkan siksa. Dia harus berjuang sendiri tiap kali hendak bangun dari baringan. Sering dia juga dibuat menangis karena rasa nyeri yang hilang timbul.
Ketika ibu meminta menimang bayinya keluar agar dirinya dapat menenangkan diri, Ria selalu menolak begitu kuat. Tak ada yang dapat memaksa. Ria ingin berdua saja di kamar. Seperti apapun kondisinya, dia bertahan dalam persembunyiannya. Selain ibu, ada satu orang yang pernah masuk ke dalam kamar, itu pun hanya sekali. Ia adalah dokter yang dipanggil ke rumah untuk melepas benang dan perban jahitan.
Sementara itu, Baskara sibuk bolak-balik kantor polisi untuk mengurus kasus kematian kakaknya. Untuk membicarakan hal sepenting itu pun Ria tak mempersilakan laki-laki itu masuk. Jadilah harus lewat ibu jika adik iparnya itu ingin menyampaikan sesuatu padanya.
Ria bertahan hingga 40 hari. Bukan hanya dirinya yang kurus kuyu, si bayi pun bernasib sama. Ibu selalu menangis diam-diam melihat kondisi menantu dan cucunya. Tapi pagi itu, setidaknya semua sudah berakhir. Ria melangkah keluar dari sarangnya, bersama bayi dalam gendongannya. Bapak dan ibu yang sedang mengobrol di ruang depan sedikit terkejut. Namun tak butuh waktu lama untuk kemudian berdiri dan sedikit berlari memberi pelukan pada perempuan yang berdiri di bingkai pintu. Ibu menangis hingga tubuhnya bergetar. Bapak mengelus bahu kedua wanita itu.
Baskara yang mendengar keributan itu segera membuka pintu kamarnya. Dia mendekat, namun hanya berdiri menyaksikan. Pemandangan itu seperti semilir angin di hatinya.
“Maafkan Ria, Bu, Pak,” tuturnya. Dua orang itu menyambut dengan senyum.
“Alhamdulillah, Bas senang lihat Mbak Ria lagi,” sahut Baskara. Ria segera menoleh. Ia tersenyum bersamaan dengan tangis. Jarak mereka tak berubah, tapi Baskara melihat hanya satu jiengkal terpisah. Tersadar, ia baru saja tenggelam dalam lamunan.
Ibu langsung menawarkan minum, cemilan, bahkan makanan. Ia sibuk sendiri di dapur, namun semangatnya meletup-letup. Bapak tak sabaran meminta gantian menggendong cucunya. Ria menyerahkan. Baskara lagi-lagi menjadi penonton. Ia berdiri di tengah ruangan. Bukan sekadar bahagia, tapi dadanya berdebar seolah tengah bertemu dengan orang yang begitu lama dirindukannya.Hari itu, untuk kali pertama setelah peristiwa membahagiakan sekaligus menyedihkan berlalu satu bulan lebih, akhirnya ada atmosfer hangat tercipta kembali. Ruang keluarga itu penuh tawa. Ibu menaruh segala makanan di meja dan memaksa Ria untuk segera menyeruput teh yang baru dibuatnya. "Keburu dingin, Mbak. Kalau habis nanti ibu buatkan lagi," kata ibu penuh semangat.Ria tertawa sambil mengangguk. Meski terlihat sudah sembuh, tapi di dalam dirinya semua luka masih menganga lebar. Hari-hari berikutnya dilewatinya dengan penuh juang memaksa diri untuk hidup normal. Pelan-pelan dia mulai duduk-duduk santai di teras, kemudian besoknya jalan-jalan di sekitar rumah. Dia mulai mengaktifkan handphonenya, membuka diri pada dunia luar.
Semua pesan yang masuk dia hiraukan. Sudah terlalu banyak. Jemarinya menggeser layar dan melewatkan setiap pesan, hingga pada detik ke sekian ada salah satu yang menarik dirinya untuk membuka. Dari Anggun, kawan lamanya yang tinggal di Jakarta. Setelah membaca satu kali, Ria tutup dan tak memikirkannya.
“Ria,” ibu mengetuk pintu. Ria mempersilakan masuk. “Bisa ngobrol sebentar sama Bapak?”
Ria meninggalkan anaknya yang tertidur lelap. Bapak duduk di seberang, di kursi yang biasa ditempatinya, sedangkan ibu di sebelahnya.
“Ria,” bapak memulai. “Arunika kan ke depan akan tumbuh besar. Kebutuhan akan semakin bertambah. Sementara, kamu sendirian, belum ada pekerjaan juga,” bapak menatapnya. Ria diam menunggu kelanjutannya. “Kalau Ria berkenan, bapak dan ibu sudah bicara dengan Baskara,” kali ini berjeda lagi.
Ria mulai merasa tak nyaman berada di sana. “Bicara apa, Pak?” tanyanya.
“Baskara berharap bisa membersamaimu membesarkan Aru...”
“Maksudnya, Pak?”
“Kalian menikah,” ibu yang menjawab. “Bapak dan ibu tidak meminta Baskara, dia yang menawarkan sendiri,” lanjutnya.
Ria melepas tangannya dari genggaman ibu. Bibir dan lidahnya kaku, tapi di kepala banyak sekali yang ingin diluapkan. Kerongkongannya tercekat, tapi sungguh dia ingin marah, protes, atau apalah untuk menolak.
“Ria masih punya harga diri, Bu, Pak,” suaranya bergetar. Sebisa mungkin menahan kecamuk dalam dada. Hidungnya perlahan memerah, begitu juga tepian dua bola mata yang semula putih.
“Menikah dengan Baskara sama sekali tidak mengurangi harga diri, Nak. Demi Aru, demi kehidupanmu kedepan. Kalian sah-sah saja untuk menikah. Baskara juga pasti bisa mencintaimu.”
“Saya yang nggak bisa, Bu!” kali ini nadanya sedikit meninggi. Ia bangkit dan berlari menuju kamar. Derai air mata kali ini jatuh kembali. Lukanya bertambah lagi satu. Padahal lainnya pun belum sembuh. Dia pandangi anaknya yang masih pulas. Dia belai, lalu dikecupnya pelan. Air mata menetes ke pipi mulus itu, membuatnya terbangun dan menangis kencang.
Persoalan mengurung diri di kamar tak diulanginya kembali. Dia mencoba tampil menjadi berani menghadapi kenyataan. Dia meminta semua anggota keluarga berkumpul. “Ria ada panggilan kerja di Jakarta,” katanya.
Semua bungkam, terlebih Baskara yang belakangan ini selalu menghindar setelah mendapat penolakan darinya.“Secepatnya Ria akan ke sana, hidup di sana.”
“Tidak lebih baik di sini saja, Nak?” ibu menanggapi.
Ria menggelangkan kepala. “Dari kecil Ria sudah hidup sendiri, jadi untuk hidup berdua bersama Aru, insya Allah Ria sanggup, Bu,” jelasnya.
"Ria, kamu marah soal yang kemarin? Yang..."
"Tidak, Bu" potong Ria. "Ria cuma merasa perlu memikirkan finansial untuk hidup ke depan, dan kesempatan itu ada di depan mata."
Tak ada yang menyanggah, termasuk juga bapak yang biasanya banyak gagasan dan pandai berargumen. Keputusan itu bulat. Tiga hari setelah pamitan, dia memutuskan untuk benar-benar pergi. Pada moment kepergian itu ada hati yang gemetar dan dilanda kebingungan yang dahsyat. Ia ingin menghalau, tapi kembali dia sadar bahwa dia tidak memiliki kekuatan. Dia bukan siapa-siapa.
***Kejadian semalam cukup membekaskan lelah. Ria rasakan sekujur badannya ngilu sekaligus perih. Beberapa kali dia meminta Aru untuk memijat pundaknya, sebelum bekerja kembali membereskan semua kekacauan di kamar. Baskara juga menyusul ikut membantu. Laki-laki itu meminta Ria dan Aru agar beristirahat saja. Ria menurut, dan beralih menuju dapur, sementara Aru enggan beranjak. Dia tetap bersama Baskara, membantu pekerjaan yang ringan.Baskara ber-aduh lirih untuk yang ke dua kali. Telapak kakinya tertusuk pecahan beling di lantai. Aru bergegas mengambilkan penutup luka dan sandal untuknya."Nggak usah," tolaknya saat Aru juga menyerahkan sandal karet dengan kepala kelinci berwarna merah muda di mukanya.Aru mengangkat kakinya tinggi seraya berseru, "Nih, dari tadi aku aman, Om." Wajahnya serius, seperti tengah berhadapan dengan anak yang pembangkang. Baskara meringis dan memakai sandal itu. Pukul tujuh tepat ketika mereka sedang selonjoran di depan televisi sambil menyeduh teh hangat, s
Kembali di masa sekarang, pada waktu Ria berdiri di balik jendela menyaksikan dua orang yang telah membekaskan arti di dinding hatinya itu mengobrol begitu seru. Ia beralih mendekati kasur setelah hampir satu jam menonton gazibu tempat Aru dan Baskara bercengkerama. Ia berniat untuk tidur. Tapi saat wajah menghadap tepat keatasnya, plafon putih bersih itu seperti mengajak berbincang. Sialnyq, pikiran Ria pun membujuk untuk menanggapi itu. Maka bermunculanlah riuh gemuruh yang satu per satu mengetuk ingatannya. Sebuah percikan listrik seperti menular ke titik-titik lain, merangkai mengantarkan pada sebuah memori. Seperti ada seruan akan adanya hal yang mengganggu dan meminta diselesaikan malam itu juga. Ria mencoba memejamkan matanya, tapi usikan itu kian jelas. Ia mengambil posisi duduk dan mencoba meniliki dirinya. Barangkali ada yang salah seharian ini. Tapi otak tak kunjung menemukan jawaban. Ia sandarkan kepalanya ke headboard. Ia pandangi ruangan luas yang hanya ia tempati seora
Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga. “Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya. Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu. I
Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya. “Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun. Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya." Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah. "Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata A
Empat hari tiga malam, tempat itu dirasanya menjadi hunian yang menciptakan trauma. Petang demi petang berlalu dengan rangkakan yang begitu malas. Jam di dinding seperti lamban bergerak. Berkali-kali ia pejamkan mata, berharap pagi telah menyapa begitu mata terbuka. Tapi hal itu tak pernah berhasil. Bukan saja karena kondisi fisiknya yang usai dioperasi, tapi juga kehancuran seluruh hidup seutuhnya. Ria mengunci diri di kamar bersama bayinya. Dia hanya membuka pintu jika ibu yang mengetuk untuk mengantarkan makan, memandikan si kecil, mengganti popok, atau memberikan susu. Selebihnya segala aktivitas dia lakukan di dalam kamar yang lengkap dengan kamar mandi dalam itu. Tamu yang datang hendak menengok si bayi sekaligus melayat harus ikhlas tidak dapat menemui orang yang dituju. Ibu dan bapak menjelaskan berulangkali pada setiap orang yang datang. Semua memaklumi, meski satu dua manusia masih tetap saja ada yang mencibir usai meninggalkan halaman rumah. Sepekan pertama Ria tak mampu m
Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa. Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah. Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa. Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa