Share

10. Pulang

Seolah tak begitu penting, kasus pembunuhan di ATM rumah sakit itu tutup buku. Baskara berkali-kali naik pitam, tapi tetap saja tak ada perkembangan. Bahkan bapak sampai melabrak ke kantor polisi, tetap saja suaranya tak menembus gendang telinga.

“Bapak dan keluarga sabar dulu. Kami masih terus melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti. Kalau semua bukti sudah akurat, kami baru berani memutuskan, Pak,” begitu kata polisi tiap kali ditemui. “Dugaan sementara, motif pembunuhan ini adalah perampokan karena dompet korban hilang,” tambahnya.

Jauh di kota yang berbeda, Ria pun mulai tak peduli lagi. Dia kesal menunggu kabar. Memikirkannya terus-terusan juga menambah lelah. Percuma menegakkan tekad sekuat apa pun untuk bilang pada dunia betapa sakitnya dia. Orang-orang di atas sana kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri. Maka dia memilih untuk fokus membangun jembatan kehidupan baru untuk dirinya bersama anak semata wayangnya. Dia sedang mencoba ikhlas, dan terus akan begitu.

Ibarat makanan, kasus itu mungkin dapat dibilang kadaluarsa. Benar-benar terlupa. Bukan saja Ria yang menyerah bertindak, keluarga di rumah pun makin tak punya muka untuk terus menuntut. Mereka semakin diabaikan. Maka keputusan pun jatuh pada pilihan yang sama: mengikhlaskan.

Ini tahun kedua dia menjalani hidup di ibu kota. Bermula dari projek yang ditawarkan Anggun padanya, dia mulai kebanjiran tawaran untuk menjadi bintang model. Antrean iklan mengoler di belakang. Jauh lebih banyak ketimbang sewaktu di Semarang. Perjanjian kontrak beruntun tiap hari. Nominal tabungan di bank pun bergerak cepat menambah digit. Bahkan rumah Anggun yang ditempatinya kini sudah berpindah kepemilikan.

Aru kecil sehari-hari bersama suster di rumah, sementara Ria semakin gigih mengumpulkan uang. Hingga suatu hari banjir datang menggenangi Jakarta. Lantai satu rumahnya sudah macam kolam yang menenggelamkan perabot-perabot rumah. Segala aktivitas mereka lakukan di lantai atas. Satu pekan bertahan, banjir tak kunjung surut. Pemerintah mengatakan bahwa banjir susulan mungkin akan datang sewaktu-waktu.

"Bapakmu sakit," kata Ibu.

Terdengar embusan pelan napasnya yang baru saja dihirup dalam dalam. Tangannya berhenti membelai kepala Aru yang terlelap dalam pelukannya. Ria menggigit bibir.

"Pulanglah, Nak," lanjutnya.

"Sakit apa, Bu?"

Dari teleponnya terdengar perempuan itu ber-hah panjang. "Batuk-batuk seperti biasa, tapi kali ini lebih parah. Susah dibilangi bapakmu itu. Rokoknya itu loh tidak kenal jeda."

Suasana hening sesaat. Benda tipis segenggaman tangan itu tak bersuara.

"Sudah dibawa kedokter bu?"

"Mana mau. Pernah dijebak juga akhirnya kabur begitu tahu kalau ternyata mau dibawa kedokter."

Ria tak berkomentar lebih lanjut. Belum terlintas di kepala mengenai saran apa yang pantas ia sampaikan. Ada sedikit rasa bersalah dan keinginan memenuhi panggilan ibu mertuanya itu. "Di sini juga sudah sepekan banjir, belum ada kabar baik, Bu." Entah mengapa kalimat itu yang justru diambilnya. Tanpa disadari, sepertinya dia sedang mencari penguat alasan untuk pulang ke Semarang.

“Nah!" timpalnya cepat, nadanya meninggi. Ia seperti baru saja menemukan poinnya. "Sudahlah, Nak, kamu balik saja kesini," bujukan itu makin kuat. “Ibu kangen juga sama cucu ibu,” lanjutnya. “Ibu dan bapak sudah tua. Kalau bukan kalian anak-anak kami yang menemani, siapa lagi? Sudah dua tahun kalian tak pulang satu kali pun. Ibu mohon, Nak."

“Nanti Ria pikirkan lagi, ya, Bu."

Suara ibu mengiyakan. Terdengar ada keyakinan besar yang kini tinggal di dadanya. Ia berharap obrolan itu akan membuahkan hasil. "Aru sudah tidur?" ibu mengalihkan topik.

"Sudah, Bu."

Mereka mengakhiri obrolan di telepon usai basa-basi standar. Perbincangan malam itu ternyata tak cukup membuat ibu merasa puas. Inginnya begitu kuat agar menantu bersama cucunya pergi meninggalkan ibu kota dan menemaninya di rumah. Jadilah dia membujuk anak laki-lakinya untuk bantu mendesak. Untuk pekerjaan ini tentu Baskara sangat bahagia melakukannya.

Pagi-pagi selesai subuh, Baskara mengirim pesan. “Nanti aku carikan pekerjaan untuk Mbak Ria. Aru bisa sama ibu, atau aku, Mbak. Alhamdulillah Bas sudah ngajar sekarang, jadi Mbak Ria tidak usah terlalu memusingkan keperluan Aru."

Ria tak langsung membalas. Ia lihat berulang-ulang pesan itu. Takut sekali kalau-kalau ada yang salah dibaca. Tapi akhirnya dia yakin, pesan singkat itu memang berkata demikian. Rasanya tenang. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Saat dirinya masih sibuk menyusun kata di kepala, pesan baru lebih dulu menyusul.

"Kalau sudah dapat tanggal, aku yang jemput Mbak Ria ke Jakarta, ya.” Masih dari Baskara.

Ria berhenti berpikir. Semakin bingung dia hendak mengetik apa. Antara kepala dan dada tak sinkron lagi. Dia tutup halaman chat dengan Baskara, dan ibu jarinya menekan lama nama Baskara hingga muncul centang hijau kecil, lalu bergerak ke titik tiga di ujung atas sebelah kanan, dan terakhir ia ketuk sekali tulisan 'mark as unread'. Ia lemparkan ponselnya ke kasur, disusul tubuhnya.

Dulu, ketika dirinya memutuskan untuk pergi rasanya begitu mudah. Tapi ini, saat hendak kembali justru sebaliknya. Rasa cemas dan aneh berkelindan menuju satu titik rasa yang belum pernah ada dalam kamus hidupnya. Ia tutupkan handuk putih ke wajahnya, dan rasanya ingin menjerit seketika. Sepagi ini, hasratnya melenyap untuk berlaga di depan kamera.

***

Butuh empat hari, ibu dan keluarga di rumah menunggu keputusan Ria untuk pulang. Sebenarnya sejak pagi itu, saat muncul pesan dari satu laki-laki yang lama tak ada kabar, Ria sudah tak miliki alasan untuk bertahan. Sisa-sisa hari berikutnya ia sibukkan dengan mengurus transaksi penjualan segala aset di Jakarta dan juga mengirim mobil ke Semarang. Ia mantap tak akan meninggali kota itu lagi. Baru setelah semua beres, ia bilang hendak pulang.

Baskara sudah siap, tapi ia harus menunggu ibu yang sibuk memasukkan bekal ke dalam kantong kain yang biasa dibawanya ke supermarket. "Buat ngemil di jalan," terang ibu. Dia diam saja menyaksikan, karena kalaupun dicegah juga tidak akan mempan.

Ria menempelkan kembali ponselnya ke telinga setelah beberapa kali tadi juga melakukannya. Banyak sekali orang yang ia hubungi hari ini.

"Kamu berangkat jam berapa, Ri?"

Ria melirik jam tangannya. "Siang, Nggun. Jam dua belas mungkin Baskara sampai."

"Aduh, jadwal pesawatku jam satu, Ri,” balas Anggun cepat. Ada rasa kecewa yang terdengar dari nada bicaranya.

"Nggak apa, Anggun. Aku pamit lewat telepon saja, ya."

Jawaban Anggun terdengar berat. Ia bilang sungguh ingin bertemu. Tapi Ria juga tak dapat menjanjikan itu. Baskara tiba tepat waktu. Pukul dua belas lebih hitungan menit. Aru yang sudah bisa lari-lari seolah langsung mengenali siapa yang datang. Dia menghambur datang menyambut, lalu memeluk kaki laki-laki itu.

Baskara berjongkok demi menyejajari wajah Aru. Keduanya saling tatap, seperti sedang bicara lewat bahasa batin. Lama. Baskara berkaca-kaca.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status