Share

9. Ibu Susu

Tujuh jam di bus bersama bayi yang baru berusia dua bulan memang cukup menguras jiwa dan raganya. Aggun menjemputnya di terminal, lalu langsung bergerak ke Selatan menuju rumah yang katanya bisa dia tinggali. Rumah tiga lantai itu -yang meskipun cat putihnya terlihat sedikit kusam- sebenarnya jauh dari prediksi Ria. "Kukira tak semewah ini," ujarnya sambil mengamati setiap bagian rumah. Kepalanya mendongak demi melihat ujung atapnya.

“Kamu bisa tinggal di sini sesuka kamu. Gratis. Yang penting kamu rawat. Setidaknya aku nggak perlu ngeluarin uang untuk jasa cleaning service," jelas Anggun.

Ria meringis, lalu mencubit lengan sahabatnya. "Makasih, ya."

Anggun memimpin di depan. Ia memilih kunci di tasnya, sementara Ria masih takjub dengan desain kebun kecil tepat di halaman depan yang meneduhkan mata. Ornamen-ornamen penghias taman juga tampak serasi. Ia terlihat modern, namun tetap menunjukkan jiwa seni yang bersejarah.

"Kau bawa Aru dulu ke dalam. Aku bantu masukin barang," kata Anggun begitu berhasil membuka pintu.

Ria menuju mobil dan dengan gerakan setenang mungkin meraih tubuh mungil yang terlelap di kursi. Ia membawanya ke kamar. Rumah itu terlihat bersih dan rapi meskipun tidak ada yang menghuni. Anggun sudah menyiapkan semuanya dengan begitu baik sampai memastikan semua sudut rumah tak ada yang berdebu. Kemarin empat orang langsung ia terjunkan untuk membereskan. 

Anggun tak berlama-lama menemaninya karena sudah dikejar jadwal foto. Dia janji akan datang jika jadwalnya kosong. Ria menggeser gerbang besi warna emas dengan ukiran bunga matahari yang sisi atasnya runcing seperti ujung pisau. Dia masuk kembali. Urusan selanjutnya adalah bersih-bersih badan lebih dulu. Semua tubuhnya terasa lengket. Panasnya Jakarta masih belum bersahabat. Hingga dia selesai mandi, Arunika masih tidur. 

Senja seperti datang lebih cepat. Ia selesai membongkar dan memindahkan barang-barang dari kopernya kedalam lemari. Bel terdengar berbunyi. Ia turun. Seseorang mengantarkan makanan yang Anggun pesan untuknya. Ia masih berdiri di pintu hingga orang itu pergi dengan motornya.

Ia hanya ingin melihat suasana menjelang petang di luar sana. Tak ada yang istimewa. Ria memutuskan untuk masuk kembali. Bersamaan dengan gerakan tangannya menutup pintu, samar-samar dia mendengar tangisan bayi. Dia langsung berlari menuju kamar. Setibanya di kamar, Aru masih tidur. Jadilah dia bingung. Dia keluar menuju balkon, mencari suara tadi. Dia fokuskan telinga, dan entah dari mana sumbernya, tangisan itu masih ada. Merinding bulu kuduknya. Ia cepat-cepat masuk kembali, duduk di sebelah anaknya dan mulai menyantap makanan yang masih hangat, tentunya dengan pikiran dan perasaan tak menentu. 

***

Anggun datang kerumah pagi-pagi sambil membawa sarapan. Ria baru saja selesai memandikan Aru. Semerbak wangi minyak-minyakan untuk bayi terperangkap dia langit-langit ruangan. Tawa si kecil seperti irama yang mengundang keceriaan. Anggun langsung menimbrung menggodanya.

“Aru kamu kasih susu formula?” tanya Anggun begitu menyaksikan Ria menyuapkan susu.

“Iya, Ri. Sumber kehidupan aku kan cuma dari model. Aku belum siap menerima perubahan tubuhku.”

Okay, I see. But... Makanan terbaik buat bayi seusia Aru kan ASI, Ri. Ya, walaupun aku belum punya anak, tapi mama aku itu dokter anak dan selalu mengusung tema pentingnya air susu seorang ibu di seminar-seminarnya. Lagi pula susu formula kan mahal. Uangnya bisa kamu prioritaskan ke yang lain. Apalagi di masa sulitmu sekarang.” 

Ria menyimak nasihat itu. Tapi dia tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh, Nggun. Kemarin malam waktu aku ambil orderan makanan, aku dengar ada bayi nangis. Kukira Aru, ternyata dia masih tidur. Sampe aku cek lagi dari teras di atas, masih terdengar, dan aku yakin banget itu bayi nangis," serius sekali Ria bercerita.

Anggun terkekeh. Ria kebingungan. “Itu anak tetangga, Ri. Bu Mita. Anaknya masih bayi, kurang tahu aku usia berapa. Tapi masih bayi banget kok. Dulu aku yang antar dia lahiran ke rumah sakit. Mamaku yang tangani. Mungkin sekitar 6 bulan sepertinya ya sekarang.

Ria ber-oh panjang. Tertawa malu.

Suara dering ponsel dari tas Anggun mengganggu obrolan mereka. Anggun izin menerima panggilan. Sebentar setelah itu, ia izin pamit. "Sering-sering saja main keluar. Kenalan sama Bu Mita. Dia orangnya baik, kok.” tambahnya. Anggun menyampirkan tasnya ke pundak. Dia melambai, dan mencium Aru kecil yang sedang asik gigit-gigit teether sebelum mengucap salam lalu pergi.

Ria menyuapkan kembali susu yang tinggal sedikit. Sengaja dia membuat hanya setengah dari takaran biasanya, itu pun sedikit lebih encer. Hingga gelas susu tadi habis, si kecil menangis. Ria menggendongnya barangkali dapat menghentikan tangisnya. Ternyata tidak berhasil. Dia bawa ke halaman depan dan terus menimangnya. Bu Mita yang Anggun ceritakan sedang menyapu halaman rumah dan melihat kearahnya. Ria mengangguk sambil tersenyum, kemudian masuk kembali.

Sebenarnya dia tahu kalau bayinya masih lapar, tapi dia memilih mengingkari batinnya. Memang tak tega mendengar tangisan itu yang semakin kencang, tapi masih ada hari esok yang harus ditemuinya dan dia harus bertahan selama mungkin.

Kekacauan pikirannya mulai merabai luka-lukanya yang belum terobati. Teringat kembali ia pada laki-laki yang seharusnya menjadi penopang hidupnya. Tapi sekarang dia harus hidup berdua, dan perjuangan kali ini dia lakukan seorang diri. Tangis menjadi bahasa yang paling mudah untuk mengungkapkan. Dia duduk dan memandangi mata kecil yang belum tahu apa-apa itu. Hatinya semakin nanar.

Tiba-tiba pintu diketuk. Dia cepat-cepat megeringkan mata dan pipinya dengan punggung tangan. Sambil menggendong si kecil yang terus menangis, dia membukakan pintu.

“Assalamu’alaikum,” salamnya begitu lembut. Ria menjawab salamnya.  “Maaf, Mbak, saya dengar dari tadi adeknya nangis terus. Bukannya mau ikut campur, saya cuma bermaksud membantu , Mbak,” lanjutnya begitu hati-hati.

 “Iya, Bu,” dia tak mau menjawab panjang lebar.

“Sudah disusui?”

Ria diam. Matanya berkaca kembali. “Sudah saya kasih susu, Bu.”

“Mungkin belum kenyang, coba disusui lagi, Mbak.”

Ria menggelengkan kepala. Kali ini dia benar-benar menangis. Bu Mita jadi bingung dan takut dirinya salah berujar. “Saya tidak menyusuinya, Bu. Tapi susunya juga sudah mau habis. Saya… “ kalimatnya terputus. Dia merasa tak perlu menceritakan keadaannya. Tapi naluri perempuan terus mendesaknya untuk bicara.

“Saya baru datang dari kampung, di sini cuma numpang di rumah Anggun. Belum ada kerjaan, suami saya baru saja meninggal,” kalimat itu terlontar begitu saja. Kini dia sudah tergugu, beradu dengan tangis bayinya.

“Boleh saya menyusuinya?” Bu Mita ternyata sudah basah pipinya. Dia merentangkan pelukan, menunggu  bayi mungil itu diserahkan kepadanya. 

Ria memandang ragu-ragu. Tapi bayi itu terus meronta. Pikirannya sudah tak jernih lagi. Dia kehilangan kendali untuk memikirkan. Keadaan mendesaknya hingga tak mampu berkutik. Perlahan dia serahkan bayinya pada perempuan yang kelihatannya lima atau enam tahun lebih tua darinya.

“Boleh saya susui di dalam?”

Ria menggeser posisinya, memberikan jalan masuk. Bu Mita duduk dan mulai memberikan ASI. Seketika tangis itu mereda, meski terlihat si bayi belum pandai mengisap putingnya karena dari lahir belum pernah menjuampai benda semacam itu. 

Ria menarik napas dalam dan mengembuskannya. Bu Mita tersenyum. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status