Share

7. Kelahiran dan Kematian

Dinginnya ruangan berpadu dengan beku dalam jiwanya. Ria duduk tegak dan dokter menyuntikkan obat bius epidural di saraf punggung bagian bawah. Beberapa saat kemudian perasaan asing menjalar di kakinya hingga akhirnya separuh tubuhnya benar-benar hilang rasa.

Ia menatap ke langit-langit yang sunyi. Sementara, sekitar lima orang tenaga medis sibuk mengiris kulit perutnya. Kain penutup tubuhnya sekaligus menjadi tirai penghalang agar ia tak menyaksikan apa yang sedang dokter beserta timnya kerjakan di sekitar tubuh bagian bawah.

Denting bunyi alat-alat tajam yang saling bersenggolan terdengar menusuk di telinga. Untuk pekerjaan sepenting ini, mereka masih dapat asyik mengobrol, bahkan menggosip. Bagi para tenaga medis, mungkin pekerjaan itu sudah semacam mengupas bawang layaknya bagi ibu rumah tangga biasa.

Perlahan Ria mulai bersahabat dengan keadaan. Dia sesekali ikut tersenyum mendengar ibu-ibu itu bercanda. Menuju menit ke 40, salah seorang mendorong isi perutnya ke bawah. Terasa getar-getarnya. Sesaat kemudian sesuatu keluar. Begah di tubuhnya sirna seketika. Lega rasanya. Bersamaan dengan itu sebuah tangisan yang begitu lantang memecahkan kesunyian.

“Kencang sekali. Nangis atau tertawa, kamu?” gurau dokter sambil terkekeh. Bayi merah itu ditunjukkan sebentar pada ibunya. “Cowok, ya, Bu,” ujarnya. Ria tak dapat langsung menggendongnya sebab si bayi harus dibersihkan terlebih dahulu. Derai tangisnya menyusul. Ia tak mampu membendungnya lagi. Ia kini adalah seorang ibu.

Di luar rumah sakit, seorang tukang parkir berhasil memecahkan kaca ruang mesin ATM dengan batu. Beberapa orang yang mendengar minta tolong ikut membantu. Tubuh di dalam sana sudah tak bergerak, tapi mereka belum menyimpulkan keadaan. Beberapa orang tergopoh-gopoh membopong, tak peduli darah menempel di bajunya yang mungkin baru saja ganti beberapa waktu tadi. Tenaga medis menyambut sambil mendorong ranjang beroda dan membawanya ke ruang IGD. Orang-orang di luar geger, saling menaruh prasangka namun tak miliki petunjuk.

Ibu dan bapak sudah menunggu hampir seperempat jam di parkiran. Tadi sempat menyaksikan ada keributan di dekat ATM, tapi mereka segan untuk mendekat. Berkali-kali Arya ditelepon, namun tak ada jawaban. Akhirnya mereka memutuskan masuk dan bertanya pada petugas di dalam.

Ketika sedang fokus mencari kamar yang disebutkan oleh bagian resepsionis, tiba-tiba ponsel berdering. Arya yang telepon. “Halo, maaf ibu, apakah ini keluarga dari Bapak Arya?”

“Iya, saya ibunya. Ini siapa, ya?”

“Kami dari petugas rumah sakit Puri Asih. Bapak Arya sedang mengalami kritis di ruang IGD sekarang, Bu. Silakan pihak keluarga datang kesini untuk mengurusnya.”

Ibu hanya ber-a dan ber-em. Gelagapan dia mengutarakan kalimat tak jelas pada bapak. Bapak yang sebal karena tak paham segera menyerobot ponsel dan mengambil alih obrolan. Orang di telepon mengulang kalimat tadi. Bapak langsung bergegas menuju ruang yang dimaksud, sementara ibu membuntut di belakang sambil menangis.

Ria sudah dipindah kembali ke kamar inap. Suaminya tak ada di sana, tidak ada juga bapak-ibu. Ia sendiri. Rasa campur aduk memenuhi dadanya. Tak sabar ingin melihat putranya. Ingin juga menerima pelukan kekasihnya. Ia ingin mempercepat waktu agar tak lebih lama lagi menunggu.

“Ibu, ada keluarga yang bisa ambil banyinya di ruang persalinan?” seorang suster masuk ke kamar. Ria menggelengkan kepala. Dia tidak tahu suaminya ada di mana. “Baiklah, nanti saya antarkan kesini, ya, Bu,” lanjutnya. Ria mengangguk, bilang terima kasih beriring senyum.

Hingga bayi itu berada di sampingnya, Arya belum juga muncul. Dia tak dapat mengambil ponselnya. Dia juga haus, tapi tubuhnya masih tak dapat digerakkan. Biusnya belum hilang. Luka panjang jahitan tadi juga pasti enggan dibawa bergerak. Dia hanya berbaring sambil membelai si kecil. Mereka hanya berdua.

Berjam-jam tak ada yang mengurus, akhirnya seseorang mendorong pintu. Ibu mertua muncul di sana. Seorang diri. Matanya sembab, seperti habis menangis begitu lama. Ia mendekat, gemetar, lalu memeluk begitu erat. Ia kecup cucu pertamanya itu, dan dipandangi lama.

“Mas Arya di mana, Bu?” Ibu tak menjawab, masih menghadapkan wajah pada bayi yang tertidur pulas. Ria memanggil sekali lagi, lalu mengulang pertanyaan.

“Ada, di bawah,” jawab ibu lirih. Ia memalingkan wajah, namun sesenggukannya begitu kencang sekalipun dia tahan-tahan.

“Ria mau ketemu Mas Arya, Bu. Boleh minta tolong dipanggilkan, Bu?”

“Iya, nanti, ya,” ucapnya, masih belum mengalihkan wajahnya.

Ria tak puas dengan jawaban itu. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Tapi dia juga tak bertanya lagi. Kesal perlahan muncul. Rasanya mustahil sekali jika suaminya akan tak acuh begitu.

“Kalian sudah punya nama?” ibu bertanya. Kali ini dia lebih dapat mengendalikan diri.

Ria mengangguk, lalu tersenyum. “Bu,” panggilnya tiba-tiba. “Ria haus,” katanya. Ibu buru-buru mencari minum. Ada di lemari sebelah tempat tidur. Segera dia membantu menantunya itu minum. Satu masalah terselesaikan. Ria merasa lebih baik. Tapi pikirannya semakin kalut. Dia masih ingin terus menanyakan suaminya, tapi ibu selalu mengalihkan pembicaraan.

“Bu, Mas Arya kenapa?!” Ria bertanya dengan nada tinggi. Dia kehilangan kontrol diri. Dia lelah, tak ingin bermain tebak-tebakan untuk situasi sekarang.

Ibu bungkam. Dia menatap lantai. “Ibu panggil bapak di luar dulu, ya,” kata ibu sambil berlalu.

“Ria mau Mas Arya, Bu!” teriaknya disusul tangis. Bayinya terbangun, ia menangis kencang. Susah payah tangannya meraih tas di atas meja, bermaksud mengambil susu untuk si kecil. Jahitan diperut langsung menyetrum hingga ubun-ubun. Dia tak mampu melakukan itu. Isi kepalanya seolah ingin meledak mendengar bayinya menangis kian kencang. Ia panik. Sungguh situasi yang selama ini belum pernah dirasanya.

Bapak masuk bersama ibu. Tangis si bayi tak peduli, ia terus merengek. Ria sudah bercucuran keringat dan air mata. “Susunya di tas, Bu,” katanya dengan sisa-sisa tenaga. Ibu membantu mencarikan susu yang dimaksud, sekaligus mengeluarkan sendok dan botol. Semuanya ia lakukan dengan tenang. Perlahan, kentara penuh kasih sayang. Akhirnya tangis itu terhenti begitu sendok menyentuh bibirnya dan cairan putih manis membasahi kerongkongannya. Ibu menimangnya sambil lanjut menyuapi si kecil.

Bapak mendekatkan kursi, duduk di sana. Wajahnya tak seceria biasanya. Tergambar jelas ada yang sedang melukai hatinya. Ragu-ragu dia mulai bicara. Namun berkali-kali dua bibir itu mengatup kembali.

Ria tak mengalihkan pandangan demi menunggu bapak mulai berkata. Dia pun sebenarnya tahu bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja. Tapi dia tetap ingin bertanya. “Mas Arya kenapa, Pak?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status