Share

2. Menuju Babak Baru

Rasa yang hilang. Hari yang tak akan berulang. Mentari yang juga enggan kembali bersulang. Masa-masa yang dirasanya begitu panjang. Berlalu hanya untuk menambah nganga luka yang terus-terusan meradang. Semakin dieja, semakin menyesakkan untuk dikenang. Pernah ia mencoba untuk berdamai dan mempersilakan siapa pun untuk datang. Tapi ia ternyata selalu kalah oleh gumpalan luka yang kekal bersarang. Ia pernah berjuang untuk melawan dendam yang mengekang, tapi ketakutan tiba-tiba ikut bertandang. Sebanyak apa pun dirinya berusaha, lagi-lagi langit tetap memilih petang, membungkam gemintang.

Pandangannya jauh ke atas menembus lapisan tanpa ujung batas. Ia kais-kais sisa hatinya yang tak tercabik. Berkelebat riang dan tawa yang sesaat. Terngiang cita-cita bersama yang saat itu rasanya begitu dekat untuk menjadi nyata. Sayangnya cerita berlangsung singkat. Andai saja bukan dia. Andai saja bukan dirinya. Terkadang dia pun berpikir bahwa mungkin Tuhan memang tak ingin melihatnya bahagia. Ia sudah teramat lelah bertanya soal keadilan.

Udara yang sekalipun membelai lembut tetap saja terasa menusuk. Ria menggosokkan telapak tangannya ke lengan kiri, berharap dapat menciptakan kehangatan. Kerlap-kerlip lampu perkotaan tampak elok dari balkon rumah tempat ia berada sekarang. Dari sini ia dapat melihat barisan cahaya yang berderet mengikuti garis jalanan.

Rombongan bocah-bocah datang membuyarkan sepi. Sekurang-kurangnya ada 6 anak di bawah sana. Beberapa saling pukul dengan sarung yang ia kibas-kibaskan semau sendiri. Beberapa yang tubuhnya lebih tinggi berjalan santai sambil mengobrol dengan kawannya. Anak-anak ini pasti berlama-lama menghabiskan waktu di serambi masjid usai shalat isya tadi. Ria menyaksikan detik-detik saat bangungan berkubah dengan bulan bintang di ujungnya itu tiba-tiba gelap karena lampu padam. Ia juga menonton jamaah satu per satu keluar dan menghilang di berbagai gang. Tapi sekumpulan anak-anak tanggung ini seolah tak tahu kalau orang tua mereka menunggu di rumah dan ingin segera mengunci pintu.

Ria membetulkan posisi duduk, kemudian kembali memandangi cakrawala. Tak ada setitik pun cahaya. Seluas itu, semuanya tampak kosong.

"Bunda!" seruan itu disusul sebuah rengkuhan yang mengagetkan. Ria memukul pelan bahu putrinya yang sekarang sudah menggoyangkan tubuhnya kekanan dan kekiri. "Aru cari-cari. Di sini ternyata."

Ria terkekah. "Kirain sudah tidur."

Aru tak menanggapi. Ia duduk mendempetkan badan meminta bundanya berbagi kursi. "Nunggu Om Bas dari tadi nggak datang-datang," jawabnya cemberut. Jemarinya sudah sibuk menggeser-geser layar ponsel. Ria merangkul putrinya. Kecupan mendarat di kening gadis muda yang baru sebulan menjadi mahasiswa itu. "Bagaimana kuliahnya hari ini?" Ria mengganti obrolan.

"Menyebalkan, Bunda," ketusnya. Ia tak langsung menjelaskan, malah meraih secangkir kopi di meja dan menyeruputnya tanpa perlu tahu itu milik siapa. "Emh!" buru-buru ia jauhkan dari bibirnya. "Ngga enak, Bunda. Sudah dingin." Wajah Aru penuh kecewa. Ia seka sisa minuman yang tertinggal di bibir dengan punggung tangan. Ria tertawa karena dia juga lupa kalau di sana ada kopi.

"Makanya jawab yang benar kalau bunda tanya," serang Ria merasa ada kesempatan. Ia bahagia bisa menggoda putrinya.

Aru melenguh sebal. Ia mencari posisi duduk yang nyaman sambil mulutnya semakin manyun. "Ada teman baru. Nirmala dan Swastamita."

"Eh? Swasta...?" potong Ria. Lidahnya kesusahan mengeja. Tapi nama itu menggelitik di telinganya.

"Swastamita. Asta panggilannya, Bunda."

Ria ber-oh panjang. "Cewek dua-duanya?"

"Asta itu cowok, Bunda," nadanya mulai terdengar tak bersahabat.

Ria mengangguk-angguk paham. Dia menunggu putrinya melanjutkan cerita. Karena tadi belum cukup menjelaskan bagian mana yang katanya menyebalkan.

"Anak yang bernama Mala hari ini ulang tahun," Aru tertunduk. Suasana berubah hening. Semakin dingin. Dalam hati, Ria masih kebingungan menebak-nebak di bagian mananya yang menyebalkan. "Dia sangat bahagia. Selalu bahagia tiap kali mengulang ===tanggal kelahirannya." Aru mengambil jeda. Ada sekitar lima detik. "Kenapa dia sebahagia itu sementara aku nggak bisa, Bunda? Bahkan tidak akan pernah bisa! Dia nggak ngerti bagaimana rasanya nggak akan pernah bisa bertemu ayah." Suara Aru bergetar. Genangan air di sudut-sudut matanya tak tertahankan. Jemarinya berusaha menyingkirkan sebelum ia mengalir ke pipi.

Ria mendekapnya erat. Ia belai dan terus ia ciumi kepala putrinya. Sudah lama Aru tak semarah ini. Kemarin-kemarin dia terlihat sudah terbiasa dengan momen itu. Tapi sekarang Aru seperti dihadapkan pada ujian baru. Saat lulus dari satu episode, ternyata benar bahwa babak berikutnya menanti untuk dihadapi. Di situ, tiba-tiba ketakutan itu justru menyergap diri Ria. Kedepan masalah akan semakin kompleks, dan dia harus siap melihat anak gadisnya tumbuh dewasa menghadapi semua itu.

Keduanya tak saling bicara hingga gemuruh di dada masing-masing mereda. Isak tangis Aru  perlahan berhenti. Ria juga mulai mengumpulkan keberanian untuk berpura-pura kuat di hadapan anak gadisnya. Jika di dunia ada manusia yang mahir memilih topeng, maka Ria adalah salah satunya. 

"Bagaimana pun, temanmu itu punya kehidupan sendiri. Jangan sampai kamu malah membuatnya ikut-ikutan bersedih. Dia sungguh tidak ada sangkut paut dengan keluarga kita. Kamu pun tak perlu pedulikan. Ada jutaan manusia di bumi ini yang lahir di hari yang sama denganmu, Sayang," Ria mulai bertitah dan ditanggapi dengan anggukan oleh Aru. "Kalau satunya itu, si Swasta ... Asmita ..."

"Asta, Bunda," jelas Aru. Aru meringis melihat wajah RIa yang jelas terlihat menderita sekali menyebut nama itu. "Baik banget orangnya, Bun. Dia yang menyelamatkan Aru dari omelan dosen. Aku nggak tahu kalau ada tugas kelompok, dan dia tiba-tiba mengaku kelompokku. Padahal sama sekali Aru nggak tahu dia. Tugas yang dia kerjakan dapat nilai sempurna, bonus pujian dari dosen." Aru geleng-geleng kepala penuh takjub. Mukanya jauh terlihat sumringah.

"Ganteng nggak?" Ria berbisik menggoda sambil mendekatkan wajah ke hidung Aru.

Aru menjauhkan kepalanya, lalu tertawa, tersipu malu. 

Pemandangan itu cukup menenangkan. Tapi Ria sadar bahwa babak itu baru saja akan dimulai. Benar, tentu dia sadar bahwa putri semata wayangnya sudah tumbuh besar. Soal bertahan hidup mungkin mudah. Tapi soal perasaan, Ria tak bisa pastikan dia akan berhasil.

Dalam hati gadis muda itu bunga-bunga sedang bermekaran. Seolah-oleh tangisya tadi tak pernah terjadi. Seakan-akan amarah dan kecewa dalam dirinya hanya angin lewat yang tak menyapa. Sementara itu, di sebelahnya, mata rantai-rantai mulai dikencangkan. Pupil mata membesar memastikan semua terpantau. Ria bersiaga menunggu sebuah pertempuran besar. Sebuah babak berhadapan dengan anaknya sendiri.

Bel rumah berbunyi. Aru bersiap, seolah tahu pasti siapa yang datang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status