Share

4. Pemuda Baik Hati

Kala itu di tahun 1998. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian regional Jawa Tengah, tentu kota itu terbilang maju jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Meskipun begitu, ada bagian di dekat kaki gunung Ungaran,  yang mana manusia di sana masih hidup bersama limpahan kekayaan alam. Jauh dari polusi industri dan sibuknya ibu kota provinsi. 

Sebuah mobil berisi rombongan muda-mudi baru saja memasuki kawasan Semarang. Salah satu yang berada di sana memotret gapura besar bertuliskan selamat datang. Untuk orang-orang seperti mereka, kota ini terlihat jauh lebih menenangkan dibanding kota asalnya. Kendaraan berplat Jakarta itu terus melaju hingga akhirnya berbelok menuju jalan setapak yang lebih sepi, memasuki sebuah pedesaan. Satu orang fokus melihat g****e map di ponselnya. Dua yang lain duduk di belakang dan menikmati pemandagan dari balik jendela di sisi masing-masing.

Cukup panjang rute yang mereka tempuh tanpa ada rumah di kanan-kirinya. Sekitar 2 kilometer hanya ada beragam jenis pohon dan rerumputan yang tumbuh subur. Mata mereka disuguhi oleh rerimbunan yang menghijau. Saat kaca jendela diturunkan, aroma segar dari alam menyapu menentramkan.

"Dia bilang nunggu di pinggir jalan," kata salah seorang. Mereka baru saja tiba di perkampungan. Tak seperti yang mereka bayangkan. Desa itu jauh dari deskripsi terbelakang ataupun kuno. Banyak rumah-rumah yang juga sudah bergaya modern. Tiga pasang mata yang lain mencari ke sekeliling. "Hampir sampai di titik," lanjutnya. Roda memperlambat gerakan rotasinya. 

"Itu Ria!" Seru perempuan berjilbab yang duduk di belakang. Jarinya menunjuk ke depan. Di luar sana orang itu melambai. Mobil berwarna perak itu menepi dan berhenti. 

"Kita langsung saja, ya," seru laki-laki yang sejak berangkat tadi memegang kemudi begitu jendela mobil dibuka.

"Nggak masuk dulu? Istirahat, minum-minum," tawar Ria.

"Tadi kita sudah mampir makan, kok," tambah yang lain. 

Ria tak memaksa untuk yang ke dua kali. Dia ikut bergabung ke dalam, duduk di paling tepi.

"Yey, aku nggak cewek sendiri, deh," girang Anggun sambil sibuk menggeser posisi duduknya. Dia yang sedari tadi menjadi target kejahilan teman-temannya kini merasa aman. Keduanya langsung kompak membicarakan segala macam hal. Lupa kalau ada teman-teman lain yang perlu disapa.

Mobil berbalik arah. Beruntung halaman rumah Ria cukup luas untuk tempat berputar. Kali ini tidak butuh map karena warga lokal yang baru saja bergabung itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi penunjuk jalan. Mereka langsung bergerak menuju destinasi wisata pertama. Kendaraan beroda empat itu melaju lancar mengikuti liku dan naik turun jalanan. Hingga tiba di sebuah tanjakan, tiba-tiba sesuatu terjadi. Mobil yang sudah hampir sepuluh jam mereka naiki itu kelelahan.

Roda tak dapat bergerak, seberapa pun banyaknya mesin coba digas. Semua panik, terlebih Anggun. Tiga pemuda turun dan mengecek mesin di bagian depan. Dua perempuan sisanya tetap duduk dan membantu dengan doa. Ria mencari bengkel terdekat menggunakan ponselnya. Jaga-jaga jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Mendung memang sudah bertandang sejak mereka memasuki kota itu. Cukup kecewa karena cuaca tersebut pasti akan merusak skenario mereka. Tapi hingga beberapa jam kemudian gerimis baru menunjukkan diri.  

"Kayaknya butuh ke bengkel, deh," seru salah seorang dari luar. Perlahan tetes-tetes air mulai berjatuhan. Ria segera turun menyusul untuk menunjukkan bengkel yang menurut ponselnya berjarak 500 meter di depan. Anggun mengikuti di belakang.

Mereka berdisku. Segerombolan anak muda di pinggir jalan itu cukup menarik perhatian orang-orang yang lewat. Lalu lalang kendaraan kian riuh karena hari mulai siang. Beberapa orang berlalu tanpa peduli, dan beberapa ada yang terus memandangi penuh penasaran.Tak berpikir dua kali, mereka sepakat untuk menuju bengkel tersebut. Satu orang masuk kembali ke dalam mobil untuk mengendalikan mesin, sementara sisanya akan mendorong dari belakang. 

Rintik semakin menderas. Langit seolah enggan diajak kerja sama. Empat muda-mudi mulai meletakkan telapak tangan ke badan mobil bagian belakang. Mereka kerahkan tenaga semaksimal mungkin untuk berjuang memberi gaya dorong maksimal. Perlahan roda mulai menggelinding dan mobil bergerak pelan. Satu orang di kemudi terus mencoba menyalakan mesin.

Jalanan yang naik menambah beban mobil kian bertambah-tambah dan seperti membuat pertarungan itu semakin sengit. Mereka terus saling menyemangati. Hanya itu satu-satunya solusi yang memungkinkan untuk mengatasi situasi. Masing-masing dalam hati terus berhitung, seberapa jauh lagi akan tiba di bengkel. 

Punggung mereka mulai terlihat basah. Jalanan setapak kian hitam pekat karena terbasuh air. Sekitar 20 meter di belakang, sebuah motor ternyata mengamati rombongan itu. Ia menambah kecepatan ke depan. Saat jarak tinggal terpisah langkah, pengendara motor itu menepikan dan turun dengan buru-buru. Ia berlari cepat menerjang gerimis.

"Mbak, saya bantu. Mbaknya sudah saja," katanya. Pengendara motor tadi sudah mengganti posisi. Urat-urat nadinya menegang. Ria dan Anggun tertinggal di belakang sambil ngos-ngosan. Mobil bergerak lebih cepat ketimbang sebelumnya. Sedikit lagi tanjakan berakhir. 

Mereka merasa lebih tenang ketika sampai di jalan mendatar. Setidaknya terasa lebih ringan. Tapi ketiga pemuda itu masih bersatu padu menggabungkan kekuatan.

"Helmnya saya bawakan saja, Mas" tegur Ria. Agaknya anak itu lupa atau bahkan tidak peduli lagi kepalanya masih memakai helm. Pemuda itu melepasnya dan menyerahkan ke Ria. Kali ini wajahnya sempurna terlihat jelas. Keduanya saling balas senyum.

Hujan sempurna menderas. Mereka tiba di bengkel dengan kondisi basah sekujur badan. Tapi semua tidak peduli. Masing-masing langsung menghempaskan bokong ke kursi kayu di sisi teras yang disihir menjadi bengkel sederhana. Istri pemilik bengkel juga membuka warung di situ. Beruntung tidak ada antrean sehingga mobil mereka dapat langsung ditangani.

Anggun bersama Ria memesan gorengan dan teh hangat. Teman-teman cepat menyambut begitu mereka kembali bergabung. Empat pemuda itu sedang berbincang, saling berkenalan. Pengendara motor yang membantu mereka terlihat ramah dan langsung akrab.

"Makasih banyak, ya, Mas," ucap Ria sambil menyodorkan teh hangat. Laki-laki yang duduk di depannya mengangguk, balas tersenyum. "Siapa namanya, Mas?"

"Arya," jawabnya.

"Ini Ria, aku Anggun," tambah Anggun tiba-tiba. Ia menimbrung menyodorkan piring berisi gorengan. Arya mengambil satu.

Para pemuda itu kembali melebur dalam bincang santai. Tiga karyawan bengkel sudah sibuk membongkar mesin. Di dalam dapur yang dapat dipantau langsung dari luar, ibu pemilik rumah menyalakan kompor. Ia hendak membuat gorengan baru, sesuai pesanan muda-mudi yang Tuhan takdirkan datang berkunjung. Awan agaknya masih ingin berlama-lama menumpahkan tampungannya. Atap seng yang dijatuhi ribuan tetes air membuat mereka harus bicara dengan suara tinggi agar dapat didengar.

Ria dapat tempat duduk paling ujung, tepat di sebelah Arya. Sementara itu, Anggun mondar-mandir sambil balas ejek dengan  yang lain. Anak itu memang hobi bikin keributan.

"Dari Jakarta ke sini memang cuma buat main, Mbak?" tanya Arya disertai gerakan isyarat agar ucapannya lebih mudah dipahami. Ria sedikit mencondongkan telinganya begitu laki-laki itu mengajaknya berbicara.

"Aku asli Semarang, Mas."

"Hah?!" Arya ternyata tak dapat mendengar jelas. Hujan terus menciptakan suara gaduh. Ria mengulangi pertanyaannya. "Oh iya?" terlihat wajahnya cukup terkejut. Lalu ia terkekeh. Keduanya saling mengangguk dan memasang senyum cukup lama.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status