Share

3. Ritual Sembilan September

Malam menuju pukul sembilan. Tak meleset dari janji yang dikatakannya. Ria sudah paham tabiat anak itu. Belum pernah seorang Baskara ingkar. Kecuali untuk satu hal.

Ria menyusul dan tertinggal cukup jauh di belakang. Aru sudah berpelukan dengan seorang laki-laki di bingkai pintu. Keduanya saling balas senyum, tapi salah satu tampak bermanja-manja dengan menampakkan wajah kesal.

“Om sama Bunda dulu, ya. Aru mau ganti baju," katanya sambil menarik lengan Baskara, menyuruhnya duduk di sofa.

"Eh, nggak usah," Baskara hendak mencegah.

"Dingin!" tangkis Aru. Dia sudah mengeluyur menaiki tangga.

Baskara masih memandang seolah jejak langkah Aru ada di sana. Tertinggal di anak-anak tangga.

“Ibu lagi apa, Bas?”

Baskara tersadar ia tak sendiri di ruang itu. Dia menutup pintu, lalu duduk. "Nonton tivi, Mbak," jawabnya. 

Niat hati ingin sekadar menyapa dengan senyum. Akan tetapi dua mata itu bertemu. Tak ada niat. Tak ada rencana. Kejadian singkat tapi getarannya begitu kuat. Ria tak paham apa yang menyergap dadanya barusan. Obrolan tak berlanjut. Ria buru-buru menenangkan dirinya. Ia menawarkan minum.

Baskara mengangguk. Tak dapat ditutupi, ia terlihat gugup. Ria meninggalkannya seorang diri di ruang tamu. Tempat itu tiba-tiba terasa sedikit menusuk. Mendadak juga isi kepala laki-laki itu menjadi ribut. Sementara itu, terasa ada yang berdetak kencang di dadanya. Dia mengatur napas, berusaha memperbaiki situasi. Hingga akhirnya Aru muncul dengan celana kain panjang dan sweater biru navy. Topi beanie hitam juga membungkus sebagian kepalanya.

"Bunda lagi bikin minum," terang Baskara ketika tangannya hendak ditarik lagi. Aru bergegas menuju dapur.

"Bunda, kita mau makan nasi goreng saja di depan," protesnya sambil terus mempercepat langkah. Mendengar putrinya datang, Ria gelagapan berpura-pura sedang mencari gula. Aru sampai di sisi meja  dan dia berdiri, melihat gelagat bundanya agak aneh. "Bunda cari gula, kan?" Pertanyaannya dijawab dengan anggukan dan seringai. Aru menunjuk toples tak jauh dari tangan Ria. Perempuan itu meringis. Ria terlihat bodoh.

Aru menegaskan sekali lagi agar Ria tidak membuatkan minum. Dia kecup pipi bundanya, lau beralih ke punggung telapak tangan. Gadis itu berpamitan, dan Ria mengekor menuju ruang tamu kembali.

"Mau kemana?" tanya Ria.

"Di gazebo saja, kok, Mbak," jawab Baskara. Mukanya seperti masih ketakutan untuk memandang lagi.

Ria mengangguk, sepakat dengan keputusan adik iparnya itu. “Makasih, ya, sudah bantu menguatkan Aru sejauh ini.” 

Baskara menunduk. Bukan lantaran kalimat itu, tapi ada sesuatu yang tidak dapat dia tahan hingga dia menyerah dan menghadapkan wajah ke tanah. Dirinya pun heran sendiri, mengapa itu terus terjadi tiap kali sepasang mata yang bersinggah abadi dalam aliran darahnya itu hadir di dekatnya. 

"Sudah jadi kewajibanku, Mbak," ujarnya. Ria tersenyum. 

Aru tidak sabaran meminta segera keluar. Baskara menuruti dan berpamitan. Dua manusia terpaut 21 tahun itu terlihat kompak. Lagi-lagi Ria harus mengakui akan ketulusan adik mendiang suaminya. Ia yakin benar bahwa semua ucapan laki-laki itu dulu benar. Tapi Ria juga yakin tak salah mengambil keputusan. Ia bangga pada dirinya yang dapat bertahan menutup hatinya rapat-rapat. Dia ikrarkan kembali bahwa dalam hidup ini tidak ada cinta sejati.

Aru dan Baskara berseru riang melihat nasi goreng pesanan mereka sudah jadi. Dua piring berkepul asap itu diantarkan ke sebuah bangunan kayu model rumah panggung. Setiap sembilan September, ini adalah hal wajib yang Baskara lakukan. Apa pun agendanya di luar sana, pasti dia tanggalkan. Tahun ini untuk yang ke tujuh kalinya. Hebatnya, dia selalu mampu mengendalikan situasi untuk mengemas obrolan memilukan itu menjadi sebuah diskusi yang tidak menyakitkan.

Aru yang menggebu ingin tahu banyak merasa itu justru seperti menguak sejarah dan memetik banyak bunga-bunga hikmah di dalamnya. Dia juga tidak kehabisan pertanyaan tiap kali bersama om yang hingga hari ini masih membujang itu. Hari-hari bersamanya selalu menyenangkan, sama seperti malam-malam tahun sebelumnya.

Dari balik gorden kamarnya, Ria mencari-cari. Ia penasaran anak gadisnya sedang apa bersama omnya. Untunglah jendela itu berada di sudut yang tepat. Ia dapat menyaksikan dengan jelas pemandangan di bawah sana.

Aru dan Baskara duduk berhadapan. Sesaat, tidak ada yang memulai obrolan. Mereka asyik menyantap nasi goreng abang-abang langganan komplek. Keduanya sepakat bahwa rasanya memang tak ada banding. 

"Jadi," Baskara memulai obrolan. Mulutnya menelan sisa-sisa nasi. "Ulang tahun cukup dikasih nasi goreng saja?" lanjutnya. Aru terkekeh. Hampir sesendok nasi yang baru masuk ke mulutnya menyembur keluar. Jemarinya cepat mendarat ke paha Baskara dan sebuah cubitan diberikan.

Aru menyeruput minumannya. "Om pernah jatuh cinta?"

Baskara tak menduga akan mendapat pertanyaan itu. Selama ini Aru selalu bertanya soal ayahnya, apalagi di saat ritual sembilan september seperti malam ini. Baskara seolah tak siap memberikan jawaban, apalagi penjelasan.

"Atau, om sama seperti bunda," lanjut Aru. Baskara menoleh. Lama tatapan matanya berhenti di sana. Ia menunggu Aru melanjutkan. "Tidak pernah bicara soal cinta." 

Baskara menelan ludah.

"Om," panggil Aru.

"Ya?" Baskara sigap menjawab.

"Kriteria wanita idaman om seperti apa?"

Hati Baskara kali ini tersambar. Pikirannya hancur. Ia mendadak seperti anak kecil yang sedang belajar bicara. Ia susah payah memunguti kata demi kata untuk dirangkai. Sementara di depannya, perempuan itu sedang sabar menunggu bibirnya bergerak. Ketakutan berkecamuk di dadanya. Ia sungguh khawatir rahasia terbesarnya akan terbongkar malam itu. Terbongkar hanya oleh pertanyaan sederhana dari seorang anak muda yang umurnya saja separuh darinya. Meskipun dia yakin bahwa isi hatinya kelak akan tersampaikan, akan tetapi tidak sekarang.

"Tumben bahas itu," jawab Baskara. Otaknya mencari cara untuk keluar dari topik. 

"Kayaknya aku jatuh cinta, deh."

Baskara melongo. Apalagi Aru berekspresi dengan begitu polosnya. Ia pun menyadari kalau keponakannya ini memang baru mentas dari masa SMA. Di situ dia tahu bahwa gadis itu kali ini sedang ingin menunjukkan sisi dirinya yang lain. Dia butuh telinga untuk mendengarnya. Baskara menarik napas, dan mengembuskannya perlahan. Di sisi lain dia merasa lega karena arah pembicaraan bukan soal dirinya. Oleh karena itu, dia siap.

"Teman kuliah?" 

Aru tersenyum. Malu-malu.

"Eh, nggak tahu, ding. Kan baru sekali ketemu," ujar Aru. Walau begitu sorot matanya tetap saja masih berkata bahwa dia sedang tertarik pada seseorang.

"Barangkali. Baru ketemu, eh ternyata jadi teman hidup. Kayak bunda sama ayahmu." Baskara menekuk lutut dan menguncinya dengan merengkuh ke dada. Ia menatap langit-langit. Aru bergerak cepat menggeser posisi duduknya. Dua tangannya sudah bertangkup di lutut Baskara. Gadis itu tersenyum memohon.

Ria masih berdiri mengamati dari jendela.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status