Share

5. Bersatu

Sebuah pertemuan yang tak terduga. Teman-teman Ria juga kembali ke Jakarta membawa kenangan tak terlupakan. Mereka pulang dua hari kemudian karena memutuskan untuk mengunjungi semua tempat yang Arya rekomendasikan. Anak itu mahir dalam membujuk. Selama tiga hari itu juga akhirnya rombongan mereka mendapat personil baru yang sangat membantu. Bukan hanya paham soal tempat-tempat wisata di Semarang, tapi juga seorang fotografer jempolan. Setidaknya Ria merasa berbangga karena teman-temannya puas. Tak sia-sia mereka datang jauh-jauh.

Saat mobil perak itu bergerak meninggalkan dirinya dan Arya yang berdiri di pinggir jalan, saat itu pula ternyata sebuah cerita baru dimulai. Setiap malam ia membuka file berisi foto-foto di komputernya. Ia amati satu demi satu. Bibirnya tersungging tiada henti seiring jemari di mouse menekan-nekan dan membuat foto di layar berganti-ganti.

Di sudut bumi yang berbeda, laki-laki itu juga mengamati foto-foto di kameranya sambil rebahan di kasur. Bukan saja karena paras perempuan yang dibidiknya sekelas model-model papan atas, melainkan ada hal penting lain yang membuatnya mantap untuk membulatkan sebuah keputusan.

"Mau nggak nikah sama aku? Barangkali belum ada yang meminang."

***

Setelah setengah jam duduk di depan kemudi, laki-laki beruban itu mematikan mesin dan rombongan kecil yang terdiri atas 6 orang keluar dari mobil. Empat laki-laki dewasa sudah berdiri di teras untuk menyambut mereka. Sepasang suami istri pemilik rumah menyusul menghambur mengulurkan tangan, mempersilakan. Barang-barang seseraham diangkut kedalam. Semua turut membantu.

Meja kaca panjang penuh sesak oleh jajanan dalam toples-toples bening. Mereka lanjut saling bertanya kabar dan berkenalan setelah semuanya mendapat tempat duduk. Ruangan itu gaduh oleh ramah tamah manusia-manusia yang baru kali pertama dikumpulkan.

Sementara para sesepuh seru berbincang, Arya dan Baskara sibuk memandangi foto-foto yang terpajang di ruang tamu. Melihat ekspresi adiknya, Arya kian merasa hebat. "Itu semua aku yang fotoin," bisiknya bangga. Baskara menoleh sebentar, lalu kembali mendongak ke dinding.

"Mbak Ria-nya mana, Bu?" sela tamu perempuan yang paling senior di sana begitu mendapat kesempatan. Wanita itu seperti sudah tak sabar ingin melihat calon menantunya. Di dalam diamnya, Arya pun merasakan hal yang sama.

"Ada di dalam lagi siap-siap, Bu," jawab ibu pemilik rumah tak kalah lembut. Semua yang mendengar mengangguk paham. "Silakan, loh, sambil diminum. Seadanya, Bapak-ibu, Mas," lanjutnya mempersilakan semua tamu agar sedikit mengalihkan perhatian.

"Bu," laki-laki di sebelahnya menyikut. "Panggil saja Ria," bisiknya. Paham betul dia betapa tamunya itu ingin segera berjumpa dengan keponakannya.

"Lagi siap-siap, Pak," balasnya.

"Suruh cepat."

Perempuan itu putus asa untuk memahamkan. Dia menurut saja meskipun sedikit dongkol. Tepat saat perempuan yang mendapat perintah tadi berbalik badan, saat itu pula gadis itu muncul. Tubuhnya sedikit membungkuk demi menghormati para tamu yang sebagian besar orang tua. Kedua telapak tangan menangkup, memberi isyarat bersalaman pada semua. Senyumnya merekah tiada henti. Dia duduk di antara om dan tantenya.

Sikut Baskara menyeruduk ke pinggul Arya. "Cantiknya mantap, Mas," bisiknya. Arya balik menyikutnya, menyuruh diam. Suhu yang semula hangat lantaran banyaknya jumlah orang, kini semakin memanas oleh gejolak di dalam sebuah ruang tersembunyi. Bukan saja satu dua ruang, melainkan tiga.

Acara lamaran berjalan lancar. Tanggal akad pun sudah ditentukan. Dua insan itu memutuskan untuk bersatu. Kabar tersebut sampai di Jakarta 3 bulan setelah perjalanan berkesan mereka di Semarang. Sebuah surat undangan pernikahan kini sudah di tangan masing-masing. Mereka tentu saja mengagendakan untuk datang.

Pesta pernikahan berlangsung sederhana namun meriah oleh keceriaan. Bahagia bercampur haru menyelimuti hati pengantin berbalut gaun putih itu. Arya menggenggam jemarinya. Tatapan matanya penuh pengertian.

"Bapak sama ibu pasti ikut di sini, kok," kata Arya. Ia tak henti memandangi perempuan yang sudah sah menjadi istrimya itu.

Ria tersenyum, matanya berkaca-kaca. Sentuhan jemari Arya mengalirkan ketenangan hingga ke dalam dadanya. Dia sungguh merasa begitu aman. Bahkan dia bersumpah akan melakukan apa pun nanti titah kekasihnya itu.

"Nduk," seseorang memanggil dari belakang. Cukup memecahkan kemesran sepasang pengantin itu. Ria berbalik, dan tubuhnya langsung dipeluk. "Maafkan tante, ya," ujar perempuan itu. "Tante orang jahat," lanjutnya. Kentara tenggorokannya tercekat. Ia ingin menyampaikan banyak, tapi tangisnya membuatnya kesusahan. Di sampingnya, suaminya juga memerah wajahnya.

Ria mencengkeram pelan bahu perempuan yang merupakan satu-satunya adik ibunya. Ia pandang wajah yang mulai menua itu. "Yang lalu biar berlalu, Tante," jawab Ria. "Aku sudah maafkan semua." Dia juga pandangi omnya.

"Mas," kali ini perempuan itu berpaling pada Arya. Ia mendekat. "Tante dulu suruh Ria jadi model sejak kecil. Tante marah kalau lihat dia belajar. Tante sering suruh dia bolos sekolah. Tante selalu minta dia kerja. Uang dia tante yang pegang, tante yang habiskan. Tante memanfaatkaqn anak yatim piatu yang baru berusia 6 tahun itu...." Arya sudah mendekap tubuhnya yang berguncang. Tangisnya kian kencang.

Ria ikut bergabung merangkul. Ia pun sudah berderai air mata. Kenangan masa kecilnya memang bukan hal yang mudah dilupakan. Bagaimana seorang bocah 12 tahun bisa minggat sampai ke Jakarta dengan menyelinap ke bus wisata ibu-ibu PKK. Di dompetnya ada uang satu juta hasil menilap dari tantenya yang sebenrnya itu juga uang hasil kerjanya sendiri. Lalu lewat telepon umum dia menghubungi nomor seseorang yang pernah mengontraknya sebagai bintang model produk milikinya. Ria mendapat pekerjaan, tapi dia menolak ketika diberi tawaran untuk diangkat menjadi anak. DI sana juga dia bertemu dengan teman-teman model yang lain, hingga akhirnya berjuang bersama dan menjadi keluarga baru.

Usia 20 tahun Ria memutuskan kembali ke Semarang. Bagaimanapun, om dan tante adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Pasangan suami istri itu juga tidak mempunyai anak. Pasti mereka kesepian. Lagipula di usianya yang sudah cukup dewasa itu dia yakin sudah memiliki keberanian untuk melawan jika ternyata tantenya masih belum berubah sikap.

Begitu pintu rumah yang diketuknya terbuka, dan butuh beberapa menit untuk membuat perempuan pemilik rumah menyadari siapa tamunya yang datang, perempuan itu tersungkur sujud di kaki. Tangis pun pecah. Keduanya berpelukan melepas rindu sekaligus perasaan campur aduk yang susah untuk dikatakan.

Kejadian itu sudah tertinggal jauh di belakang. Kini dirinya telah sepenuhnya dimiliki oleh seorang laki-laki yang dia yakin akan menyembuhkan semua luka-lukanya di masa lalu. Dia sangat yakin jalan kebahagiaan membentang luas di depan sana.

Dari jarak beberapa langkah, Baskara menyaksikan itu, tapi ia segan mendekat karena khawatir akan merusak atmosfer.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status