Nicholas Wiratama. Pria paling menyebalkan di muka bumi.
Usianya baru 33 tahun, tetapi pada usia semuda itu ia sudah menjadi CEO sekaligus pewaris utama Orama Group. Perusahaan keluarganya bergerak di berbagai lini industri, bahkan menguasai hampir sepertiga sektor penting di negeri ini. Nicholas tampan, berwibawa, dan disegani. Para wanita berlomba mencari perhatiannya, para pria berebut kesempatan menjadi rekan kerjanya.
Namun, bagi Jeanicka, satu hal paling menonjol dari sosok Nicholas adalah: ia perfeksionis gila kerja yang membuat hidup bawahannya berputar semata-mata di orbitnya. 24 jam sehari, 7 hari seminggu, Jeanicka hidup diatur oleh pria itu. Sampai-sampai Nicholas ikut muncul di dalam mimpinya.
Hari ini seharusnya menjadi hari libur, hari tenang. Tetapi, takdir seakan berkonspirasi: Jeanicka justru menjatuhkan dirinya sendiri ke pelukan pria yang paling ingin ia hindari.
“Bantuan, Jean?” suara berat Nicholas memecah lamunannya. Kini tubuhnya sepenuhnya menghadap Jeanicka.
“Iya, Pak,” jawab Jeanicka lirih. “Kalau Bapak bantu saya, saya akan lakukan apa pun untuk Bapak.”
Nicholas diam, menatapnya lekat dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan.
Jeanicka, dalam kepanikan sekaligus gengsinya, langsung menambahkan, “Saya bersedia ikut Bapak ke mana saja, bahkan lembur tanpa digaji…” Kalimat itu meluncur begitu saja. Ia mengerutkan kening, menyesali kebodohannya, namun buru-buru menggeleng dan menatap Nicholas mantap. “Apa pun, Pak. Apa pun akan saya lakukan, asal Bapak mau bantu saya. Tolong saya, Pak.”
Senyum samar terbit di wajah tampan Nicholas. Ia maju selangkah, jarak di antara mereka semakin terkikis. “Apa pun?” suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi berhasil membuat bulu kuduk Jeanicka meremang.
Jeanicka meneguk ludah, mencoba tegak meski wajahnya sudah terasa panas. “Apa pun,” ulangnya, kali ini lebih tegas.
Satu sudut bibir Nicholas terangkat. Anggukan kecil darinya bagaikan keputusan final.
Pandangan Jeanicka berbinar lega. Ia merasa baru saja mendapatkan lampu hijau dari semesta. Tanpa pikir panjang, ia langsung menggenggam tangan kiri Nicholas. “Maaf ya, Pak, tapi tolong balas genggaman saya. Terus kita masuk ke aula itu. Jangan lupa senyum juga sama saya.”
Mereka pun melangkah masuk. Jeanicka sempat tersentak ketika Nicholas benar-benar membalas genggamannya. Ia sendiri yang meminta, namun tetap saja kaget dengan hangatnya telapak tangan pria itu.
“Tatapan penuh perhatian, ya, Pak. Pandang saya saja. Kita akan ketemu dengan tiga orang di depan sana,” bisik Jeanicka cepat, seperti sutradara dadakan. “Yang perempuan di sebelah pria itu… saudara tiri saya.”
Nicholas melirik singkat. “Kalau yang pria?”
Jeanicka menelan ludah, lalu mencoba tersenyum meski gugup. Tangannya refleks mengusap lengan jas Nicholas seolah menambal rasa canggung. “Pria yang saya sukai.”
Mereka akhirnya tiba di hadapan tiga orang. Jeanicka tersenyum, lalu melepaskan genggaman tangannya. Saat hendak memperkenalkan Nicholas, napasnya sempat tercekat.
“Mas Nicholas, kenalin, ini Bobby, teman seangkatan saya. Dan ini Helena, pacar Bobby sekaligus saudara tiri saya.” Jeanicka menambahkan dengan nada seenatural mungkin, “Maaf baru kali ini saya ngenalin Helena ke Mas Nicholas.”
Stacy yang berdiri di samping hampir menjatuhkan rahangnya. Ia mengenal Nicholas, semua orang di kantor mengenalnya, tetapi tidak pernah terpikirkan olehnya melihat sahabatnya masuk aula sambil bergandengan tangan dengan CEO mereka.
Sementara itu, Helena menahan terkejut. Senyumnya menegang, tapi ia segera menutupinya dengan pura-pura ramah. “Oh? Jadi ini ‘pacar’ lo, Jean?” tanyanya manis. Matanya jelas menyorot penuh curiga sekaligus panas.
Jeanicka baru akan mengangguk ketika tubuhnya kaku mendadak. Nicholas merengkuh pinggangnya, jemari kekarnya menekan lembut namun tegas di sisi tubuhnya. Gerakan sederhana itu sukses membuat darahnya berdesir, napasnya terhenti di tenggorokan.
Wajah Jeanicka seketika memanas. Ia ingin protes, ingin menjauh, tetapi tubuhnya justru membeku. Tatapan Nicholas menurun sesaat ke arahnya, seolah memberi peringatan untuk diam.
Helena, di sisi lain, seperti tersambar petir. Matanya melebar, lalu menyipit. Ia jelas tak terima. Bobby yang di sampingnya tampak kikuk, tidak tahu harus berkata apa.
“Jean,” suara Helena rendah, nyaris mengejek, “lo serius mau bilang… Nicholas ini pacar lo?” Ia terkekeh kecil, nada suaranya meremehkan. “Lo nggak capek ngibul, hah? Dari dulu aja sendirian, sibuk kerja terus. Mana mungkin lo dapetin pria kayak dia?”
Jeanicka ingin membalas pedas, tapi lidahnya kelu. Ia bisa merasakan genggaman di pinggangnya semakin erat—sebuah penegasan.
Lalu, suara Nicholas terdengar. Tenang, dingin, namun berat. Ia menatap Helena lurus-lurus sebelum akhirnya memperkenalkan dirinya.
“Saya Nicholas,” ujarnya jelas, setiap kata terucap mantap. Lengan kekarnya tetap melingkari pinggang Jeanicka.
“Pacar Jeanicka.”
“Apakah ada yang lebih penting dari pekerjaan untuk dibicarakan pagi ini?”Suara itu dalam, dingin, dan bergema ke setiap sudut lantai 12. Seketika, semua bisik-bisik yang tadi meriah seperti pasar malam langsung padam. Seolah tombol mute ditekan bersamaan.Tidak ada yang berani menoleh. Tidak ada yang berani bernapas terlalu keras. Nicholas tidak perlu teriak, tidak perlu marah. Tatapan matanya saja sudah cukup untuk membungkam satu lantai penuh karyawan.Matanya bergerak perlahan, menyapu barisan demi barisan meja kerja. Seperti spotlight yang mencari tersangka di panggung gelap. Dan akhirnya, berhenti di satu titik.Jeanicka.Jantung Jeanicka seakan berhenti berdetak. Tenggorokannya kering, lidahnya seperti menempel di langit-langit mulut. Ia menelan ludah dengan susah payah, pipinya panas sampai rasanya bisa masak telur dadar.Tatapan itu terlalu lama. Terlalu menusuk.Baru setelah Nicholas mengalihkan pandangan, melangkah lagi dengan langkah mantap menuju lift, Jeanicka bisa bern
Begitu sampai di lobi gedung PT. Orama Group, suasana terasa agak aneh. Biasanya pagi-pagi suasana sudah ramai dengan karyawan yang lalu-lalang sambil menenteng kopi, tapi kali ini ada bisik-bisik kecil yang sepertinya… aneh.Jeanicka langsung menyadarinya, apalagi setelah mereka masuk lift. Beberapa orang sempat melirik, terus buru-buru berbisik ke temannya. Stacy yang sadar pertama kali langsung menyikut lengan Jeanicka pelan.“Eh, lo sadar nggak? Orang-orang pada bisik-bisik kalo ngeliat lo.”Jeanicka panik setengah mati. “Ya Tuhan… jangan bilang gosipnya udah nyebar sampai sini.”“Udah jelas lah.” Stacy menatap dengan ekspresi gue-udah-bilang. “Pantes tadi di Transjakarta ada dua anak magang Orama yang ikutan bisik-bisik sambil liatin layar HP. Fix, itu pasti foto lo.”Jeanicka rasanya hampir pingsan di tempat. “Gue nggak siap, Stace. Sumpah gue nggak siap.”Stacy malah ngakak. “Ya lo siap nggak siap, reality show lo udah mulai, Jean.”Lift berhenti di lantai 12. Pintu terbuka, da
“Stace, gue pamit dulu ya. Ada urusan sama Nicholas,” ucap Jeanicka sambil mencoba terlihat santai, padahal jantungnya sudah kayak marching band—suaranya membuat kupingnya sendiri panas.Stacy langsung sumringah, senyumnya seterang lampu sorot panggung konser. “Oke, oke! Jangan khawatirin gue, Jean. Enjoy your date, lovebirds!” Dia bahkan melambaikan tangan dengan gaya drama ala sinetron, lengkap dengan ekspresi sok haru.Jeanicka mau protes, lidahnya sudah siap menembak kalimat “bukan date, oi!” tapi belum sempat. Nicholas sudah menggandeng tangannya lagi, langkahnya mantap, aura garangnya membuat orang-orang yang melihat otomatis menyingkit. Beberapa kepala bahkan menoleh penasaran, bisik-bisik kecil mulai terdengar di antara para tamu.Mereka melewati ballroom dengan cahaya lampu kristal yang berkilauan, musik pesta yang masih riuh. Kontras dengan suasana hati Jeanicka yang justru makin kacau. Setiap langkah terasa bagaikan spotlight yang menempel di kepalanya. Dia bisa merasakan t
“Sekarang kamu ikut saya.”Kalimat itu jatuh begitu saja dari bibir Nicholas. Dingin. Datar. Tanpa drama. Tapi buat Jeanicka—itu seperti sirene bahaya, alarm kebakaran, bahkan trompet kiamat.“I-ikut, Pak?” Jeanicka terlonjak dari kursi rotan, tubuhnya nyaris terpeleset kalau saja tangannya tidak cepat-cepat meraih sandaran. “Tunggu, tunggu. Ikut ke mana, Pak?”Nicholas menatapnya lurus. Diam. Tidak berkedip.Jeanicka langsung panik. “Oke, saya tahu saya bilang bakal lakuin apa aja buat Bapak. Apa pun. Iya, iya. Tapi itu bukan berarti saya mau melakukan segala tindakan kriminal, Pak! Saya tegasin, bukan Tindakan kriminal!”Mata Nicholas masih menusuk, dingin seperti es Arktik.“Kriminal tuh bahaya, Pak. Serius. Saya nggak mau jadi kaki tangan drug dealer. Jangan-jangan Bapak tuh sebenernya bukan CEO, tapi gembong narkoba? Hah? Orama Group cuman kedok doang? Astaga… saya nggak siap masuk BNN list.”Nicholas tidak menjawab. Tatapannya lurus, menusuk, seakan menembus sampai ke dasar piki
Suasana aula yang tadinya ramai dengan musik dan obrolan ringan mendadak terasa lebih berat. Beberapa pasang mata sudah sempat melirik sejak Helena terus melontarkan komentar sinisnya. Jeanicka berusaha tetap tenang di samping Nicholas, tapi hatinya jelas bergemuruh. Sedikit saja salah sikap, Helena pasti akan semakin puas menginjak harga dirinya.Nicholas masih dengan tenang merengkuh pinggang Jeanicka, seakan tak terganggu. Tatapannya dingin, Netra hitam itu sekali-sekali melirik ke arah Helena dan Bobby.“Sayang,” suara Nicholas terdengar rendah, cukup jelas terdengar oleh mereka yang berdiri dekat, “Kita mau pergi aja?”Jeanicka menoleh spontan. Suara itu terdengar lembut. Sementara itu, Helena terperangah mendengar Nicholas menyebut Jeanicka dengan panggilan penuh kepemilikan. Bobby yang sedari tadi memasang wajah jengah hanya menghela napas panjang, seolah makin malas mendengar perdebatan yang tak berkesudahan.Tanpa memberi kesempatan Helena membalas, Nicholas menggandeng tanga
Aula hotel malam itu penuh dengan cahaya lampu gantung yang berkilau. Suara gelas beradu dengan denting musik live band, tawa dan obrolan bercampur jadi satu. Namun, di sudut tertentu, atmosfer berbeda mulai terbentuk. Semua berawal dari satu kalimat Helena yang menusuk.“Serius nih, Jean? Lo mau bikin kita percaya kalo cowok ini pacar lo?” Helena melipat tangan di dada, matanya menelusuri Nicholas dari kepala sampai kaki. “Please deh. Lo pikir bisa ngibulin orang segampang itu?”Jeanicka tersenyum kaku. “Kenapa nggak? Lo tanya langsung aja, kalau nggak percaya.”Helena tertawa pendek, suara tawanya cukup nyaring sampai membuat dua orang di meja sebelah menoleh. “Ya ampun, lo masih aja sama kayak dulu, ya. Suka ngayal. Dari dulu juga kerjaannya cuma ngekorin orang. Gue nggak habis pikir aja, cowok setipe Mas Nicholas mau sama lo. Ngaca, Jean.”Jeanicka menegakkan bahu. “Helena, hidup gue bukan urusan lo. Kalau lo nggak percaya, itu masalah lo.”“Masalah gue?” Helena mendengus, lalu me