Share

Dipecat

Aku terbangun jam 2 siang tapi belum ada tanda- tanda mbak Siska pulang. Suasana kost juga sepi, mungkin mereka sibuk bekerja. Aku mulai mencari- cari lowongan kerja di media sosial tapi nihil, aku tidak memenuhi kriteria yang dicari, minimal pendidikan D3.

Tiba- tiba ada notifikasi pesan berlogo hijau. Buru- buru kubuka, berharap Angga yang membalas pesanku karena tadi pagi aku sempat mengirim pesan padanya. Ternyata aku masih harus kecewa karena bukan Angga melainkan mbak Siska. Tapi sedetik kemudian aku berteriak heboh karena mbak Siska mengabarkan ada lowongan kerja di restoran temannya. Sungguh aku girang bukan kepalang, mbak Siska emang malaikat yang dikirim untukku.

Pagi hari berikutnya aku diantar mbak Siska ke restoran milik temannya. Aku diterima tanpa melalui proses rekruitmen atas rekomendasi mbak Siska.

"Kerja yang bener ya, Yu. Ingat tujuanmu kesini. Kita hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri," nasehat mbak Siska.

"Siap Mbak. Aku gak akan ngecewain mbak Siska," jawabku semangat empat lima.

Semoga hari ini menjadi awal yang baik bagiku. Tadi pagi Angga membalas pesanku meski hanya kalimat singkat 'maaf baru balas aku sibuk'. Itu sudah menjadi moodboster buatku. Aku juga sudah telepon ayah dan ibu buat minta maaf karena tidak pamitan langsung. Dari suara mereka aku tahu mereka kecewa tapi aku meyakinkan mereka aku akan baik- baik saja dan mengabarkan sudah dapat kerja hingga mereka bernapas lega.

"Selamat pagi Pak," sapaku pada bapak- bapak kepala botak dengan perut buncit yang kata mbak Siska tadi dialah manager restoran ini.

"Selamat pagi. Kamu Ayu teman Siska?" tanyanya.

"Benar Pak, saya Ayu."

"Perkenalkan saya Anwar, selamat bergabung di restoran kami," pria dihadapanku mengedipkan mata genit membuatku bergidik.

"Fika!" panggilnya pada seorang wanita dengan melambaikan tangan.

"Ini ada anak baru, kamu ajarin dia, ya," pintanya pada wanita yang bernama Fika.

"Baik Pak, mari Kak!" ajaknya dan aku mengekor di belakangnya.

"Kamu pernah jadi waitress sebelumnya? Eh maaf... siapa namamu?" tanya Fika sambil jalan.

"Saya Ayu, Mbak. Saya belum pernah jadi waitress sebelumnya."

"Gak papa lah, nanti belajar sambil jalan. Yang penting kalau ada customer kamu datang ke mereka dan tanyakan pesanan mereka dengan sopan dan ramah. Jangan lupa ucapkan selamat pagi, siang atau malam," terangnya panjang lebar yang kuangguki tanda aku mengerti.

"Dan setelah mereka pergi bersihkan meja jangan sampai ada satu noda pun yang tersisa," lanjutnya.

"Baik Mbak."

"Umurmu berapa?"

"Saya 22 Mbak."

"Berarti kita seumuran jadi manggilnya gak usah pakai embel- embel mbak, kak atau teteh. Panggil nama aja."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Jangan lupa kamu cantumkan nomor meja dipesanan kamu nanti dan anterin ke kitchen. Kamu juga harus nganterin pesanan kamu setelah pesanan sudah siap oleh koki. Pokoknya kerja disini harus gesit apalagi di jam makan siang. Untuk peraturan- peraturan lain nanti kamu baca pas istirahat. Kamu paham?"

"Paham," kataku.

"Ok. Sekarang kamu ganti baju dulu di ruang ganti sebelah loker. Ini baju kamu dan ini kunci loker kamu," Fika mengulurkan plastik bening berisi baju seragam dan kunci loker.

Hari pertama bekerja sungguh terasa melelahkan. Aku biasa kerja sambil duduk gak terbiasa jalan. Sampai di kost mbak Siska udah terlihat cantik.

"Mbak mau kerja?" tanyaku.

"Iya. Ini ada kerjaan dadakan. Gimana hari pertama, Yu?" tanyanya sambil pakai sepatu.

"Lancar sih Mbak, tapi capek gak biasa kerja jalan," jawabku merebahkan tubuh di ranjang.

"Belum terbiasa aja itu. Besok lama- lama biasa."

Aku hanya mengangguk.

"Ya udah, Mbak pergi dulu, jangan lupa kunci pintu."

"Iya Mbak, hati- hati."

***

Hari ketiga aku kerja, restoran agak sepi, mungkin karena belum jam makan siang. Aku menyibukkan diri mengelap semua meja agar makin kinclong sampai Fika geleng- geleng melihatku.

"Tuh ada customer, daripada kamu ngelap meja yang udah kinclong kayak orang kurang kerjaan," kata Fika padaku.

"Siap!" balasku bersemangat membuat Fika geleng- geleng.

Dengan senyum merekah aku melangkah ke meja pojok yang sudah ada sepasang pria dan wanita yang tengah melihat- lihat daftar menu. Mungkin mereka kekasih atau malah suami istri, ah sweet banget gak sih. Semoga aku bisa kayak gitu sama Angga suatu saat nanti.

"Selamat pagi bapak dan ibu. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sopan dan ramah tak lupa senyum.

"Iya Mbak... Saya pesan pancake aja sama minumnya moccalatte. Kamu mau apa, Beb?" jawab mbak- mbak cantik banget melebihi mbak Siska.

"Aku samain sama kamu ajalah, Beb," jawab pria berkacamata di seberang mbak cantik.

Seketika tubuhku membeku, ini suara Angga. Aku hafal betul. Saat mengangkat pandangan aku benar- benar melihatnya, dia dihadapanku juga tengah menatapku kaget. Seketika suara- suara sumbang saat di desa berputar seperti kaset rusak.

'Angga sudah punya pacar baru cantik dan kaya'

'Bulek pengen punya mantu orang kota yang cantik, pinter dan kaya'

"Mbak... Mbak... Hallo...," mbak cantik dihadapanku melambaikan tangannya di depan wajahku membuatku tersadar.

"Eh iya Mbak... Eh Bu... Maaf...," kataku.

"Ok. Gak papa. Pesanan kami cukup itu aja," katanya lagi.

"Baik Bu, permisi," aku berjalan meninggalkan meja mereka dengan hati rontok. Mereka tadi saling memanggil dengan sebutan 'Beb' bukan bebek kan? Walau aku dari desa tapi setidaknya aku tahu sebutan itu untuk kekasih. Apakah Angga beneran tega padaku? Bahkan Angga tak pernah memanggilku dengan sebutan itu.

Inikah maksud ayah dan mbak Siska? Aku meminta tolong Fika untuk mengantarkan pesanan mereka dan pergi ke toilet. Aku butuh berpikir jernih. Tapi bukannya bisa berpikir jernih aku malah tambah pusing karena di toilet bau jengkol. Jahanam memang.

Tak tahan aku keluar dan menemukan Angga sudah bersandar di tembok sambil bersedekap. Aku tertegun, Angga terlihat lebih tampan dari 4 tahun lalu. Kulitnya lebih putih dan badannya lebih berisi. Ya ampun sadar Ayu, dia sudah mengkhianatimu.

"Kamu menyusulku sampai kesini?" tanyanya dengan senyum mengejek.

Aku hanya menggeleng lemah.

"Mulai hari ini kita putus. Lupakan aku," katanya kemudian berbalik pergi.

"Kenapa kamu tega padaku, Ngga?" tanyaku.

Dia membalikkan badannya lagi,          "Kamu lihat wanita tadi? Coba bandingkan denganmu. Cuma pria buta yang akan memilihmu daripada dia!" teriaknya tertahan.

"Apakah aku benar- benar tidak ada artinya bagimu?" aku berusaha menguatkan hati untuk mendengar jawabannya.

"Sama sekali tidak."

Tes. Tak terasa air mataku menetes mengiringi langkah mantap Angga meninggalkanku. Pandanganku memburam, isak tangisku tak dapat kutahan. Beginikah rasanya putus cinta? Ternyata pengorbananku selama ini tak ada artinya buat Angga. Aku menghabiskan 4 tahun yang sia- sia. Jadi ini maksud mbak Siska waktu itu? Angga benar- benar membuatku hancur.

Pikiran kalut dan hati yang sakit membuatku tidak fokus kerja seharian ini. Hingga beberapa kali Fika menegurku. Puncaknya saat jam pulang kerja Pak Manager Botak memanggilku.

"Kamu dipecat!" katanya singkat sambil melempar amplop coklat yang kelihatan isinya tak seberapa. Darimana aku tahu? Karena Pak Botak terlihat melempar dengan sekuat tenaga tapi lemparannya bahkan tak sampai ujung meja tempatku berdiri.

"Ke... kenapa saya dipecat Pak?" tanyaku gugup.

"Masih bertanya? Kamu gak sadar berapa kali kamu melakukan kesalahan hari ini?"

"Tapi Pak..."

"Tidak ada tapi tapi. Besok kamu tidak perlu datang kesini lagi. Keluar!" titah Pak Botak membuatku mau tak mau menuruti perintahnya.

Aku berjalan ke loker dengan menunduk lesu.

"Kenapa lesu gitu, Yu?" tanya Fika.

"Aku dipecat," jawabku singkat.

"Hhhh...," terdengar Fika menghela nafas berat. "Apa kamu mengenal pelanggan tadi pagi?" tanyanya menyelidik.

Aku mengerutkan kening, "Tadi pagi? Yang mana?"

"Itu sepasang cowok cewek yang pesen pancake."

Aku mulai paham yang dimaksud Fika tapi belum menemukan korelasinya dengan pemecatanku. "Emang kenapa?"

"Aku lihat yang cowok itu memasuki ruangan Pak Anwar setelah kamu pergi ke toilet," Fika masih terlihat penasaran menatapku.

Aku berpikir sejenak. 'Apa jangan- jangan Angga yang membuatku dipecat? Apa dia setega itu?'

"Kamu mengenalnya," ucap Fika bukan lagi bertanya tapi pernyataan.

"Dia mantan kekasihku. Dia memutuskanku tadi," mataku mulai berkaca- kaca.

Fika mengusap bahuku, "Aku tahu rasanya, tapi kamu harus melupakannya. Lelaki memang seperti itu. Akan selalu mencari yang lebih dimata mereka."

Aku mulai terisak mendengar nasihat Fika. "Hiks...empat tahun aku menunggunya Fik."

"Sudahlah. Sebaiknya kita berkemas."

Aku dan Fika menghabiskan waktu diluar itung-itung perpisahan.

"Kemarin kamu cerita kamu bisa jahit kan?" tanya Fika sambil mengunyah batagor kesukaannya.

Aku hanya mengangguk karena tengah meminum es jeruk dari sedotan.

"Ada loker di pabrik garmen di deket sini. Kemarin aku baca pamfletnya."

"Benarkah?" tanyaku sumringah.

"Iya. Nanti kita lewat jalan sana, kalo gak salah kemarin aku lihat disana," kata Fika sambil menunjuk jalan yang biasa kami lewati saat pulang.

Aku lega setidaknya meski aku dipecat aku akan segera bekerja ditempat lain sesuai bakatku. Aku tidak enak sama mbak Siska kalau harus numpang hidup.

TBC

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Teteng yeni
lanjut ....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status