Share

Membulatkan Tekat

"Masuk dulu yuk, Mbak!" ajakku pada mbak Siska yang datang untuk ukur badan.

Mbak Siska mengangguk dengan senyum merekah. Tepat saat baru turun dari motor, bu Surti, ibu Angga melintas depan rumahku.

"Eh ini Siska kan? Kapan pulang Nduk? Uayu tenan dirimu sekarang," pujinya pada mbak Siska tanpa memperdulikan aku.

"Iya Bulek, saya Siska. Bulek apa kabar?" balas mbak Siska sopan.

"Baik. Bulek baik banget kabarnya. Kamu udah sukses ya di kota, udah bisa beli mobil juga. Angga juga sekarang di kota, udah kerja di perusahaan gede. Kamu gak pernah ketemu sama dia?" bu Surti masih terus nyerocos membuatku jengah.

"Enggak Bulek, saya gak pernah ketemu Angga," mbak Siska memberi kode mata padaku dan aku hanya mengangkat bahu.

"Ya ampun, nanti deh Bulek kasih nomer HP-nya Angga. Soalnya Angga ganti nomer kemarin."

DEG. Perkataan bu Surti mengusikku kali ini.

"Jadi anak muda jaman sekarang memang harus kerja keras. Harus berani keluar dari desa biar sukses. Kalau cuma di desa ya ujung- ujungnya paling ke sawah. Ya kan, Nduk?" ucap bu Surti yang jelas- jelas menyindirku sambil mengusap lengan mulus mbak Siska.

"Bulek pengen punya mantu orang kota yang cantik, pinter dan kaya. Gak mau Bulek punya mantu orang desa. Gak level dong sama anak Bulek yang pendidikannya tinggi. Makanya Bulek nyuruh Angga ke kota," kata- kata bu Surti semakin lama semakin menusuk.

"Bulek kenapa bicara seperti itu? Bukannya Angga dan Ayu...."

"Cuih...! Dari dulu Bulek gak setuju Angga pacaran sama Ayu. Makanya Bulek menyuruhnya ke kota. Dan sekarang dia sudah kerja di perusahaan besar, gaji gede, punya pacar cantik," bu Surti memotong ucapan mbak Siska.

"Dan kuperingatkan kamu ya, Ayu, jangan sekali- kali kamu ganggu Angga lagi! Aku gak mau punya mantu seperti kamu!" ucap bu Surti lantang tanpa peduli ayah dan ibu yang berdiri di depan pintu.

"Cukup Bu Surti!" teriak ayah.

Bu Surti dengan wajah judesnya langsung menstarter motornya dan pergi tanpa mempedulikan teriakan ayah. Sungguh sakit hatiku, tak terasa air mataku menetes. Ibu hanya geleng kepala melihat kelakuan bu Surti.

"Masuk Nduk," ibu mengelus bahuku lembut.

"Ayo Nduk Siska, kita masuk dulu!"

Kami bertiga menyusul ayah ke ruang tamu. Mbak Siska mencium tangan ayah dan ibu yang duduk di kursi kayu yang sudah usang.

"Apa kabar kamu Nduk?" tanya ayah.

"Baik Paklek," jawab mbak Siska sambil tersenyum.

"Maaf kamu harus menyaksikan sinetron live tadi," canda ayah berusaha mencairkan suasana canggung di antara kami.

"Ah Paklek ini, anak sendiri pun dibecandain."

"He he he. Habis tadi seru banget tokoh antagonisnya beneran menghayati peran."

"Hiks... Ayah...," rengekku.

"Nduk, Ayah sudah pernah mengingatkanmu untuk tidak terlalu berharap kan?" ayah berubah serius saat bicara padaku.

"Iya Yah, tapi aku harus ketemu Angga dan menanyakan kebenarannya dulu," aku memang keras kepala.

"Hhhh... terserah kamu Nduk," ayah terdengar jengah. "Kalian lanjut ngobrolnya, Ayah masuk dulu."

Ibu yang tadi masuk ke dalam terlihat keluar membawa nampan berisi teh dan keripik singkong.

"Bulek cuma ada ini, Nduk. Dimakan ya. Bulek nyusul Paklekmu dulu," ibu tersenyum kemudian berlalu.

"Iya, makasih Bulek."

Sepeninggal ibu, aku dan mbak Siska masih saling diam.

"Ayu... Ayahmu benar. Sebaiknya kamu lupakan Angga. Kalau pun Angga menikahimu, apa kamu sanggup hidup dengan mertua seperti itu? Seumur hidup itu terlalu lama, Yu," mbak Siska mengelus puncak kepalaku.

"Tapi aku harus ketemu Angga dulu Mbak. Seenggaknya aku harus dengar dari mulut dia sendiri," kekehku.

"Ya ampun, Ayu. Apa yang kamu harapkan lagi?" mbak Siska terlihat frustasi menghadapiku.

"Setidaknya bukan aku yang mengingkari janji Mbak."

**"

Sita dan Dodi benar- benar tidak mengundangku ke acara pernikahan mereka membuatku semakin sedih. Aku tidak tahu apa salahku pada mereka. Tapi mbak Siska berbaik hati mengajakku. Mbak Siska yang masih saudara jauh Sita tidak enak datang sendiri karena ibunya menginap di rumah Sita sejak kemarin.

"Selamat ya Dod, Sit, semoga langgeng sampai kakek nenek," ucapku sambil tersenyum tipis. Sita merangkul lengan Dodi posesif dan menatapku sinis sedangkan Dodi terlihat tidak enak padaku.

"Makasih ya, Yu," balas Dodi sambil tersenyum. Sita hanya diam saja.

Tak lama mbak Siska mencariku dan mengajakku pulang, katanya bosnya telepon, malam ini juga harus balik ke kota.

"Kamu jadi ikut Mbak ke kota, Yu?" tanya mbak Siska sambil menyetir.

"Apa aku tidak merepotkan Mbak?" tanyaku balik.

"Ya enggak selama kamu bisa jalan sendiri, makan sendiri, mandi sendiri...."

"Mbak Siska ih.... Serius lho ini."

"Lagian aku sampai bosan, Yu, jawabnya."

Aku hanya nyengir menanggapinya.

"Tapi Mbak minta satu hal boleh, Yu?"

"Apa itu Mbak?"

"Kamu kesana niat kerja yang bener. Cari uang buat bahagiain orang tua dan diri kamu sendiri. Menemukan Angga itu hanya bonus. Kamu harus fokus pada diri kamu sendiri dulu. Bisa?"

Aku mengangguk yakin. "Bisa."

Ya, aku akan cari kerja dan memantaskan diri untuk Angga karena selama ini yang dilihat keluarganya adalah harta dan status sosial.

"Baiklah, aku akan menjemputmu nanti malam."

"Tidak perlu Mbak. Biar aku yang ke rumah Mbak. Daripada nanti balik lagi, udah dikasih tumpangan, aku gak mau ngrepotin Mbak lagi," tolakku. Rumah mbak Siska berada di ujung desa kalau ke rumahku dulu nanti buang- buang waktu.

"Baiklah, terserah kamu saja."

Aku diam- diam menghembuskan napas lega. Karena aku akan pergi tanpa ayah dan ibu tahu. Aku hanya akan meninggalkan surat agar mereka tidak khawatir. Kalau aku minta izin sudah pasti ayah tak akan memberiku izin.

Malam beranjak naik. Mbak Siska memberitahuku kalau akan bertolak pukul 9 malam untuk menghindari macet dan bisa sampai sana subuh. Aku pamit tidur lebih awal pada ayah dan ibu yang sedang menonton TV. Kemudian menyusun bantal guling dan menutupnya dengan selimut agar menyerupai orang tidur. Aku sudah memasukkan baju dan semua keperluanku tadi sore termasuk ijazah SMK-ku ke dalam tas ransel besar milikku. Tak lupa uang tabunganku untuk berjaga- jaga kalau belum bekerja.

Kugunakan keahlianku memanjat pohon jambu depan rumah untuk keluar melalui jendela kamar yang agak tinggi. Hap. Aku berhasil mendarat dengan mulus. Keahlianku memanjat memang sudah teruji. Dengan berjalan mengendap- endap aku melewati jalan pintas menuju rumah mbak Siska. Kalau lewat jalan utama aku pasti bertemu orang dan akan banyak pertanyaan.

Mbak Siska ternyata sudah siap menungguku di teras bersama ibunya.

"Kok jalan kaki, Yu? Gak dianter Paklek?" tanya mbak Siska heran.

"Eng...enggak Mbak. Tadi ayah sama ibu ke rumah simbah."

Mbak Siska menatapku curiga. "Kamu udah izin kan, Yu?"

"Udah Mbak," jawabku singkat tanpa berani menatap matanya.

"Udah sana berangkat, nanti kemalaman. Kalian kan perempuan," Budhe Warni menyelamatkanku.

"Kami berangkat dulu ya, Budhe," aku mencium tangan budhe Warni setelah mbak Siska.

"Hati- hati, ya. Baik- baik disana," pesan budhe Warni.

Mbak Siska memeluk budhe Warni erat sebelum masuk mobil dan kami berdua melambaikan tangan. Mbak Siska terlihat berat meninggalkan ibunya sendirian di rumah karena suaminya sudah meninggal tahun lalu.

"Kamu bohong kan, Yu. Kamu gak pamit paklek dan bulek kan?" setelah keluar dari desa kelahiranku mbak Siska kembali bertanya.

"Aku udah izin Mbak," jawabku kali ini lebih mantap. Memang sudah kan? Aku kan sudah pamit melalui surat.

Selama perjalanan sesekali aku tertidur membuatku tak enak sama mbak Siska. Sampai aku harus mencubit pahaku sendiri agar tetap melek. Entah bagaimana mbak Siska bisa tidak mengantuk padahal tadi siang dia juga tidak tidur.

"Kamu lapar, Yu?" tanyanya.

"Enggak Mbak. Aku makan banyak tadi."

"Kita istirahat di rest area sebentar ya. Aku mau ngopi."

Aku hanya mengangguk tanda setuju. Memang apa yang bisa kulakukan selain itu, aku kan cuma numpang, gak bisa nyetir lagi.

Kita sampai di rumah kost mbak Siska saat azhan subuh berkumandang. Rumah kost mbak Siska tergolong lumayan menurutku karena ada dapur mini dan kamar mandi dalam.

"Anggap aja rumah sendiri ya, Yu. Kalau mau masak dikulkas masih ada telur. Beras sama mie instan juga ada. Aku mau tidur dulu, nanti jam 10 aku ada kerjaan," kata mbak Siska sambil bersiap tidur kelihatan capek banget.

"Iya Mbak, terimakasih."

Tepat pukul 10 mbak Siska keluar dari rumah kost. Aku sudah masak telur dadar dan mie goreng tapi mbak Siska memilih tidak makan karena sudah ditunggu bosnya.

"Mbak pergi dulu, Yu. Jangan pergi jauh- jauh nanti nyasar," pesannya.

"Iya Mbak."

Aku mengantarnya sampai pintu gerbang. Ternyata Mbak Siska sudah dijemput mobil kinclong. Setelahnya aku membereskan kamar mbak Siska kemudian tidur karena rasanya badanku remuk.

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status