Share

Gosip Miring

Meski kemarin aku sempat kecewa karena tidak bisa ikut mengantar Angga ke terminal bersama keluarganya tapi hari ini kekecewaanku terobati karena Angga baru saja mengabariku bahwa ia telah sampai di Jakarta. Walaupun kami hanya berbicara sebentar itu sudah cukup bagiku karena aku tahu dia juga butuh istirahat setelah perjalanan jauh.

"Istirahat dulu Nak, jangan terlalu diforsir," tegur ayah.

"Iya Yah," balasku sambil tersenyum. Aku beranjak meninggalkan mesin jahit dengan senyum manis terukir di bibirku. Aku sudah minta maaf pada ayah kemarin mengenai kekesalanku pada ayah tempo hari dan tentu saja ayah memaafkan.

"Ayah sudah makan siang?" tanyaku sambil bergelayut di lengan ayah. Manja memang tapi beginilah aku. 

"Belum, nungguin putri ayah yang cerewet," jawab ayah sambil tersenyum jahil.

Aku tak marah karena itu memang kenyataan. Tak hanya manja aku juga cerewet hanya saja saat bersama Angga aku harus menekan itu semua karena Angga tak menyukai gadis cerewet apalagi manja.

Begitulah hari- hari kulalui tanpa Angga. Hingga tanpa terasa 4 tahun terlewati. Empat tahun bukan tanpa cobaan tentu saja. Pertengkaran- pertengkaran kecil mewarnai hubungan jarak jauh kami. Terkadang kami sampai berminggu- minggu hanya berbalas pesan itupun kami lakukan sesekali karena kesibukan Angga yang tak menentu. Kadang kami akan melakukan panggilan video call sampai larut malam kalau Angga libur. 

Beberapa kali Angga meminta kiriman uang dariku karena tak sanggup membeli paket internet. Aku paham hal itu karena kebutuhan disana serba mahal. Uang tabungan dari hasil menjahit terpaksa kukirim padanya tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Tapi aku tak keberatan demi kelancaran komunikasi kami. 

Bahkan beberapa kali juga Angga mengatakan uang makannya tidak cukup dan ingin pinjam dariku. Dia berjanji akan mengembalikannya setelah bekerja nanti. Aku tak tega mendengarnya hingga kukirimkan juga untuk tambahan uang makannya.

Sekarang Angga sudah bekerja di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Dia sempat meminta doa dariku saat melamar kerja kemarin dan langsung meneleponku begitu dirinya dinyatakan diterima.

"Ayu, terima kasih doanya. Aku diterima!" katanya girang beberapa bulan lalu.

Tapi sudah beberapa minggu ini Angga sulit dihubungi. Pesanku tak jarang hanya bercentang satu sekalinya centang 2 biru tak dibalas. Aku mulai resah, ditambah adanya bisik- bisik tetangga yang tak sengaja aku dengar saat kemarin aku pergi ke warung.

"Kata ibu Surti, Angga sekarang udah kerja di perusahaan besar. Dan punya pacar yang cantik, atasannya atau gimana aku kurang paham," bisik bu Nami tetangga belakang rumahku pada ibu- ibu yang sedang belanja di warung.

Bukan bisikan juga sebenarnya, karena masih bisa kudengar dari tempatku berdiri yang jaraknya 2 meter dari mereka. Mungkin mereka tak menyadari keberadaanku karena posisi mereka yang membelakangiku.

"Pantesan perhiasan Bu Surti sekarang besar- besar. Ternyata anaknya sudah sukses di Jakarta," sahut salah satu ibu yang aku tak pasti siapa karena mereka bergerombol.

"Eh... tapi kalau udah punya pacar disana, gimana dengan si Ayu? Kasihan dia udah nungguin 4 tahun lho...," sahut ibu Susi dan diangguki yang lain. 

Kenapa aku tahu itu Bu Susi? Karena beliau adalah tetangga sebelah rumahku jadi aku hafal betul suaranya.

"Iya ya. Mana dia udah terlanjur nolak lamaran si Dodi tahun lalu," sahut Bu Nami.

"Wah... kalau begitu si Ayu dapat karma itu. Kan tidak boleh menolak lamaran?" sahut ibu siapa aku tak melihat karena aku hanya menunduk dan membelakangi mereka, pura- pura memilih barang.

Aku tidak menyangka mereka akan berbicara seperti itu. Selain karena menunggu Angga, aku memang belum siap menikah makanya aku menolak lamaran Dodi, temanku sejak kecil. Jadi kalaupun yang melamarku anak Pak Kades sekalipun aku akan tetap menolaknya. 

Dulu memang aku sempat berpikir untuk menikah muda dengan Angga. Tapi dua tahun terakhir di kampung ini banyak orang yang memilih bercerai dengan berbagai alasan. Termasuk Mbak Indah, kakak Angga. Padahal hubungan mereka terlihat baik- baik saja, secara ekonomi pun mereka berkecukupan. Hal itu membuatku berpikir lagi soal pernikahan.

"Hush... jangan ngomong begitu. Lagian kabar ini kan juga belum pasti. Terkadang Bu Surti kalau ngomong suka belok kanan kiri," tegur Bu Susi yang ditanggapi tawa cekikikan ibu- ibu yang lain.

Sampai mereka bubar aku baru membayar belanjaanku.

"Eh Nak Ayu, udah lama di sini?" tanya bu Asih, pemilik warung terlihat tidak enak menatapku. Mungkin merasa bersalah karena barusan membicarakanku.

"Belum terlalu lama, Bu," balasku sambil tersenyum simpul.

"Maaf ya soal ibu- ibu tadi. Jangan didengerin. Orang biasa menilai tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi," hibur bu Asih.

Aku hanya mengangguk mendengar nasehatnya. Ya, bisa kuanggap itu sebagai nasehat kan? Meski mungkin apa yang diucapkan bu Asih karena merasa bersalah padaku.

"Tapi kebanyakan anak- anak muda di desa kita memang pada sukses merantau ke kota. Kamu tidak ingin mencoba juga Yu?" tanya bu Asih masih sambil memasukkan belanjaanku ke tas plastik.

"Belum kepikiran, Bu," jawabku singkat.

"Dicoba aja Nak Ayu, mumpung masih muda. Itu si Siska juga sukses di kota. Malah pulang bawa mobil," kata bu Asih dengan logat jawanya yang medok.

"Mbak Siska pulang, Bu?" tanyaku. Aku dan mbak Siska cukup dekat dulu. Rumahnya di pinggir desa, dekat dengan sawah bapak.

"Iya. Tadi ibunya belanja kesini diantar sama dia. Ini totalnya 28.000," ucap bu Asih mengulurkan belanjaanku.

"Ini uangnya, Bu," kuulurkan uang 30.000 untuk membayar. "Sisanya shampo aja, Bu."

"Ini, makasih ya," bu Asih mengulurkan shampo yang kuminta.

"Sama- sama, Bu."

Aku berjalan pulang cepat- cepat. Aku berencana untuk main ke rumah mbak Siska setelah memasak. Aku rindu kebersamaan kami dulu. Mbak Siska sudah seperti kakak bagiku karena saat kecil aku sering main disana saat bapak dan ibu bekerja di sawah. Kegalauanku soal Angga seketika hilang mendengar kabar kepulangan mbak Siska.

"Kok sepertinya sumringah banget, Nduk, ada apa?" tanya ibu yang menyambut belanjaanku.

"Iya Bu. Tadi di warung bu Asih bilang kalau mbak Siska pulang katanya," jawabku sambil berjalan mengambil pisau dan talenan untuk memotong sayur.

"Oh ya? Kapan pulangnya?" ibu mengeluarkan sayuran dari dalam tas plastik.

"Gak tahu, Bu. Cuma katanya tadi pagi mbak Siska dan budhe Warni belanja di tempat bu Asih."

"Oh, ya sudah. Kalau kesana bawakan mereka pisang kepok itu," kata ibu menunjuk ke sudut ruangan yang terdapat 1 tandan pisang kepok yang sudah matang.

"Iya Bu," jawabku sambil tersenyum.

Di pekarangan rumah ayah memang menanam berbagai pohon pisang. Lumayan kalau pun tidak dijual bisa dimakan sendiri dan juga dibagiin ke tetangga. Tak berapa lama acara masak kami selesai. Ayah belum pulang dari sawah padahal sebentar lagi waktunya makan siang.

"Nanti sekalian saja bawakan ayahmu rantang ya, Nduk?" kata ibu sambil menata makan siang untuk ayah.

"Memang Ayah gak pulang, Bu?" jawabku sambil memasukkan dua sisir pisang ke dalam tas plastik.

"Ndak, tadi katanya mau bantu pak Eko irigasi sawahnya."

"Ya udah, Bu."

Aku berangkat ke sawah naik motor. Cuaca sedang panas tapi terasa sejuk karena di kiri kanan jalan ditumbuhi pepohonan. Semakin dekat dengan sawah yang terdengar hanya kicau burung dan suara gemericik air. Sungguh suasana yang menenangkan.

"Yah, makan dulu!" panggilku pada ayah setengah berteriak karena posisi ayah berada di tengah sawah.

Ayah hanya melambaikan tangan dan mengangguk mendengar panggilanku. Tak berapa lama ayah sudah duduk di gubuk kecil pinggir sawah kami. 

"Ibumu kemana, kok kamu yang kesini?" tanya ayah setelah minum air putih dari botol bekas air mineral.

"Ibu di rumah lah, Yah. Kenapa? Gak suka ya kalau aku yang datang?" tanyaku cemberut.

"La biasanya kamu kan ndak mau panas- panasan," kata ayah sambil mengunyah makan siangnya.

"Siapa juga yang gak mau panas- panasan?!"

"Ya kamu toh, masa ayah."

"Bukannya gak mau, Yah. Tapi males, habis panas- panasan aku pasti sakit kepala," terangku.

"Ya sudah. Kamu pulang sana, bilang sama ibumu, Ayah pulangnya sore," titah ayah tanpa mengalihkan perhatiannya dari rantang yang sudah berkurang isinya separuh.

"Aku mau ke rumah mbak Siska dulu, Yah."

"Dia di rumah?" tanya ayah menatapku.

"Iya. Katanya mbak Siska pulang."

"Ya sudah. Sampikan salam dari Ayah."

"Iya, Yah. Itu di rantang yang satunya masih ada pisang goreng. Jangan lupa dimakan," pesanku pada ayah yang hanya dibalas dengan acungan jempol.

Aku berjalan melewati pematang sawah menuju tempat parkir motorku. Rumah mbak Siska sudah terlihat dari sini, senyumku pun semakin mengembang.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status