Share

Nasehat Mbak Siska

Tok tok tok. Kuketuk pintu rumah mbak Siska yang terlihat habis direnovasi. Gentengnya terlihat baru, dindingnya yang dulu masih semen sekarang sudah dicat warna hijau dan lantainya sudah dikeramik. Aku tersenyum ikut bangga, sepertinya mbak Siska beneran sudah sukses di kota. Di halaman juga terparkir mobil. Bukan mobil yang wow memang tapi untuk ukuran orang desa punya mobil itu sudah cukup membuktikan kekayaan seseorang.

Saat pintu dibuka, keluarlah seorang wanita cantik, putih dan wangi membuat Ayu melongo melihatnya. Sesaat wanita itu juga terdiam, seperti mengingat- ingat sesuatu.

"Mbak Siska?!" pekik Ayu kegirangan.

"Iya...?Kamu...?"

"Aku Ayu, Mbak. Masa lupa?"

Mbak Siska terlihat mengerutkan kening, mungkin sedang menggali ingatannya.

"Ya ampun Ayu?!" sekarang gantian mbak Siska yang memekik kegirangan setelah berhasil mengembalikan memorinya.

"Mbak sekarang cantik banget ih...," aku menoel pipi mbak Siska.

"Kamu bisa aja. Ayo masuk dulu!" ajak mbak Siska merangkul bahuku.

Aku mengikuti mbak Siska dari belakang.

"Duduk dulu, Yu. Aku ke belakang sebentar."

"Mbak, ini ada titipan dari ibu," kuulurkan bungkusan plastik yang kubawa.

"Repot-repot aja, Yu."

"Gak kok Mbak, itu cuman pisang hasil tanam sendiri."

"Sampaikan makasih sama Bulek ya. Dienakin dulu, aku ke belakang sebentar," kata mbak Siska sambil berlalu.

Aku duduk di sofa beludru empuk. Beludrunya benar- benar halus saat dielus. Norak banget ya aku? Di tembok juga ada TV gede banget. Aku benar- benar kagum sama keberhasilan mbak Siska. Seperti inilah cita- citaku, bisa membahagiakan orang tua dan mengangkat derajat mereka. Kalau istilah orang Jawa 'mikul dhuwur mendhem jero'.

Apa aku juga merantau ke kota aja seperti saran bu Asih, ya? Iya kalau sukses kalau gak gimana? Apalagi ijazahku hanya SMK. Eh, tapi mbak Siska kan cuma sampai SMA juga. Apa mbak Siska lanjut kuliah di kota ya?

"Maaf ya, Yu. Mbak cuma ada ini," mbak Siska membuyarkan lamunanku.

"Eh, gak papa Mbak. Ini aja lebih dari cukup," balasku sambil tersenyum.

Mbak Siska memang cuma merendah. Di meja ada es sirop, biskuit dan buah anggur. Itu sudah lebih dari cukup untuk kami orang desa.

"Mbak Siska makanannya roti dan buah ya, sekarang? Makanya tambah bening," candaku.

"Ha ha ha. Kamu bisa aja, Yu. Lagian ini biskuit bukan roti, Ayu," mbak Siska menanggapi candaanku.

"Sama aja Mbak. Orang- orang juga nyebutnya roti," aku masih tak mau kalah.

"Iya deh, iya. Aku ngalah aja. Ha ha," mbak Siska masih terpingkal.

"Ngomong- ngomong tadi kita belum tanya kabar ya Mbak? Ya ampun saking terpesonanya aku sama Mbak jadi linglung kan?"

"Ha ha ha. Ayu... Ayu... Kamu gak berubah ya, masih aja cerewet."

"Berubah? Aku bukan power ranger Mbak," balasku cemberut.

"Ah udah ah ngelawaknya. Kamu bikin perutku sakit aja," mbak Siska mengelap sudut matanya dengan tisu. "Kamu sibuk apa, Yu, sekarang?"

"Aku cuma jahit aja Mbak," jawabku lesu.

"Jahit kok cuma sih, Yu. Di desa kita kan masih jarang ada penjahit."

"Iya Mbak. Tapi sekarang udah jarang yang jahitin baju. Kebanyakan mereka beli baju jadi kecuali seragam sekolah."

"Masa sih Yu?"

"Iya Mbak. Mereka pada beli online lebih murah daripada di pasar."

Apa yang dikatakan Ayu memang benar. Sekarang semua dijual online. Pedagang offline mulai mengeluh tapi mau bagaimana lagi semua memang harus upgrade. Jadi harus selalu mengikuti perkembangan jaman.

"Iya sih, Yu. Mbak sendiri lebih suka belanja online. Males macet belum lagi bayar parkir. Coba deh kamu bikin design sendiri terus post di I* atau WA," saran mbak Siska.

"Itu semua butuh modal Mbak. Dan tabunganku gak sebanyak itu."

Mbak Siska menatapku prihatin. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum.

"Eh Yu, sebentar deh," mbak Siska berlalu ke kamar.

Kemudian keluar lagi dengan membawa kain batik.

"Aku pulang kan sebenarnya mau ke nikahannya Sita. Kamu bisakan jahitin baju aku?"

"Sita nikah Mbak?" aku terkejut pasalnya aku belum dengar kabar ini.

"Iya, weekend ini. Masa kamu gak tahu?"

Aku hanya menggelengkan kepala karena memang aku belum tahu.

"Undangannya belum nyampe aja mungkin?"

"Bisa jadi sih, Mbak," jawabku ragu karena aku, Sita dan Dodi teman sepermainan saat masih kecil dulu. Jadi aku sedikit kecewa kalau sampai aku telat diundang apalagi sampai tidak diundang sama sekali.

"Jadi gimana? Bisakan jahitkan bajuku?"

"Bisa banget Mbak," jawabku sumringah.

"Ya udah nanti sore aku ke rumahmu buat ukur badan aku, ya."

"Siap Mbak!" balasku dengan posisi hormat padanya membuat mbak Siska kembali tergelak.

"Mbak Siska lanjut kuliah di kota, ya?" tanyaku setelah mbak Siska berhenti tertawa.

Mbak Siska hanya menggeleng sambil tersenyum. "Duit darimana, Yu?"

"Ya bisa aja kan, Mbak kerja sambil kuliah."

"Gak semudah itu, Sayang. Hidup di kota kan apa- apa serba duit. Buat kost, makan, belum lagi transportasi, kencing aja bayar, Yu, disana," terang mbak Siska.

Jawaban mbak Siska tak sesuai ekspektasiku tapi aku jadi tahu mbak Siska pekerja keras karena meski sulit tapi akhirnya bisa sesukses sekarang.

"Tapi gaji di sana kan gede, Mbak?" tanyaku masih penasaran.

"Gak semua, Yu," mbak Siska tersenyum maklum.

"Buktinya Mbak bisa sesukses ini. Berarti gaji Mbak gede dong. Mbak kerja apaan, sih?"

Mbak Siska tersenyum simpul. "Mbak kerja freelance aja."

"Freelance itu kerjaannya ngapain Mbak? Ajarin aku dong," rengekku.

"Gak enak kerjanya, Yu. Kalau punya skill kayak kamu, Mbak mending buka usaha. Sayangnya Mbak gak punya skill apa- apa."

"Mbak merendah terus dari tadi. Punya skill atau gak yang penting kan Mbak udah sukses sekarang."

"Emang kenapa sih, Yu, kamu nanya- nanya kayak gini? Jangan bilang kamu juga pengen merantau ya?" tanya mbak Siska menyelidik.

Ayu gelagapan ditanya seperti itu.

"Aku... aku...."

"Udah jujur aja sama Mbak."

"Sebenarnya aku kepikiran buat ke kota sih Mbak. Aku mau nyari... Angga," jawabku sambil menunduk malu. Pasalnya keinginanku merantau bukan karena ingin mencari rezeki tapi karena seorang laki- laki.

"Angga? Anaknya bu Surti?" tanya mbak Siska memastikan.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Kamu pacaran sama dia?"

Kembali lagi aku hanya mengangguk.

"Udah berapa lama Angga merantau?"

"Empat tahun lebih. Dia kuliah disana dan sekarang udah lulus, udah kerja."

"Kalian sering komunikasi?"

"Gak sering sih Mbak. Setidaknya seminggu sekali kami video call tapi beberapa bulan ini susah dihubungi."

"Hhhhh...," mbak Siska menghela napas. Mbak Siska terlihat berpikir. "Ayu, mau dengar saran Mbak?"

Aku mengangguk.

"Kalau kamu mau ke kota untuk kerja, silahkan. Tapi kalau kamu kesana hanya karena Angga mending gak usah. Kalau hanya karena lelaki itu dan nantinya tidak sesuai ekspektasi kamu maka kamu hanya akan kecewa dan hancur. Kamu gak akan bisa survive disana. Tapi kalau kamu kesana untuk bekerja setidaknya kamu punya tujuan lain seandainya Angga tidak memenuhi ekspektasi kamu."

Aku menelaah setiap kata- kata mbak Siska. Kalau apa yang dikatakan orang- orang mengenai Angga itu benar aku akan kecewa dan hancur tapi kalau aku tidak bergerak, aku tidak akan pernah tahu dan hanya menunggu disini seperti orang bodoh.

Aku menatap mbak Siska yang tersenyum simpul.

"Kapan Mbak Siska kembali ke kota?"

"Minggu depan."

"Apa... aku boleh menumpang?"

Mbak Siska menatapku sejenak. "Mantapkan dulu tujuanmu. Disana kita jauh dari orang tua. Kita hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Jadi apapun yang terjadi harus bisa survive," katanya lembut tapi tegas.

Aku mengangguk ragu.

"Kamu belum yakin," Mbak Siska tersenyum mengejek.

"Hhhh...," aku menghela napas lelah.

"Ayu...," mbak Siska menatapku serius.

"I... iya Mbak," jawabku sedikit takut.

"Kamu... belum diapa- apain kan sama Angga?"

"A... apa?!" pekikku kaget dengan pertanyaan mbak Siska yang diluar nurul. Aku dan Angga hanya sebatas gandengan tangan tidak lebih.

"Ha ha ha...," mbak Siska terpingkal- pingkal melihat reaksiku.

"Ih... Mbak Siska ngerjain aku," kucubit lengan mbak Siska gemas.

"Habisnya aku gemas sama kamu, Yu. Ngapain kamu mengejar laki-laki. Biarkan mereka yang mengejarmu. Mereka akan besar kepala dan semena- mena kalau dikejar."

"Kan aku cinta sama dia Mbak," jawabku cemberut.

"Hidup gak makan cinta, Sayang."

Aku masih cemberut karena yang dikatakan mbak Siska memang benar.

"Oh iya Mbak, Sita dapat suami orang mana memangnya?"

"Loh... Kamu gak tahu?"

Aku menggeleng.

"Dia nikah sama Dodi. Kalian bertiga kan temenan, masa gak tahu mereka pacaran?" mbak Siska mengernyit heran.

"Hah?!" reaksiku seperti orang bodoh tentu saja.

Kami bertiga temenan tapi mereka gak bilang apa- apa sama aku. Apa karena aku menolak Dodi waktu itu?

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status