Share

Pak Boss, Galakk!
Pak Boss, Galakk!
Penulis: IfaZuzu

Janji

"Maaf aku harus pergi. Tapi ini semua demi masa depan kita. Pada saatnya nanti aku akan kembali dengan keadaan yang sudah siap mempersuntingmu," kata Angga sambil menggenggam jemariku.

Aku terdiam sejenak, berusaha menenangkan hatiku yang sesak. Pada akhirnya perpisahan ini harus terjadi. Jauh sebelum hari ini, Angga memang sudah pernah menceritakan padaku tentang mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke kota. Namun aku tak menyangka hari itu akan datang secepat ini.

"Kamu akan kembali kan?" tanyaku terdengar meragukannya.

Angga tersenyum, "Tentu. Rumahku kan disini."

"Maksudku... kamu akan kembali padaku kan? Kamu akan setia meskipun di kota banyak cewek cantik?" tanyaku penuh harap -harap cemas.

"Ha ha ha...," Angga tertawa lebar membuat Ayu cemberut.

"Ayu... Ayu... Kamu tidak paham maksudku ya?"

Aku mengernyitkan kening tidak paham dengan apa yang dia bicarakan.

"Aku sudah bilang kan kalau aku pasti pulang ke rumah?"

"Iya, aku tahu. Kamu pasti pulang ke rumah karena disana ada orang tuamu. Yang aku tanyakan, kamu akan setia dan kembali padaku kan?" terangku setengah kesal.

Angga menatapku serius membuatku sedikit gugup.

"Rumahku itu kamu. Jadi aku pasti pulang ke kamu," Angga tersenyum manis membuat aku tertegun. Salah satu yang membuatku jatuh cinta pada Angga adalah senyum manisnya dan tatapan teduhnya.

Hembusan angin terasa begitu menyejukkan. Kicauan burung terdengar seperti nyanyian merdu. Hamparan padi yang menghijau seperti taman bunga. Gubuk kecil tempat kami berlindung dari panas tak ubahnya seperti villa dan hanya ada kami berdua disini. Lebay memang, tapi seperti itulah yang kurasakan. Tak terasa wajah kami semakin dekat hingga membuatku memejamkan mata dan bibir kami saling menempel. Hanya sepersekian detik aku mendorong dada Angga karena takut ada yang melihat. 

"Maaf...," ucap Angga canggung.

"Tidak apa- apa, aku juga salah karena tak menolak."

Suasana menjadi sedikit canggung namun aku berusaha mencairkannya karena tak ingin menghabiskan waktu kami hanya untuk saling diam.

"Besok berangkat jam berapa?" tanyaku.

"Tiket bus jam 8. Kamu mau ikut mengantar?" tawar Angga.

"Apa boleh?"

Angga tersenyum, "Tentu saja boleh."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Besok pagi datang ke rumah ya, aku akan diantar pakai mobil Mas Rian."

Aku terdiam sejenak, Mas Rian adalah suami Mbak Indah, kakak Angga. Mbak Indah terlihat tidak begitu menyukaiku begitu juga dengan ibunya. Beberapa kali mencoba mengakrabkan diri tapi tetap ketus dan setengah hati kalau membalas sapaanku.

"Ya sudah, pulang yuk! Aku masih harus packing untuk besok," ajak Angga.

Kami pun beranjak dari gubuk berjalan beriringan meninggalkan pematang sawah. Angga mengantarku sampai depan rumah yang disambut oleh ibuku.

"Eh Nak Angga... Mari masuk dulu," ibu yang tengah menyapu halaman menghampiri kami.

"Terima kasih, Bu. Tapi saya harus segera pulang dan persiapan untuk besok," tolak Angga sopan.

"Nak Angga jadi berangkat ke kota?" tanya ibu.

"Iya, Bu. Doanya ya, Bu...."

"Pasti. Ibu pasti doakan," kata ibu sembari tersenyum.

"Ya sudah, Bu. Saya pamit dulu."

"Ya, hati- hati ya, Nak."

Angga mengangguk sambil tersenyum. "Aku pulang dulu Yu?" pamit Angga padaku.

"Iya. Hati- hati," jawabku dengan berat hati.

Aku bergegas masuk ke rumah untuk mandi karena waktu memang sudah sore.

"Angga jadi pergi ke kota?" 

Suara ayah menghentikan langkahku yang mengarah ke kamar.

"Jadi, Yah," jawabku sambil membalikkan badan ke arah sumber suara.

Ternyata ayah duduk di ruang tamu sambil minum teh. 

"Kamu jangan terlalu barharap padanya. Ayah takut kamu akan sakit hati," tutur ayah hati- hati.

Aku terpaku menatap ayah yang menyeruput tehnya pelan. Aku tahu ayah tak begitu menyetujui hubunganku dengan Angga. Tapi kupikir setelah melihat sikap Angga yang baik dan sopan akan meluluhkan ayah. Karena beberapa waktu lalu saat Angga main ke rumah, ayah menanggapinya dengan ramah.

"Kalau Ayu setia menunggunya yang ingin meraih mimpi, apa itu salah, Yah?" 

Ayah menggeleng, "Tidak. Itu tidak salah. Ayah tidak melarangmu untuk itu, Ayah hanya mengingatkanmu untuk tidak terlalu berharap padanya."

Selama ini aku tidak pernah membantah kata- kata ayah karena selain aku menyayangi dan menghormatinya, ayah adalah orang yang bijak dalam memutuskan segala sesuatu. Tapi hari ini aku begitu ingin membantah kata- kata ayah.

"Yah, apa Ayah punya masalah pribadi dengan keluarga Angga hingga Ayah punya pikiran negatif pada Angga, Yah?" sekuat hati aku menahan agar suaraku tak meninggi.

"Hhhh...," ayah menghela napas berat. "Ayah hanya tak ingin putri Ayah tersakiti. Itu saja."

Aku tak ingin menjadi anak durhaka dengan terus membalas kata- kata ayah. Aku memilih meneruskan langkah untuk masuk ke kamar. Sesampainya di dalam kamar, kuhirup napas dalam- dalam untuk menetralkan rasa marah di dada. Pikiran buruk ayah mengenai Angga sungguh membuatku tak terima tapi mendengar jawaban yang ayah katakan bahwa tak ingin aku tersakiti membuatku marah. Tidak, aku tidak marah pada ayah, aku marah pada diriku sendiri. Tak salah apa yang dikatakan ayah, yang salah itu aku karena terlalu mencintai seseorang. Padahal apa yang disampaikan ayah itu benar, jangan pernah berharap pada manusia.

Untuk mendinginkan hati dan pikiranku yang terlanjur panas, aku mengambil handuk dan mandi di kamar mandi belakang rumah. Rumah sederhana hasil jerih payah ayah dan ibu dari hasil bertani dan menjual sapi saat aku masih SD. Dan sekarang atapnya sudah bocor sana sini karena lama tak direnovasi.

Penghasilanku dari menjahit masih belum cukup untuk merenovasi rumah. Aku memilih melanjutkan pendidikan di SMK bukan tanpa alasan. Aku sengaja mengambil jurusan tata busana agar aku punya ketrampilan kalau aku tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kehidupan sederhana kami tentu yang menjadi sebab aku tak bisa kuliah. Tapi aku tak berkecil hati, dengan ketrampilan yang kumiliki aku bisa mencari uang dan menabung jika aku ingin melanjutkan nanti.

Besok paginya aku datang ke rumah Angga jam setengah tujuh pagi karena jarak rumah Angga dan terminal bus yang lumayan jauh.

"Lho... Ayu kok kesini? Bukannya kemarin kalian udah ketemuan ya?" tanya ibu Angga tanpa basa- basi.

"Iya Bu, kemarin kata Angga, saya boleh ikut mengantar ke terminal," jawabku sambil tersenyum tipis.

"Aduh... maaf ya Yu, kayaknya mobil udah penuh," jawab Mbak Indah yang baru keluar dari dalam rumah.

"Penuh Mbak? Memang siapa aja yang ikut mengantar?" 

"Banyak Yu, aku sama anak- anakku aja udah berapa ditambah ayah ibu, barang bawaan Angga juga banyak banget tuh," jawab Mbak Indah yang sepertinya memang tidak ingin aku ikut.

"Kalau begitu, aku bisa ketemu Angga sebentar Mbak?" tanyaku meski penuh dengan kekecewaan.

"Angga lagi sarapan di dalam. Ada pesan apa? Nanti aku sampaikan."

Ayu semakin kecewa, mbak Indah benar- benar takkan membiarkanku bertemu dengan Angga rupanya.

"Ayu?" suara Angga bagai penyelamat bagiku. Hampir saja aku berteriak memanggilnya seperti orang tak beradab.

"Jangan lama- lama ya, Ngga. Takut macet nanti," suara mbak Indah terdengar kesal kemudian berlalu meninggalkan kami. Angga hanya mengangguk mengiyakan.

"Maaf ya, Yu, kayaknya kamu tidak bisa ikut mengantar. Adik Mas Rian ikut juga soalnya," kata Angga yang semakin membuatku kecewa namun aku berusaha menutupinya dengan senyum. Aku tadi berharap Angga akan membelaku dan tetap mengajakku untuk mengantarnya ke terminal. Benar kata ayah, jangan berharap pada manusia. Tapi aku tetap berharap Angga akan tetap setia pada komitmen kami nantinya.

"Iya tidak apa- apa. Aku hanya akan memberikan ini buatmu," kuulurkan tas kertas yang berisi kemeja batik. Aku menjahitnya selama dua hari ini.

"Ini kamu yang jahit sendiri, Yu?" Angga tersenyum sumringah sambil mengeluarkan kemeja itu.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Terima kasih banyak, ya," ucapnya.

"Udah belum, Ngga? Udah siang ini!" teriak mbak Indah yang terlihat mengunci pintu karena yang lain sudah memasuki mobil.

"Iya Mbak sebentar. Ini Ayu ngasih aku kemeja batik," jawab Angga dengan memamerkan baju yang dipegangnya.

"Halah... Kemeja kayak gitu di kota juga banyak," balas mbak Indah ketus kemudian berlalu memasuki mobil.

"Maaf ya Yu, omongan mbak Indah jangan dimasukin ke hati. Dia orangnya memang kayak gitu," Angga terlihat tak enak padaku.

Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis hingga kemudian terdengar klakson mobil yang dibunyikan tak beraturan.

"Masuklah," kataku melihat Angga yang terlihat semakin tak enak padaku.

"Aku pergi dulu ya. Jaga diri baik- baik."

Aku hanya mengangguk, tak mampu berkata- kata. Karena aku yakin pertahananku akan jebol kalau aku membalasnya dengan kata- kata. Kulihat mobil meninggalkan pelataran rumah Angga dengan perlahan. Kulihat mobil itu tidak penuh seperti yang mereka katakan. Aku paham, mereka hanya tidak ingin aku ikut mengantar.

Dengan lesu dan perasaan carut marut aku pulang ke rumah.

"Lho... kok sudah pulang? Tidak jadi mengantar ke terminal?" tanya ibu.

"Tidak Bu, mobil penuh," jawabku kemudian duduk di depan mesin jahit yang selama ini kugunakan untuk menghasilkan rupiah.

Ada beberapa jahitan pelanggan yang belum kuselesaikan karena kemarin mengerjakan kemeja Angga. Untuk menghibur diri kuputuskan untuk bekerja demi rupiah yang akan membuat mataku ijo. Saat dihadapkan dengan pekerjaan seketika perhatianku teralihkan dan Angga pun bisa kulupakan sejenak.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status