Semua orang menoleh, lalu melihat seorang wanita muda bertubuh ramping dengan gaun ketat menghampiri. Rambut panjang bergelombangnya mencapai pinggang, dan wajahnya yang cantik tampak diselimuti keangkuhan.
Ekspresi Zayden mengeras, dan dia langsung menarik Alisha mendekat ke sisinya, seakan melindungi wanita itu.
“Jaga bicaramu, Tania,” balas Zayden dengan ekspresi gelap dan suara rendah yang mengancam. “Apa kamu sedang menghina calon istriku?”
Diam-diam, Alisha cukup terkejut. Kalau bukan karena dirinya tahu mereka sedang bersandiwara, dia bisa mengira Zayden benar-benar perhatian padanya!
Wanita bernama Tania, yang Alisha duga adalah sepupu Zayden, mengedikkan kedua bahunya. “Bukan menghina, Zay, hanya mempertanyakan aja,” ucapnya. “Tante Vivian tuh nggak salah loh. Dari dulu kami nggak pernah dengar kamu dekat sama wanita, tapi sekarang kamu tiba-tiba bisa bawa calon istri ke rumah, siapa sih yang nggak merasa aneh?”
Semua orang mulai berbisik, merasa omongan Tania ada benarnya.
Bibit keraguan yang mulai tumbuh membuat senyum Tania semakin mengembang. “Selain itu, kudengar belum lama kamu diberi ultimatum sama Kakek dan orang tuamu. Katanya, kalau kamu nggak segera menikah, nanti posisimu sebagai ahli waris akan dicabut. Ya, ‘kan?”
Wanita itu tertawa kecil.
“Ya, ada ultimatum begitu, ditambah adanya rumor bahwa kamu menyimpang, siapa yang nggak akan curiga bahwa kamu sewa perempuan untuk pura-pura jadi calon istri kamu? Semua demi harta warisan.”
Tania pun menoleh ke arah Alisha yang berada di belakang Zayden. “Nama kamu tadi siapa? Alisha, ‘kan? Hati-hati ya, Alisha. Kalau kamu bukan perempuan sewaan, sebaiknya kamu lebih waspada aja sama ‘calon suami’ kamu. Nanti habis menikah baru tahu dia nggak mampu, repot lagi.”
Mendengar itu, suasana menjadi sangat tegang. Walau tahu Tania sudah keterlaluan, tapi kenyataan dia adalah satu-satunya cucu perempuan di keluarga Wicaksana, permata Henry Wicaksana–Kakek Zayden–membuat tidak ada yang berani melawannya.
Di sisi lain, Vivian yang sebenarnya adalah senior, hanya terdiam dan tidak berniat melerai. Lagi pula, kalau memang Zayden terbukti menyimpang atau ketahuan menyewa perempuan untuk dijadikan calon istri, itu akan lebih baik!
Dengan begitu, putra Vivian bisa memiliki kesempatan lebih besar untuk dijadikan calon pewaris yang baru!
Tiba-tiba, di saat semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing, sebuah suara terdengar berkata, “Maaf, saya nggak tahu kebiasaan keluarga ini bagaimana, tapi rasanya ikut campur urusan Zayden dengan para tetua dan juga membahas tentang preferensinya sudah kelewatan batas deh.”
Semua orang, termasuk Tania, Vivian, dan Zayden, menoleh kaget.
Ternyata, yang berbicara adalah Alisha!
Dengan alis menekuk, wajah cemberut, dan tangan berkacak di pinggang, Alisha yang tadinya ditarik Zayden ke belakang, sekarang melangkah maju. Kentara jelas dia tidak senang dengan apa yang sedang terjadi dan memutuskan untuk turut serta.
“Alisha…” panggil Zayden seraya meraih tangan Alisha. “Tenang….”
Suara pria itu lembut, tapi terselipkan nada penuh tekanan. Dia ingin mengingatkan Alisha untuk diam saja dan jangan berbuat onar, sesuai pembicaraan mereka di mobil.
Namun, Alisha malah mendelik ke arah Zayden dan berucap, “Calon suamiku dihina orang tidak beretika, aku nggak mungkin bisa tinggal diam!”
Mendengar hal ini, orang-orang langsung terkejut, terutama Zayden.
Apa … wanita ini sedang membelanya? Dia sedang berakting, ‘kan?
Di sisi lain, Tania yang mendengar Alisha memanggilnya sebagai ‘orang tidak beretika’ langsung naik pitam. “Heh! Apa maksud kamu orang nggak beretika!?”
Alisha beralih menatap Tania, lalu melipat kedua tangannya. “Apa aku salah? Dari awal sampai akhir kamu bicara, siapa pun pasti sadar kalau kamu sedang menghina Zayden sebagai pria menyimpang dan merasa dia tidak mungkin suka perempuan. Akan tetapi, pun dia tidak suka perempuan, apa hakmu untuk menghinanya? Kamu merasa jadi orang suci sedunia!?”
Alisha melirik jari manis Tania yang tersematkan sebuah cincin pernikahan. Dia pun mendengus dan kembali menatap Tania lurus.
“Mbak, saya nggak begitu kenal sama mbaknya, tapi saya lihat mbaknya sudah menikah, jadi sebagai orang baik, cuma mau ngingetin aja. Nggak jarang loh pria yang sudah menikah berakhir ketahuan punya kesukaan menyimpang.” Alisha berpura-pura memasang wajah khawatir yang sangat natural. “Jadi, dibandingkan mengurus calon suami orang, lebih baik Mbak urus rumah tangga sendiri deh. Siapa yang tahu ‘kan apa yang Mbak khawatirkan terjadi sama orang lain, malah terjadi sama diri sendiri?”
“Pfft…”
Suara tawa tertahan terdengar dari berbagai sisi, termasuk Zayden yang tadi tegang, sekarang malah berusaha keras menutupi senyuman di bibirnya.
Sebaliknya, Tania yang tadi angkuh dan tidak tergoyahkan, sekarang merona merah dan merasa malu akibat ucapan Alisha. Seumur-umur, dia tidak pernah dihina seperti ini!
“Kamu–! Dasar wanita rendahan!” Tania langsung menghampiri Alisha, lalu mengangkat tangannya tinggi, bersiap menampar.
Namun, saat tangan Tania melayang dan Alisha belum sempat menghindar, Zayden langsung meraih tangan Alisha dan menarik wanita itu ke dalam pelukan. Alhasil, Tania yang meleset dari sasaran berakhir kehilangan keseimbangan.
“Ah!”
Bruk!
“Tania!”
Melihat Tania terjatuh, Vivian langsung menghampiri keponakannya itu untuk membantunya berdiri.
“Kamu nggak apa-apa, Nak?” tanya Vivian dengan wajah khawatir, sebelum akhirnya dia menatap tajam ke arah Zayden dan Alisha. “Keterlaluan kalian! Bisa-bisanya kalian membiarkan Tania jatuh!?”
Zayden menatap dingin sang tante. “Kalau bukan karena dia berniat buruk kepada Alisha, dia juga tidak akan jatuh. Jadi, kalau Tante ingin menyalahkan seseorang, maka salahkan Tania sendiri.”
Melihat Zayden melawan sang tante demi membelanya, Alisha spontan terpesona. Dia memasang wajah terharu dan membatin dalam hati, ‘Cakep banget dah ah si Pak Bos!!’’
Namun, detik itu–
“Apa yang terjadi di sini?!”
Suara menggelegar penuh tekanan bergema di ruang utama kediaman Wicaksana, membuat semua orang menoleh ke arah tangga.
Seorang pria tua dengan rambut perak yang disisir rapi melangkah menuruni tiap anak tangga secara perlahan, namun setiap hentakan tongkat berpegangan emas di tangannya memancarkan wibawa seorang penguasa.
Sekali lihat, Alisha langsung tahu … pria itu pasti Henry Wicaksana, kakek Zayden dan juga tuan besar keluarga Wicaksana yang terhormat!
Di sisi lain, Tania yang melihat kedatangan kakeknya, langsung berdiri dan berlari kecil menghampiri pria tersebut. Kemudian, dengan wajah tersakiti, dia menunjuk Alisha selagi berkata, “Kakek! Perempuan yang Zayden bawa itu menghina pernikahanku dan bilang kalau suamiku bisa saja menyimpang. Tak cuma itu, dia juga membuatku terjatuh! Kakek harus beri dia pelajaran!”
Mendengar tuduhan-tuduhan itu, Alisha memaki dalam hati. Jelas-jelas yang menghina orang duluan adalah Tania, kenapa semua kesalahan jadi dituangkan ke kepalanya!?
Sementara itu, kalimat Tania membuat Henry yang sudah tiba di anak tangga terakhir menautkan alis. Lalu, dia menatap Alisha yang berada dalam pelukan Zayden.
Seketika, tubuh Alisha membeku. Selagi memerhatikan pria tua itu menghampirinya, dalam hati Alisha yakin dirinya akan mati hari itu.
Pun sandiwaranya tidak gagal, pasti Henry tidak bersedia menerimanya menjadi istri Zayden setelah dia menyakiti cucu kesayangan pria tersebut!
Dan kalau dia tidak bisa jadi istri Zayden, Zayden sendiri pasti akan menghabisinya karena sudah mengacaukan rencana!
Namun, tiba-tiba–
SREET!
Tangan Alisha digenggam oleh Henry yang sudah berada di hadapan. Mata pria itu berbinar seiring dirinya berkata, “Kamu Alisha ‘kan? Pacar Zayden yang hamil dan siap untuk dinikahi!?”
Sontak, Alisha terbengong.
Kakek ini ngomong apa sih!?
Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Alisha.Menangis?Apa tidak apa-apa?Apa boleh?Apa itu tidak terlihat cengeng?Alisha masih diam, sejujurnya dia terus menahan, hanya saja … dia selalu harus terlihat kuat. Tidak boleh bersedih karena itu, adalah sebuah kelemahan.“Keluarkan kesedihanmu dan biarkan jiwamu menjadi sedikit lebih tenang, hehm.” Zayden menangkupkan tangannya ke pipi Alisha.“Jangan memendamnya, karena aku … tidak ingin kamu … terluka lebih jauh dan menderita terlalu dalam,” sambung Zayden lagi.Alisha masih diam, matanya masih menatap lurus ke depan.“Lakukanlah, itu bukan suatu kejahatan, keluarkan apa yang kamu rasakan,” ucap Zayden lagi.“Apa … itu tidak terlalu … lemah?” Alisha berkata pelan.Zayden menghela napas. “Kamu nggak harus begini. Nggak apa-apa kalau kamu mau nangis… aku di sini, Al.”Suara itu… Lembut, hangat, dan entah kenapa justru membuat dinding pertahanan yang selama ini Alisha bangun mulai retak.Zayden menggeleng pelan, senyum tipisnya menyert
Alisha cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Kevin, keningnya sedikit mengerenyit, belum sempat berpikir jauh tentang tingkahnya itu, lagi-lagi Kevin bersujud padanya, kepalanya nyaris menyentuh ujung kakinya.“Kak Alisha maafkan aku,” ucapnya lagi dengan suara yang terdengar lirih sekali.“Semua salahku … semua salahku ….” Lagi-lagi Kevin berkata dengan sangat pilu, siapa pun yang mendengarnya tentu akan merasakan kalau dia penuh dengan penyesalan dan merasa sangat kehilangan. Kehilangan yang cukup dalam yang tidak mampu dikeluarkan sepenuhnya. Bahkan ini cukup membuat Kevin sangat menderita.“Bangunlah,” ucap Alisha datar.Hanya saja sepertinya perintah Alisha barusan tidak terlalu diindahkan oleh laki-laki itu. Di maish terus bersujud dan beberapa kali mengentukkan keningnya ke lantai.“Bangun dan jangan bertindak konyol di depan jenazah adikku!” Dia berkata dengan cukup tegas. Membuat Kevin akhirnya berusaha untuk bangkit.Dia terlihat sangat kacau, Alisha menatapnya tajam. Wala
Alisha membuka matanya, saat itu yang pertama kali dilihat olehnya adalah Zayden. Menyadari sesuatu, Alisha langsung duduk dan wajahnya terlihat panik.“Iza … Iza dia … dia …!” Alisha tidak bisa mengeluarkan kata-kata, otaknya terasa tidak sanggup untuk berpikir banyak. Napasnya kembali memburu, hingga akhirnya Zayden membawanya dalam pelukannya.“Sabar, Sha, sabar,” ucap Zayden pada Alisha sambil mengelus kepalanya.Alisha diam, dia hanya memejamkan matanya dan mencoba untuk mengatur napasnya. Rasanya sangat sesak sekali. Sulit baginya untuk menerima semua ini.Zayden mengendurkan dekapannya, menjepit dagu Alisha hingga mata mereka bertemu, Zayden memandang dalam, sementara tatapan Alisha terasa sangat kosong dan hampa.“Sha, semuanya sudah takdirnya masing-masing.” Zayden berkata dengan tenang, setidaknya dia harus membuat Alisa bisa menerima semua ini.Hanya saja, Alisha tidak memberikan reaksi apapun, jangankan menangis, saat ini ekspresinya hanya diam dengan tatapan kosong. Hal in
Sesampainya di apartemen, setelah pulang dari pengadilan, Nariza masuk ke dalam kamarnya. “Kak aku istirahat dulu,” ucapnya pada Alisha.“Ya, istirahat saja, Kakak juga mau ke atas dulu.” Alisha langsung ke kamarnya, sementara Nariza dibantu perawatanya berjalan ke kamar. Sebelum benar-benar ke atas, Alisha berpesan pada Nariza, “Kamu jangan lupa minum obatnya Iza, kalau ada apa-apa–”“Iya-iya! Kakak tenang saja. Kan udah ada suster juga kan yang tahu persis jadwal minum obatnya.” Nariza terkekeh pelan.Alisha mengangguk sambil tersenyum.Sesampainya di kamar, Alisha langsung menghubungi Zayden.“Bagaimana semuanya? Lancar?” tanya Zayden.“Ya, sesuai dengan perkiraan kita sebelumnya dan Kevin … sepertinya dia juga tidak membantah sedikit pun.” Alisha memberikan laporannya pada suaminya.“Baguslah, tapi … apa tadi Kevin tetap datang sendiri? Maksudku, di sana tidak ada Tante Vivian?” tanya Zayden lagi.“Ya dia hanya datang dengan pengacaranya saja.”“Lalu, bagaimana keadaan Nariza? Apa
Kevin melihat Nariza, jantungnya berdegup kencang, Narisa yang kini berdiri di hadapannya sungguh jauh berbeda dengan Nariza yang dia lihat sebelum masuk rumah sakit. Saat ini gadis itu terlihat kian kurus dengan wajah yang makin pucat, tentu hal ini membuatnya merasa sangat merasa bersalah.“Zaza kamu pucat sekali, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kevin dengan nada khawatir. Dia ingin meraih wajah gadis itu, tapi saat tangannya terangkat setengah di udara, dia langsung menghentikan gerakannya – tidak pantas rasanya. Dia lalu menurunkan kembali tangannya dan mengepal erat di samping tubuhnya.Nariza hanya tersenyum samar.“Aku baik-baik saja, terima kasih karena sudah menyesali semuanya.” Nariza berkata datar sambil tersenyum.“Maaf,” ujar Kevin lagi, matanya memandang dalam ke arah Nariza, “Aku juga minta maaf karena terlalu tidak berani untuk menemuimu selama kamu ada di rumah sakit.” Suara Kevin terdengar serak.Sebenarnya saat mengetahui Nariza mengalami perawatan di rumah sakit, se
Beberapa waktu berlalu, Nariza mulai menunjukkan kalau dirinya sudah lebih baik dan dua hari ini dia sudah ada di ruang perawatan biasa. Alisha selalu menemaninya seperti biasa. “Kakak, aku mau pulang,” ucap Nariza pada Alisha, saat Alisha baru saja duduk di dekatnya.Alisha hanya tersenyum singkat. “Boleh pulang kalau kamu benar-benar sudah sembuh! Kalau sampai kejadian seperti waktu itu bagaimana?” Alisha berkata dengan suara cukup berat.“Aku sudah pulih kok, Kakak dengar sendiri kan tadi dokter bilang apa?” Nariza berkata dengan datar.“Iya, tapi tetap harus dalam pengawasan, Kakak gak mau liat kamu masuk ruang ICU lagi.” Alisha berkata dengan tegas.“Iya, Kak, cuma aku beneran nggak mau di rumah sakit lagi. Bagaimana kalau pas kita pulang, kita pergi liburan saja?” Nariza berkata dengan nada ceria, namun detik berikutnya wajahnya menjadi murung.“Tapi kayaknya nggak mungkin deh, ya.” Dia kembali menambahkan dengan nada melemah.“Kalau kamu mau ayo kita lakukan!” Alisha berkata de