LOGINPerawat itu memeriksa denyut nadi Naila yang melemah, lalu memberi kode dengan jari ke ujung lorong.
Dua pria berbadan besar muncul dari balik pintu penyimpanan peralatan medis, mengenakan seragam perawat dan masker. Mereka membawa brankar kosong.
Dengan cepat dan terlatih, mereka mengangkat tubuh Naila yang tidak berdaya, membaringkannya ke atas brankar, lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut pasien, menyisakan bagian wajahnya yang sudah dimasker agar tidak menarik perhatian.
“Siapkan jalur belakang,” bisik salah satu pria.
Yang lain mengangguk, mendorong brankar itu dengan kecepatan stabil namun tenang seperti benar-benar membawa pasien kritis.
Mereka memasuki lift, turun ke lantai dasar. Tidak ada yang mencurigai. Semua terlihat normal.
Begitu pintu lift terbuka, sebuah ambulans dengan logo rumah sakit sudah menunggu di zona penjemputan darurat. Warnanya putih, lampunya mati, tetapi mesin hidup pelan.
Pintu belaka
Air menetes dari rambutnya, dingin menusuk kulit, tapi yang membuatnya gemetar bukan suhu air yang menyengat dinginnya, melainkan tatapan Afgan yang lapar dan tidak terkendali.Tubuh Jannah basah dan lekuk tubuhnya tercetak dengan jelas.“Afgan… jangan,” suaranya bergetar. “Ini salah. Tolong berhenti.”Pria itu tidak mendengar. Atau tidak mau peduli ocehan peempuan itu sama sekali.Ia meraih pergelangan tangan Jannah. Cengkeramannya keras, menyakitkan. Jannah tersentak, lalu panik menguasai seluruh tubuhnya ia berteriak sekuat tenaga.“TOLOOONG!”"MMpphhhh!"Afgan sudah menutup bibirnya dengan ciuman paksa yang kasar. Tangan kasarnya menekan pinggang Jannah dan sebelah tangannya lagi menahan tengkuk lehernya sehingga Jannah tidak berkutik.Tapi suara teriakan singkat itu berhasil memantul di lorong-lorong batu, pecah, nyaring, penuh ketakutan.Di sisi gedung yang lain, langkah D
Kedua orang itu masuk ke dalam.Pintu kaca berat didorong dengan satu hentakan bahu. Begitu terbuka, aroma lembap dan dingin langsung menyergap, bercampur bau logam dan wewangian menyengat yang membuat kepala Deon kembali berdenyut.Kesadarannya belum pulih secara keseluruhan.Lorong utama di hadapan mereka terbentang panjang, lampu-lampu temaram menyala setengah hati, seakan gedung dengan interior kuno itu sendiri enggan memperlihatkan apa yang disembunyikannya.Belum sempat Deon melangkah lebih jauh, dua penjaga muncul dari balik pilar marmer.“HEY—”Kalimat itu tidak pernah selesai.*BUGH!*Tongkat baseball di tangan sopir itu melayang cepat, presisi, menghantam sisi leher penjaga pertama. Tubuh besar itu ambruk tanpa suara. Penjaga kedua baru sempat mengangkat senjata ketika pukulan kedua mendarat telak di pergelangan tangannya, disusul hantaman ke perut yang membuatnya terlipat sebelum jatuh
Sopir itu terpaku melihat Deon yang pucat, penuh keringat, masih ada bekas jarum infus di lengannya.“Tapi… Pak, itu jauh… dan—”“JALAN.” suara Deon pecah. “Atau saya cari sopir lain.”Sopir menelan ludah, mengangguk cepat, dan mesin segera menyala. Taksi itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan rumah sakit yang masih memanggil-manggil nama Deon.Di kursi belakang, Deon menunduk, tangannya mencengkeram kuat-kuat ponselnya.“Bertahan, Jannah…” bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku datang… jangan apa-apa…”Setengah jam kemudian, taksi berhenti mendadak ketika mereka memasuki area yang tampak terlalu sunyi untuk ukuran pusat kota Berlin. Bangunan besar tanpa nama berdiri seperti monster gelap, tidak ada lampu papan, tidak ada penjaga terlihat… tetapi hawa dinginnya terasa menusuk, seperti tempat yang menyembunyik
**Sementara itu, di rumah sakit…**Lampu-lampu redup meresap di antara bayangan pria yang tertidur seolah tidak tahu kejadian apa pun yang sedang berlangsung.Namun di atas ranjang itu, tubuh Deon mulai bergerak.Alisnya berkerut. Jari-jarinya bergerak pelan. Nafasnya yang tadi berat mulai berubah, sedikit lebih cepat. Perawat jaga yang melihat monitor berkedip langsung mendekat.Kelopak mata Deon akhirnya terbuka, perlahan, berat, seperti seseorang yang bangun dari mimpi buruk panjang. Cahaya putih membuat penglihatannya kabur. Namun satu hal segera muncul dalam pikirannya… satu nama.*“Jannah…”*Suara itu nyaris tak terdengar, hanya gumaman lemah yang terbentuk di bibirnya, namun beban emosinya begitu besar hingga dada Deon terasa sesak. Ia mengedip beberapa kali, mencoba fokus, tetapi matanya langsung membasah tanpa ia sadari.Ingatan terakhir yang muncul adalah Jannah… tangisny
Penjaga itu bertubuh besar. Wajah gelap. Pakaian hitam dan terlihat kuat.“KAMU!” penjaga itu meraung dan berlari ke arah mereka.Jannah terlonjak mundur.Vincent langsung mendorong Jannah ke belakangnya. “Lari kalau aku bilang!”Penjaga itu mendekat, langkahnya menghentak.Vincent meraih tiang ranjang yang dipegangnya tadi lalu memukulkannya.Bunyi logam bertemu tulang menggema keras.Namun penjaga itu masih berdiri.“Hhh… dasar nyamuk!” geramnya sambil mengacungkan tangan besar untuk mencekik Vincent.Jannah menjerit. “Vincent!”Tetapi Vincent menangkis, memutar, dan menghantamkan tongkat kedua kali, lebih keras.*DUAAK!*Penjaga itu roboh. Vincent terengah.“Jannah—sekarang! Lari!”Mereka berdua berlari menuruni tangga, menembus koridor gelap, hingga sebuah pintu tua terlihat di ujung lorong. Hanya satu pintu. S
Belum sempat Afgan menyelesaikan kata-katanya, Vincent sudah menerjang dengan cepat. Tubuh besar Vincent membentur Afgan dengan keras. Keduanya jatuh berguling di lantai, saling memukul tanpa aturan.Bak!Buk!Dugh!Brak!Jannah terlonjak kaget, memutar tubuh dan mendorong kelambu agar bisa melihat. Hatinya mencelus ketika melihat keduanya saling banting dan saling cekik.Ia segera memungut pakaian dan memakai ala kadarnya."ARGGH!" teriak Vincent saat Afgan menarik rambutnya lalu dengan cepat menghantamkan kepalanya ke lantai.*DUAK!*Vincent memekik kesakitan.“Beraninya kau mengacaukan malam pernikahanku?!” Afgan meraung.Vincent tidak bisa berbicara, tetapi tangannya meraih tiang ranjang dan menghantamkannya ke pelipis Afgan.Ranjang dengan kelambu itu roboh seketika dan Jannah menghindar dengan panik.*BRAAK!*Afgan jatuh terhuyung ke samping."Pernikahan? Kalian







