Home / Romansa / Pak Direktur, Saya Butuh Kerja! / CHAPTER 2: Saya Terima!

Share

CHAPTER 2: Saya Terima!

Author: Heiho
last update Last Updated: 2025-08-15 15:50:07

“Kakak hari ini terlihat lesu sekali. Pekerjaan kemarin berat ya?”

Hana menatap wajah adiknya yang terlihat cemas. Ia tersenyum kemudian menggelengkan kepala.

“Karena tidur larut saja kemarin. Jangan khawatir, Lex.” Balas Hana berbohong untuk menenangkan adiknya itu.

Lagipula, ia juga tidak bisa bilang kemarin mabuk-mabukan sebagai pelampiasan emosi akibat dipecat kan?

Alex masih menatapnya khawatir. Tapi, ia akhirnya membalas senyum Hana.

Kakaknya itu sedikit keras kepala, jadi pasti tidak ingin menjawab pertanyaannya semendesak apa pun dia.

“Bagaimana dengan promosi jabatan kemarin? Apakah sudah diresmikan?”

“Oh itu,” Hana tertawa canggung sejenak, “Sedang dipersiapkan. Sebentar lagi aku bisa menempati posisi itu!”

Alex mengangguk-angguk dengan wajah cerah membuat Hana kembali merasa bersalah. Ia memalingkan pandangan dan mengambil buah apel di atas nakas.

“Aku kupaskan buah dulu, ya. Mau dibentuk jadi kelinci?”

“Kak, aku bukan anak TK lagi.”

Hana terkekeh mendengar jawaban Alex. Ia menggeleng-geleng.

“Bagi kakak, kamu tetap anak TK.”

“Kakak hanya menolak jadi tua kan?”

“Hei! Kakak masih muda!”

Giliran Alex yang tertawa. Ia mengangkat buku di tangannya dan kembali membaca setelah sebelumnya terhenti karena kedatangan Hana.

Hana melirik sekilas buku yang dipegang Alex lalu kembali mengupas apel.

“Kapan ujian masuk universitasnya?”

“Dua bulan lagi,” balas Alex masih sambil membaca, “Untungnya setelah operasiku nanti. Jadi, aku tidak perlu khawatir.”

Gerakan Hana seketika terhenti. Ia terdiam sejenak kemudian menoleh ke Alex.

“Alex,”

“Hem?” Ucapnya tanpa mengalihkan pandangan.

Hana kembali terdiam. Ia menaruh sejenak piring berisi potongan buah apel di atas nakas lalu menghadap penuh ke Alex.

Mungkin sudah saatnya ia jujur ke adiknya itu.

Dada Hana perlahan terasa sesak. Kedua tangannya saling meremas celana, berusaha menguatkan dirinya agar tidak ragu.

Ia menarik napas sejenak lalu menatap lamat-lamat adiknya yang masih tenggelam dalam buku pelajaran.

“Alex, ada yang ingin kakak bicarakan,”

Alex menoleh. Alisnya mengernyit ketika melihat raut serius di wajah Hana.

“Sebenarnya kakak—“

SREK!

“Pagi, Alex. Bagaimana kabarmu?”

Alex dan Hana segera menoleh ke sumber suara dan melihat dokter Watson, dokter yang menangani Alex, berdiri di depan pintu bersama suster.

“Oh, ada Hana juga? Seperti biasa, kamu datang pagi-pagi sekali ya,” ucap dokter Watson sambil mendekati mereka.

Hana buru-buru berdiri dan menganggukkan kepala. Senyumnya terulas di wajah.

“Pagi, dok. Sudah waktunya periksa ya?” Tanya Hana. Ia menyingkir sedikit agar dokter Watson bisa berada semakin dekat dengan ranjang Alex.

“Iya, periksa seperti hari-hari biasa. Oh ya, setelah periksa nanti, bisa kita bicara berdua?”

Tubuh Hana menegang. Ia perlahan mengangguk.

Dokter Watson tersenyum kemudian mulai memeriksa Alex. Hana memerhatikannya lamat-lamat.

Sudah lima tahun, Dokter Watson menjadi dokter jantung tetap untuk Alex. Selama lima tahun, dokter itu juga sudah mengetahui lika-liku kesulitan mereka sehingga kadang ikut membantu pelunasan biaya berobat Alex.

Sebenarnya, dokter Watson sudah menawarkan diri untuk membantu membayar setengah biaya operasi pemasangan ring jantung Alex. Tapi, Hana menolaknya.

Dia sudah berutang banyak dan tidak ingin menambah beban hutang itu. Terlebih lagi, nominal operasi itu tidaklah sedikit. Sementara dokter Watson juga perlu menghidupi keluarganya.

Tapi, dokter itu juga memiliki sifat keras kepala. Hana yakin tujuan dokter Watson mengajaknya berbicara bukan hanya tentang persiapan operasi, tapi juga menawarkan kembali keinginannya itu.

“Semuanya stabil. Dengan begini, kamu bisa segera dioperasi,” ujar dokter Watson membuyarkan lamunan Hana.

Alex mengangguk senang, “Terima kasih dokter.”

“Sama-sama. Nah, kalau begitu,” dokter Watson menatap Hana, “Ayo kita bicara.”

Hana mengangguk. Ia mengikuti langkah dokter Watson yang meninggalkan ruangan.

Hana terus mengikutinya hingga berhenti di dekat loket resepsionis. Ia menatap dokter Watson yang tersenyum lembut ke arahnya.

“Kondisi Alex sangat bagus untuk dioperasi minggu depan,” ucap dokter Watson membuka percakapan, “Tinggal menentukan jadwal dan dia siap dioperasi.”

Hana mengangguk pelan dengan senyum tipis. Sejujurnya, ia sedikit bingung untuk menunjukkan ekspresi apa.

Senang? Tentu saja! tapi dia baru saja dipecat dan tidak memiliki uang cukup untuk biaya operasi.

Sedih? Iya juga tapi kabar adiknya kan baik!

“Apakah semuanya baik-baik saja?” Tanya dokter Watson khawatir, “Wajahmu terlihat murung.”

Hana menggigit bibir sejenak kemudian menghela napas. Ia sebenarnya tak ingin menjelaskan perihal pemecatannya, tapi tak mungkin juga menyembunyikannya dari dokter Watson.

“Sebenarnya kemarin saya dipecat,” jelas Hana dengan suara lirih, “Jadi, saya merasa tidak bisa melanjutkan operasi Alex.”

Dokter Watson tercenung. Ia menatap Hana lamat-lamat.

“Kalau begitu—“

“Tidak. Saya masih menolak tawaran dokter,” ucap Hana tegas, “Hutang saya sudah banyak dan nominalnya terlalu besar.”

“Lalu, apa yang akan kau lakukan?”

Hana terdiam sejenak kemudian menggelengkan kepala pelan. “Saya tidak tahu,” lirihnya.

“Tapi, saya akan memikirkan solusi terbaik.”

Hana menundukkan kepala dalam-dalam, membuat sebagian rambutnya luruh menutupi wajahnya.

“Terima kasih banyak atas semuanya, dokter.”

Dokter Watson tak menjawab. Ia menatap Hana lamat-lamat dengan tatapan nanar.

“Saya izin kembali ke kamar Alex,”

Hana melangkah pergi dari hadapan dokter Watson. Kepalanya masih tertunduk, menekuri lantai di bawah kakinya.

Walaupun ia tadi berkata akan memikirkan solusi terbaik, tapi satu-satunya solusi yang terpikirkan di benak Hana hanya berbicara jujur kepada Alex dan membatalkan operasi yang telah dijanjikannya.

Adiknya mungkin akan membencinya dan Hana telah mempersiapkannya sedari dulu.

Karena semenjak orang tuanya tiada, Hana tahu ia telah banyak melakukan kesalahan untuk adiknya itu.

Tidak, masih ada solusi lain yang bisa ia lakukan.

Hana merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya. Dibukanya aplikasi pesan kemudian mencari nama bibi Lia di antara kolom chat tersebut.

Setelah menemukannya, ia segera memencet ikon telepon.

Nada dering terdengar di telinga Hana sebelum akhirnya berganti dengan suara wanita bernada ketus.

“Apa?”

“Bi-bibi Lia,” Hana mengeratkan genggamannya di telpon, “Aku ingin pinjam uang …”

“Hahh?!”

“Be-begini,” Hana menarik napas sejenak, “A-adikku butuh operasi dan ..”

“Aku tidak peduli!” Bentaknya, “Urus urusanmu sendiri. Aku tidak punya waktu mengurus kalian.”

Telepon dimatikan segera. Hana meringis pedih kemudian menurunkan ponsel dari telinganya.

Bibi Lia adalah adik tiri dari ibunya. Sejak dulu, hubungan mereka memang tidak akur, entah karena apa. Hal itu berimbas pada perlakuan bibi Lia kepadanya dan Alex.

Dulu, saat ibu Hana wafat, ayahnya juga sudah tiada. Tapi, bibi Lia sama sekali tidak memedulikan hal tersebut. Bahkan, mengancam mereka agar tidak mengganggu kehidupan bibi Lia yang kaya raya.

Maka tidak mengherankan jika bibinya akan menolaknya dengan cepat tadi.

DUK!

“Ah, maaf!”

Hana buru-buru mendongak dan matanya membulat seketika ketika melihat sosok di hadapannya. Pria di bar semalam?! Apa yang ia lakukan di sini?!

“Wanita bar?”

Pria di hadapannya mengerutkan alis kemudian menyeringai tipis.

“Cepat sekali kita bertemu lagi. Kau sudah dapat uang untuk operasi adikmu?”

Operasi …

Hana tahu ia sudah bersiap untuk jujur kepada Alex dan menerima apa pun reaksi adiknya itu. Tapi, benaknya terbayang dengan sosok Alex yang tiap hari belajar untuk masuk ke universitas.

Lalu, bukankah adiknya memiliki mimpi besar? Apa mimpinya dulu?

“Aku ingin membuat rumah besar untuk kita jadi kakak tidak perlu sempit-sempitan lagi kalau masak!”

Kalau dia membatalkan operasinya, bukankah dia sudah menghancurkan mimpi adiknya itu?

“Hei—“

“Apa tawaran bekerja anda semalam masih berlaku?”

Hana menatap serius sosok di depannya yang tersentak kaget dengan perubahan spontan Hana.

“Apa?”

“Saya akan menerima tawaran anda!” Seru Hana dengan mata berkilat-kilat, “Tolong terima saya!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 25: Ingin Bersama Lebih Lama

    Setelah malam itu, Hana tidak bertemu lagi dengan Mahendra. Bahkan, pria itu sama sekali tidak menghubungi Hana. Hal ini sudah berlangsung selama tiga hari. Sepertinya, Mahendra sengaja melakukannya agar Hana benar-benar fokus dengan pengobatan Alex. Meski begitu, Hana merasa bersalah jika hanya berdiam diri. Jadi, ia seringkali mengirim pesan kepada Mahendra untuk bertanya tentang tugasnya. Sayangnya, Mahendra kadang hanya menjawab ‘tidak’ dengan singkat atau tidak membacanya sama sekali. Sama seperti kali ini. Pesan yang Hana kirimkan sejak tadi pagi hanya tertulis ‘sudah terkirim’ hingga siang ini. Hana menghela napas. “Kakak terlihat gelisah sekali,”Hana menoleh ke Alex yang sedang mengerjakan buku latihan ujian masuk kuliah. Meski ia berbicara ke Hana, tapi tatapannya tetap tertuju pada buku di hadapannya. “Kakak gelisah karena tidak bekerja?” Tanya Alex. “Sedikit,” Hana mengusap-usap lehernya, “Kau tahu, kan, kakak jarang sekali cuti,”“Kalau begitu, nikmatilah sekarang,”

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 24: Berubah Pandangan

    “Liburan? Maksud bapak apa?”Hana memasang wajah serius, “Apa itu kegiatan yang harus saya hadiri untuk status itu?”“Kau cepat tanggap, ya,” Hana mendengus ketika Mahendra menyeringai semakin lebar. Ia melirik ke belakang, memastikan Alex masih tertidur lalu berkata, “Sebaiknya kita bicara di luar saja,”Mahendra mundur ke belakang, mempersilahkan Hana untuk keluar. Gadis itu segera menutup pintu ketika sudah di luar. “Ngomong-ngomong, kenapa kau di sini?” Tanya Mahendra sambil memerhatikan kamar Alex dari luar. Hana mengernyitkan alis, “Maksud bapak?”“Saya sudah bilang ke dokter Watson untuk menaruh adikmu di ruangan VVIP buat perawatan pasca operasi,”Hana tercekat. Ia menatap Mahendra tidak percaya. “Itu … dipotong dari gaji saya, kan?”“Kenapa kamu terobsesi sekali menyuruh saya untuk memotong gajimu?”Hana menghela napas. Ia tidak paham apakah bosnya ini memang tidak mengerti maksudnya atau hanya pura-pura tidak tahu. Atau … pria ini melakukannya demi citranya? Biar dia ter

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 23: Liburan Bersama?

    Hana memeluk Alex erat-erat. Sementara itu, Alex hanya mengernyitkan alis dan berkata pelan, “Aku baik-baik saja, kak. Pelukan kakak terlalu kencang.”“Maaf,” Hana tersenyum kecil ketika melepaskan pelukannya, “Kakak terlalu senang karena kau sudah siuman,”Alex tersenyum kecil. Ia paham betapa khawatir kakaknya tadi, hal itu terlihat sangat jelas di wajahnya. Apalagi, ia juga mengetahui bahwa kakaknya sedang sangat merasa bersalah sekarang karena ketidak sigapannya tadi. “Bagaimana rasanya pasang ring jantung?” Tanya Hana dengan mata berbinar-binar. Alex menghela napas. “Tidak kerasa perubahan yang berarti, sih,” balas Alex. Ia kemudian melirik David yang berdiri di depan ranjangnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kak David ada di sini? Kakak memanggilmu saking paniknya, ya?”David tertawa, “Iya. Kau taulah kakakmu kalau panik seperti apa,”“Aku sangat tahu, kok,”Alex dan David terkekeh bersama, sementara Hana mengerucutkan bibirnya. “ALEX!!!”Ketiganya segera menoleh ke pintu dan mel

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 22: Tidak Terlalu Buruk

    Pertama kali Hana mengetahui bahwa adiknya memiliki sakit jantung adalah saat Alex berada di tahun kedua SMP. Pria itu tiba-tiba mengeluhkan dadanya nyeri dan rasa sakitnya tidak berkurang meski berhari-hari. Kala itu jugalah pertama kalinya Hana bertemu dengan dokter Watson. Dokter ramah dan baik hati itu tanpa segan membayarkan biaya berobat Alex karena tidak sengaja mendengar kakak beradik itu saling menenangkan diri terkait biaya pengobatan Alex. Semenjak itu, Alex menjadi langganan tetap pasien dokter Watson karena nyeri dadanya suka kambuh. Meski begitu, tidak pernah terjadi hal parah atas penyakitnya. Selama 3 tahun atau hingga Alex kelas sebelas, ia hanya mengalami nyeri dada ringan dan tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari meski tetap membatasi aktivitas berat. Tapi, ketika Alex baru lulus SMA dan sedang giat-giatnya belajar untuk persiapan masuk kuliah, Alex tiba-tiba ambruk di tempat lesnya. Hana masih ingat ketika ia begitu kalang kabut menuju rumah sakit dengan jan

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 21: Panggilan Tak Terjawab

    “Besok saya akan pergi ke taman bermain bersama David,”Mahendra melirik Hana yang sedang memegangi jasnya setelah dipakai tadi. Ia melonggarkan dasinya dan berkata, “Kenapa?”“Ini balasan untuk bantuan David, pak,”Mahendra mengangkat alis, mengingat-ingat kejadian ketika sang gadis menelepon David dan teringat dengan percakapan singkat yang ia dengar itu. Percakapan yang sama sekali tidak cocok untuk gadis tidak peka ini. “Ya. Pergilah,” ujar Mahendra, “Besok juga tidak ada agenda.”“Terima kasih banyak, pak!” Seru Hana riang. Ia berbalik badan dan bersenandung pelan tanpa menyadari tatapan lekat Mahendra. Sejujurnya, Hana memang cukup menunggu jadwal bermain ini. Ia sangat lelah dengan berbagai drama selama seminggu ke belakang dan agenda bermain ini menjadi hadiah yang sangat bagus untuknya!Kondisi Alex juga baik, jadi ia tak perlu khawatir tentang adiknya itu selama pergi besok. “Kau membersihkan rumah?” Tanya Mahendra melihat rumahnya terlihat lebih bersih dari biasanya. Pa

  • Pak Direktur, Saya Butuh Kerja!   CHAPTER 20: Pria Aneh

    Ketika turun dari tangga, Fanesya bisa langsung melihat Hana di ruang makan, Seperti biasa, gadis itu telaten menyiapkan makanan. Fanesya mendengus pelan. Ia berjalan menuju meja makan dan berhenti di dekatnya. “Mana Mahendra?” Tanyanya ketus pada Hana yang segera menghentikan kegiatannya. “Mas Mahendra pergi sangat pagi tadi karena ada rapat katanya,” balas Hana dengan senyum canggung. Ini pertama kalinya mereka hanya makan berdua, jadi tentu saja Hana merasa sangat gugup dan khawatir sekarang. Fanesya mendengus lagi. Ia duduk di atas kursinya, bersebrangan dengan Hana yang juga segera duduk. Wanita itu menatap makanannya di hadapannya, terlihat enak seperti biasanya. Tapi, tentu saja dia tidak akan mengatakannya ke gadis di depannya ini. Kalau dia melakukan itu, bukankah akan memberi kesan kalau ia sudah menerimanya?“Mumpung kita berdua, mari kita berbincang,” ucap Fanesya sambil menatap lurus Hana. Hana menelan ludah, ia mengangguk pelan. “Apa tujuanmu mendekati Mahendra?” Ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status