LOGIN“Kakak hari ini terlihat lesu sekali. Pekerjaan kemarin berat ya?”
Hana menatap wajah adiknya yang terlihat cemas. Ia tersenyum kemudian menggelengkan kepala.
“Karena tidur larut saja kemarin. Jangan khawatir, Lex.” Balas Hana berbohong untuk menenangkan adiknya itu.
Lagipula, ia juga tidak bisa bilang kemarin mabuk-mabukan sebagai pelampiasan emosi akibat dipecat kan?
Alex masih menatapnya khawatir. Tapi, ia akhirnya membalas senyum Hana.
Kakaknya itu sedikit keras kepala, jadi pasti tidak ingin menjawab pertanyaannya semendesak apa pun dia.
“Bagaimana dengan promosi jabatan kemarin? Apakah sudah diresmikan?”
“Oh itu,” Hana tertawa canggung sejenak, “Sedang dipersiapkan. Sebentar lagi aku bisa menempati posisi itu!”
Alex mengangguk-angguk dengan wajah cerah membuat Hana kembali merasa bersalah. Ia memalingkan pandangan dan mengambil buah apel di atas nakas.
“Aku kupaskan buah dulu, ya. Mau dibentuk jadi kelinci?”
“Kak, aku bukan anak TK lagi.”
Hana terkekeh mendengar jawaban Alex. Ia menggeleng-geleng.
“Bagi kakak, kamu tetap anak TK.”
“Kakak hanya menolak jadi tua kan?”
“Hei! Kakak masih muda!”
Giliran Alex yang tertawa. Ia mengangkat buku di tangannya dan kembali membaca setelah sebelumnya terhenti karena kedatangan Hana.
Hana melirik sekilas buku yang dipegang Alex lalu kembali mengupas apel.
“Kapan ujian masuk universitasnya?”
“Dua bulan lagi,” balas Alex masih sambil membaca, “Untungnya setelah operasiku nanti. Jadi, aku tidak perlu khawatir.”
Gerakan Hana seketika terhenti. Ia terdiam sejenak kemudian menoleh ke Alex.
“Alex,”
“Hem?” Ucapnya tanpa mengalihkan pandangan.
Hana kembali terdiam. Ia menaruh sejenak piring berisi potongan buah apel di atas nakas lalu menghadap penuh ke Alex.
Mungkin sudah saatnya ia jujur ke adiknya itu.
Dada Hana perlahan terasa sesak. Kedua tangannya saling meremas celana, berusaha menguatkan dirinya agar tidak ragu.
Ia menarik napas sejenak lalu menatap lamat-lamat adiknya yang masih tenggelam dalam buku pelajaran.
“Alex, ada yang ingin kakak bicarakan,”
Alex menoleh. Alisnya mengernyit ketika melihat raut serius di wajah Hana.
“Sebenarnya kakak—“
SREK!
“Pagi, Alex. Bagaimana kabarmu?”
Alex dan Hana segera menoleh ke sumber suara dan melihat dokter Watson, dokter yang menangani Alex, berdiri di depan pintu bersama suster.
“Oh, ada Hana juga? Seperti biasa, kamu datang pagi-pagi sekali ya,” ucap dokter Watson sambil mendekati mereka.
Hana buru-buru berdiri dan menganggukkan kepala. Senyumnya terulas di wajah.
“Pagi, dok. Sudah waktunya periksa ya?” Tanya Hana. Ia menyingkir sedikit agar dokter Watson bisa berada semakin dekat dengan ranjang Alex.
“Iya, periksa seperti hari-hari biasa. Oh ya, setelah periksa nanti, bisa kita bicara berdua?”
Tubuh Hana menegang. Ia perlahan mengangguk.
Dokter Watson tersenyum kemudian mulai memeriksa Alex. Hana memerhatikannya lamat-lamat.
Sudah lima tahun, Dokter Watson menjadi dokter jantung tetap untuk Alex. Selama lima tahun, dokter itu juga sudah mengetahui lika-liku kesulitan mereka sehingga kadang ikut membantu pelunasan biaya berobat Alex.
Sebenarnya, dokter Watson sudah menawarkan diri untuk membantu membayar setengah biaya operasi pemasangan ring jantung Alex. Tapi, Hana menolaknya.
Dia sudah berutang banyak dan tidak ingin menambah beban hutang itu. Terlebih lagi, nominal operasi itu tidaklah sedikit. Sementara dokter Watson juga perlu menghidupi keluarganya.
Tapi, dokter itu juga memiliki sifat keras kepala. Hana yakin tujuan dokter Watson mengajaknya berbicara bukan hanya tentang persiapan operasi, tapi juga menawarkan kembali keinginannya itu.
“Semuanya stabil. Dengan begini, kamu bisa segera dioperasi,” ujar dokter Watson membuyarkan lamunan Hana.
Alex mengangguk senang, “Terima kasih dokter.”
“Sama-sama. Nah, kalau begitu,” dokter Watson menatap Hana, “Ayo kita bicara.”
Hana mengangguk. Ia mengikuti langkah dokter Watson yang meninggalkan ruangan.
Hana terus mengikutinya hingga berhenti di dekat loket resepsionis. Ia menatap dokter Watson yang tersenyum lembut ke arahnya.
“Kondisi Alex sangat bagus untuk dioperasi minggu depan,” ucap dokter Watson membuka percakapan, “Tinggal menentukan jadwal dan dia siap dioperasi.”
Hana mengangguk pelan dengan senyum tipis. Sejujurnya, ia sedikit bingung untuk menunjukkan ekspresi apa.
Senang? Tentu saja! tapi dia baru saja dipecat dan tidak memiliki uang cukup untuk biaya operasi.
Sedih? Iya juga tapi kabar adiknya kan baik!
“Apakah semuanya baik-baik saja?” Tanya dokter Watson khawatir, “Wajahmu terlihat murung.”
Hana menggigit bibir sejenak kemudian menghela napas. Ia sebenarnya tak ingin menjelaskan perihal pemecatannya, tapi tak mungkin juga menyembunyikannya dari dokter Watson.
“Sebenarnya kemarin saya dipecat,” jelas Hana dengan suara lirih, “Jadi, saya merasa tidak bisa melanjutkan operasi Alex.”
Dokter Watson tercenung. Ia menatap Hana lamat-lamat.
“Kalau begitu—“
“Tidak. Saya masih menolak tawaran dokter,” ucap Hana tegas, “Hutang saya sudah banyak dan nominalnya terlalu besar.”
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?”
Hana terdiam sejenak kemudian menggelengkan kepala pelan. “Saya tidak tahu,” lirihnya.
“Tapi, saya akan memikirkan solusi terbaik.”
Hana menundukkan kepala dalam-dalam, membuat sebagian rambutnya luruh menutupi wajahnya.
“Terima kasih banyak atas semuanya, dokter.”
Dokter Watson tak menjawab. Ia menatap Hana lamat-lamat dengan tatapan nanar.
“Saya izin kembali ke kamar Alex,”
Hana melangkah pergi dari hadapan dokter Watson. Kepalanya masih tertunduk, menekuri lantai di bawah kakinya.
Walaupun ia tadi berkata akan memikirkan solusi terbaik, tapi satu-satunya solusi yang terpikirkan di benak Hana hanya berbicara jujur kepada Alex dan membatalkan operasi yang telah dijanjikannya.
Adiknya mungkin akan membencinya dan Hana telah mempersiapkannya sedari dulu.
Karena semenjak orang tuanya tiada, Hana tahu ia telah banyak melakukan kesalahan untuk adiknya itu.
Tidak, masih ada solusi lain yang bisa ia lakukan.
Hana merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya. Dibukanya aplikasi pesan kemudian mencari nama bibi Lia di antara kolom chat tersebut.
Setelah menemukannya, ia segera memencet ikon telepon.
Nada dering terdengar di telinga Hana sebelum akhirnya berganti dengan suara wanita bernada ketus.
“Apa?”
“Bi-bibi Lia,” Hana mengeratkan genggamannya di telpon, “Aku ingin pinjam uang …”
“Hahh?!”
“Be-begini,” Hana menarik napas sejenak, “A-adikku butuh operasi dan ..”
“Aku tidak peduli!” Bentaknya, “Urus urusanmu sendiri. Aku tidak punya waktu mengurus kalian.”
Telepon dimatikan segera. Hana meringis pedih kemudian menurunkan ponsel dari telinganya.
Bibi Lia adalah adik tiri dari ibunya. Sejak dulu, hubungan mereka memang tidak akur, entah karena apa. Hal itu berimbas pada perlakuan bibi Lia kepadanya dan Alex.
Dulu, saat ibu Hana wafat, ayahnya juga sudah tiada. Tapi, bibi Lia sama sekali tidak memedulikan hal tersebut. Bahkan, mengancam mereka agar tidak mengganggu kehidupan bibi Lia yang kaya raya.
Maka tidak mengherankan jika bibinya akan menolaknya dengan cepat tadi.
DUK!
“Ah, maaf!”
Hana buru-buru mendongak dan matanya membulat seketika ketika melihat sosok di hadapannya. Pria di bar semalam?! Apa yang ia lakukan di sini?!
“Wanita bar?”
Pria di hadapannya mengerutkan alis kemudian menyeringai tipis.
“Cepat sekali kita bertemu lagi. Kau sudah dapat uang untuk operasi adikmu?”
Operasi …
Hana tahu ia sudah bersiap untuk jujur kepada Alex dan menerima apa pun reaksi adiknya itu. Tapi, benaknya terbayang dengan sosok Alex yang tiap hari belajar untuk masuk ke universitas.
Lalu, bukankah adiknya memiliki mimpi besar? Apa mimpinya dulu?
“Aku ingin membuat rumah besar untuk kita jadi kakak tidak perlu sempit-sempitan lagi kalau masak!”
Kalau dia membatalkan operasinya, bukankah dia sudah menghancurkan mimpi adiknya itu?
“Hei—“
“Apa tawaran bekerja anda semalam masih berlaku?”
Hana menatap serius sosok di depannya yang tersentak kaget dengan perubahan spontan Hana.
“Apa?”
“Saya akan menerima tawaran anda!” Seru Hana dengan mata berkilat-kilat, “Tolong terima saya!”
“Tugasmu adalah mendampingi saya di acara tersebut dan berkenalan secara resmi sebagai istri saya ke mereka.”“Bagaimana bisa aku melakukannya??!!!” Hana berguling-guling di atas kasur sambil menjambak rambutnya frustasi. Tadi, setelah membeli cincin dan menikah di KUA, Mahendra mengantarnya ke apartemennya dan bilang akan menjemputnya jam 7 malam nanti. “Dandan yang cantik,” itulah yang bosnya ucapkan sebelum meninggalkannya. Masalahnya, Hana memiliki 0 pengetahuan tentang make up. Bukan sama sekali tidak tahu, sih, tapi dia hanya tahu make-up basic! Tentu saja itu bukan make-up yang cocok untuk ke acara formal orang kaya.Terlebih lagi, dia tidak punya gaun cantik! Dan bukankah seharusnya, setahu yang Hana baca di novel online, bukankah seharusnya sang pria mempersiapkan sang perempuan untuk ke acara seperti itu?!Seperti, membawanya ke salon mahal atau membelikan gaun mewah yang tidak pernah bisa dibeli oleh sang perempuan. Usai berguling-guling frustasi, Hana menghela napas pa
“.... Bapak bercanda ya?”“Menurutmu begitu?”Hana menelan ludah. Ia melirik Carlos yang sudah memandang mereka dengan tatapan datar dan posisi duduk siap. “Saya …. Saya tidak keberatan kita … kita melakukannya. Ta-tapi, tidak perlu dilihat Car-maksud saya, asisten bapak, kan?” Nego Hana dengan nada gugup. Walaupun sebenarnya, ia juga ragu untuk ber-berciuman, sih, tapi kalau itu demi tes masuk maka akan ia lakukan!“Lalu, siapa yang akan menilai kecocokan kita?” Tanya Mahendra dengan alis terangkat. Hana tidak tahu apakah pria itu sungguh-sungguh bertanya atau hanya ingin menggodanya, tapi melihat wajah datarnya, sepertinya dia memang sungguh-sungguh dengan ucapannya!Tunggu! Atau ini usaha balas dendamnya karena perbuatanku kemarin?! Batin Hana menduga. Jika benar begitu, berarti dia harus melakukannya, kan?! Seperti kata pepatah, nyawa dibalas nyawa!Tapi .. kalau ada orang lain yang melihatnya …Hana menelan ludah, “Kan bisa bapak sendiri yang menilai kecocokan kita,”“Oh, benar
“Bukankah kau sudah menolaknya?”“Saya berubah pikiran!”Mahendra mendengus. Tatapannya menatap dingin sosok gadis di hadapannya.“Kau kepepet untuk membayar biaya operasi adikmu makanya berubah pikiran?”“Saya …”“Lupakan saja penawarannya. Saya tidak butuh karyawan plin plan sepertimu.”Mahendra berjalan melewati gadis di hadapannya tanpa melihat reaksi Hana terlebih dahulu. Ia kemudian tersentak karena tiba-tiba jasnya ditarik.Mahendra menoleh dan menatap tajam Hana yang memasang wajah memohon.“Lepaskan,”“Saya tidak akan lepas sampai anda menerima saya!”“Lihatlah sikapmu itu. Kau pikir ini cara yang bagus untuk meyakinkan pemberi kerja?”“Anda yang menawarkan saya terlebih dahulu!”“Penawaran hanya terbuka semalam.”“Kalau begitu saya tidak akan lepas!”Mahendra berdecak. Dengan cepat, ia melepas jasnya yang masih ditarik kemudian segera pergi buru-buru. Meninggalkan jasnya begitu saja di tangan Hana.Hana melongo. Memangnya bisa begitu ya?!Gadis itu buru-buru berlari mengejar
“Kakak hari ini terlihat lesu sekali. Pekerjaan kemarin berat ya?”Hana menatap wajah adiknya yang terlihat cemas. Ia tersenyum kemudian menggelengkan kepala.“Karena tidur larut saja kemarin. Jangan khawatir, Lex.” Balas Hana berbohong untuk menenangkan adiknya itu.Lagipula, ia juga tidak bisa bilang kemarin mabuk-mabukan sebagai pelampiasan emosi akibat dipecat kan?Alex masih menatapnya khawatir. Tapi, ia akhirnya membalas senyum Hana.Kakaknya itu sedikit keras kepala, jadi pasti tidak ingin menjawab pertanyaannya semendesak apa pun dia.“Bagaimana dengan promosi jabatan kemarin? Apakah sudah diresmikan?”“Oh itu,” Hana tertawa canggung sejenak, “Sedang dipersiapkan. Sebentar lagi aku bisa menempati posisi itu!”Alex mengangguk-angguk dengan wajah cerah membuat Hana kembali merasa bersalah. Ia memalingkan pandangan dan mengambil buah apel di atas nakas.“Aku kupaskan buah dulu, ya. Mau dibentuk jadi kelinci?”“Kak, aku bukan anak TK lagi.”Hana terkekeh mendengar jawaban Alex. Ia
"Mereka bilang aku tidak cukup kompeten! Bukankah aku sudah mengabdi selama 5 tahun?!"Hana Sullivan kembali menegak kasar gelas yang baru diisi alkohol oleh bartender. Di sebelahnya, pria berwajah datar hanya meminum dengan tenang alkoholnya.Sedari tadi, ia tak bereaksi banyak dengan cerita menggebu-gebu yang dilontarkan Hana. Tapi tak masalah, karena Hana juga tidak membutuhkan reaksi apa pun. Ia hanya butuh teman bercerita."Aku yakin pak manajer mengeluarkanku karena calon penggantiku sangat cantik dan muda! Dasar om-om genit!!"BRAK!Kali ini, pria di sebelahnya menoleh kaget. Alisnya mengernyit ketika melihat Hana menunduk dalam dengan tangan kanan memegang erat gelas alkohol dan satu tangannya lagi mengepal di atas meja."Aku akan membunuh manajer mesum itu," Hana terkekeh seram, "Aku pasti akan membunuhnya-hik!"Hana mengangkat kepala kemudian kembali menegak alkohol hingga habis. Lagi-lagi, ia menghentakkan gelas dengan kasar ke atas meja bar kemudian menutup wajahnya dengan







