Share

Part 2

"Kenapa kamu tertawa, Non? Apa yang lucu?" tanya Mbok Ratih, yang keheranan melihat ku tertawa mendekatinya membersihkan halaman.

"Ahh ... tidak, Mbok. Aku hanya teringat hal lucu dulu. Semasa masih gadis."

"Oalah ... ya sudah. Mbok juga senang lihat kamu tertawa begitu. Karena selama Den Arya tidak di sini, Non jarang sekali terlihat tertawa sebahagia ini." 

"Sudahlah, Mbok. Jangan bahas soal itu terus, aku bahagia kok. Kan masih ada Mbok Ratih."

"Oalah cah ayu ... pinter banget ngerayu. Pantas saja Den Arya tergila-gila sama Non. Sudah cantik, baik hati, pinter ngerayu lagi."

"Husss! Sudah jangan buat aku malu, Mbok. Ayo kita lanjutin beresin kebun, entar nyonya besar marah."

"Yuk, Non."

Entahlah.

Bagiku Mbok Ratih sudah seperti Ibu kandung sendiri. Dia yang selalu bisa menghiburku dikala tekanan batin tidak hentinya mendera. Sesungguhnya hati keci ini selalu bergejolak agar segera meninggalkan semuanya. Tetapi apalah daya, cintaku terhadap Mas Arya terlalu besar. Sulit bagi diri ini meninggalkanya. Dia seorang Pria baik, penyayang, serta penuh dengan tanggungjawab. Lelaki yang cukup dimata wanita manapun, dijadikan sebagai pendamping hidup. Berbeda dengan pendampingku dulu.

Hari itu.

Kami membesihkan halaman hingga sore menjelang, obrolan dengan Mbok Ratih membuat pekerjaan tidak terasa begitu berat. Hingga waktupun tidak lagi terasa. Yang ada, hanya telapak tangan yang terasa mulai perih dan beberapa bagian tubuh mulai sakit.

"Sudah yuk, Non. Sebentar lagi nyonya besar pulang. Kita harus memasak buat makan malam.

"Ya sudah, Bik. Sebentar lagi juga sudah Adzan maghrib."

Tidak ada hentinya pekerjaan di rumah ini. 

Selama Mbok Ratih belum selesai, maka aku juga tidak boleh beristirahat. Jika tidak ingin diomeli dengan Ibu dan Ipar-iparku. Sakit.

***********

Selesai memasak.

Akupun langsung mandi agar sedikit menghilangkan lelah hari ini. Karena merasa di rambut akibat bekerja di kebun tadi, aku pun memilih keramas. Di depan pintu dapur ke arah taman belakang, aku duduk sembari menyisir rambut perlahan. 

Aku harus menyisir perlahan.

Agar sisir tidak tersangkut oleh paku yang masih menancap di kepala ini. Sial, Mbok Ratih pun datang dan merebut sidir dari tangan ini.

"Sini biar Mbok bantu sisirin," ucapnya memaksa.

"Jangan, Mbok. Biar aku saja. Bawa kesini sisirnya," ucapku sambil berusaha merebut sisir yang dipegangnya.

"Biar Mbok saja. Lagian Mbok dulu sering menyisir rambut anak, ketika ia masih hidup. Kangen rasanya."

"Tapi, Mbok ...."

"Sudah tenang saja. Biar Mbok yang sisirin."

Jujur.

Aku tidak mampu menolaknya sama sekali. Baru saja beberapa detik ia menyisir rambut ini, sisirpun beberapa kali tersangkut oleh paku yang menancap di sana.

"Ada apa ya, Non? Kok susah sekali menyisir di daerah sini," ucap Mbok Ratih sembari membuka belahan rambutku.

Ya.

Seketika dia terkejut dengan sesuatu yang menempel di sana. 

"Ini apa, Non?"

Aku bingung harus mengatakan apa.

Sesuatu rahasia yang dijaga selama ini, sepertinya akan terbongkar di tangannya.

××××××××××

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status