Share

Part 3

Beberapa detik.

Aku hanya terdiam dan tidak mampu berkata sepatah katapun. Sementara, Mbok Ratih terus berusaha mencari tahu benda apa yang tertancap di sana. 

"Ii ... iii ... itu adalah ...."

"Bentuknya seperti bagian atas paku. Tapi seperti terbuat dari emas. Boleh aku periksa, Non?"

Tak menjawab.

Aku langsung bangkit dan berdiri dari tempat duduk. Aku tahu, jika terus berada di sini pasti rahasia yang sudah tersimpan dengan rapi hingga kini akan terbongkar.

"Aku mau istrahat dulu, Mbok. Badan ini terasa pegal semua. Duluan ya ...," ucapku sambil pergi ke dalam kamar, meninggalkan Mbok Ratih yang masih terdiam keheranan di depan pintu.

23:15.

Baru saja diri ini terbuai mimpi.

Aku mendengar teriakan nyonya besar sekaligus Ibu mertuaku. Ia berteriak memanggil Mbok Ratih. Dari teriakannya, terdengar seperti ia menyuruh untuk membelikan Martabak di simpang ujung jalan. 

"Mbok ... bangun. Dipanggil nyonya besar. Mbok ...," ucapku membangunkannya yang terlihat sudah tidur sangat nyenyak. 

Mengingat usia Mbok Ratih yang sudah terlalu tua dan sangat tidak baik bagi kesehatannya jika keluar malam-malam begini. Aku pun tidak tega membangunkannya lebih jauh. Ini pasti juga karena sudah terlalu capek bekerja siang tadi. Ya sudah, biar aku saja yang pergi.

"Mbok! Mbok Ratiihhh! Mana sih?!" 

Terus.

Ibu mertuaku terus berteriak sejadinya. Melihat sepertinya ia sudah tidak sabar, akupun langsung bergegas keluar tanpa mengganti baju terlebih dahulu. Hanya menggunakan daster selutut.

"Maaf, Bu. Mbok Ratih sudah tertidur. Biar aku saja yang pergi membeli."

"Kamu?" tanya Ibuku heran.

"Iya, Bu. Biar aku saja. Lagian kemarin aku sudah pernah beli Martabak di sana. Waktu disuru Neng Siska."

Sebenarnya aku sangat benci melihat apa yang dilakukan Ibu mertua sekarang. Ia asik duduk bermesraan dengan pemuda yang usianya hampir sama dengan Suamiku. Pemuda yang aku tahu sudah berpacaran dengan Ibu sejak beberapa bulan belakangan. 

Selain sikapnya.

Aku juga membenci Pria yang sejak tadi terus memandangiku dengan tatapan nakal. Ia terus memerhatikan setiap lekuk tubuh ini dari kepala hingga kaki. Anehnya lagi, ia sanggup melakukan hal itu di depan Ibu, kekasihnya.

Aku tahu.

Ia tidak akan berani melakukan ini ketika Mas Arya berada di rumah. Karena semenjak ditinggalkan sang Suami, Mas Arya adalah orang yang paling disegani seluruh penghuni rumah megah ini. Karena memang seluruh aset dan rumah adalah milik Almarhum Ayah Mas Arya. Yang sekarang sudah dimilikinya.

"Ya sudah pergi sana. Ini uang seratus ribu, kamu belikan Martabak satu bungkus."

"Baik, Bu. Saya pergi dulu."

Baru selangkah kaki ini berbalik.

Ibu memanggilku kembali. Terdengar, mereka berdua tengah berbisik. Tidak, pasti ada sesuatu yang mereka rencanakan. 

"Diana ... ke sini sebentar," ucap Ibu sembari bangkit dari tempat duduknya dan mendekatiku.

"Iya, Bu. Ada apa?"

Ia mendekatkan wajah, kemudian berbisik di telinga ini. Jujur, aku sangat terkejut dengan apa yang dikatakannya barusan. Ibu menyuruh singgah ke toko obat yang letaknya cukup jauh, hanya untuk membeli alat Kontrasepsi bagi Pria. 

Gila!

Apa Pria itu akan menginap di rumah ini? Tidak, ini tidak benar sama sekali. Ibuku akan membuat rumahnya sendiri sebagai tempat maksiat. 

Aku ingin sekali rasanya membantah.

Tetapi apalah daya, tidak mungkin bagiku untuk membantah omongan orang nomor dua yang berkuasa di rumah ini. Setelah Mas Arya. 

"Ta ... ta ... tapi itu cukup jauh, Bu."

"Sudah pergi sana! Jangan banyak membantah!"

"Boleh aku meminta izin diantarkan supir, Bu?"

"Tidak! Dia digaji di sini bukan untuk mengantarkanmu ke sana kemari. Sudah pergi sana. Jangan banyak komentar!"

Tanpa menjawab.

Aku pun langsung berjalan meninggalkan ruangan itu. Jujur, dalam hati ini terasa amat sakit. Sebagai menantu, ia tidak sedikitpun menghargai. Bahkan rela menghina diri ini di depan orang lain. 

*************

Di perjalanan, aku baru teringat jika diujung jalan sana baru terjadi perampokan malam kemarin. Korban hampir kehilangan tangan kanannya karena dibacok, ketika melawan saat ingin berusaha menyelamatkan sepeda motornya. Tempat itu, sekarang berada tidak jauh dari tempatku berdiri sekarang.

Beberapa menit. 

Aku hanya berdiri di pinggir jalan, menunggu ada seseorang yang lewat dan minta ditemani. Tetapi percuma, rasanya tidak akan mungkin ada yang lewat jam malam begini. Apalagi, rintik hujan sudah mulai turun. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Irma Nuria
menurut orang lain masalah kita sangat kecil. tapi tidak untuk kita yang menjalani. hampir stres karena masalah namun dipaksa semangat agar tak kehilangan harapan. semangat kadar masalah orang lain tak bisa dikira-kira begitupun sebaliknya. yah kok jadi curhat.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status