Home / Romansa / Paman, Jadi Papaku Ya! / 6. Hilang Ingatan

Share

6. Hilang Ingatan

last update Last Updated: 2025-01-04 11:02:19

"Sudah Tuan, perintahmu sudah kulaksanakan, jadi bagaimana adikku? Apa dia bisa dibebaskan se—"

Perkataan pria berambut blonde itu tiba-tiba terpotong dengan suara wanita dari luar ruangan. Dia lantas tersentak, jantungnya berdetak lebih cepat sebelumnya kala mendengar pemilik suara tersebut. Tentu saja dia tahu siapa yang mendatangi mansion saat ini. 

Sementara sang pemilik rumah spontan menoleh ke ambang pintu lalu mengalihkan pandangan ke arah pria berambut blonde itu lagi. 

"Jangan keluar, tunggulah di sini. Aku harus menemui kakak iparku dulu," katanya. 

"Baik Tuan." 

Setelah itu, lelaki bermata hijau itu pun keluar dari ruangan. Baru saja menginjakkan kakinya di luar. Wanita berpenampilan anggun dan memiliki rambut sebahu langsung mendekatinya dengan raut wajah cemas. 

"Tolong bantu aku, perasaanku tidak enak, dari tadi malam adikmu tidak bisa dihubungi, dia tidak ada kabar sama sekali, aku mohon cepat cari dia sekarang, Julian pun tidak bisa dihubungi," terangnya, dengan kedua mata mulai berkaca-kaca. 

Lelaki bermata hijau tersebut hendak menggerakkan lidah. Namun, teriakan bocah laki-laki dari depan, mengalihkan perhatiannya seketika.

"Mama, Papa di mana?" seru anak laki-laki tersebut sambil menitikkan air mata. Sejak turun dari mobil, pipinya telah basah. Tidak hanya itu, wajah kantuknya terlihat amat kentara.

Wanita berambut hitam sebahu itu menoleh sekilas lalu mengalihkan kembali matanya ke arah lelaki bermata hijau.

"Tolong bantu aku, hanya kau yang bisa membantuku saat ini, lihatlah dari semalam keponakanmu menangis, biasanya adikmu itu akan menelepon Kenny sebelum tidur," ujarnya, dengan tatapan memelas. 

Lelaki itu tak segera membalas, malah menarik napas pendek sesaat lalu berkata,"Baik, aku akan membantumu, tunggulah dulu di ruang tamu, tangan kananku belum datang sepertinya masih dalam perjalanan ke sini."

Wanita bergaun putih tersebut mengangguk cepat. "Iya, terima kasih, aku sangat berterima kasih padamu karena kau mau membantuku."

"Iya, masuklah dulu ke dalam dan tenangkanlah Kenny."

Sekali lagi wanita itu mengangguk lalu buru-buru mengajak anaknya berjalan menuju ruang tamu sang pemilik rumah. Dari belakang, pria bermata hijau itu menatap kepergian ibu dan anak tersebut sambil menyeringai tajam.

Kembali ke Juana Diaz.

Suasana kamar Moon sudah tampak tenang. Tak seperti tadi, Jessica pun sudah berhenti menangis. Kendati demikian, jejak-jejak air matanya masih terlihat di pipinya.

Saat ini, bocah perempuan berpakaian lusuh itu tengah duduk di pangkuan Michael sembari mengusap-usap bekas luka di tubuh lelaki tersebut. Sementara Moon, sekarang berada di dapur sedang memasak untuk si kembar. Sedangkan Jason diperintahkan Moon untuk memantau Michael. 

Di sudut kamar, Jason duduk di kursi seraya memperhatikan interaksi Jessica dan Michael. Mata bulatnya menatap tajam ke arah keduanya sejak tadi.

"Papa, kenapa ada banyak luka-luka?" tanya Jessica seketika, kali ini raut wajahnya sangat serius. Jessica tampak penasaran dengan luka yang didapatkan Michael.

Michael tak segera menanggapi. Masih bingung dengan apa yang terjadi padanya. Sedari tadi berusaha mengingat-ingat. Namun, malah rasa sakit pada kepala yang dia dapatkan. 

"Sebenarnya aku tidak ingat apa yang terjadi padaku," kata Michael, jujur. 

Mendengar hal itu, Jessica terperangah. Secepat kilat memegang kedua pipi Michael. "Oh my God, jangan-jangan Papa hilang ingatan, ayo kita ke tempat dokter sekarang! Biar Papa disembuhin sama dokter!" 

Michael hendak menjawab, tapi Jason tiba-tiba menyela. 

"Jangan aneh-aneh Jessica! Kalau pun pria ini berobat apa dia bisa membayar pengobatan? Lihatlah Mama saja tidak ada uang untuk membeli obat, aku yakin sekali pria ini tidak ada uang sama sekali saat ini!" sahut Jason di ujung sana sambil mengerlingkan mata sejenak.

Bocah laki-laki tersebut tampak muak dengan kedekatan Jessica dan Michael sedari tadi.

Jessica membelalakan mata. Secepat kilat menurunkan tangan dari pipi Michael kemudian mencondongkan tubuh ke arah Jason. Sekarang, sorot matanya pun berubah menjadi sangat dingin.

"Abang benar-benar keterlaluan, siapa tahu saja Papa ada uang, bisa tidak panggilnya Papa bukan pria ini!" Tanpa sadar Jessica meninggikan suara. Merasa perkataan saudara kembarnya itu terkesan merendahkan Michael.

Jason melebarkan mata sejenak mendengar tanggapan Jessica. Secepat kilat dia beranjak dari kursi sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Jessica sadarlah, dia bukan Papa kita! Wajar saja aku memanggilnya pria ini, ayo cepat turun dari pangkuannya sekarang! Dia memberikan dampak buruk padamu!" kata Jason dengan nada suara sedikit nyaring. Dia pun tak mau mengalah. Sebab adik kembarnya itu sudah berani melawannya.

"Tidak mau! Ini Papa Jessica alias Papa kita. Mulai sekarang Abang harus panggilnya Papa!" protes Jessica sambil melipat tangan di depan dada.

"Tidak mau!" balas Jason dengan mata melotot keluar. Adiknya ini sangat keras kepala. Entah watak dari mana Jessica dapatkan. Jason pun heran sendiri.

"Harus!" Jessica masih tetap pada pendiriannya. Besar harapannya, Jason juga memanggil pria pelindungnya ini dengan sebutan papa.

"Tidak!"

"Harus!"

Jessica dan Jason saling sahut menyahut satu sama lain. Di antara keduanya tak ada yang mau mengalah. Sementara Michael hanya dapat mendengar perdebatan si kembar. Dia malas menimpali Jessica dan Jason karena luka di badannya mulai terasa sedikit perih sekarang, hingga pada akhirnya dia pun terpaksa membuka suara.

"Sudah, sudah jangan berdebat! Jessica, kalau Jason tidak mau memanggilku dengan sebutan Papa tidak apa-apa, lagi pula yang dikatakan Jason ada benarnya juga tadi," kata Michael.

Jessica langsung terdiam. Dengan kening berkerut kuat dia pun melirik Michael. Berbeda dengan Jason tersenyum penuh kemenangan.

"Benar apanya? Papa tidak punya uang? Kalau pun tidak punya uang tidak sepantasnya Jason menghina Papa. Tidak bisa, pokoknya Jason harus panggil Paman dengan sebutan Papa juga!" kata Jessica, tetap pada pendiriannya.

Michael menarik napas pendek sejenak lalu menyentuh kepala Jessica. "Jessica, tidak boleh memaksa orang untuk menuruti kemauanmu, tidak apa-apa, aku memang bukan Papa kalian, sudah sekarang Jessica ke dapur membantu Mama memasak, Papa mau beristirahat sebentar."

"Tidak usah, aku sudah selesai memasak, Jessica, Jason keluar sekarang dan makanlah di dapur." Belum sempat Jessica menggerakkan lidah. Moon menyelenong masuk ke dalam ruangan tiba-tiba. Jessica dan Jason spontan menoleh ke arah Moon.

"Papa tidak diajak Ma?" tanya Jessica dengan kening berkerut samar karena sang mama tidak memanggil Michael sama sekali.

Moon menghela napas berat. Anak perempuannya ini seolah-olah sudah dicuci otaknya oleh pria asing di hadapannya ini sekarang.

"Pergilah dulu Jessica, ada yang mau Mama bicarakan sebentar dengan pria ini."

Bibir Jessica malah turun ke bawah. Dia tampak cemberut. "Iya deh, tapi Mama ajak Papa makan ya, Papa sakit Ma, kayaknya Papa hilang ingatan."

Moon melempar senyum kecut. Senyuman yang biasanya akan dia berikan pada kedua anak kembarnya itu di setiap pagi. Namun, hari ini ada sosok asing di rumahnya yang membuat senyumannya terasa aneh. Sambil menatap ke arah Jessica, tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan Michael. Dalam hitungan detik senyumannya pun memudar, berganti dengan wajah datar dan tatapan sinis. Lalu dia kembali melempar senyum pada Jessica

"Iya, sekarang Jessica keluar dulu ya," lontar Moon kemudian.

Melihat senyuman sang mama. Jessica pun mengulum senyum.

"Iya Ma, ayo Abang kita makan. Jessica juga sudah lapar," katanya, seolah-olah tak ada yang terjadi di antara mereka tadi.

Kekesalan di hati Jason langsung mereda. Meskipun sering berdebat dengab sang adik, tapi Jason diajari mamanya untuk selalu menyayangi Jessica. Dia pun mengajak adiknya keluar dari kamar tersebut.

Selepas kepergian Jessica dan Jason. Atmosfer di ruangan mendadak mencekam. Sekarang, Moon memandang Michael dengan sorot mata dingin, sangat dingin, seolah-olah kamar mungil ini seperti berada di kutub utara.

"Baik, langsung saja, selagi Jessica ada di dapur. Pergi kau dari sini sekarang, sudah cukup kau mengganggu ketenangan kami!" kata Moon, penuh penekanan. Matanya melebar dengan sempurna.

Ocean Na Vinli

Ini karya ke empat saya, selamat membaca ya teman² saya update setiap hari, berikan vote-nya agar saya semangat menulisnya, terima kasih ^_^

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   61. Tak Mau Mengusik

    Melihat pemandangan di depan, dengan sigap Moon mengalihkan pandangan ke samping. Sampai saat ini Moon tidak bisa menghilangkan perasaannya terhadap Michael. Namun, dia tahu diri, lelaki yang dia cintai telah memiliki istri dan anak. Dia tak mau menjadi orang ketiga di hubungan Michael dan Clara. Masih berdiri di situ, melalui ekor matanya, Moon dapat melihat Michael mengendurkan pelukan. Pasangan suami istri itu saling bersitatap satu sama lain. Moon memutuskan perlahan-lahan memundurkan langkah kaki, hendak keluar dari ruangan. Berlama-lama di sini membuat dada Moon bergemuruh kuat. "Clara bukankah sudah kukatakan untuk menunggu di dalam mobil?" tanya Michael. Tak menyadari bila Moon telah berhasil keluar dari mansion, dia mengendap-endap di antara kepulan asap, melewati kumpulan manusia di sekitar yang sudah menjadi mayat. Kembali ke dalam, Clara tak langsung menjawab, perhatiannya malah tertuju pada luka tembakan di perut Michael. Terlihat darah masih mengalir pelan dari permu

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   60. Menolong

    Mata Moon langsung melebar kala melihat Michael tertembak. Dia pun segera melontarkan timah panas pada David dan Maximus secara bergantian, sambil berdiri di depan Michael saat ini. Julian tak tinggal diam. Dia yang semula terduduk lemas di lantai, berdiri dengan cepat sambil ikut menembak dan menghampiri Michael yang tengah memegang perutnya sekarang. "Moon, kenapa kau ada di sini? Kau bisa menembak?" tanya Michael tanpa mengalihkan pandangannya pada Moon. Kedatangan Moon, membuat Michael sangat terkejut tadi. Sebelum menjawab, Moon mendengus kasar sejenak. Dia tak berniat menghentikan tembakan ke sisi Maximus dan David yang sekarang tampak kewalahan karena diserang dari segala arah, bukan hanya dia yang menembak, Julian dan anak buah Michael ikut menembak ke arah mereka. "Aku ingin membantumu Michael. Ya, aku bisa menembak, dulu saat aku menjadi model, pernah mengikuti klub tembak, sudahlah jangan kau pikirkan, sebaiknya kau keluar sekarang, aku akan membunuh Maximus!"

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   59. Penyerangan Balik

    Begitu mendengar suara yang tidak asing di atas, rahang Maximus langsung mengetat. Dia mengabaikan asap putih akibat ledakan tadi yang mulai masuk ke ruangan perlahan-lahan sekarang. Para anak buah Maximus lantas memandang satu sama lain, bersiap-siap untuk mendengarkan perintah dari Maximus. "Anak kurang ajar! Berani-beraninya dia!" umpat David mengepalkan tangan erat-erat. Maximus lantas mendengus kasar. "Kalian cepat berpencar, bunuh semua anak buah Michael, aku akan naik ke atas sekarang!" perintah Maximus sambil melirik David sekilas. Mereka pun berjalan ke salah satu sudut pintu rahasia ke sisi kanan. Diikuti Maximus dan David melangkah ke pintu rahasia yang lainnya. Sementara itu, di antara puing-puing rumah akibat ledakan bom tadi, Michael sedang berpencar ke seluruh ruangan, mencari keberadaan Maximus. Julian dan anak buah Michael yang lainnya pun melakukan hal yang sama. "Tetap waspada, aku yakin pria itu sedang bersembunyi,"kata Michael sambil menatap ke arah Julian.

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   58. Berita

    "Kau yakin di sana aman?" balas Michael mencoba mengikuti saran dari Clara. "Sangat aman, Michael. Kau tenang saja, di sana lebih aman, daripada di sini." Clara tiba-tiba mengalihkan mata ke arah Moon sekilas. "Rasanya sangat aneh bila ada seorang wanita tinggal bersamamu Michael."Michael enggan menanggapi, memilih memusatkan perhatian pada Moon. Berbeda dengan Moon, perkataan Clara terasa seperti sebuah sindirian halus baginya. Menurut Moon, itu hal yang wajar, yang dilakukan oleh Clara. Ia rasanya tak mau meminta pertolongan pada pasangan suami istri ini. Namun, posisinya sekarang tidak baik. Terlebih, nyawa kedua anaknya dalam bahaya besar. "Bagaimana Moon? Kau mau tinggal di sana bersama si kembar?" tanya Michael seketika. Moon tersenyum getir. "Boleh, yang penting Jessica dan Jason aman.""Baiklah keputusan sudah dibuat, Julian siapkan semua keperluan Moon dan si kembar, jangan sampai orang tahu keberadaan mereka," kata Michael kembali. Julian mengangguk. Tak berselang lama

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   57. Panas

    Moon mematung di tempat ketika tiba-tiba dari pintu lain muncul sosok yang amat dia kenali, Omar, adik tirinya. Dulu, ketika tinggal bersama Omar dikenal suka membuat ulah dan kerap kali menganggunya. Kini, pria berperawakan tinggi dan besar itu berjalan cepat ke arah si kembar sambil menodongkan pistol."Hai Moon, sudah lama tidak berjumpa, kau semakin cantik saja," kata Omar dengan seringai tajam membentang di wajah. Melihat hal itu, napas Moon mendadak tercekat. Kedua anak kembarnya dalam bahaya besar sekarang. "Lepaskan anak-anakku Omar! Apa maumu hah?!" teriak Moon, mencoba menggerakkan kaki. "Eits, jangan bergerak, jika kau maju selangkah lagi aku tidak akan segan-segan membunuh keponakanku yang lucu ini," ucap Omar. Setelah itu cepat-cepat menutup mulut Jessica dan Jason dengan lakban.Beberapa hari sebelumnya, Omar diperintahkan kedua orang tuanya untuk menculik Moon. Dia akan mendapatkan uang yang sangat banyak bila berhasil membawa Moon. Omar hampir saja putus asa karen

  • Paman, Jadi Papaku Ya!   56. Merasa Bersalah

    Kedatangan Moon, membuat Michael dan Clara sontak terbelalak. Keduanya saling melirik ke arah pintu dengan ekspresi berbeda. Clara tampak keheranan sekaligus terkejut, mengapa ada wanita datang ke rumah suaminya saat ini. Sementara itu di luar pintu, Moon tertegun sambil menyentuh dadanya yang terasa perih akan pemandangan barusan. Moon tahu bila seseorang di dalam sana adalah istri Michael. Sebab beberapa hari yang lalu, Julian pernah menunjukkan foto pernikahan Michael."Siapa wanita itu?" tanya Clara seketika sambil menatap seksama wajah Michael. Ada percikan api cemburu terlihat di kedua bola matanya itu sekarang. "Namanya Moon, dia penolongku saat aku hilang ingatan, aku keluar sebentar ya, sepertinya Moon membutuhkan aku," jawab Michael singkat, tapi mampu membuat dada Clara terasa mulai panas. Namun, Clara berusaha untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan cemburunya di hadapan Michael. "Tunggu dulu Michael, jelaskan dulu padaku apa yang terjadi padamu selama ini?" tanya Clar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status