Michael justru menyeringai tipis.
"Kau yakin ingin mengusirku? Apa jawabanmu jika Jessica bertanya ke mana Papanya?" balas Michael sambil mengangkat dagunya sedikit angkuh. Membuat Moon kembali mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Menahan amarah yang membuncah di relung hatinya saat ini. Selain mengesalkan, pria di hadapannya ini ternyata tidak punya rasa malu juga. "Aku sangat yakin, kau adalah pria yang sangat berbahaya, keberadaanmu di sini memberikan dampak buruk pada putriku! Tidak usah kau pikirkan jawaban apa yang akan aku berikan pada putriku nanti! Cepat, angkat kakimu dari rumahku sekarang!" lontar Moon. Untuk kesekian kalinya, reaksi Michael membuat Moon semakin meradang. Kini, lelaki bermata hijau itu malah mengeluarkan tawa rendah. Sebuah tawa yang terdengar seperti sebuah penghinaan di telinga Moon. "Apa kau tuli?! Pergi sekarang!" Saat tak ada pergerakkan, Moon akhirnya terpaksa mendekat, hendak menyeret Michael. "Pergi kau dari sini!" Dengan susah payah Moon menarik tangan Michael. Sebab tubuh Michael lebih tinggi dan besar darinya. Michael lantas beranjak. Namun, tak ada tanda-tanda lelaki itu berniat menggerakkan kaki. Michael justru menyeringai tipis, melihat Moon tengah kesusahan menyeretnya keluar. "Kenapa kau diam? Cepat, pergilah dari sini!" Moon menahan kesal kala Michael tak kunjung bergerak. Terlebih, ekspresi Michael saat ini membuat urat-urat di wajahnya semakin menegang. Michael hendak menyahut. Akan tetapi, kedatangan Jessica mengurungkan niatnya. "Mama!" Di depan pintu kamar, Jessica berdiri sambil memegang sebuah piring dengan pupil mata melebar sempurna. Moon dan Michael reflek menggerakkan kepala ke pintu kamar. Moon berdecak kesal tatkala Jessica ada di kamar sekarang dan dapat dipastikan rencananya gagal. "Apa yang Mama lakukan? Bukankah tadi Jessica sudah bilang jangan usir Papa," kata Jessica cepat-cepat menghampiri Moon dan Michael. Tak lupa dia menaruh piring di tempat tidur terlebih dahulu sejenak. Moon melepaskan tangan Michael kemudian merendahkan tubuhnya di depan Jessica. "Bukan begitu Jessica, dia bukan Papamu, kita tidak tahu asal usulnya Nak. Mama tidak mau kalian terluka oleh pria asing ini, kita tidak tahu apakah dia benar-benar hilang ingatan atau tidak, bisa saja dia berpura-pura hilang ingatan," terang Moon lalu memegang kedua pundak Jessica. Mendengar hal itu, mata mungil Jessica perlahan berkaca-kaca. Membayangkan Michael akan pergi membuat dadanya terasa mulai sesak sekarang. "Ma, tapi Papa membantu kami tadi saat di pasar saat Bibi Erna membuli kami. Jessica yakin kok Papa orang baik dan dia benar-benar hilang ingatan, jadi jangan usir Papa ya, biarkan Papa tinggal di sini, Jessica mohon Ma ...." Tanpa permisi cairan bening kembali membasahi pipi Jessica. Melihat Jessica menangis, Moon membeku di tempat. Dadanya terasa ikut sesak juga. Sedari dulu, Moon tak pernah melihat Jessica bersikap seperti ini. Kekurangan kasih sayang dari seorang ayah membuat Jessica menginginkan pria asing yang asal usulnya tidak jelas ini menjadi ayahnya. Moon sangat takut bila Michael memiliki niat jahat padanya dan anak-anaknya. Sebab, selama ini ada seseorang yang sangat dia benci selalu memantau gerak-geriknya. "Tapi Nak, Mama ...." Moon tak jadi menyelesaikan kalimatnya kala Jessica menatap sendu ke arahnya dengan air mata semakin mengalir deras. Tak hanya itu, Jessica pun mulai tampak sesenggukkan. Napasnya pun kini tak beraturan, dadanya tampak kembang kempis, sepertinya tengah menahan tangisnya agar tak pecah. Moon terenyuh dan sekarang tak mampu berkata-kata lagi. Jessica membuat dia serba salah. Michael yang melihat Jessica, hatinya pun ikut tersentuh. Sorot matanya yang semula tajam berubah tampak sedih pula. Lelaki itu tiba-tiba berjongkok di samping Moon. Moon sedikit kaget dengan pergerakkan Michael. Tak lupa melayangkan tatapan tajam sejenak pada sosok di sampingnya. Namun, melihat ekspresi Michael membuat kening Moon berkerut samar sekarang. "Aku bukanlah orang jahat dan aku tidak berpura-pura hilang ingatan, aku minta maaf jika tadi merendahkanmu, untuk saat ini izinkan aku menetap di rumahmu,"kata Michael. Mendengar perkatannya, mata Moon melebar sedikit. Karena pria asing ini tak memiliki rasa malu sama sekali. Akan tetapi, saat melihat sorot mata Michael memancarkan rasa iba. Moon diambang dilema sekarang. Moon tak langsung menjawab, tengah berperang dengan batinnya. Michael lantas cepat-cepat mengalihkan pandangan pada Jessica. "Jessica, jangan menangis lagi ya, Papa tidak akan pergi dari sini,"katanya lalu mengusap air mata Jessica menggunakan jari telunjuk. "Iya, Jessica akan berhenti nangis, Pa." Dengan jari-jari mungilnya Jessica ikut mengusap kedua pipinya. Dia pun kembali mengalihkan perhatian pada Moon. "Izinkan Papa tinggal di sini ya Ma, Jessica janji akan jadi anak yang baik." Moon tak segera membalas, masih berperang dengan batin sambil melirik Michael dan Jessica secara bergantian, hingga pada akhirnya Moon membuka suara. "Baiklah, tapi Jessica jangan menganggu Paman ini—" "Papa, Ma! Papa!" sela Jessica, berusaha meralat panggilan Moon. Karena mamanya tak memanggil pria di hadapannya dengan sebutan "papa". Kendati demikian, dia merasa sangat bahagia karena sang mama mengiyakan permintaannya sekarang. Moon melempar senyum kikuk. "Iya, maksudnya Papa. Sekarang, Jessica keluar sebentar ya, Mama mau bicara sama Papamu." Moon tersenyum sedikit getir kala mengucapkan kata papa barusan. "Oke, tapi jangan usir Papa ya, Jessica tunggu di luar kamar, awas saja Mama usir Papa lagi." Dalam sekejap tangis Jessica sudah mereda. Sorot matanya pun tampak berbinar-binar sekarang. Hal itu membuat Moon mengulum senyum karena Jessica tak lagi sedih seperti tadi dan sikapnya sudah kembali ke setelan awal. "Iya, tunggulah di luar kalau Jessica tidak percaya." Jessica mengangguk cepat lalu berlari kecil, keluar dari kamar. Selepas kepergian Jessica, Moon dan Michael serempak berdiri. "Aku harap perkataanmu dapat dipercaya, tapi aku mohon setelah ingatanmu pulih, pergilah dari sini," kata Moon, membuka pembicaraan. Michael membuang napas pelan sejenak. "Iya, kau tenang saja, aku akan langsung pergi jika aku ingatanku sudah kembali." Moon enggan menanggapi, justru melenggoskan muka dan melangkah cepat menuju pintu kamar. "Aku akan pergi berkerja bersama anak-anakku, jika ada orang yang datang, jangan dibukakan pintu, tetap saja di dalam," kata Moon tanpa menatap ke sang lawan bicara. "Dan jangan hancurkan rumahku." Sesampainya di daun pintu, Moon membalikkan badan dan menoleh ke arah Michael. Michael mengangguk lalu pelan-pelan menjatuhkan diri di tepi kasur. "Ma, Jessica hari ini nggak ikut Mama ya, Jessica mau di rumah temanin Papa." Jessica tiba-tiba berdiri di samping Moon. Moon tersentak. Selama ini jika dia berkerja. Dia pasti membawa si kembar ke tempat kerja dan bila kegiatannya di kedai ramai, pada sore hari Moon akan mengajak Jessica dan Jason pulang ke rumah lalu dia kembali lagi berkerja. Mendengar putrinya tidak mau ikut. Tentu saja Moon tidak tenang, apa lagi meninggalkan Jessica bersama pria tak di kenalnya di rumah. "Tapi Jessica, Mama—" "Ish, pokoknya Jessica mau di sini sama Papa!" Jessica mencebikkan bibir sejenak kemudian dengan cepat menghampiri Michael. Michael tanpa sadar mengulum senyum melihat Jessica mulai naik ke atas ranjang sekarang. Dari kejauhan, Moon menarik napas panjang sejenak, tengah berusaha mencari cara agar Jessica mau ikut. "Mama tenang saja, aku akan memantau pria ini, jika dia macam-macam aku akan menelepon Mama nanti. Sekarang, mama pergi saja berkerja nanti Mama dimarahi bos Mama,"kata Jason seketika, masuk ke kamar bak seorang malaikat yang tengah berusaha membantu Moon. Moon mengulum senyum, putranya ini memang dapat diandalkan. "Baiklah, baik-baik di rumah ya, ambillah ponsel Mama, jika terjadi sesuatu telepon saja ke nomor kedai," kata Moon sambil mengeluarkan ponsel usang miliknya dari saku sweater. Jason mengangguk pelan dan mengambil ponsel dari tangan Moon. Setelah pamit undur diri, Moon pun keluar dari rumah. Namun, baru saja menapakkan kakinya di luar. Moon terperanjat kala seseorang mendorong tubuhnya tiba-tiba, hingga tangan dan kaki Moon mulai mengeluarkan darah sekarang. "Argh!" pekik Moon, menahan perih. "Dasar wanita jalang! Masih punya muka kau hah?!" teriak sosok itu menggelegar.Balasan Julian membuat pupil mata Michael melebar sempurna. "Pergi ke mana maksudmu?" tanyanya dengan suara agak meninggi. Mendapat tatapan dari Michael, Julian meneguk air ludah berkali-kali, menahan takut karena tatapan yang dulu sering kali dia dapatkan akhirnya kembali. Sosok Michael ternyata benar-benar telah kembali. "Mungkin ini bisa menjawab pertanyaan, Tuan." Julian perlahan memberikan surat yang ditinggalkan Moon di rumah tadi. Kemarin, Julian sempat menghubungi Moon. Dia hendak menanyakan kabar wanita tersebut. Namun, panggilan tak kunjung diangkat. Julian pun memutuskan pergi ke tempat Moon dan si kembar. Sesampainya di sana, Julian dibuat terkejut mendapati rumah dalam keadaan kosong. Terlihat ponsel di atas meja dan mobil pemberian Michael masih terparkir rapi di halaman rumah. Julian juga menemukan sebuah surat. Secepat kilat Michael mengambil surat tersebut dari tangan Julian. Dia langsung membaca dengan seksama isi kertas tersebut. Betapa terkejutnya Michael
Clara lantas terpaku. "Apa maksudmu Michael?" Clara kembali membuka suara dengan suara yang bergetar. Michael tersenyum sinis sejenak."Ingatanku sudah kembali Clara, sudah jangan bersandiwara lagi, sekarang panggil Julian." Ketika membuka mata tadi, kepingan-kepingan memori Michael langsung muncul bak sebuah kaset. Mendengar balasan Michael, Clara kembali terkesiap. Namun, dalam sekejap riak muka Clara berubah jadi dingin. Benar, Kenny memang bukan anak kandung Michael, melainkan anak Maximus. Dulu, Clara pernah mabuk berat dan tak sengaja tidur dengan Maximus. Dia mengira lelaki itu adalah Michael, padahal bukan. Kala itu dia dan Maximus melakukan hubungan dalam keadaan sangat mabuk berat. Ketika matahari muncul ke permukaan langit, Clara pun bergegas keluar dari hotel sebelum Maximus sadarkan diri. Selama ini, cintanya bertepuk sebelah tangan. Lelaki bermata indah ini menolaknya mentah-mentah. Kendati demikian, Clara tak menyerah. Dia pun menjalankan siasat, memberi
Setelah berkata demikian, pupil Moon kian melebar. Dia baru sadar perkataannya tadi membuat air mata Jessica semakin tumpah. Saat ini, tangis Jessica terdengar pecah. Dia memukul-mukul badan mamanya. Moon pun berusaha menangis pukulan anaknya itu."Huuaa, Mama jahat! Itu Papa Jessica!" seru Jessica dengan air mata membasahi kedua pipinya. Melihat adiknya menangis, Jason hanya dapat terdiam. Memandangi adiknya dengan tatapan nanar. Tangisan Jessica membuat dadanya terasa sesak pula. Berbeda dengan Moon menarik napas berat dan berkata,"Jessica, mengertilah Nak, dia memang bukan Papamu, sekarang ayo kita pergi dan lupakan Uncle Michael ya.""Nggak mau! Itu Papa Jessica! Jessica kangen sama Papa!" seru Jessica, kemudian menoleh ke arah pintu. Bocah perempuan itu hendak kabur dan mencari Michael keluar. Namun, pergerakannya kalah cepat, Moon berhasil menangkap pergelangan tangannya.Dengan sekuat tenaga Jessica memberontak. Akan tetapi, berakhir sia-sia. Tenaganya tak sebanding dengan
Melihat pemandangan di depan, dengan sigap Moon mengalihkan pandangan ke samping. Sampai saat ini Moon tidak bisa menghilangkan perasaannya terhadap Michael. Namun, dia tahu diri, lelaki yang dia cintai telah memiliki istri dan anak. Dia tak mau menjadi orang ketiga di hubungan Michael dan Clara. Masih berdiri di situ, melalui ekor matanya, Moon dapat melihat Michael mengendurkan pelukan. Pasangan suami istri itu saling bersitatap satu sama lain. Moon memutuskan perlahan-lahan memundurkan langkah kaki, hendak keluar dari ruangan. Berlama-lama di sini membuat dada Moon bergemuruh kuat. "Clara bukankah sudah kukatakan untuk menunggu di dalam mobil?" tanya Michael. Tak menyadari bila Moon telah berhasil keluar dari mansion, dia mengendap-endap di antara kepulan asap, melewati kumpulan manusia di sekitar yang sudah menjadi mayat. Kembali ke dalam, Clara tak langsung menjawab, perhatiannya malah tertuju pada luka tembakan di perut Michael. Terlihat darah masih mengalir pelan dari permu
Mata Moon langsung melebar kala melihat Michael tertembak. Dia pun segera melontarkan timah panas pada David dan Maximus secara bergantian, sambil berdiri di depan Michael saat ini. Julian tak tinggal diam. Dia yang semula terduduk lemas di lantai, berdiri dengan cepat sambil ikut menembak dan menghampiri Michael yang tengah memegang perutnya sekarang. "Moon, kenapa kau ada di sini? Kau bisa menembak?" tanya Michael tanpa mengalihkan pandangannya pada Moon. Kedatangan Moon, membuat Michael sangat terkejut tadi. Sebelum menjawab, Moon mendengus kasar sejenak. Dia tak berniat menghentikan tembakan ke sisi Maximus dan David yang sekarang tampak kewalahan karena diserang dari segala arah, bukan hanya dia yang menembak, Julian dan anak buah Michael ikut menembak ke arah mereka. "Aku ingin membantumu Michael. Ya, aku bisa menembak, dulu saat aku menjadi model, pernah mengikuti klub tembak, sudahlah jangan kau pikirkan, sebaiknya kau keluar sekarang, aku akan membunuh Maximus!"
Begitu mendengar suara yang tidak asing di atas, rahang Maximus langsung mengetat. Dia mengabaikan asap putih akibat ledakan tadi yang mulai masuk ke ruangan perlahan-lahan sekarang. Para anak buah Maximus lantas memandang satu sama lain, bersiap-siap untuk mendengarkan perintah dari Maximus. "Anak kurang ajar! Berani-beraninya dia!" umpat David mengepalkan tangan erat-erat. Maximus lantas mendengus kasar. "Kalian cepat berpencar, bunuh semua anak buah Michael, aku akan naik ke atas sekarang!" perintah Maximus sambil melirik David sekilas. Mereka pun berjalan ke salah satu sudut pintu rahasia ke sisi kanan. Diikuti Maximus dan David melangkah ke pintu rahasia yang lainnya. Sementara itu, di antara puing-puing rumah akibat ledakan bom tadi, Michael sedang berpencar ke seluruh ruangan, mencari keberadaan Maximus. Julian dan anak buah Michael yang lainnya pun melakukan hal yang sama. "Tetap waspada, aku yakin pria itu sedang bersembunyi,"kata Michael sambil menatap ke arah Julian.