MasukMalam itu angin berhembus lembut, namun ada sesuatu yang asing di udara. Di atas atap aula barat, seekor burung gagak hitam bertengger. Tapi matanya… bukan mata burung biasa.
Dari balik kegelapan, seorang pria berjubah merah gelap berdiri. Wajahnya tertutup, tapi auranya memancarkan tekanan dingin seperti kematian. “Jadi ini tempatnya…” "Lin Yue. Gadis itu menyimpan jejak kekuatan yang tak seharusnya dimiliki klan kecil seperti ini." Ia menjentikkan jari. Di telapak tangannya muncul seuntai benang spiritual tipis, berwarna darah. “Cari dan bawa dia. Jika perlu… lumpuhkan.” Burung gagak itu mengepakkan sayap dan menghilang ke dalam malam. Paviliun Lin Yue – Tengah Malam Su Lian berdiri di halaman belakang. Dantiannya mulai stabil. Chi iblisnya kini bisa disalurkan dalam semburan kecil, cukup untuk mematahkan leher manusia biasa… atau membalik serangan para kultivator tingkat awal. Tiba-tiba ia menatap ke arah barat. Aura asing menyusup lewat angin. Bukan sekadar pengintai. Ini… teknik pelacakan jiwa. “Siapa yang berani mengincar Lin Yue dari kejauhan seperti ini?” Tanpa buang waktu, Su Lian melesat melewati atap-atap rumah. Tubuhnya ringan meski tanpa teknik gerakan. Ia menyatu dengan kegelapan seperti roh pembunuh yang terlatih. Di Atas Pohon Bambu Sosok pria berjubah merah masih berdiri dengan tangan di belakang punggung. Tapi ekspresinya berubah ketika merasakan aliran chi yang tiba-tiba memotong sinyal pelacakannya. “Apa… ada yang menyadari benang darahku?” “Benangmu terlalu lemah,” suara berat terdengar dari belakang. Ia berbalik. Su Lian berdiri di cabang pohon lain, beberapa meter darinya. Matanya tenang. Aura hitam berputar lembut di sekeliling tubuhnya. “Kau... siapa?” “Orang yang pernah mati, dan kembali bukan untuk mati dua kali.” “Kalau kau penjaga Lin Yue, maka mati bersamanya adalah takdirmu!” Jarum darah spiritual dilemparkan cepat. Namun, jarum itu berhenti di udara. Seolah waktu di sekeliling Su Lian melambat. “Teknik pembalik ruang waktu...? Tidak. Ini... penekanan aura.” Su Lian bergerak. Satu langkah saja, dan jarak mereka lenyap. Tangan kanannya menghantam perut lawan seperti bayangan petir. BUKK! Pria berjubah memuntahkan darah. Tubuhnya terpental. Tulangnya retak. “Siapa kau…?!” Su Lian menatapnya dalam-dalam. “Pernah dengar nama Su Tian, Iblis dari Timur Laut Surgawi?” Pria itu membelalak. Ia tahu nama itu. Tapi sebelum ia sempat melarikan diri, Su Lian menekan dua jari ke dahinya. SSSZZHHH! Tubuh pria itu mengejang, lalu hancur menjadi abu tanpa suara. Paviliun Lin Yue – Subuh Lin Yue terbangun dengan napas berat. Mimpinya gelisah. Tubuhnya dalam mimpi terjerat benang darah, dan sepasang mata merah menatapnya dari langit. Ia berjalan ke jendela, tak sadar bahwa Su Lian berdiri di luar, membelakanginya, seperti bayangan setia. “Wanita ini… bukan hanya target perlindungan. Jika dia diserang oleh Pengendali Jiwa Darah, berarti... dia menyimpan sesuatu yang lebih besar dari yang ia sadari.” Beberapa Hari Kemudian – Gunung Selatan Su Lian sedang mengumpulkan ramuan langka saat seorang lelaki muda muncul di jalan setapak. Wajah pucat, mata tajam. Tapi familiar. “Aku mencium bau busuk iblis. Kau menyembunyikannya terlalu lemah, Su Tian.” Su Lian membeku. “...Kau... harusnya sudah mati.” “Dan kau,” pria itu menyeringai, “harusnya tahu, iblis tak pernah mati sendiri.” Tudungnya diturunkan. Di lehernya tergantung liontin naga api simbol pasukan iblis Su Tian dulu. “Jadi... kau juga bereinkarnasi...” “Namamu dulu… Lie Hu,” ujar Su Lian pelan. Lie Hu tersenyum. “Dan kau... menyedihkan sekali melihatmu di tubuh manusia biasa.” “Kau ikut mati di Gerbang Timur.” “Tubuhku hancur, ya. Tapi jiwaku terpaut ke Batu Jiwa Penukar Nasib. Sekarang aku di sini.” Ia menatap tajam. “Aku ingin tahu... apakah Raja Iblisku masih punya taring.” BRUUMMM! Chi api menyembur dari telapak tangannya. Tanah bergetar. Batu beterbangan. “Serang aku. Buktikan bahwa kau masih Raja.” Su Lian tidak bergerak. “Aku bukan Raja Iblis lagi. Tapi jika kau ingin melihat... aku tak keberatan.” SRAK! Mereka menghilang. Tubuh mereka beradu. Api dan bayangan bertabrakan di udara, menciptakan gelombang tekanan spiritual. Pohon tumbang, tanah terbelah. DUARRR! Su Lian menangkis tinju Lie Hu. Meskipun kekuatannya belum pulih, teknik bertarungnya tetap mematikan. Lie Hu mundur. Bibirnya berdarah. “Kau belum kehilangan semuanya.” Su Lian mengatur napas. “Dan kau belum cukup kuat untuk menantangku.” Lie Hu tiba-tiba menjadi serius. “Aku datang bukan hanya untuk bertarung. Aku datang... memperingatkanmu.” “Apa maksudmu?” “Warisan Surgawi itu… muncul di Klan Lin. Di tubuh wanita yang kini jadi istrimu.” Mata Su Lian menyipit. “Sekte Darah, Istana Bayangan Selatan, bahkan Klan Jiwa Petir… mereka semua mencium auranya. Mereka mengincarnya.” “Dan kau?” “Aku? Aku ingin melihat siapa yang muncul duluan. Dan apakah Su Tian masih bisa melindungi sesuatu… selain dirinya sendiri.” Lie Hu tertawa dan berbalik. “Kita akan bertemu lagi. Tapi lain kali, aku tidak akan menahan diri.” Paviliun Lin Yue – Malam Hari Lin Yue berdiri di depan cermin. Di lehernya muncul kilatan cahaya perak, seperti sisik naga yang bersinar samar. “Apa ini…? Ini bukan darah Klan Lin…” Ia menatap pantulan dirinya. Mimpi-mimpi aneh menghantuinya setiap malam tentang istana langit, medan perang, dan suara lelaki yang memanggilnya. “Suara itu… kenapa terasa begitu dekat… seperti aku pernah mengenalnya…” Tiba -tiba, cermin bergetar. Cahaya meledak, lalu lenyap. Tubuhnya lemas. Ia terjatuh, peluh dingin membasahi tubuhnya. “Ada sesuatu di dalam diriku… dan itu… bukan milikku…” Di Atap Paviliun Su Lian berdiri, memandang langit. “Jadi warisan itu… benar-benar berada di dalam dirinya.” Ia mengepalkan tangan. “Dan mereka semua akan datang. Tapi kali ini… aku tak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya.”Langkah itu bergema—bukan di tanah, tapi di udara, di dalam ruang itu sendiri. Suara retak-retak terdengar dari langit yang perlahan terbuka, seperti cangkang dunia sedang dikupas dari luar. Cahaya keperakan mengalir turun, membentuk pusaran spiral yang memutar angin, energi, dan waktu dalam satu kesatuan tak terkendali.Su Lian menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri di depan Lin Yue. Tangannya mengepal, bukan karena takut, tapi karena mengenali aroma yang tak asing.“Aura dimensi luar... seseorang menembus dinding dunia ini,” gumamnya. “Tapi bukan sembarang orang…”Dari celah langit yang terbelah, sosok itu muncul—melayang tenang, tubuhnya dibungkus jubah putih yang tidak bergerak meski angin meraung di sekitarnya. Wajahnya datar tanpa ekspresi, matanya seperti celah bintang mati—gelap, kosong, dan tanpa emosi.Namun yang paling mencolok adalah simbol di dahinya: spiral kembar yang bercahaya seperti dua galaksi yang saling bertabrakan.“Pengawas Dimensi…” desis Su Lian. “Mereka data
Langkah kaki Lin Yue menyentuh tanah yang hancur, melewati patahan-patahan pohon bambu dan retakan bumi yang masih mengepul. Cahaya merah di langit mulai memudar, tapi atmosfer kematian belum sepenuhnya hilang. Di depannya, Su Lian bersandar lemah pada batang pohon, darah menetes dari sudut bibirnya. “Su Lian…” Lin Yue berlutut di sisinya, jemarinya gemetar saat menyentuh wajah pria itu. “Kau terluka parah…” Su Lian mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. “Kau datang… terlalu cepat.” “Dan kau terlalu bodoh karena tidak membawaku dari awal,” jawab Lin Yue tajam, meski suaranya bergetar oleh ketakutan. Mereka saling menatap. Namun sebelum kata lain bisa keluar, tubuh Feng Luo yang semula tak bergerak, perlahan bangkit. Wajahnya dipenuhi darah, namun mata merahnya bersinar ganas. Kapak patahnya berubah menjadi bilah darah cair, mengambang di udara. “Aku belum kalah… sebelum salah satu dari kita benar-benar hilang dari dunia ini,” geramnya. Lin Yue berdiri perlahan, tubuhnya b
Sinar fajar pertama menerobos celah pepohonan, membasuh wajah Lin Yue yang masih terpejam. Tubuhnya terguncang pelan. Napasnya belum sepenuhnya stabil, namun denyut spiritual dalam tubuhnya terasa jauh berbeda dari sebelumnya lebih hidup, lebih murni. Di sisinya, Su Lian duduk bersila. Mata tertutup, namun kesadarannya menyebar luas. Dia bukan hanya melindungi Lin Yue dari serangan luar, tapi juga memandu proses penyesuaian tubuh baru Lin Yue—mengatur jalur-jalur meridian yang tadinya tersumbat kini mulai terbuka. Su Lian membuka matanya. "Dia sudah mulai menyesuaikan diri dengan warisan itu," gumamnya lirih. "Tapi ini baru awal." Lin Yue perlahan membuka mata. Pandangannya buram, tapi sorot matanya tajam, seolah melihat lebih jauh dari dunia yang tampak. "Aku... mendengar suara," katanya pelan. Su Lian mengangguk. "Itu suara dari dalam warisan. Bukan hanya kekuatan, tapi juga ingatan. Mungkin… peringatan." Lin Yue menyentuh dadanya. "Seperti ada dua jiwa yang bersatu. Ta
Langkah kaki Lin Yue menyentuh tanah yang hancur, melewati patahan-patahan pohon bambu dan retakan bumi yang masih mengepul. Cahaya merah di langit mulai memudar, tapi atmosfer kematian belum sepenuhnya hilang. Di depannya, Su Lian bersandar lemah pada batang pohon, darah menetes dari sudut bibirnya. “Su Lian…” Lin Yue berlutut di sisinya, jemarinya gemetar saat menyentuh wajah pria itu. “Kau terluka parah…” Su Lian mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. “Kau datang… terlalu cepat.” “Dan kau terlalu bodoh karena tidak membawaku dari awal,” jawab Lin Yue tajam, meski suaranya bergetar oleh ketakutan. Mereka saling menatap. Namun sebelum kata lain bisa keluar, tubuh Feng Luo yang semula tak bergerak, perlahan bangkit. Wajahnya dipenuhi darah, namun mata merahnya bersinar ganas. Kapak patahnya berubah menjadi bilah darah cair, mengambang di udara. “Aku belum kalah… sebelum salah satu dari kita benar-benar hilang dari dunia ini,” geramnya. Lin Yue berdiri perlahan, tubuhnya b
Langit di atas Kota Angin Malam berubah perlahan, dari biru pucat menjadi merah gelap seperti darah kering. Angin yang berhembus membawa bisikan asing. Guntur bergema tanpa awan. Seluruh kota seakan berdetak bersama langkah kaki pasukan Sekte Darah yang mulai merangsek dari segala arah. Penjaga kota yang tersisa menarik mundur warga ke zona aman. Namun di tengah kekacauan yang mencekam itu, di balik lebatnya hutan bambu, sebuah energi lain bangkit tenang, dalam, dan purba. Dalam Kesadaran Lin Yue Tubuh Lin Yue masih dalam posisi meditasi. Tapi jiwanya telah melayang jauh, masuk ke dalam alam kesadaran leluhur. Ia berdiri di langit tak berujung, dikelilingi sungai bintang yang mengalir pelan. Sunyi. Abadi. Sebuah suara bergema di sekelilingnya. “Kau akhirnya kembali… pewaris tubuhku.” Dari cahaya, muncul sosok wanita—mengenakan jubah kerajaan langit. Wajahnya begitu mirip Lin Yue, hanya saja lebih dewasa dan dingin. Di atas kepalanya melayang tiga mahkota bintang. “Aku ad
Kabut tipis menyelimuti seluruh Kota Angin Malam. Tapi ini bukan kabut biasa. Aura spiritual tingkat tinggi menyusup di dalamnya tanda jelas bahwa seseorang tengah mengamati dari balik tirai dimensi. Di puncak menara batu di pusat kota, seorang wanita berdiri diam. Rambutnya sehitam malam, mata merah darah memantulkan cahaya rembulan, dan tubuhnya diselubungi jubah ungu tua bersulam simbol kepala serigala. “Lin Yue… gadis yang menyimpan Warisan Surgawi. Sudah waktunya aku menyentuh takdirnya,” bisiknya lirih. Paviliun Lin Yue Di dalam kamarnya yang sunyi, Lin Yue duduk bersila, mencoba menyeimbangkan energi tubuhnya dengan bantuan kristal hijau tua yang diberikan oleh Su Lian. Tapi malam ini, energi di sekelilingnya terasa kacau. Nafasnya berat, keringat dingin menetes dari pelipisnya. Tiba-tiba, dadanya terasa panas membakar. Tubuhnya melengkung ke belakang dan teriakan tertahan lolos dari bibirnya. Retakan tak kasatmata muncul dalam aliran nadinya segel yang selama ini tersembu







