Cursty Hotel
Di sebuah ranjang ruang kamar hotel, tubuh wanita kecil itu tergeletak disebelahnya. Mereka bermandikan peluh.
Wanita itu memeluk kembali Andrew dengan manja. "Sayang, sampai kapan kita tutupi hubungan kita. "
"Segera, Nichole! Keluargaku sayang pada adikmu. Tapi aku lebih suka padamu. Dia terlalu dingin. Tak sepertimu. Ah... Rasamu, legit sekali." kata Andrew menggoda dengan gerakan tubuhnya.
"Ah... Andrew, sayangku." katanya disusul desahan nafasnya, menanggapi gerakan menggoda dari sang lelaki.
...
"Bukankah sudah berkali kali aku katakan bahwa kita tidak mungkin bisa bersama. Ini hanya karena keegoisanmu, tidak bisa menerima semuanya!"
Thania menggenggam gagang telephone dengan tangan bergetar karena marah.
"Wait, Thania, aku selalu mencoba untuk menjelaskan pada orangtuaku, bahwa yang aku cintai hanya kamu." kata Andrew lawan bicaranya.
"No, Andrew, kita sudahi saja. Jangan pernah telphone aku lagi. Kita selesai!" dan Thania langsung menutup teleponnya.
Tanpa dia sadari, ruangan kantor divisinya yang selalu ramai, tiba tiba sepi.
"Ada apa Thania, sampai sebegitu marahnya?" Samuel memecahkan keheningan.
Donita dengan gaya santai nya menengahi, "Sudah - sudah. Ga usah lah tanya seperti itu, Sam. Kayak kita ga pernah muda aja. Santai aja Thania. Life must go on. Hilang satu, dapat yang lain."
Sebenarnya bukan itu yang Thania rasakan. Thania bukan benar cinta pada Andrew. Pertemuan awalnya di kenalkan oleh teman temannya, mereka berteman hingga akhirnya diperkenalkan pada keluarga Andrew. Keluarga Andrew langsung jatuh cinta dengan karakter Thania yang mandiri dan ketegasannya selain tentu saja wajah dan penampilan Thania yang lembut dan polos. Keluarga Andrew adalah keluarga terpandang, yang merupakan salah satu pemilik perkebunan kopi di Brazil. Setelah pertemuan dengan keluarga Andrew, Andrew sebaliknya mengeluh dan bercerita bahwa keluarganya tidak menyetujui tentang hubungan mereka.
...
Alfredo Anderson melangkah keluar dari lift. Kepalanya menoleh ke ruang finance yang terletak di lorong menuju ke ruangan pribadinya. Dari ruangan bersekat kaca itu, pandangannya tertuju pada sosok gadis manis yang tengah menerima telephone dengan wajah yang terlihat gusar. Sejenak dia mengerutkan kening, sebentar kemudian kembali tersenyum dan melangkah menuju ruangannya.
Sampai di ruangan kerjanya, CEO muda itu langsung mengangkat telephone, dan memencet tombol 402.
"Thania. Segera ke ruangan saya. Ada yang perlu saya bicarakan."
Setelah menutup telephone, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Memandangnya dengan senyum tipis menghias wajahnya. Kemudian segera memasukkan kotak kecil tersebut kembali ke saku nya ketika tiba tiba terdengar suara ketukan di pintu.
...
Bib bib bib ...
"Thania, segera ke ruangan saya, ada yang perlu saya bicarakan"
"Baik Mr. Alfred" jawab Thania.
Thania mengetuk pintu ruangan berukuran 6x10 meter itu sebelum masuk. Di dalam ruangan minimalis yang berisi sebuah meja dan kursi kerja, beberapa lemari file dan meja sofa tamu, tengah menunggu seorang lelaki jangkung, berwajah tampan, berkulit bersih dengan senyum miringnya. Menatap Thania yang masuk dengan gugupnya.
Sebuah wajah mungil nan cantik dengan rambut panjang kecoklatannya muncul dari pintu. "Ya, Mr. Alfred.Ada yang bisa saya bantu?" kata gadis itu.
"Thania, duduklah." kata Alfredo.
Thania masuk dan memposisikan diri duduk di kursi di hadapan Alfredo. Rekan rekan kerjanya yang kebetulan lewat, menoleh dengan penuh keingintahuan. Alfredo berdiri, berjalan dan menarik tirai menutup kaca ruangannya.
"Thania - Thania. Ada masalah apa sebenarnya. Bukankah seharusnya aku yang bertanya, adakah yang bisa aku bantu?" jawab Alfredo sambil berjalan kembali ke meja kerjanya.
Thania terkejut, apa yang sebenarnya yang diketahui oleh bos nya ini. Tak bisa menyembunyikan rasa terkejut di wajahnya, Alfredo terkekeh melihatnya.
"Kenapa? Kaget? Bahkan saat aku lewat, kamu tak sadar karena seriusnya dengan panggilan telephonemu"
"Ma... maaf, Mr. Alfred - saya tidak ada maksud membawa urusan selain pekerjaan di kantor ini. Maafkan saya." jawab Thania.
"Thania - kalau pun ada yang bisa aku bantu, katakan saja ya." kata Alfred kemudian.
Thania hanya mengangguk kemudian menjawab "Jika tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, ijinkan saya kembali bekerja, Mr. Alfred".
Dan Alfredo mengiyakan. Thania bergegas keluar kembali ke ruang divisinya.
Tinggallah Alfredo, berkata dengan dirinya sendiri. "Thania - Thania. Kau sudah mencuri hatiku. Semoga tak ada hal buruk yang terjadi. Alfredo - Alfredo. Kapan kau punya keberanian mengungkapkannya."
...
Sore itu, di loby kantor AAG terlihat seorang pemuda sedang membuat keributan. Thania yang kebetulan lewat karena akan pulang bertemutatap dengan pemuda itu.
Pemuda itu mengejar Thania, memegang lengannya. "Thania, dengarkan aku. Ini bukan kehendakku. Aku masih ingin bersamamu." kata Andrew.
"Lepaskan aku, Andrew. Semua sudah berakhir. Jalani jalan kita sendiri. Ok." jawab Thania tegas.
"Tapi aku masih ingin bersamamu. Jauh-jauh aku kemari, aku ingin kamu tahu ka..." Ucapan Andrew terhenti ketika ada tangan menepuk pundak nya.
"Lepaskan dia."
Andrew menoleh melihat siapa yang telah berani ikut mencampuri urusan dia.
"Hai Sam. Tolong menyingkirlah. Jangan ikut campur, Sam." kata Andrew.
"Wait, wait. Andrew. Sebagai teman kamu, aku kasih saran, selesaikan semua masalah di tempat lain. Ok!" kata Samuel.
Andrew melihat sekeliling, banyak mata melihat keributan itu. Sehingga akhirnya Andrew kembali menyeret Thania. Kali ini dia menuju ke arah parkiran, tempat dia memarkir mobilnya.
Tetapi sebelum sempat mencapai mobilnya tangannya yang menggenggam lengan Thania telah dipisahkan.
"Well. Andrew Leigh, ada urusan apa kiranya dengan Nathania Smith?" kata Alfredo.
"Jangan ikut campur Alfredo!" gertaknya.
"Maaf aku tak bisa tidak ikut campur jika itu menyangkut KEKASIH ku. " kata Alfredo pada Andrew dengan nada datar.
Thania terkejut, tetapi menutupinya dan berusaha tetap tenang.
"Ok. Thania. Aku mengerti sekarang. Dan aku tidak akan mengganggumu lagi." kata Andrew yang kemudian langsung naik ke mobilnya dan pergi.
Tinggallah Thania yang tertegun bersama dengan Alfredo yang tetap menatapnya.
"Kamu tidak ingin berterimakasih padaku? Aku sudah menyelamatkanmu." kata Alfredo. "Ataukah kamu menyesal aku menyelamatkanmu?" lanjutnya sambil terkekeh.
"Uh... eh... terimakasih Mr. Alfredo" kata Thania tergagap.
"Jadi pulang atau tidak? " kata Alfredo.
"Eh iya." kata Thania kemudian berbalik dan berjalan.
"Kamu menunggu bus lagi untuk pulang? Ini sudah mulai gelap. Naiklah, aku antar kau pulang." kata Alfredo.
"Tidak usah Mr. Alfredo. Saya sudah terbiasa -"
"Ini perintah. Cepat naik. Saya terburu-buru." lanjut Alfredo, tidak mau kalah.
...
"Ok sayang, sampai jumpa besok." kata seorang wanita muda menutup pembicaraan teleponnya. Nichole Smith, gadis berusia 25 tahun. Adalah kakak kandung Thania. Kegiatan sehari-harinya adalah bekerja part time di stand bunga Mrs. Thompson.
"Hai Thania, sudah pulang?"
"Ya, hari yang melelahkan. Dengan banyak angka yang membuat pusing, seperti biasanya" jawab Thania sekenanya.
"Ok. Mom sudah buat steak buat dinner kita. Segeralah mandi dan ganti baju, dear" sahutnya sambil berlalu ke arah dapur.
BIB ... BIB... BIB...
Telepon berbunyi. Thania yang masih duduk di sofa, melepas lelah berada tepat di sebelah nya, langsung mengangkat, dan terkejut mendengar suara dari seberang.
"Sayangku, apa kau disana? "
BIB... BIB... BIB...Telephone berbunyi, Thania yang tepat berada di sebelahnya langsung mengangkat, dan betapa terkejut mendengar suara lawan bicaranya. Suara yang belum dia lupakan. Suara yang hampir setiap hari mengisi hari nya."Hallo, sayangku. Apa kamu masih di sana? Ada yang lupa aku sampaikan barusan." suara yang tak asing itu terdengar."Hello, sayang? Apa kau di sana?" suara di seberang mulai tak sabar karena tak mendapat jawaban."Yeah" jawab Thania. Belum sempat dia memanggil nama kakaknya, sang penelpon melanjutkan."Aku sudah selesai dengan adikmu. Sekarang kita bisa berjalan bersama tanpa perlu sembunyi-sembunyi, sayang. Seperti keinginanmu."Thania begitu terkejut. Telepon terlepas dari genggamannya. Nichole segera mengambil telepon dan menaruhnya kembali ke tempatnya."Ada apa Thania? Siapa yang menelpon? Apa sesuatu yang buruk terjadi?" cecar Nichole. Tetapi hanya dibalas gelengan
"Ok Alfred, meeting kita kali ini sampai di sini saja. Capek juga ya ngurus bisnis ini. Untunglah ada kamu yang bisa diandalkan. Good job Alfred." kata Carl sambil berjabat tangan dan menepuk bahu Alfredo."Dan jangan lupa, urusan pribadimu tadi, oke. Cari waktu yang tepat, ungkapkan perasaanmu." kata Carl menggoda.Alfredo hanya membalas dengan senyum khas nya. "Wish me luck, ya Carl" katanya sambil tertawa berjalan beriringan mengantar Carl keluar menuju loby.Setelah kepulangan Carl. Alfred menggumam perlahan. "Cari waktu yang tepat, Alfred".Tapi tanpa sengaja gumaman itu terdengar oleh Thania yamg saat itu berpapasan dengan dia, bersama setumpuk berkas laporan keuangan. Yang tanpa sengaja bertabrakan saat melewati lorong depan kantor divisinya. Akibatnya map laporan itu tercecer berantakan."Maaf - maaf - maaf. Mr. Alfred" katanya langsung menunduk hendak memunguti berkas berkas itu.Tetapi mala
Entah kenapa Thania kembali merasa debaran yang asing yang tak bisa dia pahami. Ada apa denganmu, Thania!"Thania, maaf, sebenarnya lagu itu adalah gambaran aku saat ini. Sebenarnya sudah lama aku memendam rasa ini.""Aku - suka kamu. Aku ingin menjadikanmu wanita terpenting dalam hidupku.""Akankah kau menerima?"Mendadak jari jemari Thania membeku, terasa dingin. Jantungnya berasa berhenti berdetak. Badannya berasa sangat ringan, seperti akan melayang. Entah apa nama rasa ini. Belum pernah dia merasa hal semacam ini.Thania hanya diam mematung tak bergerak ketika Alfredo mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya. Kotak kecil yang diam-diam, terus dia bawa kemanapun. Sebagai saksi penantian akan waktu yang tepat ini.Alfredo berlutut di depan Thania yang masih duduk terpaku. Di raihnya jemari tangannya dengan lembut dan memasangkan sebentuk cincin bermata satu yang tampak manis dengan motif lengkung hibisc
"Maaf mom, aku tidak tahan dengan bau menyengat ini," kata Nichole sambil berlari ke arah toilet. Dia mengeluarkan seluruh isi perutnya."Apa kau tidak enak badan? Apa penyakit lambungmu kambuh?""Sepertinya begitu, mom."Mrs. Smith menyeduh teh camomile sebelum menyajikan di hadapan Nichole."Minumlah! Lalu telponlah Mrs. Thompson untuk ambil libur hari ini. Kamu tidak enak badan ya.""Ok mom. Aku akan telepon kios sebentar lagi, aku akan tidur di kamarku setelahnya""Mom, sedapnya, masak apa nih?" Thania tidak menghiraukan kehadiran Nichole."Mau soup, Thania? Duduklah.""Ok mom. Aku akan duduk manis. Jangan lupa roti gandum kesukaanku mom, dengan garlic yang banyak."Tiba-tiba Nichole lari kembali ke kamar mandi."Eh,eh. Kenapa tuh Nichole.""Ga enak badan katanya, entahlah. mau flu mungkin. mual sama bau-bauan dan ga enak makan""Ah, sudahlah. Udah besar juga. Pasti
"Jawab mom dengan jujur, Thania!"Thania terkejut dicecar begitu banyak pertanyaan oleh ibunya. Beberapa saat kemudian ekspresi wajahnya berubah tersenyum lalu tertawa terkekeh."Mom, seperti yang aku katakan. Apapun yang aku katakan, kau tidak akan percaya. Jadi semuanya akan percuma untuk dijelaskan.""Pertama, apa hubunganku dengan Andrew. Hubungan teman atau bahkan mungkin lebih dari sekadar teman. Karena dia membawaku ke pertemuan keluarganya.""Kedua, hubungan intim?" Thania tertawa terkekeh."Pertanyaan apa ini. Siapa yang membuatmu berpikiran aku akan melakukannya?""Dan pertanyaan terakhirmu. Apa aku masih mencintainya. Satu jawabanku, tidak. Aku tidak akan mentolerir perbuatannya." jawabnya kali ini dengan nada serius.Mrs. Smith terkejut dengan jawaban terakhir putrinya tersebut."Wait... aku masih belum mengerti. Mentolerir dalam hal apa. Jelaskan Thania!""Untuk apa aku menjelaskan mom. Seandainya aku
"Apapun itu, Thania. Usahakanlah untuk datang. Walaupun sebenarnya kau tak ingin datang. Entah itu karena ketidaksenanganmu atas hubungan mereka ataupun alasan yang lain. Bagaimanapun dia adalah kakak kandungmu. Saudara sedarah, Thania."Memang kata 'sedarah' inilah yang selalu membuat Thania menahan diri dan selalu mengalah."Ok mom. Akan kuusahakan."..."Thania, ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Atau kau tak menyukai rasa makanan ini?""Bukan Alfred. Hanya ada yang sedang aku pikirkan.""Apa kau mau menceritakannya, sayang? Aku akan menjadi pendengarmu.""Hanya tentang saudara perempuanku. Dia besok akan menikah dengan Andrew,""Aku hanya tak mungkin bisa menghadiri pernikahannya. Ini bukanlah hari libur. Selain itu, ini adalah akhir bulan, dimana laporan keuangan dari semua kantor cabang menumpuk di mejaku. Mom ingin supaya aku tetap hadir apapun itu alasannya.""Ok. Tidak masalah. Aku akan menemanimu. K
Gadis kecil itu berlari menghampiri Mr. Leigh,"Daddy!"Gadis kecil dengan rambut ikal kecoklatan itu berlari kemudian mencium kening Harrison yang sedang terbaring di kamarnya.Leticia terkejut, buah apel tergelincir dari tangannya dan menggelinding di lantai.Vannesa memungutnya, tersenyum dan memberikannya kembali padanya."Apa-apaan ini! Siapa gadis kecil itu! Berani sekali," Leticia mencengkram lengan gadis itu dan menariknya. Tetapi kemudian Sean bertindak. Dia merebut Jenny dan menyembunyikannya di balik badannya yang tegap."Sean! Siapa dia!?""Letty, dia adalah anakku. Anakku dari Vannesa. Maafkan aku, Letty."Kaki Leticia terasa lemas, terduduk lunglai mendengar pengakuan suaminya. Hancur sudah kepercayaan yang selama ini dia berikan. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Dengan sisa tenaga yang ada, dia berdiri dan pergi meninggalkan suaminya."Mr. Leigh, sebenarnya Jenn
Tiba-tiba Sean menyadari, sosok tubuh mungil yang berdiri di ambang pintu, air matanya berlinang, "Mommy...!""Sayang, mengapa kau belum tidur?" Vannesa menghampiri dan memeluk tubuh gadis itu."Aku takut, mommy. Mimpi buruk terus datang menghampiriku.""Mommy buatkan susu hangat ya, supaya tidurmu bisa lelap dan mimpi buruk tidak akan bisa menyentuhmu." katanya menenangkan putrinya.Vannesa membuka kemasan susu dan menghangatkannya sebentar sebelum menyodorkan pada putrinya di meja makan."Jenny, segera habiskan ya, setelah itu pergilah tidur.""Ya mom."Vannesa membelai rambut Jenny dengan lembut. Dan Jenny dengan patuh menghabiskan segelas susu hangatnya dengan cepat. Vannesa menghantar Jenny ke kamarnya, mengantarnya tidur dan menyelimutinya.Vannesa hendak mematikan lampu kamar ketika Jenny bertanya,"Mom, bolehkah aku bertanya, sebenarnya siapa ayahku?"Vannesa berhenti. Dia duduk kem