"Begitu, kah?" Glen menyeringai sinis. "Itu tidak ada hubungannya. Penusukan Lucian adalah harga yang dia bayar karena Philip mencoba membunuhmu. Jangan merasa bersalah atau berutang padanya hingga kamu ingin membatalkan pertunangan.""Aku tidak merasa berutang pada Lucian. Aku ingin membatalkan pertunangan karena aku sungguh tidak ingin melanjutkannya. Aku tidak memiliki perasaan apa pun padamu." Laura terdiam menyadari suaranya terlalu keras sampai membuat beberapa pelanggan di restoran itu menoleh memandang mereka."Maaf, Glen. Kamu adalah pria yang baik dan seorang teman yang aku hargai. Tapi kita tidak bisa bertunangan atau menikah."Glen tidak menjawab. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Maaf, aku tidak ingin membatalkan pertunangan ini.""Glen…," Laura memandangnya memohon. "Bukankah kamu bilang akan membatalkannya jika aku menginginkannya?""Ya. Tapi aku tidak ingin kamu memutuskan pertunangan dengan sia-sia demi seseorang seperti Lucian Wilson yang tidak akan berjuang untuk
“Kamu gila!” Seline berseru protes. Itu merusak harga diri Lucian, yang tumbuh mulia di keluarga Wilson, harus mengikuti seorang istri di keluarganya.“Ibu….” Laura memohon cemas.Willy meraih tangannya. "Mari pulang, Laura. Kamu terlalu berharga untuk mereka."Laura menatap Lucian dengan cemas.“Laura….”Lucian tersenyum lembut, berusaha menenangkannya. “Jangan khawatirkan aku dan pulanglah dengan keluargamu. Kita akan bertemu lagi.”Ia ingin mengusap rambut Laura, tetapi Willy mendelik dan membawa putrinya pergi.“Ayo, Amel….” Tristan menggendong keponakannya. Dia melirik Mia sejenak, tetapi wanita itu membuang muka dengan dingin.“Sampai jumpa, Papa. Nanti Amel datang lagi.” Amel melambai dengan sedih pada papanya.“Ya.” Lucian melambaikan tangannya dengan tenang.Dia melirik dingin, merasakan tatapan tajam dan intens dari Glen. “Ada apa, Tuan Hastings? Kamu ingin mengatakan sesuatu?”Glen tersenyum tenang. “Hanya ingin memberitahumu bahwa pertunangan antara aku dan Laura tinggal s
Ditambah lagi, Viola masih hidup dengan aman saat ini. Ia berjanji akan membalas Viola sepuluh kali lipat dari apa yang ia alami di kehidupan sebelumnya.“Bagaimana keadaanmu?” Ia berbalik, suaranya serak saat bertanya pada Laura. “Aku melihat mereka memukulmu.”“Ini bukan apa-apa.” Laura menolak.Ekspresi Lucian menggelap melihat bekas memar di belakang leher Laura.“Apa yang terjadi di sini? Mengapa begitu ramai?”Mereka menoleh, melihat Willy datang bersama Tristan dan Glen.“Ibu, Kak Tristan… kenapa kalian datang?”“Kamu sudah lama berada di rumah sakit, Ibu datang untuk menjemputmu.” Willy mengernyit melihat Lucian berdiri di sisi Laura. “Oh, kamu sudah bangun. Baguslah, Laura tak perlu lagi merawatmu.”“Nenek…” Amel berlari menghampiri Willy.“Oh, sayangku, kenapa matamu, sayang? Apa kamu menangis?” Willy menyadari wajah cucunya memerah dan bekas air mata di wajahnya.“Nenek, orang-orang jahat itu memukul Mama dan Bibi Mia dengan tongkat. Mereka jahat. Untung Papa datang menyela
“Baik, Tuan.” Ferdi mencengkeram lengan Viola dengan erat.“Lucian, apa-apaan ini! Kamu tidak bisa melakukan ini padaku! Kejahatan apa yang sudah aku lakukan!” Viola berseru panik.Viola menatap Seline memohon.“Bibi, tolong aku! Aku tidak melakukan apa pun. Perintahkan anak buahmu untuk menolongku! Kenapa kalian diam saja! Cepat singkirkan orang ini dariku!”Para pengawal itu bingung harus mendengarkan Viola atau Seline. Mereka tidak bisa bergerak tanpa perintah Seline, orang yang membayar mereka.Seline mengatupkan bibirnya kesal karena rencananya dan Viola gagal sebab Lucian tiba-tiba bangun.“Lucian, kamu tidak perlu—““Ibu….” Lucian menyela sambil berusaha berdiri.Laura membantu menopang tubuhnya.Lucian menyandarkan sisi tubuhnya pada Laura sambil memegang perutnya. Lukanya tampaknya kembali terbuka, menyebabkan baju pasien yang dikenakannya ternoda darah.“Ibu, apa kamu tahu siapa ayah kandung Jayden?”“Lucian!” Viola membelalak menatapnya panik dan cemas.“Apa maksudmu? Bukan
Lucian membuka matanya. Pandangannya yang tadinya gelap kini menjadi terang-benderang.Di hadapannya, seorang gadis kecil tengah terisak.“Amel….” bisik Lucian gemetar, memanggil nama itu. Ingatan akan peti jenazah dan wajah pucat putrinya terbayang jelas di benaknya.Putrinya, Amel, yang tampak berusia tiga tahun itu masih saja menangis.“Amel, sayang, ini papa.” Dia jatuh berlutut di depan putrinya, tangannya gemetar meraih tubuh kecil itu.“Papa….” Amel memandang Lucian. “Papa, mengapa Papa ninggalin Mama dan Amel?”Wajah putrinya menatapnya dengan penuh kesedihan.napas Lucian tercekat. Hatinya perih saat menghapus air mata di wajah putrinya.“Papa… Papa nggak ninggalin Amel. Papa mau bersama Amel dan Mama.”“Terus kenapa Papa nggak mau bangun?” Amel menatapnya dengan mata sedih dan polos.Lucian terdiam.“Papa ingin bersama Amel dan Mama.”Dia ingin bersama dengan istri dan putrinya yang meninggal karena dirinya.Amel ingin bertemu dengannya sebelum ia meninggal, tapi Lucian meng
Di atas peti, foto Laura diletakkan di atas penyangga elegan, memungkinkan Lucian melihat wajah wanita itu dengan jelas. Tidak hanya Laura, tetapi juga foto putri mereka, Amel, yang tampak masih berusia tiga tahun.Lucian ingin mempercayai bahwa ini hanya mimpinya, tetapi mengapa putrinya juga ada di sana? Ia tak bisa menahan air matanya. Hatinya hancur berkeping-keping.Peti-peti itu dibiarkan terbuka setengah, memperlihatkan wajah Laura dan Amel. Wajah mereka sangat pucat, namun didandani dengan cantik seolah-olah mereka sedang tidur.Namun, Lucian tahu bahwa mereka berdua sudah meninggal.Istri dan putrinya sudah tiada.Ia sangat marah, dadanya terasa panas membara. Ia ingin meraih jas hitam yang dikenakan sosok dirinya dan memukul ‘Lucian’."Brengsek! Apa yang sebenarnya kamu lakukan?! Bagaimana ini bisa terjadi?! Bagaimana kamu bisa membiarkan istri dan anakmu meninggal?!"Tangan Lucian hanya menembus sosok dirinya, dan tak ada yang mendengar suaranya, meski ia berteriak keras.A