Malam itu Ahmad masih sulit memejamkan mata. Pertemuan tak terduga dengan sosok dari masa lalu seakan membuka kembali pintu kenangan yang telah ia kunci rapat-rapat. Di kamarnya yang sepi, lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Pandangannya berkelana dari sudut ke sudut, hingga akhirnya tertambat pada sebuah foto berbingkai indah di dinding.Di dalam foto itu, Ahmad tidak sendiri. Ada seorang gadis di sampingnya, dengan senyum canggung dan tatapan yang seolah enggan diabadikan kamera. Namun, bagi Ahmad, justru itulah pesona yang membuatnya jatuh cinta.Hatinya bergetar. Luka lama kembali berdarah.“Seandainya kau tahu, betapa aku mencintaimu…” bisiknya lirih, jemarinya menyentuh dinginnya kaca bingkai.Kenangan itu menyeretnya jauh ke masa lalu. Saat awal pertemuan yang sederhana, sekadar sapaan singkat di sebuah kantor. Gadis berkacamata tebal itu menunduk malu ketika Ahmad memujinya. “Ternyata di gedung ini ada makhluk cantik,” katanya waktu itu, tulus, tanpa basa-basi.Reaks
Sejak kepergian Sulaiha, rumah itu tak lagi ramai. Sunyi terasa menekan, dinding-dinding seolah ikut meratap, dan setiap sudut masih menyimpan jejak kenangan yang membuat dada Ahmad sesak. Namun, di tengah kabut duka yang menyelimuti, ada satu jiwa mungil yang kini rapuh—dan sekaligus menjadi alasan Ahmad untuk tetap berdiri: Nadia, putri kecilnya.Gadis itu berusaha tegar, meski hatinya hancur. Tangannya sering gemetar, keringat dingin membasahi telapak, dan matanya sembab karena air mata yang tak pernah benar-benar kering. Ada haru, takut, dan kehilangan yang bercampur aduk dalam dirinya. Nadia kini berada di ambang masa depan—sebentar lagi ia akan tamat SMP. Namun, justru di titik inilah ia kehilangan sosok penyemangat hidupnya, sang bunda yang selama ini menjadi cahaya dalam kegelapan.Sejak ibunya tiada, Nadia kerap termenung sendirian. Nafsu makannya hilang, semangat belajarnya redup, bahkan sudah sepekan ia tak menginjakkan kaki ke sekolah. Kamar yang dulu riuh dengan tawa kec
“Dunia Ahmad Runtuh! Kehilangan Bidadari yang Dicintainya…”Lelaki itu bagaikan kaca rapuh, sewaktu-waktu bisa pecah berkeping-keping ketika terbentur musibah. Itulah Ahmad—seorang suami yang kini hatinya hancur setelah ditinggal pergi oleh belahan jiwanya.Sejak kepergian Sulaiha—sang bidadari dunianya, Ahmad hidup bagai jasad tanpa ruh. Duduk termenung sendiri, tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat, dan sorot matanya kosong. Nafsu makan hilang, gairah hidup lenyap. Sulaiha—cahaya yang selalu menyinari langkahnya. Kini benar-benar pergi, tak akan pernah kembali lagi.Di depan jasad istrinya, Ahmad berusaha tegar. Namun, tangis yang berusaha ia tahan akhirnya pecah juga. Air matanya tumpah, membasahi wajah yang biasanya gagah. Berlembar-lembar tisu habis, hanya untuk menyeka derasnya duka saat itu.Ketika ibunya dulu meninggal tertabrak truk, ia hanya termangu tanpa setetes air mata. Tapi kali ini… Ahmad tak mampu lagi berpura-pura kuat. Kepergian Sulaiha benar-benar merobek seluruh
Rumah tangga Ahmad dan Sulaiha telah lama berjalan dalam ketenteraman. Nadia, buah hati mereka, tumbuh menjadi remaja yang manis dan cerdas. Kini ia duduk di kelas tiga SMP, sebentar lagi akan melangkah ke jenjang SMA. Cita-citanya jelas—ia ingin menjadi dokter, terinspirasi oleh para tenaga medis yang dulu merawatnya saat ia jatuh sakit.Ekonomi keluarga ini pun berkecukupan. Ahmad menjabat sebagai kepala bagian di PT. Bumi Mandiri Residence—posisi setara manajer. Hidup mereka tak pernah kekurangan; akhir pekan diisi belanja di mal besar, barang-barang mewah masuk keranjang tanpa pikir panjang. Makan di restoran mahal menjadi rutinitas bulanan. Namun, di balik gemerlap itu, tanpa mereka sadari, pola hidup tersebut pelan-pelan mengundang penyakit—tekanan darah, kolesterol, hingga gula darah yang mengintai dalam diam.***Suatu hari, kantor Ahmad libur. Ia mengajak Sulaiha, Nadia, dan Mbok Jumini berlibur ke luar kota. Mereka pulang menjelang magrib. Begitu masuk rumah, Sulaiha langsun
Suatu hari menjelang sore, hujan mulai turun deras, membasahi halaman rumah Ahmad. Suara gemericiknya berpadu dengan detak jantung semua orang yang berada di teras itu. Wajah-wajah tegang saling berpandangan, tak satu pun berani memecahkan sunyi. Semuanya terdiam, seolah dibungkam oleh keadaan.Lelaki tua yang baru saja masuk berhenti di bawah lampu teras. Tongkat kayu di tangannya bergetar, entah karena tubuhnya yang rapuh atau karena guncangan batin yang ia bawa. Tatapannya menyapu semua yang ada di hadapannya, lalu berhenti pada sosok bernama Ahmad.“Ahmad…” suaranya serak, seperti terbawa angin dari masa lalu, “…kau masih ingat aku?”Ahmad seketika itu mengerutkan kening. Ada sesuatu di wajah lelaki itu yang mengusik ingatannya. Garis-garis wajah lelaki tua itu. Tatapan mata yang pernah ia lihat di suatu malam. Hingga membuat Ahmad menjadi bingung dan kembali merefleksi memorinya.“Oh, orang tua itu? Apakah dia?”***Peristiwa masa lalu, yang terjadi beberapa tahun silam. Awalnya
Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Ahmad berdiri terpaku di teras rumah, matanya berpindah dari perempuan misterius itu ke arah Nadia yang kini berlari ke pelukannya.Ahmad menunduk, meraih tubuh mungil putrinya. Pelukan hangat itu seolah menghapus kebingungan di kepalanya sesaat. Namun, matanya tak bisa lepas dari sosok perempuan yang berdiri tak jauh, memandangi mereka dengan tatapan penuh makna—tatapan yang menyimpan rahasia.“Siapa dia, Yah?” tanya Nadia polos sambil menunjuk perempuan itu.Ahmad terdiam, seakan kata-kata tertelan di tenggorokannya. Perempuan itu hanya tersenyum samar, lalu menunduk menatap anak kecil yang berada di sampingnya—seorang bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun, memegang erat ujung gamisnya.Ahmad menatap tajam. Ada getaran di dadanya—antara rasa ingin tahu, waspada, dan cemas.“Maaf, Ahmad…” suara perempuan itu akhirnya terdengar. “Aku datang… bukan untuk mengganggu. Tapi… ada hal yang harus kau ketahui.”Kalimat