Kasih membaca kata demi kata itu dengan seksama. Sesekali dahinya mengernyit ketika ada yang mengganjal dalam pikirannya. Menurutnya, Gilang membuat surat perjanjian itu seenak jidat, hanya menguntungkan dirinya sendiri saja, bukan kedua belah pihak.
"Ini serius perjanjiannya seperti ini?" tanya Kasih dengan kedua alis bertaut."Ya, ada yang salah?" tanya pria itu."Untuk poin pertama. Tidak boleh mencampuri urusan pribadi. Oke, itu masih bisa diterima. Kedua, pihak kedua harus menuruti semua keinginan pihak pertama. Ini maksudnya pihak pertama siapa, dan pihak kedua siapa?"Gilang mendengkus pelan. Pria itu menunjuk surat perjanjian itu dari atas, menyuruh Kasih agar membacanya dari atas."Makanya, kalau baca itu mulai dari atas, jangan langsung lihat nomor," decak Gilang.Kasih meringis pelan. "Oh, sorry," kata wanita itu pelan.Sesuai perintah Gilang, Kasih pun membaca surat perjanjian itu dari awal. Wanita itu pun manggut-manggut ketika sudah tahu apa maksud isi dari perjanjian itu."Aku keberatan," ungkap Kasih seraya menaruh kertas itu di atas meja.Gilang mengerutkan keningnya. "Kenapa?""Semua perjanjian itu sangat menguntungkan bagimu, dan memberatkan bagiku. Ya, aku memang membutuhkan banyak uang, tapi di sini sama saja kamu mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kamu memperalat aku," desis Kasih.Gilang tersenyum samar. "Oke, bagian mana yang memberatkan untukmu? Kamu bisa saja menambahkan atau mengurangi, ini hanya pendapatku saja, toh kamu juga berhak atas perjanjian itu. Silakan," ujar Gilang, pria itu kembali menyodorkan surat itu beserta pulpennya. "Kamu bebas menulis apa pun, selagi itu menguntungkan untuk kita berdua."Kasih memijat kepalanya dengan pelan, jelas saja dia ragu dengan perjanjian itu."Boleh kasih aku waktu untuk berpikir?" tawar Kasih.Gilang tersenyum masam, membuat Kasih berdecak pelan."Apa lagi yang kamu pikirkan, bukankah kamu sangat membutuhkan uang? Hei, ibu kamu sedang sekarat di rumah sakit," tandas pria itu.Kasih mengepalkan tangannya, jelas saja dia tidak terima karena Gilang mengatakan jika ibunya sedang 'sekarat'."Tutup mulutmu, ibuku masih hidup!" pekik wanita itu.Gilang mengedikkan bahunya acuh. "Kenyataannya memang seperti itu."Kasih menggebrak meja itu dengan keras, dia berdiri dari duduknya, matanya menatap nyalang."Sepertinya aku telah salah mengiyakan permintaan kamu tentang perjanjian konyol ini. Jadi, selagi belum terlalu jauh. Lebih baik aku urungkan saja niatku, kamu bisa mencari wanita lain, atau kalau tidak dengan Diana saja, lagi pula dia sudah membawa uangmu, kan? Kalau begitu aku permisi."Selepas berkata seperti itu, Kasih melangkahkan kakinya menuju keluar, tanpa menunggu persetujuan dari Gilang. Bahkan beberapa kali pria itu memanggil, Kasih mengacuhkannya."Hei, tunggu dulu."Tiba-tiba saja Gilang sudah berada di hadapan Kasih, membuat wanita itu mengerutkan keningnya."Apa lagi?" tanya wanita itu ketus."Oke, aku tidak akan memaksamu, aku ngerti kalau kamu sedang membutuhkan waktu. Bawa surat ini, siapa tahu suatu saat kamu butuh, pintu hatiku selalu terbuka lebar jika kamu membutuhkan bantuanku."Kasih menatap surat perjanjian itu dengan ragu. Karena terlalu lama mendapat respon dari Kasih, Gilang pun langsung mengambil tangan Kasih, lalu menaruh surat itu tepat di tangan wanita itu."Aku selalu menunggu," bisik pria itu tepat di telinga Kasih, membuat bulu kuduk Kasih seketika merinding.Pria itu pun meninggalkan Kasih seorang diri. Kasih sendiri tak menyadari jika saat ini dirinya berdiri dengan linglung.***"Tega kamu, Di. Aku ini teman kamu loh, kenapa kamu jual aku ke orang asing?" tanya Kasih dengan emosi.Setelah kejadian pertemuan antara Kasih dan Gilang, wanita itu memutuskan untuk menemui Diana.Kasih harus memastikan apakah yang pria ucapkan benar atau tidak. Dia sangat berharap jika ucapan pria itu hanya bualan saja. Nyatanya, Kasih harus menelan kekecewaan ketika melihat Diana diam saja usai dia bertanya tentang hal itu.Diana malah tersenyum sinis, menatap Kasih dengan muak."Nggak usah munafik gitulah, Kasih. Aku tahu kalau kamu itu butuh uang, dan juga pastinya butuh belaian juga, kan? Harusnya kamu berterima kasih sama aku karena aku sudah membantumu. Langsung mendapat dua keuntungan sekaligus."Kasih tak bisa lagi untuk menahan kekesalannya pada wanita itu."Kamu benar-benar teman yang jahat. Sekarang uang itu mana, kamu harus kembalikan uang itu pada pemiliknya, karena aku menolak."Diana tertawa ketika mendengarnya."Mengembalikan? Yang benar saja. Dengar, Kasih, kamu itu sama sekali belum bayar utang ke aku. Jadi, anggap saja uang itu imbalannya."Mulut Kasih menganga, dia tidak salah dengar, kan? Benarkah yang saat ini ada di hadapannya adalah temannya? Kenapa sifatnya sangat berbeda sekali dari biasanya?"Diana, kamu ...."Kasih tak melanjutkan ucapannya, ketika melihat Diana menatapnya dengan bengis."Kenapa? Aku itu muak sama kamu, Kasih. Jujur, ya, nyesal banget aku berteman sama kamu, udah hidup pas-pasan, tukang ngutang lagi. Iya kalau langsung dibayar, ini selalu ngaret banget, selalu banyak alasan kalau ditagih. Biar seperti itu kamu masih ingin pinjam uang lagi? Gila nggak tuh.""Diana, aku pikir kamu ikhlas membantuku, tapi ternyata--""Kalau kamu ingin aku mengembalikan uang itu, sekarang bayar dulu utangmu, totalnya 15 juta, aku maunya sekarang."Kasih menundukkan kepalanya. Mustahil jika dia akan memberikan uang pada Diana sekarang, sementara uang yang saat ini dia pegang hanya sekitar 100 ribu.'Apa yang harus aku lakukan,' batin Kasih."Nggak bisa bayar, kan? Ya udah deh, nggak usah sok jual mahal buat nyuruh kembalikan uang itu. Tinggal kamu ikutin aja saran dari laki-laki itu," cibir Diana."Aku udah punya suami, Diana. Itu sama saja aku berkhianat," sela wanita itu. Kasih berusaha berbicara dengan tenang, padahal kentara sekali jika saat ini dia tengah menahan emosi."Jangan terlalu berpikir positif pada suami kamu, Kasih. Coba kamu pikir, akhir-akhir ini suami kamu susah dihubungi, kan? Setiap kamu minta uang juga nggak pernah ditanggapi. Jika orang lain, pasti mereka akan berpikir jika suami kamu pasti selingkuh di sana. Iya kalau hanya sekadar jajan, kalau seandainya dia punya istri baru di sana bagaimana? Kamu terlalu bodoh untuk ditipu, Kasih."Kali ini Kasih tak bisa lagi untuk membendung emosinya, dia menatap Diana dengan sorot mata tajam."Tidak usah mencampuri urusan rumah tanggaku, Diana! Masalahnya di sini hanya utang, nggak usah melebar ke mana-mana. Dan untuk suami aku, tahu apa kamu tentang kehidupan kami, hah?!"Diana mengedikkan bahunya, wanita itu berdiri dari duduknya."Sebaiknya kamu pergi saja dari sini, urusan kita sudah selesai. Aku menganggap bayaran dari lelaki itu sebagai pelunasan utangmu, silakan pergi," usir wanita itu.Kasih masih tak menyangka jika Diana, teman satu-satunya yang sangat dia percaya ternyata tega melakukan seperti itu.Dan perkataan wanita itu, sedari tadi selalu saja mengganggunya. Benarkah suaminya di perantauan sana tengah berselingkuh?Di satu sisi, Kasih dengan tegas menampik ucapan wanita itu. Namun, di sisi lain dia juga mulai meragu dengan kesetiaan suaminya. Memang benar, belakangan ini suaminya kerap kali bertingkah aneh, jangankan mengirimkan dia uang, memberi kabar pun rasanya sangat jarang.Kasih menghela napas berat, lalu menggeleng tegas. Tidak! Dia tidak boleh terkecoh dengan ucapan siapa pun, biar bagaimanapun juga dia harus percaya dengan suaminya."Jangan gampang percaya dengan omongan yang belum tentu benar, Kasih. Suami kamu di sana mati-matian sedang mencari uang, seharusnya kamu banyak-banyak berdoa, bukan malah berpikir yang tidak-tidak," gerutu wanita itu, mengingatkan dirinya sendiri.Biarpun seperti itu, tetap
Sesuai dengan perintah Gilang, Kasih pun mendatangi alamat yang pria itu kirimkan.Wanita itu mengerutkan keningnya ketika yang ia datangi ternyata sebuah klub malam. Sekali lagi Kasih memandangi ponselnya, memastikan bahwa dia tidak salah alamat."Benar kok, apa dia ada di sana? Tapi kenapa harus menyuruhku datang ke sini?" gumam wanita itu.Karena Kasih masih ragu, wanita itu pun akhirnya memutuskan untuk menghubungi Gilang."Halo, Gilang. Aku sudah berada di tempat alamat yang kamu kirim. Kamu ada di mana?" tanya Kasih to the poin."Kau sudah datang? Masuk saja, aku ada di dalam.""Kenapa kamu tidak keluar saja?" tanya Kasih kesal."Tidak bisa, aku ditahan oleh seorang wanita. Bisakah kamu cepat datang ke sini?" pinta Gilang.Kasih mendesis lirih, kalau dia tidak membutuhkan banyak uang, tak mungkin dia mau menuruti perintah pria itu.Kasih masuk ke dalam klub itu, matanya mengedar pada segala arah, dan pada akhirnya pandangannya terhenti pada satu titik yang menurutnya mengganggu
Sesampainya di dalam kamar tersebut, mereka berdua tampak memandang satu sama lain. Gilang sepertinya tengah menilik penampilan Kasih dari atas sampai bawah, membuat Kasih yang ditatap seperti itu merasa risih."Kenapa menatapku seperti itu?" tanya wanita itu ketus.Gilang menjawab dengan gelengan kepala saja sambil tersenyum tipis."Sesuai dugaan, kamu adalah wanita yang baik-baik, itulah yang aku cari.""Maksud kamu?" tanya Kasih tak paham.Gilang menghela napas. "Sebenarnya wanita itu banyak, nggak cuma satu, yang cantik banyak, yang seksi juga banyak, apalagi yang aduhai. Hanya saja, berurusan dengan wanita seperti itu sangat menjengkelkan. Sudah dikasih uang, mereka pasti nantinya akan meminta lebih, dan aku yakin kamu tidak akan seperti itu."Kasih terus saja diam, karena dia masih tidak paham dengan apa yang Gilang maksud. Tanpa sadar dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada usai Gilang berkata seperti itu. Gilang yang melihatnya hanya mampu tertawa."Kamu juga cantik, k
"Iya, Sayang. Aku nggak macam-macam kok di sini, kamu tenang aja, ya. Cintaku tetap untuk kamu," ucap Gilang dengan senyum tipis."Janji, ya?" tanya wanita itu dari ujung sana dengan suara manja."Iya, Sayang. Aku janji, kamu kapan pulang? Aku udah kangen nih.""Masih lama, kemarin aku janji sama kamu cuma sebulan kan? Kayaknya diundur deh. Manager aku bilang kalau aku di sini selama tiga bulan. Kamu nggak marah, kan?"Gilang tersenyum kecut, pria itu menyugar rambutnya dengan kasar. Sudah dia duga kalau ujung-ujungnya akan berakhir seperti ini."Ya ... mau gimana lagi, nasib punya pasangan model, ya harus seperti ini," jawab Gilang pada akhirnya."Tapi kamu nggak apa-apa, kan?" tanya wanita itu sekali lagi."Nggak apa-apa, santai aja.""Beneran? Kok kamu tumben banget sih jawab kayak gitu. Biasanya juga selalu merengek nyuruh aku balik. Atau yang lebih parahnya malah nyuruh aku pensiun jadi model.""Berkali-kali aku nyuruh juga nggak bakalan kamu turutin, kan?" tanya Gilang sarkas. "
Kasih tersenyum lebar ketika melihat ibunya sudah sadar, senyumannya makin mengembang ketika netranya bertemu pandang pada ibunya yang saat ini tengah tersenyum padanya."Kasih," panggil wanita paruh baya itu."Ibu, akhirnya aku kembali melihat senyumanmu, aku sangat merindukannya," ucap Kasih sambil mendekap erat tubuh wanita itu, sesekali terdengar Isak lirih dari Kasih."Ibu sudah tidak apa-apa, Nak. Terima kasih karena sudah mau memperjuangkan Ibu."Kasih menggeleng, dia sama sekali tidak setuju dengan ucapan ibunya."Sudah sepantasnya aku sebagai anak harus mengurus Ibu, kenapa Ibu malah bicara seperti itu?" tanya Kasih agak ketus.Ditanya seperti itu wanita paruh baya itu hanya tertawa pelan. Namun tak lama kemudian dahinya berkerut, lalu menelisik ruangan itu dengan seksama."Ada apa, Bu?" tanya Kasih cemas. "Apa Ibu masih merasakan sakit?" tanyanya lagi.Mutia menggeleng, dia menatap Kasih dengan tajam."Dari mana kamu mendapatkan uang, Nak? Apa mungkin dari Dani? Tapi ... apa
[Sampai jam segini kamu belum datang? Apa kamu ingin bermain-main denganku, Kasih?]Kasih menelan salivanya dengan susah payah ketika mendapat pesan dari Gilang.Memang dia berniat tidak akan mendatangi pria itu. Alasannya karena hari ini mood dia benar-benar buruk karena ulah suaminya.Beberapa kali Gilang menghubunginya, tapi selalu Kasih abaikan. Dia pikir nanti ketika ditanya oleh Gilang, dia bisa saja mencari alasan.Tapi, isi pesan Gilang kali ini mampu membuat nyalinya menciut. Sepertinya Gilang mengetahui kalau dirinya tengah menghindari pria itu.[Aku sedang tidak enak badan. Lain kali saja aku menemuimu.]Tangan Kasih gemetar ketika mengetik pesan tersebut. Dia sangat berharap jika Gilang akan mengerti. Namun, matanya terbelalak ketika dia mendapat balasan pesan dari Gilang.[Benarkah? Aku sudah berada di depan rumahmu, cepat buka pintunya, jangan banyak alasan!]Kasih langsung beranjak dari tempat tidurnya, dia mendekati jendela untuk melihat apakah benar Gilang berada di d
Kasih masih terdiam ketika Gilang sudah menoleh ke arahnya. Wanita itu menatap Gilang dengan tatapan tak terbaca, begitu pun sebaliknya, Gilang juga menatap Kasih dengan senyum seringainya."Sudah siap?"Kasih menelan salivanya dengan susah payah, dia ingin berkata tidak, tapi tidak bisa, suaranya tercekat.Gilang yang melihat wajah Kasih tampak tegang pun mengerutkan keningnya."Are you oke? Apa kamu beneran tidak enak badan?"Kasih menggeleng, dia berdeham kecil untuk mengubah ekspresi wajahnya, berusaha keras untuk tersenyum, walaupun kaku."Nggak, nggak apa-apa.""Kalau tidak bisa jangan dipaksakan," tegur pria itu."Apa boleh lain kali saja?" tanya wanita itu dengan wajah berbinar. Ucapan Gilang merupakan angin segar untuknya."Sayangnya tidak bisa. Karena aku sudah ngebet banget pengin kawin," sahut Gilang dengan santainya.Senyum Kasih perlahan memudar, dia menatap pria itu dengan malas.'Tau gitu kenapa tadi ngomong seperti itu, kalau hasilnya juga sama aja,' gerutu Kasih dala
"Hai, Sayang. Tumben cepat banget pulangnya," ucap Gilang.Dahi pria itu tampak berkeringat karena terlalu panik. Dia berusaha keras menutupi kegugupannya."Kenapa? Kok kayak nggak suka gitu kalau aku pulang? Terus ngapain kamu ada di kamar tamu?"Gilang mengusap keringatnya, terdiam cukup lama untuk memberi jawaban yang tepat untuk Yura, istrinya."Nggak ada sih, tadi aku kecapean. Mau ke kamar kita rasanya malas, makanya aku istirahat di ruang tamu," kata pria itu beralasan."Masa sih, terus kenapa kamu keringetan begitu?""Itu, AC di dalam kamar mati. Kenapa sih, kok kayak curiga gitu?"Yura menggeleng pelan, dia mengedikkan bahunya. "Nggak apa-apa sih, cuma tanya aja."Tiba-tiba wanita itu mendekat sambil tersenyum nakal. Yura merangkul pundak Gilang."Sayang, aku kangen," ujar wanita itu manja."Iya, sama. Aku juga kangen banget sama kamu."'Sial, kenapa tubuh Kasih masih terbayang jelas di pikiranku,' keluh pria itu dalam hati."Kita main yuk. Terserah deh mau berapa lama. Pokok