Jaka tak melepaskan gandengannya dari Nuning sekeluarnya dari bioskop. Mereka bagai dua kutub magnet yang saling menarik dan menempel erat satu sama lain. Jaka melepaskan tangannya dari Nuning hanya untuk membuka jaketnya tadi saat masih di dalam bioskop. Kemudian memakaikannya kepada Nuning yang kedinginan. "Makasih," kata Nuning seraya menyandarkan kepalanya ke lengan Jaka dengan manja. Jaka pun mengecup puncak kepala Nuning sepenuh sayang, lalu menyandarkan pipinya di sana.
"Eh, kamu dari kemarin nggak ganti baju ya?" Jaka baru menyadari sesuatu.
"Soalnya aku nggak sempat seterika baju lain," dusta Nuning. Kemalasannya memang hal paling masuk akal.
"Ckckck. Mau ketemu pacar kok cuek baget sih? Untung aku telanjur cinta." Jaka geleng-geleng kepala. "Mau kubeliin baju?" katanya saat melewat gerai fashion. Tapi Nuning menggeleng. "Kalau, makan? Mau?" Jaka bertanya lagi sambil menunduk, ingin melihat jelas ekspresi lucu kekasihnya.
Jaka melepaskan diri dari pelukan Nuning yang tertidur di sampingnya. Kelelahan usai bercinta. 'Sudah jam delapan malam. Aku harus mandi sebelum Mas Bambang balik,' pikirnya sambil menyibak selimut yang menutupi tubuh telanjang mereka. Tertegun kala mendapati sebercak darah menodai sprei putih yang membungkus ranjang ini. Pertanda kalau Nuning masih perawan. Jaka seketika tersenyum seraya menatap Nuning. 'Kau memang milikku,'batinnya begitu bahagia. Lalu mengecup Nuning yang masih lelap. Dalam hatinya merasa lega, dia pun melepaskan keperjakaannya hari ini untuk Nuning. Usai mandi dan berpakaian rapi, Jaka membangunkan Nuning. Setidaknya, kekasihnya harus berpakaian dulu dan makan malam. "Ning ... Bangun, Sayang," panggilnya lembut seraya mengguncang tubuhnya dengan pelan. Tapi wanita itu justru meringkuk sambil meringis. "Sayang, k-kamu sakit?" tanyanya sembari meletakkan punggung tangannya di dahi Nuning. "Ning, kamu demam?" ujarnya gusar.
Jaka dibangunkan alarm ponselnya yang berbunyi jam 5 pagi. Menguap panjang. Mendengar suara televisi, ia pun mengucek mata. "Mas Bambang, sampai jam berapa semalam?" sapanya kepada Bambang yang tampak sudah mandi dan rapi. "Jam dua belas. Sengaja aku nggak bangunin kamu, soalnya kamu pulas banget semalam." Jaka bersandar di kepala bed sambil mengusapi lehernya. Dia memang lelah sekali semalam, setelah bercinta sampai tiga ronde dengan Nuning. "Oh, tapi nggak apa-apa kita nginap? Takutnya bikin Emak dan Bapak nungguin?" tanyanya. "Sudah kukabarin kok. Baiknya kita lekas pulang setelah sarapan," ujar Bambang dengan tatapan lurus ke televisi yang sedang menyiarkan berita. "Oke," angguk Jaka setuju. Lalu bergegas ke kamar mandi. Dan, tercekat saat membuka kausnya di depan cermin yang terpajang di atas wastafel. "Dasar Nuning ...," desisnya begitu melihat dadanya yang merah-merah, kissmark dari Nuning. Namun Jaka tersenyum puas. Nun
"Bapak dan Emak mengenalmu bukan baru kemarin, Jak. Kami tahu bagaimana kamu sejak kecil. Kamu itu anak baik. Kami mempercayaimu. Kami yakin sejak awal, kamu pasti bisa membimbing Nuning dan membina rumah tangga kalian dengan baik," ujar Pak Priyo dalam perjalanan menuju pasar. Jaka sengaja memelankan laju mobilnya agar mereka punya banyak waktu berbicara. "Kami terlalu syok mengetahui kalian bercerai, padahal setahu kami kalian tuh baik-baik saja," lanjut pria berseragam satpam itu."Karena itulah, kami berdua mati-matian mencegah pernikahanmu dengan Erna. Agar kamu tetap bisa bersama Nuning. Tapi kemudian," Pak Priyo menghela napas dalam-dalam, "aku baru sadar belakangan ini, kalau itu tidak adil untukmu dan juga Erna.""Saya sudah memutuskan untuk rujuk dengan Nuning, Pak," sahut Jaka cepat."Kamu nggak bisa berpaling dari Erna begitu saja, Jak. Bagi mereka, kamu masih calon menantunya. Bapak juga punya anak perempuan, Bapak mengerti perasaan orangtua Erna se
Erna melirik Nuning dengan sinis. "Dia ... Sengaja ingin membuatku jatuh, Jak. Dia begitu membenciku!" tuduhnya sambil menangis.Nuning terperangah memandangi Erna. "Kau membuatku muak!" bentaknya geram. Muak pada sandiwaranya!"Cukup, Ning!" Jaka balas membentaknya. Nuning balas melotot padanya. Untuk sejenak, mereka saling adu tatap.Jaka kemudian menoleh kepada Erna yang merintih dan menangis. "Ssst, sudahlah. Mana yang sakit, Er?" ujarnya dengan suara yang lebih lembut."Sakit, Jak. Ngilu banget rasanya," kata Erna sembari terisak. Lalu meringis menggigit bibirnya. "Aduh ..."Mengerang sambil memegangi lututnya.Jaka mengusapi rambut Erna dengan kelembutan. Tatapannya menyorotkan kecemasan. "Ayo, kita periksa ke dokter," desahnya seraya membopong Erna dengan wajah kusut. "Maaf. Permisi, Ning," katanya sambil melangkahi kaki Nuning yang masih terduduk di lantai.Jaka sama sekali tak menanyakan keadaannya. Padahal bukan cu
Jaka menelan ludah. Tangannya memang menggenggam erat Erna yang sedang menangis kesakitan, tapi tatapannya tak lepas ke ranjang sebelah. Menatap Nuning yang sedang menggigit bibirnya, menahan sakit tanpa merengek sedikit pun. Jaka akan lebih lega kalau Nuning mengumpat saja. Melihat wanita itu pura-pura tegar sekarang, justru menyakiti perasaannya. Jaka tahu, Nuning tak ingin terlihat cengeng di depannya. Sejak dulu Nuning memang suka gengsi gede-gedean di depannya."Apa lihat-lihat?" omel Bambang kekanakan. Membuat Jaka terpaksa mengalihkan tatapannya kepada Erna yang masih saja menangis saat dokter membuka perban elastisnya, dibantu seorang suster. Lalu Erna menjerit saat dokter yang bertugas jaga hari itu menyentuh lututnya dan memeriksa area sekitarnya."Kebetulan lukanya yang belum sembuh membentur lantai, makanya nyeri. Sabar ya, Bu. Yuk, coba lututnya diangkat sedikit," kata dokter berpapan nama Putri itu sembari membantu Erna menaikkan lututnya ke posisi yang l
Jaka tertegun dengan counterpain di tangan. Melihat Erna nyalang menonton video dalam ponselnya. Namun Jaka tak berniat mencegahnya. Toh, cepat atau lambat Erna bakal mengetahui hubungannya dengan Nuning. Meski bukan cara ini yang Jaka harapkan. Sebisa mungkin, ia tak ingin menyakiti perasaan Erna. Tapi, sudah telanjur."Ini counterpainnya, Er ...." Jaka meletakkannya di meja sambi duduk di tempatnya semula.Erna membeku dalam kediaman yang panjang. Jaga juga diam. Memahami perasaan Erna yang pasti terpukul. Jaka tak ingin membela diri. Siap menerima amukan Erna.Erna meletakkan ponsel Jaka di meja. "Aku mencintaimu, Jak." Akhirnya Erna bersuara. "Sangat," tandasnya. "Kumaafkan untuk kali ini. Anggap aku tak pernah melihat apa-apa," ujarnya demikian mengejutkan."Er, hubungan kita sudah berakhir," ujar Jaka seraya mengambil kembali ponselnya."Tidak. Kita tetap akan menikah," sahut Erna begitu dingin dan keras kepala."Maaf ..
Nuning terlihat begitu cantik dengan kebaya barunya. Dia merias wajahnya sendiri. Toh, dia sudah ahli sekarang. Bisa karena terpaksa, lalu jadi terbiasa. "Cantik banget anakku," puji Bu Parmi di ambang pintu. Menatap Nuning yang sedang memoles sentuhan terakhirnya."Emak juga cantik." Nuning memuji Bu Parmi melalui pantulan cermin. Emaknya memang memakai kerudung untuk menutupi kepalanya yang masih gundul. Tapi wajahnya terlihat sangat segar karena sentuhan make up yang menutupi kerutan tua di wajahnya.Bu Parmi tersenyum dengan tatapan berkaca-kaca sambil mendekati Nuning. "Akhirnya, hari ini datang juga," desahnya lega. Sambil mengusapi pundak Nuning dengan sepenuh kasih. "Kamu layak bahagia, Nduk. Dengan pria yang kamu cintai, dan juga mencintaimu," ujar Bu Parmi lirih bagai rapalan sebuah doa.Nuning ingin menangis, tapi ditahannya, demi make up yang sudah sempurna. Dia tak boleh merusak kesempurnaan hari ini dengan air mata. Dia suda
Nuning melepas cincin dari Jaka, meletakkannya kembali ke dalam kotak Tiffany Blue dan menyimpannya ke laci. Meraih ponsel, lalu menelepon. "Halo, Nyonya Vincent? Tumben meneleponku?" sapa suara bariton di sana terdengar ramah. "Aku kalah taruhan. Jadi, sesuai kesepakatan ... aku akan menjadi pembantumu selama setahun, gratis. Kau tak perlu membayarku sepeser pun. Aku bisa bekerja mulai besok," kata Nuning tanpa basa-basi. Lama tak terdengar suara. Nuning pikir sambungan teleponnya mati. "Halo? Vin? Kau mendengarku?" tanyanya sambil mengecek layar ponsel, ternyata masih tersambung. "Telepon Pak Suryo agar menjemputmu di bandara," jawab Vincent tak seriang tadi. "Oke," jawab Nuning singkat. Mematikan telepon, dan mulai mengemasi pakaian dan beberapa barang pribadinya ke dalam kopor. Terdengar pintu kamarnya berderit, tapi Nuning tak menoleh. Melalui ekor mata, dia bisa menangkap sosok tubuh tambun emaknya memasuki kamar.