“Aku ingin buka toko aksesori motor dan mobil, Pak. Di sini kayanya belum ada. Kalau butuh apa-apa harus ke kota.” Kaisar memberi tahu bapaknya.
“Rencananya mau buka di mana?” tanya Pak Dipta.
“Di ruko depan ada yang kosong kan, Pak. Daripada disewa sama orang lain, aku sewa saja,” jawab Kaisar.
“Pakai saja kalau kamu mau, Kai. Terus yang jaga toko siapa? Belanjanya di mana?” Pak Dipta menatap sang putra.
“Aku ada kenalan yang jual grosiran aksesori motor sama mobil, Pak. Nanti barangnya aku ambil dari dia. Kalau yang jaga toko ambil dari orang sini saja, Pak. Cari orang yang jujur dan mau kerja keras. Kalau bisa sih laki-laki,” ujar Kaisar.
Pak Dipta mengangguk-angguk. “Ya, nanti coba bapak carikan. Rencanamu kapan mau buka?”
“Awal bulan depan saja, Pak. Nanti aku sekalian cari apa saja yang diperlukan,” sahut Kaisar.
“Apa sudah ada modal?” Pak Dipta memastikan.
“Alhamdulillah ada meski tidak banyak, Pak. Kemarin teman sudah nawari, bayarnya bisa tempo jadi tidak langsung lunas semua. Ya, sedikit demi sedikit, Pak,” jelas Kaisar.
“Bapak ada kalau mau dipakai buat tambahan modal, Kai,” ujar Pak Dipta.
“Disimpan dulu saja, Pak. Nanti kalau kurang baru aku pinjam,” timpal Kaisar.
Pak Dipta pun menganggut. “Ya, Kai.”
“Ayam sama telurnya gosong semua. Sudah tidak bisa dimakan,” gerutu Bu Ryani yang baru kembali dari dapur.
“Nanti aku belikan, Bu,” sahut Kaisar.
“Tidak usah, Kai. Itu ayam sama telur ater-ater (*) dari yang punya hajat, tidak beli. Ibu masak semur biar ada variasinya enggak cuma digoreng,” ujar Bu Ryani. “Rencananya semur itu juga buat makan malam. Oh ya, nanti kamu makan siangnya sama apa? Ibu masakin sekarang ya. Ibu sama bapak kan makan siang di kondangan,” tawarnya.
“Enggak usah, Bu. Nanti aku jajan saja sekalian ke rumah Adi.” Kaisar menolak tawaran sang ibu agar tidak membuat repot.
“Ada janji sama Adi?” Bu Ryani menoleh pada putra sulungnya.
Kaisar menyengguk. “Iya, Bu.”
“Pantes pulang enggak bilang-bilang dulu. Pasti enggak nginep kan?” tebak sang ibu.
Kaisar meringis. “Enggak, Bu. Besok harus apel pagi. Kasihan juga Tata nanti di kontrakan sendiri.”
“Kamu sudah tahu belum Dita kecelakaan, Kai? Kemarin ibu sama rombongan jenguk di rumah sakit. Ruangannya di VIP, katanya Adi yang bayar semua. Gajinya Adi gede ya, Kai?” kepo Bu Ryani.
“Ya lumayan, Bu. Perusahaannya kan besar. Jadi wajar gajinya gede,” timpal Kaisar.
“Pasti Sekar menyesal nanti kalau tahu Adi gede gajinya,” cetus Bu Ryani.
“Tidak usah mengomentari orang lain, Bu,” tukas Pak Dipta. “Mau apa pun yang dia lakukan dan rasakan itu bukan urusan kita.”
“Iya, Pak. Cuma ibu gemas saja sama Sekar dan keluarganya. Sudah jelas masa depannya cerah kok ya ditolak lamarannya Adi,” celetuk Bu Ryani lagi.
“Ibu, sudah. Ngomong yang lain saja.” Kaisar ikut menimpali.
“Kalau gitu kapan kamu nikah, Kai?” tanya sang ibu tanpa basa-basi.
Kaisar terkesiap, tidak menduga ibunya menanyakan hal tersebut. “Kenapa Ibu tiba-tiba tanya itu?”
“Tadi katanya suruh ngomong yang lain. Enggak boleh ngomongin orang, ya ibu tanya to sama kamu. Tiap Minggu itu bapak sama ibu kondangan terus, kapan kami ngundang balik mereka, Kai? Umurmu juga sudah cukup buat menikah. Adi saja sudah niat menikah cuma sayang lamarannya ditolak. Kalau diterima pasti dia sudah punya anak sekarang. Bapak sama ibu ini sudah pengen gendong cucu, Kai. Sudah banyak teman-teman ibu sama bapak yang punya cucu,” sahut Bu Ryani.
Kaisar tersenyum pada ibunya. “Aku masih ingin mengejar karir, Bu. Umurku juga masih di bawah 30. Kalau Tata nanti mau nikah dulu juga enggak apa-apa, Bu.”
“Memangnya kalau punya istri enggak bisa ngejar karir, Kai? Justru kalau punya istri malah ada yang mendukung kamu to. Sudah banyak yang minta kamu jadi menantu mereka. Sebenarnya kamu itu nunggu apa? Apa benar mau nunggu Dita sampai selesai kuliah?” Bu Ryani memandang putra sulungnya itu.
Kaisar kembali terkesiap. Dia sudah berusaha menyimpan rapi perasaannya pada Dita, tapi ternyata tercium juga oleh sang ibu. “Aku belum ingin menikah, Bu. Nanti kalau sudah ada calonnya aku pasti bilang sama Bapak dan Ibu. Mengejar karir kalau sudah menikah tidak semudah itu, Bu. Banyak senior yang stagnan di satu posisi karena mempertimbangkan keluarga yang tidak mau pindah. Lagian, tidak mudah jadi istri polisi, Bu, harus siap ditinggal kapan saja kalau tugas sudah memanggil.”
“Kalau anaknya belum mau nikah ya jangan dipaksa to, Bu. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti bakal nikah. Ya kan, Kai,” tukas Pak Dipta.
“Terus saja anaknya dibela, Pak.” Bu Ryani menyilangkan tangan di depan dada.
“Bukan membela Kaisar, Bu. Tidak ada gunanya juga memaksa biar cepat nikah. Didoakan saja biar anaknya cepat ketemu jodoh. Toh, umurnya juga masih muda, belum mendesak untuk menikah. Dukung saja keinginan Kaisar mengejar karirnya,” ujar Pak Dipta yang membuat perwira pertama polisi itu mengacungkan dua jempol pada bapaknya.
“Bapak sama anak sama saja,” gumam Bu Ryani.
Kaisar datang ke rumah Adi setelah kedua orang tuanya pergi kondangan. Tentu saja dia membawa buah tangan untuk sang pujaan hati. Kebiasaan yang tak pernah sekali pun terlewatkan setiap kali main ke sana. Pemuda itu sangat senang melihat ekspresi Dita ketika menerima apa pun yang dia bawa.
“Assalamu’alaikum,” salam Kaisar setelah mengetuk pintu rumah Adi yang tertutup rapat.
“Wa’alaikumussalam,” jawab seseorang dari balik pintu.
Degup jantung Kaisar semakin kencang setelah mendengar suara seorang wanita yang dia yakin itu Dita. Karena ibunya tadi bilang kalau mereka akan kondangan bersama kedua orang tua Adi. Dia merapikan lagi penampilannya, memasang senyum semanis mungkin saat gadis pujaannya membukakan pintu.
Hatinya bersorak saat gadis dengan tangan kiri digips membuka pintu rumah. Wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada saat di rumah sakit tempo hari. Gadis itu tersenyum ramah, membuat jantungnya seolah ingin meloncat keluar. Namun, tentu saja Kaisar bisa menguasai diri. Tujuh tahun dia memendam perasaan, jadi cukup mudah untuknya berpura-pura bersikap biasa.
“Hai, Dita,” sapanya sambil melambaikan tangan dan tersenyum lebar.
“Mas—Kaisar, ya,” sapa Dita balik yang tampak ragu-ragu menyebut namanya.
“Iya. Lupa sama aku?” Kaisar sedikit kecewa melihat kenyataan di depan matanya.
“Eng—gak, cuma kan lama enggak ketemu, jadi agak pangling aku,” aku gadis berusia 17 tahun itu.
“Oh, kirain sudah lupa. Bisa patah hatiku kalau Dita sampai lupa sama aku,” ungkap Kaisar.
Dita mengernyit. “Hah, maksudnya apa, Mas?”
“Enggak. Bukan apa-apa kok. Oh ya, gimana kabarmu?” Kaisar mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah baik. Eh, sampai lupa aku, ayo masuk ke dalam, Mas,” ajak Dita. “Mau ketemu Mas Adi kan? Baru mandi tadi habis pulang kerja bakti.”
“Ketemu Adi sama ketemu kamu, boleh kan?” Kaisar memandang gadis yang duduk di seberangnya.
Catatan:
(*) Ater-ater: tradisi mengantar makanan pada tetangga/saudara/kenalan bila ada yang punya hajat, di beberapa daerah di Jawa tradisi ater-ater dilakukan saat menjelang lebaran pada tetangga atau saudara yang lebih tua.
Dita mengangguk malu-malu. “Boleh, Mas.” “Oh ya sampai lupa. Ini aku bawakan makanan yang lagi hit di kota.” Kaisar meletakkan tas yang berisi kudapan yang dibawa ke atas meja. “Makasih, Mas. Malah jadi merepotkan. Aku sudah pesan sama Mas Adi tapi belum sempat dibelikan. Alhamdulillah dibawakan sama Mas Kaisar,” sahut Dita dengan raut bahagia. Gadis itu memang ekspresif dan apa adanya, tidak suka berpura-pura atau bersikap sok manis. “Mau coba kuenya? Aku bantu bukakan ya.” Kaisar mengeluarkan kemasan kardus dari tas plastik. “Mau yang rasa keju apa cokelat?” Kaisar menawarkan setelah membuka kardus dan terlihat macam-macam isinya. “Keju saja, Mas,” jawab Dita dengan mata berbinar-binar menatap kue yang ada di hadapannya. Kaisar mengambil kue dengan isian keju. Membuka kemasan plastiknya sebelum menyerahkan pada Dita. “Apa aku bantu suapi sekalian?” Dita tersenyum sambil menerima kue. “Makasih. Tidak perlu, Mas. Tangan kananku baik-baik saja kok. Biasanya aku juga makan sendiri
Sesudah makan siang, Kaisar masih mengobrol dengan Adi sampai Pak Wijaya dan Bu Hasna pulang. Sementara Dita beristirahat di kamarnya. Selalu seperti itu, Kaisar hanya punya kesempatan mengobrol dengan sang pujaan hati saat sedang menunggu Adi. Meski begitu, perwira polisi itu tetap merasa bahagia karena hari ini bisa mengobrol lama dengan adik dari sang sahabat. Kaisar pamit pulang setelah berbasi-basi sebentar dengan kedua orang tua Adi. Membahas tentang pelaku tabrak lari yang sudah berhasil ditangkap. Sebelum pulang, Bu Hasna membawakan Kaisar makanan hasil masakannya untuk dibawa ke kontrakan. Karena saat resepsi tadi Bu Ryani bercerita kalau masakannya gosong. Sepulang dari sana, Kaisar mampir dahulu ke toko yang membuat etalase. Memesan lemari kaca dan rak untuk memajang aksesori kendaraan di tokonya yang akan mulai buka bulan depan. Sebelum ke rumah Adi, dia tadi sudah mengukur panjang dan lebar ruko, jadi sudah menentukan ukuran etalase dan rak yang akan dipakai. Setelah it
Bibir Kaisar membentuk bulan sabit. “Kenapa? Kamu keberatan? Aku yang mau nunggu Dita kok kamu yang protes.” “Ck, bukan gitu, Mas. Kalau misal Dita nanti pas kuliah punya pacar gimana? Mas Kai, kan jadi buang-buang waktu nunggu dia.” Tirta coba memberi gambaran pada sang kakak. “Dita enggak bakal pacaran, Ta,” sangkal Kaisar dengan yakin. “Kok tahu?” Tirta mengernyit. “Tadi aku ngobrol sama Dita. Aku pancing soal pacar, dia bilang enggak mau pacaran. Buang-buang waktu katanya,” ungkap Kaisar. “Dita masih ABG, Mas. Masih labil. Gampang berubah. Hari ini bilang A, besok bisa jadi Z.” Tirta kembali mengingatkan sang perwira. “Dita enggak bakal berubah. Aku tahu dia sejak kecil.” Lagi-lagi Kaisar menyangkal omongan adiknya. “Apa sebaiknya aku mengikat dia dulu untuk berjaga-jaga ya, Ta.” Polisi berpangkat Ipda itu tiba-tiba berubah pikiran. “Mengikat gimana, Mas?” Tirta mengernyit karena penasaran. “Aku lamar dia sekarang. Terus tunangan dulu gitu sampai Dita selesai kuliah,” jelas
Shasha mengernyit mendengar permintaan sang kakak tingkat. “PW? Apa itu, Mas?” “Serius kamu enggak tahu apa itu PW?” tanya Arjuna yang dijawab gelengan kepala oleh juniornya itu. “PW itu pendamping wisuda, Sha,” terang Arjuna sambil tertawa kecil. “Oh, pendamping wisuda,” ucap Shasha dengan polosnya. “Masa kamu enggak tahu sih?” Pemuda berpostur tinggi dan tegap itu merasa heran. “Serius, aku enggak tahu, Mas. Soalnya belum pernah ada yang ngomong gitu sama aku,” aku Shasha. “Terus kenapa Mas Juna minta aku jadi PW?” Shasha lalu balik bertanya. “Kamu tahu sendiri aku kan jomlo. Enggak punya pacar. Masa iya pas wisuda aku enggak ada pendampingnya. Kaya ada yang kurang, Sha,” jawab Arjuna. “Iya, aku tahu. Tapi, kenapa aku? Masih banyak cewek lain kan yang Mas Juna kenal. Atau minta saja salah satu penggemar Mas Juna. Pasti mereka dengan sukarela jadi pendamping Mas Juna.” Shasha yang tak habis pikir dengan permintaan kakak tingkatnya itu. Arjuna menggeleng. “Aku maunya kamu yang
Shasha cekikikan. “Mau tahu banget sih, Ta.” “Sha, jangan bikin aku kesal ya. Apa perlu aku tanya kamu sambil teriak-teriak biar semua orang dengar?” ancam Tirta yang mulai kesal karena Shasha terus menggodanya. “Eh, jangan macem-macam ya kamu.” Shasha terlihat panik. “Iya, aku cerita,” lanjutnya. Tirta diam-diam tersenyum menyeringai melihat sang sahabat. Salah sendiri sering banget usil. Giliran diusilin balik jadi panik. “Oke, aku siap dengar ceritamu,” ucapnya setelah menyesap es teh. “Menurutmu sebaiknya aku mau jadi PW-nya Mas Juna atau tidak, Ta?” tanya Shasha sambi memandang sahabatnya. “Memangnya kamu belum jawab mau tidaknya?” Tirta malah balik bertanya. Shasha mengangguk. “Aku bingung, Ta. Aku takut jadi bahan gosip, tapi aku enggak enak kalau mau nolak. Tadi itu Mas Juna sampai memohon-mohon sama aku,” ujarnya. “Tapi kalau memang terpaksa sih, ya mau enggak mau aku jadi PW-nya Mas Juna,” lanjut Shasha yang membuat sang sahabat mengernyit. “Terpaksa?” tanya Tirta ya
Shasha jadi makin salah tingkah karena pertanyaan Tirta. “Jangan sok tahu, Ta,” elaknya. “Dari sikapmu sekarang aja udah kelihatan kok, Sha.” Tirta tersenyum miring. “Enggak usah bohong, Sha. Dosa tahu kalau bohong. Nanti masuk neraka loh.” “Aku mesti jujur gimana lagi, Ta. Memang aku merasa nyaman sama Mas Juna. Dan aku juga nyaman dengan hubungan kami yang seperti ini,” papar Shasha. “Yakin cuma merasa nyaman? Bukan sayang atau cinta? Awal cinta itu dari rasa nyaman loh, Sha.” Tirta kembali memainkan kedua alisnya, menggoda sang sahabat. Shasha menggelengkan kepala. “Aku sudah memutuskan enggak akan memikirkan cinta sampai bisa membahagiakan mama, Ta. Aku mau fokus kuliah terus kerja di tempat yang bagus. Tidak lagi membebani mama. Aku ingin membelikan sesuatu yang berharga buat mama. Sampai saat itu tiba, aku enggak akan berhubungan sama siapa pun.” Dia mengungkapkan apa yang ada di pikirannya selama ini. Tirta mengernyit. “Kok gitu, bukannya kalau punya pacar malah bisa menamb
Tirta menggeleng. “Bukan.” “Terus siapa? Pacarmu?” Kening Kaisar mengerut. Tirta kembali menggeleng. “Mas Juna itu katingku sama Alesha. Dia tuh halus banget caranya dekati Alesha,” bebernya. “Oh, Juna itu pacar temanmu yang ke sini?” tanya Kaisar. “Bukan. Mereka enggak pacaran tapi sebenarnya sama-sama suka,” jawab Tirta. “Kalau sama-sama suka kenapa enggak pacaran?” Kaisar kembali bertanya. “Soalnya Alesha enggak mau pacaran. Dia mau fokus kuliah terus kerja. Jadi cuma sama-sama memendam cinta. Besok pagi Alesha jadi pendamping wisudanya Mas Juna. Aku tuh gemes sama mereka berdua, kenapa enggak jadian saja. Nikahnya nanti kalau mereka sudah sama-sama kerja.” Tirta sampai mengepalkan kedua tangan saking gemasnya. “Ya, kalau mereka jodoh, Ta. Kalau enggak ‘kan ya buang-buang waktu saja pacaran,” tukas Kaisar. “Masih mending pacaran tapi putus, Mas. Setidaknya pernah saling cinta. Daripada cuma memendam cinta, tapi ujung-ujungnya enggak jodoh. Kan lebih nyesek, Mas. Rasanya saki
“Jadi, mamamu buka butik? Di mana?” Bu Ayu bertanya dengan penuh antusias pada Shasha setelah gadis itu menceritakan soal keluarganya. “Iya, Tante.” Shasha kemudian menyebutkan alamat butik mamanya. “Besok tante pasti mampir ke sana. Tante tuh sering bikin baju soalnya. Lebih sreg saja kalau bikin daripada beli jadi. Siapa tahu tante cocok sama desain mamanya Alesha. Kalau bagus nanti tante rekomendasikan sama teman-teman dan keluarga,” ujar Ayu. Shasha tersenyum lebar. “Terima kasih sebelumnya, Tante.” “Mami, kebiasaan deh kalau udah ketemu sama yang klop terus lupa sama yang lain.” Arjuna merajuk karena maminya terus lengket dengan Shasha, membuatnya tidak bisa dekat-dekat adik tingkat yang disukainya itu. “Mumpung mami ketemu sama Alesha, kan. Kapan lagi mami bisa ketemu Alesha kecuali kamu janji ajak dia ke rumah,” sahut maminya santai. “Kalau itu sih mami tanya sendiri sama dia, mau enggak aku ajak ke rumah.” Arjuna menunjuk Shasha dengan dagunya. “Alesha, mau kan main ke r