Share

Bab 6

“Aku ingin buka toko aksesori motor dan mobil, Pak. Di sini kayanya belum ada. Kalau butuh apa-apa harus ke kota.” Kaisar memberi tahu bapaknya.

“Rencananya mau buka di mana?” tanya Pak Dipta.

“Di ruko depan ada yang kosong kan, Pak. Daripada disewa sama orang lain, aku sewa saja,” jawab Kaisar.

“Pakai saja kalau kamu mau, Kai. Terus yang jaga toko siapa? Belanjanya di mana?” Pak Dipta menatap sang putra.

“Aku ada kenalan yang jual grosiran aksesori motor sama mobil, Pak. Nanti barangnya aku ambil dari dia. Kalau yang jaga toko ambil dari orang sini saja, Pak. Cari orang yang jujur dan mau kerja keras. Kalau bisa sih laki-laki,” ujar Kaisar.

Pak Dipta mengangguk-angguk. “Ya, nanti coba bapak carikan. Rencanamu kapan mau buka?”

“Awal bulan depan saja, Pak. Nanti aku sekalian cari apa saja yang diperlukan,” sahut Kaisar.

“Apa sudah ada modal?” Pak Dipta memastikan.

“Alhamdulillah ada meski tidak banyak, Pak. Kemarin teman sudah nawari, bayarnya bisa tempo jadi tidak langsung lunas semua. Ya, sedikit demi sedikit, Pak,” jelas Kaisar.

“Bapak ada kalau mau dipakai buat tambahan modal, Kai,” ujar Pak Dipta.

“Disimpan dulu saja, Pak. Nanti kalau kurang baru aku pinjam,” timpal Kaisar.

Pak Dipta pun menganggut. “Ya, Kai.”

“Ayam sama telurnya gosong semua. Sudah tidak bisa dimakan,” gerutu Bu Ryani yang baru kembali dari dapur.

“Nanti aku belikan, Bu,” sahut Kaisar.

“Tidak usah, Kai. Itu ayam sama telur ater-ater (*) dari yang punya hajat, tidak beli. Ibu masak semur biar ada variasinya enggak cuma digoreng,” ujar Bu Ryani.  “Rencananya semur itu juga buat makan malam. Oh ya, nanti kamu makan siangnya sama apa? Ibu masakin sekarang ya. Ibu sama bapak kan makan siang di kondangan,” tawarnya.

“Enggak usah, Bu. Nanti aku jajan saja sekalian ke rumah Adi.” Kaisar menolak tawaran sang ibu agar tidak membuat repot.

“Ada janji sama Adi?” Bu Ryani menoleh pada putra sulungnya.

Kaisar menyengguk. “Iya, Bu.”

“Pantes pulang enggak bilang-bilang dulu. Pasti enggak nginep kan?” tebak sang ibu.

Kaisar meringis. “Enggak, Bu. Besok harus apel pagi. Kasihan juga Tata nanti di kontrakan sendiri.”

“Kamu sudah tahu belum Dita kecelakaan, Kai? Kemarin ibu sama rombongan jenguk di rumah sakit. Ruangannya di VIP, katanya Adi yang bayar semua. Gajinya Adi gede ya, Kai?” kepo Bu Ryani.

“Ya lumayan, Bu. Perusahaannya kan besar. Jadi wajar gajinya gede,” timpal Kaisar.

“Pasti Sekar menyesal nanti kalau tahu Adi gede gajinya,” cetus Bu Ryani.

“Tidak usah mengomentari orang lain, Bu,” tukas Pak Dipta. “Mau apa pun yang dia lakukan dan rasakan itu bukan urusan kita.”

 “Iya, Pak. Cuma ibu gemas saja sama Sekar dan keluarganya. Sudah jelas masa depannya cerah kok ya ditolak lamarannya Adi,” celetuk Bu Ryani lagi.

“Ibu, sudah. Ngomong yang lain saja.” Kaisar ikut menimpali.

“Kalau gitu kapan kamu nikah, Kai?” tanya sang ibu tanpa basa-basi.

Kaisar terkesiap, tidak menduga ibunya menanyakan hal tersebut. “Kenapa Ibu tiba-tiba tanya itu?”

“Tadi katanya suruh ngomong yang lain. Enggak boleh ngomongin orang, ya ibu tanya to sama kamu. Tiap Minggu itu bapak sama ibu kondangan terus, kapan kami ngundang balik mereka, Kai? Umurmu juga sudah cukup buat menikah. Adi saja sudah niat menikah cuma sayang lamarannya ditolak. Kalau diterima pasti dia sudah punya anak sekarang. Bapak sama ibu ini sudah pengen gendong cucu, Kai. Sudah banyak teman-teman ibu sama bapak yang punya cucu,” sahut Bu Ryani.

Kaisar tersenyum pada ibunya. “Aku masih ingin mengejar karir, Bu. Umurku juga masih di bawah 30. Kalau Tata nanti mau nikah dulu juga enggak apa-apa, Bu.”

“Memangnya kalau punya istri enggak bisa ngejar karir, Kai? Justru kalau punya istri malah ada yang mendukung kamu to. Sudah banyak yang minta kamu jadi menantu mereka. Sebenarnya kamu itu nunggu apa? Apa benar mau nunggu Dita sampai selesai kuliah?” Bu Ryani memandang putra sulungnya itu.

Kaisar kembali terkesiap. Dia sudah berusaha menyimpan rapi perasaannya pada Dita, tapi ternyata tercium juga oleh sang ibu. “Aku belum ingin menikah, Bu. Nanti kalau sudah ada calonnya aku pasti bilang sama Bapak dan Ibu. Mengejar karir kalau sudah menikah tidak semudah itu, Bu. Banyak senior yang stagnan di satu posisi karena mempertimbangkan keluarga yang tidak mau pindah. Lagian, tidak mudah jadi istri polisi, Bu, harus siap ditinggal kapan saja kalau tugas sudah memanggil.”

“Kalau anaknya belum mau nikah ya jangan dipaksa to, Bu. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti bakal nikah. Ya kan, Kai,” tukas Pak Dipta.

“Terus saja anaknya dibela, Pak.” Bu Ryani menyilangkan tangan di depan dada.

“Bukan membela Kaisar, Bu. Tidak ada gunanya juga memaksa biar cepat nikah. Didoakan saja biar anaknya cepat ketemu jodoh. Toh, umurnya juga masih muda, belum mendesak untuk menikah. Dukung saja keinginan Kaisar mengejar karirnya,” ujar Pak Dipta yang membuat perwira pertama polisi itu mengacungkan dua jempol pada bapaknya.

“Bapak sama anak sama saja,” gumam Bu Ryani.

Kaisar datang ke rumah Adi setelah kedua orang tuanya pergi kondangan. Tentu saja dia membawa buah tangan untuk sang pujaan hati. Kebiasaan yang tak pernah sekali pun terlewatkan setiap kali main ke sana. Pemuda itu sangat senang melihat ekspresi Dita ketika menerima apa pun yang dia bawa.

“Assalamu’alaikum,” salam Kaisar setelah mengetuk pintu rumah Adi yang tertutup rapat.

“Wa’alaikumussalam,” jawab seseorang dari balik pintu.

Degup jantung Kaisar semakin kencang setelah mendengar suara seorang wanita yang dia yakin itu Dita. Karena ibunya tadi bilang kalau mereka akan kondangan bersama kedua orang tua Adi. Dia merapikan lagi penampilannya, memasang senyum semanis mungkin saat gadis pujaannya membukakan pintu.

Hatinya bersorak saat gadis dengan tangan kiri digips membuka pintu rumah. Wajahnya terlihat jauh lebih segar daripada saat di rumah sakit tempo hari. Gadis itu tersenyum ramah, membuat jantungnya seolah ingin meloncat keluar. Namun, tentu saja Kaisar bisa menguasai diri. Tujuh tahun dia memendam perasaan, jadi cukup mudah untuknya berpura-pura bersikap biasa.

“Hai, Dita,” sapanya sambil melambaikan tangan dan tersenyum lebar.

“Mas—Kaisar, ya,” sapa Dita balik yang tampak ragu-ragu menyebut namanya.

“Iya. Lupa sama aku?” Kaisar sedikit kecewa melihat kenyataan di depan matanya.

“Eng—gak, cuma kan lama enggak ketemu, jadi agak pangling aku,” aku gadis berusia 17 tahun itu.

“Oh, kirain sudah lupa. Bisa patah hatiku kalau Dita sampai lupa sama aku,” ungkap Kaisar.

Dita mengernyit. “Hah, maksudnya apa, Mas?”

“Enggak. Bukan apa-apa kok. Oh ya, gimana kabarmu?” Kaisar mengalihkan pembicaraan.

“Alhamdulillah baik. Eh, sampai lupa aku, ayo masuk ke dalam, Mas,” ajak Dita. “Mau ketemu Mas Adi kan? Baru mandi tadi habis pulang kerja bakti.”

 “Ketemu Adi sama ketemu kamu, boleh kan?” Kaisar memandang gadis yang duduk di seberangnya.

Catatan:

(*) Ater-ater: tradisi mengantar makanan pada tetangga/saudara/kenalan bila ada yang punya hajat, di beberapa daerah di Jawa tradisi ater-ater dilakukan saat menjelang lebaran pada tetangga atau saudara yang lebih tua.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
dasar modus kamu ya kaisar mau ketemu adi tapi sekalian ketemu dita hahaha. oh ini mau buka toko Aksesoris ya moga nanti di lancarkan ya kaisar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status