Share

Bab 5

Hari Minggu pun tiba, kalau di rumah lain mungkin waktu untuk bermalas-malasan, tetapi tidak di rumah Bu Dewi. Sejak Subuh, mereka memulai aktivitasnya masing-masing. Ada yang membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, dan juga memasak. Bu Dewi memang mendidik anak-anaknya mandiri. Apalagi sejak dia harus membanting tulang demi ketiga anaknya yang masih di usia sekolah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Setengah tujuh pagi, Rendra sudah keluar dari rumah untuk latihan karate di Gelanggang UGM. Tentu saja dia pergi setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di rumah. Nisa membantu mamanya membuat brownies usai mereka menyantap sarapan bersama. Sementara Shasha merapikan kamarnya agar tidak terlihat berantakan saat Tirta nanti masuk ke sana.

“Mama mau buat brownies berapa sih?” tanya Nisa yang melihat ada banyak bahan di dapur.

Bu Dewi tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan si bungsu. “Empat kayanya.”

“Banyak banget, Ma,” komentar Nisa.

“Satu nanti buat suguhan, satu buat kita makan, sisanya buat mama bawa ke butik besok,” jelas Bu Dewi.

“Oke deh kalau begitu. Ini aku harus ngapain, Ma?” tanya Nisa yang begitu semangat membantu sang mama.

“Kita timbang dulu bahan-bahannya.” Bu Dewi memberi instruksi pada Nisa langkah apa saja yang harus dilakukan. Memberi tahu hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak. Mereka terlihat asyik di dapur, melewati kebersamaan yang pernah terenggut karena keadaan.

Saat ketiga penghuni rumah itu sedang sibuk beraktivitas, suara bel rumah berbunyi. Shasha bergegas ke ruang tamu, membukakan pintu untuk sahabatnya. Dia tersenyum lebar menyambut Tirta yang datang.

“Enggak nyasar kan, Ta?” tanya Shasha setelah mereka melakukan cipika-cipiki.

“Ya enggak lah. Kan aku dulu pernah ke sini waktu papamu meninggal,” jawab Tirta.

Mendadak mendung menggelayuti wajah Shasha ketika sang sahabat menyebut papanya. Melihat perubahan Shasha, Tirta langsung tersadar kalau dia sudah salah bicara.

“Maaf, Sha, aku enggak bermaksud membuatmu sedih.” Tirta menggenggam tangan Shasha.

“Enggak apa-apa, Ta. I’m fine. Masuk yuk, kenalan sama mama dan adikku yang paling kecil.” Shasha mengajak Tirta masuk ke rumah.

“Ma, Nisa, kenalkan ini temanku yang namanya Tirta,” ucap Shasha setelah mereka berdua tiba di dapur.

Tirta menghampiri Bu Dewi, menyalami mama sahabatnya itu penuh takzim. “Kenalkan saya Tirta, Tante.”

“Saya Dewi, mamanya Shasha.” Bu Dewi balik memperkenalkan diri.

Nisa lalu menyalami Tirta. “Saya Nisa, adiknya Kak Shasha.”

“Aromanya enak banget nih, baru bikin apa, Tante?” tanya Tirta yang suka memasak.

“Bikin brownies. Itu sudah ada yang jadi di meja makan. Coba dicicipi gimana rasanya enak apa enggak? Sudah lama tante tidak bikin kue,” jawab Bu Dewi.

“Wah, cantik banget brownies-nya, Tante. Bisa shiny kaya gini. Bagi tipsnya dong, Tante. Saya kalau bikin enggak pernah kinclong kaya gini,” komentar Tirta setelah melihat brownies yang sudah matang di meja makan.

“Boleh, ini masih ada bahan kalau mau bikin,” ucap Bu Dewi. “Diicip dulu coba, siapa tahu enggak enak.”

“Dari penampilan saja sudah menggugah selera ini. Pasti rasanya juga enak,” puji Tirta yang langsung terpesona dengan tampilan kue yang berwarna cokelat tua itu.

“Sha, dipotong itu brownies-nya, biar diicip sama Nak Tirta,” titah sang mama pada putri sulungnya.

Shasha pun melaksanakan perintah mamanya. Memberikan potongan kue dengan tekstur agak padat tapi tetap lembut itu pada Tirta.

“Ya Allah, enak banget, Tante. Sekalian ya saya minta resepnya nanti,” pinta Tirta yang sudah menghilangkan rasa malunya.

“Boleh. Mau praktek sekalian?” tawar Bu Dewi.

“Mau banget, Tante.” Tirta langsung mendekat pada Bu Dewi untuk belajar membuat brownies. Tirta tentu tak mau melewatkan kesempatan belajar secara gratis, tidak perlu membayar biaya kursus kue yang mahal. Sekali mendayung, dua, tiga, pulau terlampaui. Silaturahim dengan keluarga sahabatnya, mencicipi kue yang enak plus belajar cara membuatnya.

***

Minggu pagi Kaisar sudah berpenampilan rapi padahal baru kembali ke kontrakan pukul dua pagi. Dia pamit pada Tirta kalau akan mudik ke rumah orang tua mereka, sekalian menjenguk Dita yang sudah pulang dari rumah sakit. Meskipun badan terasa lelah setelah melakukan penggerebekan jaringan pencuri sepeda motor yang meresahkan warga, tetapi demi melihat sang pujaan hati, dia mengabaikan itu semua.

Kaisar terlebih dahulu ke rumah bertemu ibu dan bapaknya. Dia merasa bersalah karena tempo hari tidak menyempatkan pulang saat Dita kecelakaan. Bukan tidak ingin, tapi waktunya yang mepet. Tidak mungkin Kaisar hanya satu jam bertemu dengan kedua orang tuanya.

“Bapak dan Ibu sehat kan?” tanya Kaisar setelah menyalami kedua orang tuanya.

“Alhamdulillah, kami sehat, Kai. Adikmu enggak ikut pulang?” Pak Dipta balik bertanya karena tidak melihat Tirta.

“Enggak, Pak. Hari ini Tata sudah ada janji sama temannya. Bapak sama Ibu enggak ada acara ‘kan hari ini?” Kaisar duduk di ruang tengah.

“Nanti ada undangan jam 11.00 kayanya, ya ‘kan Bu?” Pak Dipta memastikan pada istrinya.

“Iya, ada dua undangan hari ini berurutan, Kai,” sahut Bu Ryani sambil membawa segelas air putih untuk putranya. “Biasa musim orang nikah,” sambungnya.

“Makasih minumnya, Bu. Bismillahirahmanirahim.” Kaisar langsung menegak habis minumnya. “Alhamdulillah,” ucapnya kemudian.

“Itu apa, Kai?” tanya sang ibu saat melihat tas plastik di atas meja.

“Oh ini, kue yang lagi hit di Jogja, Bu,” jelas Kaisar sambil mengeluarkan kotak kue dan membuka tutupnya. “Ini dicicipi, Pak, Bu.”

“Nanti saja, bapak masih kenyang. Gimana pekerjaanmu, Kai?” tanya sang bapak.

“Alhamdulillah, lancar, Pak. Tadi malam habis nangkap orang,” jawab Kaisar.

“Hati-hati kalau nangkap orang, Kai. Ibu itu selalu was-was kalau kamu bilang mau menggerebek. Ibu sama bapak berdoa terus biar kamu selalu dilindungi Allah saat bertugas,” tukas Bu Ryani.

Kaisar mendekati ibunya. Duduk di samping wanita yang sudah melahirkannya itu, merangkul bahunya. “Terima kasih, Bu, Pak, sudah selalu mendoakan aku. Apa mulai besok aku tidak perlu minta doa kalau mau nangkap orang, biar Ibu enggak khawatir lagi.”

“Ya jangan. Kan biar ibu sama bapak bisa mendoakan kamu, Kai,” tolak Bu Ryani.

Kaisar tersenyum. “Tapi Ibu enggak boleh khawatir lagi. InsyaAllah dengan doa dan restu Ibu sama Bapak, semua akan berjalan lancar. Kalau ada hal yang ternyata di luar kendali kita, namanya pekerjaan pasti semua ada risikonya. Kita yang tertib aturan saja bisa tertabrak kok di jalan.”

“Apalagi pekerjaanku sebagai abdi negara. Ibaratnya aku sudah siap mati saat menjalankan tugas,” lanjut Kaisar.

“Kamu jangan tambah nakutin ibu, Kai,” protes sang ibu.

“Aku enggak bermaksud menakuti Ibu, tapi memang kenyataannya seperti itu. Pokoknya Ibu sama Bapak selalu doakan aku saja, tidak perlu memikirkan hal yang macam-macam,” pungkas Kaisar.

“Ibumu memang begitu, Kai. Sudah berulang kali bapak bilang, cukup didoakan, tidak usah berpikiran macam-macam takutnya nanti malah kejadian.” Pak Dipta ikut menimpali.

“Namanya sama anak, Pak, ya pasti khawatir. Memangnya Bapak enggak takut Kaisar kenapa-napa?” Bu Ryani membela diri.

“Ya khawatir, tapi tidak perlu berlebihan sampai tidak bisa tidur. Kalau kita sudah berdoa, ada Allah yang akan menjaga Kaisar. Masa tidak percaya sama Yang Maha Kuasa,” sahut Pak Dipta.

“Ini aku pulang karena kangen kok malah Ibu sama Bapak bertengkar. Aku pergi sekarang saja kalau begitu,” sela Kaisar saat ibunya mau menanggapi bapaknya.

“Enak saja mau pulang. Ibu masih kangen kamu, Kai.” Bu Ryani menahan tangan putra sulungnya.

“Kalau gitu tidak perlu dibahas lagi soal tadi. Kita ngomong yang lain,” ujar Kaisar.

“Kok bau gosong. Ibu baru masak apa tadi?” tanya Pak Dipta pada sang istri begitu tercium aroma hangus di dalam rumah.

“Astaghfirullah, aku lupa baru masak semur tadi.” Bu Ryani bergegas ke dapur untuk mematikan kompor.

“Pak, aku ada niat buka usaha di sini. Apa Bapak bisa bantu buat ngawasin?” Kaisar menatap sang bapak.

“Mau usaha apa, Kai?” Pak Dipta mengernyit.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
ngakak ini sama mamanya kaisar saking antusiasnya anaknya pulang masakannya gosong wkwkw
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status