Hari Minggu pun tiba, kalau di rumah lain mungkin waktu untuk bermalas-malasan, tetapi tidak di rumah Bu Dewi. Sejak Subuh, mereka memulai aktivitasnya masing-masing. Ada yang membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, dan juga memasak. Bu Dewi memang mendidik anak-anaknya mandiri. Apalagi sejak dia harus membanting tulang demi ketiga anaknya yang masih di usia sekolah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Setengah tujuh pagi, Rendra sudah keluar dari rumah untuk latihan karate di Gelanggang UGM. Tentu saja dia pergi setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di rumah. Nisa membantu mamanya membuat brownies usai mereka menyantap sarapan bersama. Sementara Shasha merapikan kamarnya agar tidak terlihat berantakan saat Tirta nanti masuk ke sana.
“Mama mau buat brownies berapa sih?” tanya Nisa yang melihat ada banyak bahan di dapur.
Bu Dewi tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan si bungsu. “Empat kayanya.”
“Banyak banget, Ma,” komentar Nisa.
“Satu nanti buat suguhan, satu buat kita makan, sisanya buat mama bawa ke butik besok,” jelas Bu Dewi.
“Oke deh kalau begitu. Ini aku harus ngapain, Ma?” tanya Nisa yang begitu semangat membantu sang mama.
“Kita timbang dulu bahan-bahannya.” Bu Dewi memberi instruksi pada Nisa langkah apa saja yang harus dilakukan. Memberi tahu hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak. Mereka terlihat asyik di dapur, melewati kebersamaan yang pernah terenggut karena keadaan.
Saat ketiga penghuni rumah itu sedang sibuk beraktivitas, suara bel rumah berbunyi. Shasha bergegas ke ruang tamu, membukakan pintu untuk sahabatnya. Dia tersenyum lebar menyambut Tirta yang datang.
“Enggak nyasar kan, Ta?” tanya Shasha setelah mereka melakukan cipika-cipiki.
“Ya enggak lah. Kan aku dulu pernah ke sini waktu papamu meninggal,” jawab Tirta.
Mendadak mendung menggelayuti wajah Shasha ketika sang sahabat menyebut papanya. Melihat perubahan Shasha, Tirta langsung tersadar kalau dia sudah salah bicara.
“Maaf, Sha, aku enggak bermaksud membuatmu sedih.” Tirta menggenggam tangan Shasha.
“Enggak apa-apa, Ta. I’m fine. Masuk yuk, kenalan sama mama dan adikku yang paling kecil.” Shasha mengajak Tirta masuk ke rumah.
“Ma, Nisa, kenalkan ini temanku yang namanya Tirta,” ucap Shasha setelah mereka berdua tiba di dapur.
Tirta menghampiri Bu Dewi, menyalami mama sahabatnya itu penuh takzim. “Kenalkan saya Tirta, Tante.”
“Saya Dewi, mamanya Shasha.” Bu Dewi balik memperkenalkan diri.
Nisa lalu menyalami Tirta. “Saya Nisa, adiknya Kak Shasha.”
“Aromanya enak banget nih, baru bikin apa, Tante?” tanya Tirta yang suka memasak.
“Bikin brownies. Itu sudah ada yang jadi di meja makan. Coba dicicipi gimana rasanya enak apa enggak? Sudah lama tante tidak bikin kue,” jawab Bu Dewi.
“Wah, cantik banget brownies-nya, Tante. Bisa shiny kaya gini. Bagi tipsnya dong, Tante. Saya kalau bikin enggak pernah kinclong kaya gini,” komentar Tirta setelah melihat brownies yang sudah matang di meja makan.
“Boleh, ini masih ada bahan kalau mau bikin,” ucap Bu Dewi. “Diicip dulu coba, siapa tahu enggak enak.”
“Dari penampilan saja sudah menggugah selera ini. Pasti rasanya juga enak,” puji Tirta yang langsung terpesona dengan tampilan kue yang berwarna cokelat tua itu.
“Sha, dipotong itu brownies-nya, biar diicip sama Nak Tirta,” titah sang mama pada putri sulungnya.
Shasha pun melaksanakan perintah mamanya. Memberikan potongan kue dengan tekstur agak padat tapi tetap lembut itu pada Tirta.
“Ya Allah, enak banget, Tante. Sekalian ya saya minta resepnya nanti,” pinta Tirta yang sudah menghilangkan rasa malunya.
“Boleh. Mau praktek sekalian?” tawar Bu Dewi.
“Mau banget, Tante.” Tirta langsung mendekat pada Bu Dewi untuk belajar membuat brownies. Tirta tentu tak mau melewatkan kesempatan belajar secara gratis, tidak perlu membayar biaya kursus kue yang mahal. Sekali mendayung, dua, tiga, pulau terlampaui. Silaturahim dengan keluarga sahabatnya, mencicipi kue yang enak plus belajar cara membuatnya.
***
Minggu pagi Kaisar sudah berpenampilan rapi padahal baru kembali ke kontrakan pukul dua pagi. Dia pamit pada Tirta kalau akan mudik ke rumah orang tua mereka, sekalian menjenguk Dita yang sudah pulang dari rumah sakit. Meskipun badan terasa lelah setelah melakukan penggerebekan jaringan pencuri sepeda motor yang meresahkan warga, tetapi demi melihat sang pujaan hati, dia mengabaikan itu semua.
Kaisar terlebih dahulu ke rumah bertemu ibu dan bapaknya. Dia merasa bersalah karena tempo hari tidak menyempatkan pulang saat Dita kecelakaan. Bukan tidak ingin, tapi waktunya yang mepet. Tidak mungkin Kaisar hanya satu jam bertemu dengan kedua orang tuanya.
“Bapak dan Ibu sehat kan?” tanya Kaisar setelah menyalami kedua orang tuanya.
“Alhamdulillah, kami sehat, Kai. Adikmu enggak ikut pulang?” Pak Dipta balik bertanya karena tidak melihat Tirta.
“Enggak, Pak. Hari ini Tata sudah ada janji sama temannya. Bapak sama Ibu enggak ada acara ‘kan hari ini?” Kaisar duduk di ruang tengah.
“Nanti ada undangan jam 11.00 kayanya, ya ‘kan Bu?” Pak Dipta memastikan pada istrinya.
“Iya, ada dua undangan hari ini berurutan, Kai,” sahut Bu Ryani sambil membawa segelas air putih untuk putranya. “Biasa musim orang nikah,” sambungnya.
“Makasih minumnya, Bu. Bismillahirahmanirahim.” Kaisar langsung menegak habis minumnya. “Alhamdulillah,” ucapnya kemudian.
“Itu apa, Kai?” tanya sang ibu saat melihat tas plastik di atas meja.
“Oh ini, kue yang lagi hit di Jogja, Bu,” jelas Kaisar sambil mengeluarkan kotak kue dan membuka tutupnya. “Ini dicicipi, Pak, Bu.”
“Nanti saja, bapak masih kenyang. Gimana pekerjaanmu, Kai?” tanya sang bapak.
“Alhamdulillah, lancar, Pak. Tadi malam habis nangkap orang,” jawab Kaisar.
“Hati-hati kalau nangkap orang, Kai. Ibu itu selalu was-was kalau kamu bilang mau menggerebek. Ibu sama bapak berdoa terus biar kamu selalu dilindungi Allah saat bertugas,” tukas Bu Ryani.
Kaisar mendekati ibunya. Duduk di samping wanita yang sudah melahirkannya itu, merangkul bahunya. “Terima kasih, Bu, Pak, sudah selalu mendoakan aku. Apa mulai besok aku tidak perlu minta doa kalau mau nangkap orang, biar Ibu enggak khawatir lagi.”
“Ya jangan. Kan biar ibu sama bapak bisa mendoakan kamu, Kai,” tolak Bu Ryani.
Kaisar tersenyum. “Tapi Ibu enggak boleh khawatir lagi. InsyaAllah dengan doa dan restu Ibu sama Bapak, semua akan berjalan lancar. Kalau ada hal yang ternyata di luar kendali kita, namanya pekerjaan pasti semua ada risikonya. Kita yang tertib aturan saja bisa tertabrak kok di jalan.”
“Apalagi pekerjaanku sebagai abdi negara. Ibaratnya aku sudah siap mati saat menjalankan tugas,” lanjut Kaisar.
“Kamu jangan tambah nakutin ibu, Kai,” protes sang ibu.
“Aku enggak bermaksud menakuti Ibu, tapi memang kenyataannya seperti itu. Pokoknya Ibu sama Bapak selalu doakan aku saja, tidak perlu memikirkan hal yang macam-macam,” pungkas Kaisar.
“Ibumu memang begitu, Kai. Sudah berulang kali bapak bilang, cukup didoakan, tidak usah berpikiran macam-macam takutnya nanti malah kejadian.” Pak Dipta ikut menimpali.
“Namanya sama anak, Pak, ya pasti khawatir. Memangnya Bapak enggak takut Kaisar kenapa-napa?” Bu Ryani membela diri.
“Ya khawatir, tapi tidak perlu berlebihan sampai tidak bisa tidur. Kalau kita sudah berdoa, ada Allah yang akan menjaga Kaisar. Masa tidak percaya sama Yang Maha Kuasa,” sahut Pak Dipta.
“Ini aku pulang karena kangen kok malah Ibu sama Bapak bertengkar. Aku pergi sekarang saja kalau begitu,” sela Kaisar saat ibunya mau menanggapi bapaknya.
“Enak saja mau pulang. Ibu masih kangen kamu, Kai.” Bu Ryani menahan tangan putra sulungnya.
“Kalau gitu tidak perlu dibahas lagi soal tadi. Kita ngomong yang lain,” ujar Kaisar.
“Kok bau gosong. Ibu baru masak apa tadi?” tanya Pak Dipta pada sang istri begitu tercium aroma hangus di dalam rumah.
“Astaghfirullah, aku lupa baru masak semur tadi.” Bu Ryani bergegas ke dapur untuk mematikan kompor.
“Pak, aku ada niat buka usaha di sini. Apa Bapak bisa bantu buat ngawasin?” Kaisar menatap sang bapak.
“Mau usaha apa, Kai?” Pak Dipta mengernyit.
“Aku ingin buka toko aksesori motor dan mobil, Pak. Di sini kayanya belum ada. Kalau butuh apa-apa harus ke kota.” Kaisar memberi tahu bapaknya. “Rencananya mau buka di mana?” tanya Pak Dipta. “Di ruko depan ada yang kosong kan, Pak. Daripada disewa sama orang lain, aku sewa saja,” jawab Kaisar. “Pakai saja kalau kamu mau, Kai. Terus yang jaga toko siapa? Belanjanya di mana?” Pak Dipta menatap sang putra. “Aku ada kenalan yang jual grosiran aksesori motor sama mobil, Pak. Nanti barangnya aku ambil dari dia. Kalau yang jaga toko ambil dari orang sini saja, Pak. Cari orang yang jujur dan mau kerja keras. Kalau bisa sih laki-laki,” ujar Kaisar. Pak Dipta mengangguk-angguk. “Ya, nanti coba bapak carikan. Rencanamu kapan mau buka?” “Awal bulan depan saja, Pak. Nanti aku sekalian cari apa saja yang diperlukan,” sahut Kaisar. “Apa sudah ada modal?” Pak Dipta memastikan. “Alhamdulillah ada meski tidak banyak, Pak. Kemarin teman sudah nawari, bayarnya bisa tempo jadi tidak langsung luna
Dita mengangguk malu-malu. “Boleh, Mas.” “Oh ya sampai lupa. Ini aku bawakan makanan yang lagi hit di kota.” Kaisar meletakkan tas yang berisi kudapan yang dibawa ke atas meja. “Makasih, Mas. Malah jadi merepotkan. Aku sudah pesan sama Mas Adi tapi belum sempat dibelikan. Alhamdulillah dibawakan sama Mas Kaisar,” sahut Dita dengan raut bahagia. Gadis itu memang ekspresif dan apa adanya, tidak suka berpura-pura atau bersikap sok manis. “Mau coba kuenya? Aku bantu bukakan ya.” Kaisar mengeluarkan kemasan kardus dari tas plastik. “Mau yang rasa keju apa cokelat?” Kaisar menawarkan setelah membuka kardus dan terlihat macam-macam isinya. “Keju saja, Mas,” jawab Dita dengan mata berbinar-binar menatap kue yang ada di hadapannya. Kaisar mengambil kue dengan isian keju. Membuka kemasan plastiknya sebelum menyerahkan pada Dita. “Apa aku bantu suapi sekalian?” Dita tersenyum sambil menerima kue. “Makasih. Tidak perlu, Mas. Tangan kananku baik-baik saja kok. Biasanya aku juga makan sendiri
Sesudah makan siang, Kaisar masih mengobrol dengan Adi sampai Pak Wijaya dan Bu Hasna pulang. Sementara Dita beristirahat di kamarnya. Selalu seperti itu, Kaisar hanya punya kesempatan mengobrol dengan sang pujaan hati saat sedang menunggu Adi. Meski begitu, perwira polisi itu tetap merasa bahagia karena hari ini bisa mengobrol lama dengan adik dari sang sahabat. Kaisar pamit pulang setelah berbasi-basi sebentar dengan kedua orang tua Adi. Membahas tentang pelaku tabrak lari yang sudah berhasil ditangkap. Sebelum pulang, Bu Hasna membawakan Kaisar makanan hasil masakannya untuk dibawa ke kontrakan. Karena saat resepsi tadi Bu Ryani bercerita kalau masakannya gosong. Sepulang dari sana, Kaisar mampir dahulu ke toko yang membuat etalase. Memesan lemari kaca dan rak untuk memajang aksesori kendaraan di tokonya yang akan mulai buka bulan depan. Sebelum ke rumah Adi, dia tadi sudah mengukur panjang dan lebar ruko, jadi sudah menentukan ukuran etalase dan rak yang akan dipakai. Setelah it
Bibir Kaisar membentuk bulan sabit. “Kenapa? Kamu keberatan? Aku yang mau nunggu Dita kok kamu yang protes.” “Ck, bukan gitu, Mas. Kalau misal Dita nanti pas kuliah punya pacar gimana? Mas Kai, kan jadi buang-buang waktu nunggu dia.” Tirta coba memberi gambaran pada sang kakak. “Dita enggak bakal pacaran, Ta,” sangkal Kaisar dengan yakin. “Kok tahu?” Tirta mengernyit. “Tadi aku ngobrol sama Dita. Aku pancing soal pacar, dia bilang enggak mau pacaran. Buang-buang waktu katanya,” ungkap Kaisar. “Dita masih ABG, Mas. Masih labil. Gampang berubah. Hari ini bilang A, besok bisa jadi Z.” Tirta kembali mengingatkan sang perwira. “Dita enggak bakal berubah. Aku tahu dia sejak kecil.” Lagi-lagi Kaisar menyangkal omongan adiknya. “Apa sebaiknya aku mengikat dia dulu untuk berjaga-jaga ya, Ta.” Polisi berpangkat Ipda itu tiba-tiba berubah pikiran. “Mengikat gimana, Mas?” Tirta mengernyit karena penasaran. “Aku lamar dia sekarang. Terus tunangan dulu gitu sampai Dita selesai kuliah,” jelas
Shasha mengernyit mendengar permintaan sang kakak tingkat. “PW? Apa itu, Mas?” “Serius kamu enggak tahu apa itu PW?” tanya Arjuna yang dijawab gelengan kepala oleh juniornya itu. “PW itu pendamping wisuda, Sha,” terang Arjuna sambil tertawa kecil. “Oh, pendamping wisuda,” ucap Shasha dengan polosnya. “Masa kamu enggak tahu sih?” Pemuda berpostur tinggi dan tegap itu merasa heran. “Serius, aku enggak tahu, Mas. Soalnya belum pernah ada yang ngomong gitu sama aku,” aku Shasha. “Terus kenapa Mas Juna minta aku jadi PW?” Shasha lalu balik bertanya. “Kamu tahu sendiri aku kan jomlo. Enggak punya pacar. Masa iya pas wisuda aku enggak ada pendampingnya. Kaya ada yang kurang, Sha,” jawab Arjuna. “Iya, aku tahu. Tapi, kenapa aku? Masih banyak cewek lain kan yang Mas Juna kenal. Atau minta saja salah satu penggemar Mas Juna. Pasti mereka dengan sukarela jadi pendamping Mas Juna.” Shasha yang tak habis pikir dengan permintaan kakak tingkatnya itu. Arjuna menggeleng. “Aku maunya kamu yang
Shasha cekikikan. “Mau tahu banget sih, Ta.” “Sha, jangan bikin aku kesal ya. Apa perlu aku tanya kamu sambil teriak-teriak biar semua orang dengar?” ancam Tirta yang mulai kesal karena Shasha terus menggodanya. “Eh, jangan macem-macam ya kamu.” Shasha terlihat panik. “Iya, aku cerita,” lanjutnya. Tirta diam-diam tersenyum menyeringai melihat sang sahabat. Salah sendiri sering banget usil. Giliran diusilin balik jadi panik. “Oke, aku siap dengar ceritamu,” ucapnya setelah menyesap es teh. “Menurutmu sebaiknya aku mau jadi PW-nya Mas Juna atau tidak, Ta?” tanya Shasha sambi memandang sahabatnya. “Memangnya kamu belum jawab mau tidaknya?” Tirta malah balik bertanya. Shasha mengangguk. “Aku bingung, Ta. Aku takut jadi bahan gosip, tapi aku enggak enak kalau mau nolak. Tadi itu Mas Juna sampai memohon-mohon sama aku,” ujarnya. “Tapi kalau memang terpaksa sih, ya mau enggak mau aku jadi PW-nya Mas Juna,” lanjut Shasha yang membuat sang sahabat mengernyit. “Terpaksa?” tanya Tirta ya
Shasha jadi makin salah tingkah karena pertanyaan Tirta. “Jangan sok tahu, Ta,” elaknya. “Dari sikapmu sekarang aja udah kelihatan kok, Sha.” Tirta tersenyum miring. “Enggak usah bohong, Sha. Dosa tahu kalau bohong. Nanti masuk neraka loh.” “Aku mesti jujur gimana lagi, Ta. Memang aku merasa nyaman sama Mas Juna. Dan aku juga nyaman dengan hubungan kami yang seperti ini,” papar Shasha. “Yakin cuma merasa nyaman? Bukan sayang atau cinta? Awal cinta itu dari rasa nyaman loh, Sha.” Tirta kembali memainkan kedua alisnya, menggoda sang sahabat. Shasha menggelengkan kepala. “Aku sudah memutuskan enggak akan memikirkan cinta sampai bisa membahagiakan mama, Ta. Aku mau fokus kuliah terus kerja di tempat yang bagus. Tidak lagi membebani mama. Aku ingin membelikan sesuatu yang berharga buat mama. Sampai saat itu tiba, aku enggak akan berhubungan sama siapa pun.” Dia mengungkapkan apa yang ada di pikirannya selama ini. Tirta mengernyit. “Kok gitu, bukannya kalau punya pacar malah bisa menamb
Tirta menggeleng. “Bukan.” “Terus siapa? Pacarmu?” Kening Kaisar mengerut. Tirta kembali menggeleng. “Mas Juna itu katingku sama Alesha. Dia tuh halus banget caranya dekati Alesha,” bebernya. “Oh, Juna itu pacar temanmu yang ke sini?” tanya Kaisar. “Bukan. Mereka enggak pacaran tapi sebenarnya sama-sama suka,” jawab Tirta. “Kalau sama-sama suka kenapa enggak pacaran?” Kaisar kembali bertanya. “Soalnya Alesha enggak mau pacaran. Dia mau fokus kuliah terus kerja. Jadi cuma sama-sama memendam cinta. Besok pagi Alesha jadi pendamping wisudanya Mas Juna. Aku tuh gemes sama mereka berdua, kenapa enggak jadian saja. Nikahnya nanti kalau mereka sudah sama-sama kerja.” Tirta sampai mengepalkan kedua tangan saking gemasnya. “Ya, kalau mereka jodoh, Ta. Kalau enggak ‘kan ya buang-buang waktu saja pacaran,” tukas Kaisar. “Masih mending pacaran tapi putus, Mas. Setidaknya pernah saling cinta. Daripada cuma memendam cinta, tapi ujung-ujungnya enggak jodoh. Kan lebih nyesek, Mas. Rasanya saki