LOGIN“Mas ada pesan.” Anindya menunjuk layar mobil, suaranya biasa saja, atau setidaknya berusaha biasa.Arvendra hanya melirik layar. “Biarin aja dulu.”“Siapa?” tanya Anindya setelah beberapa detik.“Itu Ivelle.”Ada sesuatu yang bergerak cepat di dada Anindya, bukan marah, bukan sakit, hanya sesak yang muncul otomatis.“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Anindya ketika melihat layar dengan satu huruf besar: I.Sesingkat itu, dan justru sesingkat itu yang paling mengganggu.Orang memang suka menyimpan kontak dengan cara aneh. Pakai emoji, pakai angka, pakai nama panggilan. Namun, inisial? Inisial itu biasanya hanya untuk dua alasan: karena terlalu dekat atau terlalu ingin disembunyikan.Anindya menarik tangannya dari paha Arvendra. Gerakan kecil, halus, tapi jelas menjauh. Dia lalu memalingkan wajah ke jendela, seolah sibuk dengan lampu-lampu jalan.“Kenapa, Anin?” suara Arvendra lembut, tapi ada kewaspadaan tipis di sana.“Nggak apa-apa.” Jawaban klasik, yang jelas artinya ada apa-ap
“Hah? Mana?” Anindya menoleh cepat, tapi mereka sudah melewatkan mobil itu. “Perasaan Mas aja kali.”“Mas nggak salah lihat,” gumamnya lebih kepada diri sendiri. Namun, Arvendra tidak menambahkan komentar. Tidak butuh.Sudah jelas tadi itu Zafran. Dan kalau Nani masih bersikeras menjodohkan Anindya dengan laki-laki yang bahkan tidak punya malu untuk ciuman sembarangan, ya itu urusan nanti.Mereka melaju stabil lagi, lampu kota mulai berjarak, sampai Anindya tiba-tiba memegang lengan Arvendra. Sentuhannya kecil, tapi cukup untuk membuat pria itu langsung melirik.“Mas, berhenti dulu deh. Aku butuh udara segar.”“Mas juga,” jawab Arvendra pelan. Namun, alih-alih merapat ke pinggir jalan, pria itu menekan satu tombol di atas kepalanya.Atap Jeep Wrangler itu perlahan terbuka, melipat diri ke belakang, menyisakan angin malam yang langsung menerobos masuk. Rambut panjang Anindya tergerai, berkibar indah, seperti adegan slow motion dalam drama yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.Arven
“Om, saya tahu ini berat untuk Om Indra.”Suara itu membuat Indra yang duduk di teras depan menoleh setengah, tapi tidak menanggapi. Arvendra berjalan menghampiri tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang lebih memilih menghadapi badai daripada lari.Dia duduk di sebelah Indra. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Sejajar. Seperti dulu, dua pria yang sama-sama pernah bekerja dari nol.Indra menekuk bibir, pandangannya kini jatuh pada halaman kosong di depan. “Kalau kamu tahu ini berat buat saya, kenapa kamu masih memaksakan, Arven?”Arvendra menarik napas pelan. “Karena saya serius, Om.”“Serius?” Indra mendengus tipis. “Kamu pernah serius, Arven. Dan hasilnya berantakan.”Arvendra menerima pukulan itu tanpa mengelak. “Betul. Saya pernah gagal.”Indra akhirnya menoleh, matanya tajam tetapi sesak. “Dan saya harus apa? Serahin anak saya ke seseorang yang sudah pernah gagal? Yang hidupnya penuh masalah? Yang masa lalunya masih berserakan di belakang?”Arvendra tidak mundur. Tidak ber
“Sebelum Mas ketemu Ayah, aku mau Mas ketemu Mama dulu.” Itu kalimat yang Anindya ucapkan pelan ketika Jeep Wrangler hitam itu baru keluar dari tol. Tidak ada penjelasan tambahan. Tidak ada tatapan minta dikasihani. Hanya suara kecil yang terdengar seperti seseorang yang sedang memberanikan diri membuka pintu yang sudah lama dia tutup. Maka di sinilah mereka berada. Makam Lusi. Ini bukan kali pertama Arvendra datang ke sini. Namun, hari ini rasanya lain. Hari ini dia datang bukan sebagai teman lama ayah Anindya. Hari ini dia datang sebagai seseorang yang ingin dimasukkan ke hidup seorang gadis, secara utuh, masa kini sampai masa lalu. Sedangkan Anindya, dia bahkan harus menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke area pemakaman. Sudah lama dia menghindari tempat ini. Bukan karena lupa, justru karena ingatannya terlalu jelas, terlalu tajam. Kadang Anindya merasa dia dan Lusi sama-sama ‘berhenti hidup’ pada hari itu. Hari ketika dia baru pulang sekolah, dan mendapati rumahnya
“Kamu jangan tegang begitu dong. Tenang, ada Mas. Nanti saya yang jelasin semuanya ke Ayah kamu.” Arvendra menarik sabuk pengaman Anindya dan menguncinya pelan, seolah memastikan gadis itu benar-benar aman sebelum kembali memasang sabuknya sendiri.Setelah rencana meminta restu itu dibahas, butuh dua bulan penuh sampai akhirnya mereka benar-benar bisa melakukannya.Dua bulan yang melelahkan.Arvendra sibuk setengah mati karena perebutan tender proyek besar. Kantornya seperti medan perang setiap hari. Sedangkan Anindya baru selesai sidang skripsi dan menunggu wisuda. Di luar itu, pekerjaan modelnya mulai jalan, plus jadwal les Elvio yang masih dia pegang.Di titik ini, 24 jam sehari rasanya seperti kurang.“Nggak tegang, cuma khawatir sedikit,” gumam Anindya, merapikan ujung rambutnya yang berantakan. “Bukan cuma soal Ayah, tapi Mas tahu sendiri Ibu sama Kakak tiri aku kayak gimana.”Sudah bisa dipastikan 100% Nani akan mencak-mencak ketika tahu Anindya menolak dijodohkan dengan Zafran.
Alis Arvendra naik sedikit. “Memangnya kamu udah bicara sama Ayah kamu?” Bukan curiga, melainkan memastikan. Setahunya, Anindya belum sempat pulang menjenguk ayahnya. Kalau gadis itu sudah menemui Indra, dia pasti tahu.“Kalau soal hubungan kita belum, Mas,” jawab Anindya jujur. “Tapi waktu itu Ayah lihat Mas pegang tangan aku di depan rumah. Dan pas kita pulang dari dokter kandungan itu, Ayah nyamperin aku dekat kampus. Dia bilang, dia kurang suka kalau aku ada hubungan sama duda, dan udah punya anak.”Arvendra terdiam. Bukan marah, bukan kecewa. Namun, diam panjang seorang pria yang sedang mempertimbangkan sesuatu dengan sangat serius.Tatapannya turun ke wajah Anindya. Menyapu bibir yang bergetar pelan, bahu yang sedikit naik, dan jari yang saling meremas karena gugup.“Ayah kamu nggak salah,” ucap Arvendra, lirih tapi mantap.“Mas! Jangan ngomong begitu,” sanggah Anindya cepat.“Tapi itu kenyataan, Sayang.” Arvendra meraih tangan Anindya dan menggenggamnya, ibu jarinya mengusap pu







