Setelah satu bulan lamanya, Vianca sudah tak mendengar kabar laki-laki itu lagi. Terakhir mereka bertemu, Zeva membantu menyiapkan lamaran pekerjaan. Hal kecil itu membuat kesan tersendiri bagi seorang Vianca, yang sangat jarang berinteraksi dengan orang sekitar. Saat Zeva tidak hadir, maka hari-harinya kembali sepi dan membosankan.
Sebenarnya bukan karena jatuh hati pada pria itu. Dia hanya rindu suasana berisik yang Zeva ciptakan. Bahkan dia belum meminta maaf karena sudah menuduh Zeva adalah seorang buronan.
Sehabis menandaskan sarapannya. Dia meraih ponsel. Mencoba memberanikan diri mengirim pesan pada pria itu.
"Hallo Mas Zeva apa kabar? Saat Mas tidak menghubungiku,aku tahu itu artinya aku sedang tidak dibutuhkan. Tapi saat ini sepertinya aku yang membutuhkan Mas Zeva. Apa bisa kita bertemu?"
Vianca masih memegang ponsel, menanti centang satu abu berubah menjadi centang dua biru. Namun, hal itu tidak terjadi meskipun sudah cukup lama dia menanti. Ada rasa yang dia tidak mengerti. Mengapa dirinya bisa gelisah seperti ini, hanya karena khawatir nomernya diblokir.
Tak sadar dia meremas ponsel demi memenangkan batinnya sendiri. Tak lama, ada notifikasi masuk. Meskipun bukan Zeva, tapi cukup membuat dirinya bahagia. Salah seorang Staff HRD mengirim pesan bahwa dirinya akan ada panggilan tes kerja, besok.
Lamaran yang dia kirimkan dua bulan yang lalu baru ada hasilnya sekarang. Padahal, dia sudah menyerah duluan sejak kemarin. Dia tidak ingin mengulang kepolosan yang sama, disaat ada orang 'dalam' meminta sejumlah uang dia sudah menyiapkannya. Walau dia pribadi ingin mengikuti tes secara murni, nyatanya dia selalu kalah. Dengan terpaksa, dia mengikuti cara picik orang lain.
Wanita kesepian ini masih saja mengirim pesan pada Zeva walaupun jelas masih centang satu. "Besok aku ada panggilan kerja. Semua berkat bantuan Mas Zeva juga, makasih. Semoga aku bisa masuk kerja dan nanti aku bisa traktir Mas untuk makan bersama."
***Adam sebagai CEO di Perusahaan milik keluarga, tidak dengan mudah memberi posisi yang tinggi pada Zeva. Adiknya itu hanya menjadi staff biasa dan ditempatkan di divisi yang cukup merepotkan. Adam harus berhati-hati, khawatir adiknya kumat lagi dan bikin rusuh.
Kata Adam, hal itu demi kebaikan Zeva sendiri melatih ketelitian dirinya, tapi Zeva tidak percaya. Palingan, Adam sengaja membuat dirinya menjadi pesuruh hingga tidak betah.
Namun demi harga diri Zeva bertahan. Setidaknya, dia harus memperbaiki citra buruk yang dia tinggalkan di masa lalu. Berhenti jadi pemberontak yang sudah lama melekat di belakang namanya.
Zeva melangkah dengan tergesa-gesa menuju tempat parkir, lagi-lagi dia lembur, dia memburu waktu supaya tidak terjebak macet. Tadi sore, server eror pada aplikasi khusus pembuatan dokumen sehingga menyebabkan antrian dokumen pada sistem. Dan itu cukup membuat jengkel Zeva, karena dia orangnya tidak sabaran.
Di perjalanan, dia melewati Restoran Italia. Saat melewati banner yang besar ada salah satu menu andalan yang tergambar, hal itu menggugah selera Zeva. Akhirnya dia memutuskan mengisi perut terlebih dahulu mumpung masih di luar.
Zeva mengira makan malam kali ini adalah makan malam seperti biasanya. Namun, saat melihat ada mobil kakaknya terparkir di Restoran itu juga, membuat dirinya merasa tak nyaman. Zeva malas untuk menyapa Adam. Baginya, sudah cukup muak melihat pria so baik itu saat berada di kantor.
Zeva tadinya mencari tempat duduk yang jauh dari Adam. Akan tetapi, hal itu tidak jadi dia lakukan, saat melihat Adam sedang bersulang dengan seorang wanita. Mereka tampak bahagia, dan Zeva benci situasi ini karena yang satu meja bersama Adam adalah Savana, mantan pacarnya.
Zeva duduk di antara mereka. "Gua boleh duduk di sini 'kan, Kak?"
Adam mengerutkan alis, keberatan dengan sikap Zeva. Namun Adam harus tetap jaga image di depan Savana. "Kamu sudah duduk duluan sebelum minta ijin."
Perasaan Zeva tak menentu saat bertemu Savana, tapi dia tidak bisa membiarkan wanita yang dia cintai duduk dengan pria lain. Terlebih, lima tahun lalu tidak ada ucapan putus karena Savana pergi begitu saja dan menggantungkan hubungan.
"Vana, kabar lo baik 'kan?" tanya Zeva, dia berusaha tersenyum.
"Ya, Baik, Kok." Savana menjawab tanpa menatap ke arah Zeva, malah terkesan risi dan berharap mantan napi ini menjauh dari hadapannya.
"Gua bukan kuman, lo gak perlu geser tempat duduk kaya gitu."
Savana mendengkus, dia melanjutkan memakan makanannya, walaupun wajahnya terlihat tak bersahabat.
"Savana sedang makan. Kamu harus punya sopan santun supaya tidak mengganggu orang yang sedang makan." Adam memberi komentar dengan nada yang tajam.
"Ckk ... Kakak, lo juga harus punya sopan santun supaya gak ngajak cewek gua makan berdua kaya gini."
Suara sendok yang beradu dengan piring makin terdengar. Sengaja Savana melakukan kegaduhan itu untuk menunjukan bahwa dirinya terganggu. "No, Zeva! Hubungan kita sudah berakhir. Aku bukan milikmu lagi. Dan kamu tahu? Aku kehilangan selera makanku sekarang gara-gara lihat kamu ada di sini!"
Savana meminum minumannya, lalu berdiri sambil menatap Adam. "Aku ingin pulang sekarang."
Adam yang tidak banyak bicara kecuali hal penting, kemudian berdiri juga sambil meraih tangan Savana untuk digenggam. "Aku minta maaf atas kelakuan Zeva."
Reaksi Adam sukses membuat Zeva menjadi murka. Zeva mengumpat sambil berdiri hendak mendahului mereka pergi dari tempat itu, dia kelepasan mendorong kursi dengan kencang hingga mengenai kaki Adam. Hal itu membuat orang yang berada di sana memusatkan perhatian pada mereka.
"Hey, jangan gegabah. Selain kakakmu aku ini Bosmu!" bentak Adam
Zeva ke luar, menuju mobilnya dia melupakan bahwa perutnya belum di isi sama sekali. Kemudian, dia melaju menuju apartemennya.
20 menit dia pun tiba, hal yang pertama kali dia lakukan adalah membersihkan badan. Kemudian, dia membuka lemari memilih T-shirt abu-abu dan celana pendek untuk dia pakai. Dia meraih ponsel untuk Delivery order karena rencana makannya tadi gagal.
Dia aktifkan nomer ponsel satunya yang ditinggal di rumah, ponsel yang dia gunakan bukan tujuan penting. Melainkan hanya untuk main games dan mencari wanita. Ada pesan masuk, itu dari Vianca.
Zeva membaca itu dengan wajah yang datar. Pertemuan dirinya dengan Savana tadi membuat chat dari Vianca seakan biasa-biasa saja. Tentu saja karena, tujuan dia sebenarnya hanyalah Savana.
Zeva membalas pesan dari Vianca. "Wah, selamat, ya! Semoga kali ini lo keterima kerja. But, sorry banget gua gak bisa ketemu dulu sama lo."
"Makasih, Mas Zeva. Gak apa-apa. Sekarang sibuk, ya?"
"Iya sibuk, biar gak disangka jualan organ tubuh atau begal lagi sama lo. Gua kerja halal, ya. Hahaha."
"Alhamdulillah, cepat sekali, ya, dapat kerjanya."
Zeva tidak membalas lagi. Walaupun hingga kini background ponsel Zeva adalah wajah Vianca, tapi bagi Zeva keindahan Vianca itu cukup dilihat saja tanpa harus dimiliki. Dia malah harus menutupi hal ini dari semua orang. Karena sejarah keluarga Zeva, tidak pernah ada satu pun yang berhubungan dengan wanita dari kalangan bawah.
Vianca sudah memakai pakaian putih-hitam karena hari ini ada panggilan kerja. Namun, walaupun masih pagi, dia diresahkan oleh kehadiran Melvin di depan rumahnya. Kakaknya itu, nampak kumal, serta belum mengganti pakaian hang out. Sepertinya, Melvin semalaman habis party bersama teman-temannya.Vianca berada dibalik pintu, dia tidak ingin berurusan dulu dengan kakaknya. Dia tahu, kakaknya akan datang jika sudah kehabisan uang."Vi ... Vi ... buka pintunya! Kakak tahu kamu ada di dalam!" teriak Melvin.Vianca terperanjat, berdiri dibalik pintu, tetap bertahan menunggu kakaknya itu pergi. Namun, cukup sulit membuat Melvin pergi. Vianca beberapa kali melihat jam di tangannya, cemas karena khawatir akan terlambat.Melvin lagi-lagi mengetuk pintu, kali ini lebih kencang karena sudah cukup pusing dari tadi menunggu. "Woy, buka, woy! Adik sialan, gak tahu diri! Udah syukur kamu disekolahin sama bokap, pas udah gede malah pelit kaya gini."Vianca melirik ke
Bukan hal yang mudah bagi Vianca berpura-pura tidak mengenal Zeva. Setelah beberapa malam dilewati bersama, tapi Zeva malah menyuruh wanita itu melupakan segala kenangan tentang mereka. Vianca bekerja ditempatkan di bagian resepsionis, dan mau tidak mau dia harus melihat Zeva berjalan tanpa melihat ke arahnya. Vianca terperanjat dari lamunan tentang Zeva, dari jarak beberapa meter ada pria tegap yang berdiri menatap lekat ke arahnya. Vianca menyipitkan mata, merasa pernah melihat pria itu, namun jarak pandangnya agak jauh sehingga dia takut salah orang. Pria itu mendekat, semakin mendekat dan tiba-tiba jantung Vianca berpacu tak terkendali. Bayangan kejadian saat SMA melintas dipikirannya. Hal yang pernah membuat dirinya putus asa dalam meraih cita-cita. "Selamat pagi, Pak!" sapa Vianca "Via!" Pria itu tidak menjawab ucapan salam. Malah, memanggil nama kecil Vianca. Risa yang berada di samping Vianca tercengang karena Vianca dipanggil de
Zeva menghempaskan diri pada kasurnya. Kemudian mengatur posisi yang baik untuk meluruskan kaki. Dia kelelahan, setelah pulang bekerja harus bersusah payah membujuk Savana untuk balikan padanya. Usahanya tak sia-sia, wanita itu memberi kesempatan ke dua dengan syarat Zeva harus memperbaiki imagenya yang buruk dan Zeva pun diminta untuk berusaha supaya naik jabatan. Atau bahkan, membuat Perusahan sendiri. Savana adalah motivasi hidupnya. Tentu saja sebagai laki-laki dia harus berusaha memenuhi yang Savana mau. Terlebih, Savana minta uang mahar yang tinggi jika mereka sampai maju ke pelaminan. Bel pintu berbunyi. Zeva mengumpat. Baru saja dia berhasil istirahat melepas aktivitas yang menguras energi. Akan tetapi malah ada tamu tak diundang malam-malam begini. "Tamu laknat dari mana yang ganggu istirahat gua?" Zeva yang bertelanjang dada memakai T-shirt, sebelum membuka pintu apartemen. Pintu dibuka. Dia melihat sosok pria tegap nyengir ke arahnya.
Zeva mengelak bahwa dirinya mencintai Vianca. "Savana jauh lebih cantik puluhan kali lipat daripada Vianca. Gak ada alasan buat gua jatuh cinta sama dia." "Karena cinta itu gak ada logika, Bang Zev. Buktinya, lo nyimpen celana dalam Vianca pake kado, di simpen baik-baik bareng sama baju lo. Itu artinya, logika lo pindah ke dengkul, Bang Zev." Zeva meraih celana dalam yang dibuang Edrick, kemudian menggulung dan menjejal benda tersebut ke mulut adiknya yang berisik itu, hingga Edrick batuk. "Nih, ambil! Ambil kalau lo mau Vianca, ambil aja sana!" Edrick, membenarkan posisi duduknya. Wajahnya nampak serius. "Vianca gak seperti yang lo banyangkan. Dia baik, hanya saja kehidupannya sulit. Andai saja Bang Zev tahu, Gua bersalah sudah buat situasi dia makin terpuruk. Dan jika ada kesempatan buat jadi pendampingnya, gua mau, kok." Zeva bungkam, dirinya mendengarkan tiap kalimat dari mulut Edrick. Bahkan, sudah langsung menyerap ke dalam otaknya. Ada perasaan
Edrick mengantarkan Vianca pulang. Dia memperlakukan wanita itu layaknya tuan putri yang harus dilindungi.Bagi Vianca, sesuatu hal yang aneh ada pria yang membukakan pintu mobil untuknya. Wanita yang mempunyai sejarah yang kelam seperti dirinya, jarang mendapatkan perlakuan seperti ini. "Makasih Pak Edrick."Vianca masuk, dia tak bisa menolak karena hari sudah malam. Kurang aman pulang sendiri dalam keadaan tubuh yang belum pulih total."Rumah kamu di mana, Via?""Di jalan Sweet Corn gang Flower, Pak!"Edrick mengangguk sambil menyipitkan mata. Berpikir letak tempat yang disebutkan Vianca. Dia mengingat-ingat rute tempat itu, lalu melaju ke arah kontrakan Vianca."Kamu tinggal sendiri sekarang?""Iya, dulu sempat satu kontrakan sama teman, tapi dia udah mudik." Vianca menjawab pertanyaannya Edrick tanpa menatap wajahnya.Edrick pun berhenti bertanya, melihat tatapan wanita itu, seakan menghindar.Vianca kaku
Vianca perlahan memejamkan mata, efek obat dari dokter yang barusan dia minum, membuat dirinya cepat mengantuk.Zeva masih ada di situ, menatap lekat pada Vianca. Dia mengabaikan dering telepon yang berbunyi berkali-kali dari Savana. Karena dia khawatir, Savana bertanya keberadaan dirinya saat ini. Namun akhirnya, tak terdengar lagi dering telepon itu, mungkin Savana sudah menyerah untuk menghubungi Zeva.Zeva terperanjat, saat mendengar suara rintihan dari Vianca. Ketika dilihat mata Vianca masih terpejam. "Vi, kamu mengigau? Bikin orang kaget saja."Zeva yang sebelumnya menyangka suara tadi adalah suara rintihan dari kuntilanak, akhirnya mendekat pada Vianca. Dia melihat wanita itu keringat dingin, mungkin saja sedang bermimpi buruk. Zeva meraih tisu di nakas, lantas mengusap peluh di dahi Vianca.Zeva tersenyum, mengamati bentuk wajah Vianca yang indah. Dia mengecup dahi Vianca dengan lembut.Wanita itu nampak lebih baik hanya dengan
Vianca mendengar suara mesin mobil dari dalam kamar. Dia terperanjat, saat sadar bahwa Zeva sudah pulang tanpa pamit terlebih dulu padanya. Dia menghampiri Melvin yang masih berada di ruang tengah. Wanita itu terkejut, lantaran Melvin sedang asik menghitung uang ratusan ribu yang cukup banyak."Kak, Mas Zeva udah pulang?""Iya! Kakak suruh pria itu pulang.""Kakak minta uang sama dia? Kakak meras Mas Zeva?""Iya." Melvin menjawab sambil mengipasi dirinya dengan uang pemberian Zeva.Vianca geram, dia menyiram wajah Melvin dengan satu gelas air yang berada di atas meja."Hey, sialan! Uang gua jadi basah gara-gara lo.""Malu-maluin, tahu, gak! Cepat balikin! Ada berapa semua?""Cuma dua juta, kok. Tenang aja!Katanya ini buat sarapan kita berdua."Melvin tidak cerita bahwa Zeva sudah mentransfer juga ke rekeningnya dengan jumlah yang lebih banyak. Adiknya terlalu rese untuk diajak kerja sama."Sini uangnya! Vianca aka
Zeva berjalan di tengah ramainya orang hilir mudik di pusat perbelanjaan, dengan penuh kebimbangan. Dia takut keputusannya ini salah. Zeva menghentikan langkah di toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan, dia ingin memilih sendiri tanpa campur tangan orang lain, karena pernikahannya hanyalah sebuah rahasia.Bahkan, saat memilih salah satu dari cincin berlian, pikirannya tak fokus. Dirinya tak mengerti mengapa ingin melindungi Vianca dari gangguan Melvin. Apakah pernikahannya nanti akan berjalan lancar jika hanya berlandaskan rasa kasihan?Dia merasa bukan dirinya, yang biasa selalu masa bodoh dan tak pernah memikirkan hal-hal rumit, semua berjalan apa adanya tapi saat ini tidak demikian.Zeva pulang, dia membawa paper bag yang di dalamnya ada kotak perhiasan termasuk cincin pernikahan. Semuanya, nampak terburu-buru baginya. Tak ada persiapan sepesial karena pernikahan siri yang dia jalani tanpa resepsi. Tapi dia bisa menjamin hidup Vianca lebih