Suara gedoran pintu yang terdengar begitu nyaring, membuat Zoe berlari ke arah pintu. Zoe mendengus kesal. Matanya menyipit, jengah melihat keadaan yang sama. Baskoro–ayahnya datang dalam keadaan mabuk!
“Berikan Ayah, uang!” Zoe tersenyum miring. Uang? Apakah ayahnya kira dia ini bank yang bisa dimintai uang setiap saat. Untuk kebutuhan sehari-hari saja dia harus berhemat, tapi ayahnya justru datang dengan keadaan memuakkan–mabuk dan kalah judi. “Aku tidak punya uang. Kemarin aku harus membayar hutang ayah! Seorang rentenir datang menagih hutang kemari!” jawab Zoe, muak. “Akhh….” Zoe meringis kesakitan. Ayahnya tanpa rasa kasihan menarik rambutnya kuat-kuat. “Itu sudah menjadi tugasmu! Kamu adalah anakku, jadi tidak salah kalau aku mengandalkanmu!” balas Baskoro. Tangan Zoe terkepal. Matanya memerah menahan rasa kesal bercampur benci. Ucapan macam apa itu. Bagaimana bisa seorang orang tua bisa mengatakan kata-kata menyakitkan dan tidak berperasaan seperti itu. “Cepat berikan Ayah uang! Teman-teman Ayah sudah menunggu Ayah!” sentak Baskoro. Ia melepaskan jambakannya pada rambut Zoe dengan keras, membuat gadis itu terhuyung dan hampir jatuh menyentuh ubin. “Jangan menatap Ayah seperti itu!” desis Baskoro saat melihat kilatan kebencian dari mata putrinya. “Kamu tidak pantas memberikan tatapan kebencian pada orang yang sudah membesarkanmu!” imbuh Baskoro. Zoe hanya tersenyum miring. Membesarkan? Membesarkan yang bagaimana yang dimaksud oleh ayahnya. Sejak sang ibu pergi meninggalkan mereka entah kemana karena muak dengan kehidupan mengerikan ini, hidupnya bagai di neraka. Setiap malam untuknya adalah sebuah ketakutan. Ayahnya tak jarang mengajak para temannya untuk datang ke rumah mereka. Bermain kartu dan bersenang-senang, hingga satu malam mencekam, membuat Zoe memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal sendiri. Teman ayahnya hampir melakukan tindakan tak senonoh saat itu. “Cepat! Mana uangnya?!” Tangan Baskoro menengadah, menunggu uang yang dimintanya. “Tidak ada!” jawab Zoe bersikukuh. Uang di dompetnya hanya tinggal lima ratus ribu, dan uang itu akan ia gunakan untuk membayar buku yang dibelinya beberapa hari yang lalu serta membayar tagihan listrik rumah tempat tinggal ayahnya. Keputusannya untuk tinggal sendiri adalah ingin mendapatkan ketenangan meski hanya sedikit. Namun, nyatanya itu tak pernah ia dapatkan. Selain membiayai kuliahnya sendiri, ia juga harus memenuhi kebutuhan ayah dan juga adiknya, termasuk membayar hutang ayah dan biaya sekolah sang adik. Ayahnya juga kerap kali mendatanginya ketika mabuk dan membutuhkan uang. Ia sudah pernah pindah tempat dan tidak menghubungi keluarganya. Bermaksud melepaskan kontak, tapi ayahnya selalu bisa menemukannya dimanapun ia berada. “Minggir!” sentak Baskoro. Seolah tak mau mendengar ucapan Zoe, Baskoro masuk begitu saja ke dalam kontrakan putrinya. Dengan tubuh terhuyung, ia masuk ke dalam kamar sang putri. Kamar dengan lampu kerlap kerlip bernuansa pastel membuat kesan hangat di sana. Sebuah seringai menghiasi wajahnya ketika ia menemukan dompet berwarna krem di atas meja. Dengan tanpa izin, ia membuka dompet itu. Senyum di bibirnya terbit saat mendapati lima lembar uang warna merah ada di dalamnya. Malam ini ia akan pesta besar. Zoe–putrinya selalu bisa ia andalkan. “Tidak, jangan ambil itu!” mohon Zoe. Matanya memohon agar sang ayah tidak mengambil uang terakhir yang dia miliki. Baskoro tersenyum miring. Pria dengan perut buncit itu berjalan mendekati Zoe setelah tadi mengambil uang sang putri dan menyimpannya ke dalam saku celananya. “Tidak punya uang?” Baskoro menarik kembali rambut Zoe. Kali ini lebih kuat dan menyakitkan, membuat mata Zoe berkaca-kaca menahan tangis. “Mau berbohong?” sentak Baskoro. Baskoro melepas kasar tarikannya, membuat tubuh Zoe terhuyung ke belakang membentur siku tembok, menyisakan rasa nyeri di bahunya. Tak puas hanya menyakiti Zoe dengan cara menjambak rambut sang putri, tangan gempal Baskoro melayang di udara dan mendarat keras di pipi mulus Zoe. Panas dan menyakitkan. Tamparan itu menyisakan bekas yang bisa dilihat oleh siapapun. Membalas? Tidak! Zoe hanya bisa diam dengan segala rasa tak terima yang hanya mampu dia simpan rapat-rapat di dalam hatinya. Dia tidak akan pernah bisa melawan ayahnya. Tidak sekarang, tidak juga nanti. “Jangan pernah berbohong kepadaku, atau kamu akan tahu akibatnya!” Ancam Baskoro sambil menepuk pelan pipi Zoe, kemudian bergegas pergi. Tubuh Zoe merosot. Ia menangis menghilangkan rasa sesak di dadanya. Ia benar-benar lelah dan inilah salah satu yang bisa dilakukannya untuk meringankan setiap rasa menyakiti di hatinya. Setelah puas, ia berjalan ke arah meja riasnya. Surat tagihan listrik yang sudah jatuh tempo serta tagihan lainnya berjejer di atas meja riasnya, menambah sesak di dada. Tak ingin terlalu larut dalam kesedihannya, ia mulai mengambil concealer untuk menutupi bercak tangan di pipinya. Ia harus kembali melakukan aktivitasnya setiap malam untuk mengumpulkan pundi-pundi uang demi kebutuhan yang tak pernah ada habisnya. Ada satu donatur setia yang bisa menopang kehidupannya sehari-hari. Koin-koin yang diberikannya setiap malam, selalu menjadi penolong bagi kehidupannya yang menyedihkan. “Selamat malam semuanya… apa kalian sudah merindukanku?” *** “Haist… gawat, aku bisa mati hari ini!” gerutu Zoe yang baru bangun sekitar pukul 6 pagi, sementara kuliahnya akan dimulai dua jam lagi. Tugas dari dosen killer yang harusnya ia kumpulkan tengah malam kemarin, bahkan tidak disentuhnya sama sekali. Tanpa mandi, ia segera mengganti pakaiannya dan melesat pergi menuju kampus. Setelah tidak mengerjakan tugas, ia tidak boleh terlambat masuk. Hidupnya benar-benar di ujung tanduk jika ia sampai terlambat di jam pelajaran Xavier Admajaya—si dosen killer yang terkenal tidak kenal ampun jika ada mahasiswanya yang tidak patuh. “Zoe….” Zoe menelan ludahnya susah payah. Tubuhnya seketika menegang saat mendengar suara dari orang yang ingin sekali dihindarinya. Xavier Admajaya—pria itu berdiri di belakangnya saat ini. “Tidak mengumpulkan tugas lagi?!” seru Xavier. Zoe meremas jari-jarinya. Mata tajam Xavier yang saat ini tengah menatapnya, membuat bulu kuduknya meremang. “Ma—maaf Pak, sa—saya—” Matanya menatap tajam Zoe, seolah tengah melakukan penilaian pada mahasiwinya itu. “Apa yang kamu lakukan tadi malam hingga melewatkan jadwal pengumpulan tugas?” “Saya tertidur, Pak!” Zoe memejamkan mata, tidak berani menatap wajah Xavier. Sikap Xavier yang mengintimidasi membuat nyalinya menciut. “Tertidur?” ulang Xavier dengan smirk evilnya. “Bersiaplah tidak lulus di mata kuliah saya!” Zoe hanya bisa menghela pasrah selepas kepergian Xavier. Zoe yang hendak melangkah pergi, menghentikan langkahnya saat mendapati sapu tangan Xavier terjatuh secara tidak sengaja dari saku celananya. “Pak, sapu tangan… Anda….” Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali saat melihat sapu tangan milik Xavier. Hanya untuk sebuah sapu tangan, pria itu memakai barang dari desainer ternama. “Dia benar-benar kaya,” gumam Zoe.Zoe merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lima belas menit lagi dia harus memulai livenya, tapi entah kenapa rasanya dia malas melakukan apa yang sudah menjadi kebiasaannya itu. Andai penghasilan yang didapatkannya selama ini tidak terus habis, pasti dia akan selalu bersemangat setiap kali memulai livenya. “Eros…?” Tubuh Zoe meremang. Panggilan suara dari Eros, membuatnya kelimpungan. Laki-laki itu tahu dia akan memulai livenya sebentar lagi, tapi dia justru menghubunginya. Selain itu, dia juga belum siap jika Eros menagih janjinya–menghabiskan malam bersama. “Sedang bersiap-siap?” Sapaan suara berat dari Eros, membuat Zoe menggigit bibirnya. Jantungnya berdebar kencang bahkan sebelum Eros mengatakan maksudnya melakukan panggilan telepon. “Heem…,” jawab Zoe. “Boleh jika malam ini kamu tidak melakukannya?” Pinta Eros. Zoe yang awalnya berbaring di kasur, seketika duduk bersila. Permintaan Eros itu terdengar seperti permintaan seorang kekasih yang tidak mau melihat kekasihnya
“Ha ha ha… Pax Xavier.” Zoe mengusap belakang kepalanya. Kali ini dia benar-benar mencari masalah. “Kok Bapak, ada di luar. Bukankah seharusnya Bapak menunggu di dalam? ” Xavier menatap lurus Zoe. Tidak ada ekspresi yang dapat dibaca dari wajah tampannya. Matanya yang tajam serta alisnya yang mengkerut, cukup membuat lawan bicaranya merasa terintimidasi. “Memangnya kenapa kalau saya di luar? Bukankah ini kampus tempatku mengajar. Dimanapun aku berada, itu bukan urusanmu!” sahut Xavier menusuk. “Atau jangan-jangan kamu tidak ingin saya keluar dari ruangan saya, agar saya tidak bisa mendengar umpatan-umpatan yang kamu tunjukkan untuk saya?!” lanjut Xavier terlihat kesal. “Pria tua? Lalu apa lagi?” “Ha ha ha… Bapak terlalu sensitif. Saya sama sekali tidak mengumpat pada Bapak tadi,” sahut Zoe. “Benarkah? Apa kamu yakin?” Zoe mengangguk dengan cepat menjawab pertanyaan Xavier. Meski kenyataannya benar, tentu dia tidak boleh berkata jujur. Hidupnya akan benar-benar berakhir
“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberikan 400.000 koin.”Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara di bawah meja, kakinya sudah bergerak gelisah. Eros telah memberikan empat ratus ribu koin sebanyak empat kali, yang jika dirupiahkan akan mencapai angka dua ratus juta. Itu artinya dia benar-benar akan kehilangan keperawanannya.“Ini nomorku. Mari kita berbincang setelah kamu mengakhiri live malam ini. Eros! ”Zoe menelan ludahnya susah payah. Hidupnya benar-benar akan hancur detik ini juga.“Sayang sekali, malam ini aku terpaksa harus mengakhiri live. Aku harus membahas sesuatu yang menarik dengan orang yang telah memberikan dua ratus juta kepadaku,” kata Zoe kepada para penontonnya.“Untuk kalian semua, jangan bersedih ya. Besok aku akan kembali lagi. Tunggu aku dan nanti kita lakukan sesuatu yang menarik,” imbuh Zoe mengedipkan mata sambil melambaikan tanga
Zoe berjalan mondar-mandir di depan meja laptopnya lengkap dengan kostum penggoda iman yang akan disukai para penontonnya. Beberapa menit lagi dia akan melakukan live, tapi otaknya masih penuh dengan bagaimana mendapatkan uang untuk membayar hutang ayahnya tiga hari lagi dan uang dua ratus juta untuk ganti rugi atas kasus tabrakan yang dilakukan oleh ayahnya. “Apa aku harus menjual tubuhku?” gumam Zoe. ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Otaknya sudah buntu, tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dipikirkannya. Meski setiap live Zoe mendapatkan uang, uang-uang itu seakan tidak akan pernah cukup untuk membayar hutang-hutang ayahnya. Zoe menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. “Aku tidak akan memiliki apa-apa lagi jika benar-benar menjual tubuhku!” “Aku hanya memiliki keperawananku yang bisa aku banggakan.” Hati Zoe bergejolak, meski selama ini dia sering melakukan live streaming dengan konten 21+, dia tetap menjaga keperawanannya. Merasa dir
“Sial!” Zoe menendang kaleng di depannya ke sembarang arah. Dalam perjalanan pulangnya pun, dia masih mengingat kata-kata Xavier. Ancaman Xavier bukan hanya isapan jempol. Laki-laki berwajah tampan tapi berhati iblis itu sama sekali tidak memberikan toleransinya sedikit saja. Nilai mata kuliahnya dibiarkan kosong, meski dia sudah memohon untuk mengerjakan tugas. “Tidak bisakah dia lebih baik sedikit!” gerutu Zoe dengan bibir mencebik. Zoe menghela napas panjang. Kepalanya menengadah menatap langit yang terlihat begitu cerah. Andai saja kehidupannya sama seperti langit hari ini, tentu dia akan sangat bahagia. Sayangnya semua itu hanya ada dalam mimpinya. Jangankan hidup enak, pulang pergi ke kampus saja dia harus bersusah payah. Seperti saat ini, dia harus berjalan puluhan kilometer untuk sampai ke kontrakannya. “Akkhh… bisakah sehari saja hidupku berjalan lancar?!” gerutu Zoe kembali. “Bagaimana caranya biar aku bisa mendapatkan nilai plus di mata kuliah si raja iblis itu? Aku m
Suara gedoran pintu yang terdengar begitu nyaring, membuat Zoe berlari ke arah pintu. Zoe mendengus kesal. Matanya menyipit, jengah melihat keadaan yang sama. Baskoro–ayahnya datang dalam keadaan mabuk! “Berikan Ayah, uang!”Zoe tersenyum miring. Uang? Apakah ayahnya kira dia ini bank yang bisa dimintai uang setiap saat. Untuk kebutuhan sehari-hari saja dia harus berhemat, tapi ayahnya justru datang dengan keadaan memuakkan–mabuk dan kalah judi. “Aku tidak punya uang. Kemarin aku harus membayar hutang ayah! Seorang rentenir datang menagih hutang kemari!” jawab Zoe, muak.“Akhh….” Zoe meringis kesakitan. Ayahnya tanpa rasa kasihan menarik rambutnya kuat-kuat.“Itu sudah menjadi tugasmu! Kamu adalah anakku, jadi tidak salah kalau aku mengandalkanmu!” balas Baskoro.Tangan Zoe terkepal. Matanya memerah menahan rasa kesal bercampur benci. Ucapan macam apa itu. Bagaimana bisa seorang orang tua bisa mengatakan kata-kata menyakitkan dan tidak berperasaan seperti itu.“Cepat berikan Ayah ua