แชร์

Pelan-Pelan, Pak Dosen!
Pelan-Pelan, Pak Dosen!
ผู้แต่ง: Anggun_sari

Bab 1. Sang Penghibur

ผู้เขียน: Anggun_sari
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-29 16:03:24

Suara gedoran pintu yang terdengar begitu nyaring, membuat Zoe berlari ke arah pintu. Zoe mendengus kesal. Matanya menyipit, jengah melihat keadaan yang sama. Baskoro–ayahnya datang dalam keadaan mabuk!

“Berikan Ayah, uang!”

Zoe tersenyum miring. Uang? Apakah ayahnya kira dia ini bank yang bisa dimintai uang setiap saat. Untuk kebutuhan sehari-hari saja dia harus berhemat, tapi ayahnya justru datang dengan keadaan memuakkan–mabuk dan kalah judi.

“Aku tidak punya uang. Kemarin aku harus membayar hutang ayah! Seorang rentenir datang menagih hutang kemari!” jawab Zoe, muak.

“Akhh….” Zoe meringis kesakitan. Ayahnya tanpa rasa kasihan menarik rambutnya kuat-kuat.

“Itu sudah menjadi tugasmu! Kamu adalah anakku, jadi tidak salah kalau aku mengandalkanmu!” balas Baskoro.

Tangan Zoe terkepal. Matanya memerah menahan rasa kesal bercampur benci. Ucapan macam apa itu. Bagaimana bisa seorang orang tua bisa mengatakan kata-kata menyakitkan dan tidak berperasaan seperti itu.

“Cepat berikan Ayah uang! Teman-teman Ayah sudah menunggu Ayah!” sentak Baskoro. Ia melepaskan jambakannya pada rambut Zoe dengan keras, membuat gadis itu terhuyung dan hampir jatuh menyentuh ubin.

“Jangan menatap Ayah seperti itu!” desis Baskoro saat melihat kilatan kebencian dari mata putrinya. “Kamu tidak pantas memberikan tatapan kebencian pada orang yang sudah membesarkanmu!” imbuh Baskoro.

Zoe hanya tersenyum miring. Membesarkan? Membesarkan yang bagaimana yang dimaksud oleh ayahnya. Sejak sang ibu pergi meninggalkan mereka entah kemana karena muak dengan kehidupan mengerikan ini, hidupnya bagai di neraka. Setiap malam untuknya adalah sebuah ketakutan.

Ayahnya tak jarang mengajak para temannya untuk datang ke rumah mereka. Bermain kartu dan bersenang-senang, hingga satu malam mencekam, membuat Zoe memutuskan untuk pergi dari rumah dan tinggal sendiri. Teman ayahnya hampir melakukan tindakan tak senonoh saat itu.

“Cepat! Mana uangnya?!” Tangan Baskoro menengadah, menunggu uang yang dimintanya.

“Tidak ada!” jawab Zoe bersikukuh.

Uang di dompetnya hanya tinggal lima ratus ribu, dan uang itu akan ia gunakan untuk membayar buku yang dibelinya beberapa hari yang lalu serta membayar tagihan listrik rumah tempat tinggal ayahnya.

Keputusannya untuk tinggal sendiri adalah ingin mendapatkan ketenangan meski hanya sedikit. Namun, nyatanya itu tak pernah ia dapatkan. Selain membiayai kuliahnya sendiri, ia juga harus memenuhi kebutuhan ayah dan juga adiknya, termasuk membayar hutang ayah dan biaya sekolah sang adik. Ayahnya juga kerap kali mendatanginya ketika mabuk dan membutuhkan uang. Ia sudah pernah pindah tempat dan tidak menghubungi keluarganya. Bermaksud melepaskan kontak, tapi ayahnya selalu bisa menemukannya dimanapun ia berada.

“Minggir!” sentak Baskoro.

Seolah tak mau mendengar ucapan Zoe, Baskoro masuk begitu saja ke dalam kontrakan putrinya. Dengan tubuh terhuyung, ia masuk ke dalam kamar sang putri. Kamar dengan lampu kerlap kerlip bernuansa pastel membuat kesan hangat di sana.

Sebuah seringai menghiasi wajahnya ketika ia menemukan dompet berwarna krem di atas meja. Dengan tanpa izin, ia membuka dompet itu. Senyum di bibirnya terbit saat mendapati lima lembar uang warna merah ada di dalamnya. Malam ini ia akan pesta besar. Zoe–putrinya selalu bisa ia andalkan.

“Tidak, jangan ambil itu!” mohon Zoe. Matanya memohon agar sang ayah tidak mengambil uang terakhir yang dia miliki.

Baskoro tersenyum miring. Pria dengan perut buncit itu berjalan mendekati Zoe setelah tadi mengambil uang sang putri dan menyimpannya ke dalam saku celananya.

“Tidak punya uang?” Baskoro menarik kembali rambut Zoe. Kali ini lebih kuat dan menyakitkan, membuat mata Zoe berkaca-kaca menahan tangis.

“Mau berbohong?” sentak Baskoro.

Baskoro melepas kasar tarikannya, membuat tubuh Zoe terhuyung ke belakang membentur siku tembok, menyisakan rasa nyeri di bahunya. Tak puas hanya menyakiti Zoe dengan cara menjambak rambut sang putri, tangan gempal Baskoro melayang di udara dan mendarat keras di pipi mulus Zoe. Panas dan menyakitkan. Tamparan itu menyisakan bekas yang bisa dilihat oleh siapapun.

Membalas? Tidak! Zoe hanya bisa diam dengan segala rasa tak terima yang hanya mampu dia simpan rapat-rapat di dalam hatinya. Dia tidak akan pernah bisa melawan ayahnya. Tidak sekarang, tidak juga nanti.

“Jangan pernah berbohong kepadaku, atau kamu akan tahu akibatnya!” Ancam Baskoro sambil menepuk pelan pipi Zoe, kemudian bergegas pergi.

Tubuh Zoe merosot. Ia menangis menghilangkan rasa sesak di dadanya. Ia benar-benar lelah dan inilah salah satu yang bisa dilakukannya untuk meringankan setiap rasa menyakiti di hatinya. Setelah puas, ia berjalan ke arah meja riasnya. Surat tagihan listrik yang sudah jatuh tempo serta tagihan lainnya berjejer di atas meja riasnya, menambah sesak di dada.

Tak ingin terlalu larut dalam kesedihannya, ia mulai mengambil concealer untuk menutupi bercak tangan di pipinya. Ia harus kembali melakukan aktivitasnya setiap malam untuk mengumpulkan pundi-pundi uang demi kebutuhan yang tak pernah ada habisnya. Ada satu donatur setia yang bisa menopang kehidupannya sehari-hari. Koin-koin yang diberikannya setiap malam, selalu menjadi penolong bagi kehidupannya yang menyedihkan.

“Selamat malam semuanya… apa kalian sudah merindukanku?”

***

“Haist… gawat, aku bisa mati hari ini!” gerutu Zoe yang baru bangun sekitar pukul 6 pagi, sementara kuliahnya akan dimulai dua jam lagi.

Tugas dari dosen killer yang harusnya ia kumpulkan tengah malam kemarin, bahkan tidak disentuhnya sama sekali. Tanpa mandi, ia segera mengganti pakaiannya dan melesat pergi menuju kampus. Setelah tidak mengerjakan tugas, ia tidak boleh terlambat masuk.

Hidupnya benar-benar di ujung tanduk jika ia sampai terlambat di jam pelajaran Xavier Admajaya—si dosen killer yang terkenal tidak kenal ampun jika ada mahasiswanya yang tidak patuh.

“Zoe….”

Zoe menelan ludahnya susah payah. Tubuhnya seketika menegang saat mendengar suara dari orang yang ingin sekali dihindarinya. Xavier Admajaya—pria itu berdiri di belakangnya saat ini.

“Tidak mengumpulkan tugas lagi?!” seru Xavier.

Zoe meremas jari-jarinya. Mata tajam Xavier yang saat ini tengah menatapnya, membuat bulu kuduknya meremang.

“Ma—maaf Pak, sa—saya—”

Matanya menatap tajam Zoe, seolah tengah melakukan penilaian pada mahasiwinya itu. “Apa yang kamu lakukan tadi malam hingga melewatkan jadwal pengumpulan tugas?”

“Saya tertidur, Pak!” Zoe memejamkan mata, tidak berani menatap wajah Xavier. Sikap Xavier yang mengintimidasi membuat nyalinya menciut.

“Tertidur?” ulang Xavier dengan smirk evilnya.

“Bersiaplah tidak lulus di mata kuliah saya!”

Zoe hanya bisa menghela pasrah selepas kepergian Xavier. Zoe yang hendak melangkah pergi, menghentikan langkahnya saat mendapati sapu tangan Xavier terjatuh secara tidak sengaja dari saku celananya.

“Pak, sapu tangan… Anda….”

Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali saat melihat sapu tangan milik Xavier. Hanya untuk sebuah sapu tangan, pria itu memakai barang dari desainer ternama.

“Dia benar-benar kaya,” gumam Zoe.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
Sherly Monicamey
nggak bisa ya bapaknya ditinggal aja
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 85. Aku adalah milikmu

    Zoe menggaruk kepalanya yang tak gatal beberapa kali. Suasana terasa canggung usai kepergian Nora beberapa menit yang lalu. Dia dan Xavier saat ini duduk di sofa dengan TV yang menyala, tapi pikirkan mereka melayang kemana-mana.“Mau pergi jalan-jalan?” tawar Xavier memecah kesunyian.“Huh…?” Zoe tercengang. Otaknya masih dipenuhi oleh kata-kata Xavier tadi. Pengakuan pria itu, cukup mengganggunya. Apalagi Xavier bersikap seolah tak pernah mengatakan apapun setelah kepergian Nora. Pria itu terlihat tenang dan tidak terbebani sama sekali.Xavier menarik napas panjang. “Ayo kita jalan-jalan!” ucapnya lagi.Zoe tersenyum canggung. Kepalanya mengangguk secara spontan. Sepertinya sebuah respon yang diberikan begitu saja akibat terlalu lama terkurung di dalam apartemen.“Eum…kalau begitu aku akan pergi mandi dulu,” ucap Zoe.Entah terlalu bersemangat atau apa, Zoe segera bangkit dari duduknya. Namun, belum juga melangkah tangannya sudah ditarik oleh Xavier. Kening Zoe mengkerut, matanya me

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 84. Dia adalah kekasihku

    “Hem…baiklah. Awasi saja dulu.”Zoe menghentikan langkahnya. Ia yang tadinya ingin ke dapur seketika menghentikan niatnya. Telinganya ia pasang baik-baik untuk mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Xavier. Beberapa hari ini pria itu bersikap aneh. Tidak hanya hari ini, ia sudah memergoki Xavier melakukan panggilan telepon yang terasa mencurigakan beberapa kali sejak keluar dari rumah sakit.Tepat seminggu ia keluar dari rumah sakit, dan selama seminggu itu pula ia belum kembali lagi ke kampus. Xavier melarangnya. Alasannya karena ia masih membutuhkan pemulihan.“Aku sudah memesankan makan, habiskan semuanya agar kamu cepat pulih.” Xavier segera mengakhiri panggilannya. Ia berjalan mendekati Zoe, menuntut wanita itu ke bar dapur. Dia sana sudah tersaji beberapa menu kesukaan Zoe. Mulai dari makanan pembuka hingga makanan penutup. Tak lupa ia membelikan beberapa cemilan untuk menemani hari-hari Zoe saat ditinggalnya bekerja.“Apa aku masih belum boleh masuk ke kampus? Aku bos

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 83. Aku tidak akan membunuhnya

    “Mungkin lain kali kita bisa bicara berdua.”Xavier menurunkan ucapan Zoe dengan seringai di wajahnya. Tatapan dalam dan menusuk.Zoe melangkah mundur, tenggorokannya mendadak susah menelan. Wajah dingin Xavier yang menatapnya seolah sebagai target, membuat jantungnya memompa lebih cepat. Hanya beberapa kalimat yang sama sekali tidak berarti baginya, tapi menjadi masalah bagi Xavier. Napas Zoe semakin memburu, debaran jantungnya bekerja lebih cepat dua kali lipat saat tangan Xavier kembali merengkuh pinggangnya.Hembusan napas Xavier yang menerpa kulit wajahnya, seolah seperti sebuah tanda bahwa Xavier akan menegaskan kepemilikannya sekali lagi.Xavier benar-benar tidak suka jika miliknya bersinggungan dengan orang lain.“E–Eros, apa yang ingin kamu lakukan?” gagap Zoe.Zoe tak lagi bisa melangkah mundur. Rengkuhan posesif Xavier membuatnya diam ditempat dengan tubuh kaku. Hatinya merapalkan beberapa doa, berharap tidak akan ada siapapun yang masuk. Meski belum melakukan apapun, bu

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 82. Pengakuan?

    “A–Adam….”Kening Xavier mengkerut. Tangannya menahan tangan Zoe yang ingin mendorong tubuhnya. Sementara tangan satunya merengkuh pinggang Zoe posesif, memutar tubuh mereka menatap Adam yang berdiri di depan pintu dengan wajah kebingungan dan penuh tanya.Tidak ada rasa gugup ataupun gelisah di wajah Xavier. Pria itu justru tersenyum tipis di balik wajah dinginnya.“Tersenyumlah sedikit. Kita tidak sedang beradegan kepergok selingkuh,” ucap Xavier dengan suara pelan tapi penuh perintah.“Kamu adalah milikku Zoe, ingat itu!” tambah Xavier.Zoe sedikit terperangah. Kali ini Xavier memanggil namanya, bukan Angel. Beberapa waktu yang lalu telinganya memang tidak lagi menangkap Xavier memanggilnya dengan panggilan Angel. Ia pikir pria itu memang sedang tidak ingin menyebut namanya yang lain. Namun, siapa yang menyangka bahwa ternyata dibalik diamnya Xavier, pria itu ternyata diam-diam mengabulkan keinginannya tanpa bertanya.Ia memang tidak ingin lagi mendengar nama Angel. Rasanya setiap

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 81. Aku merindukanmu

    Xavier menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. Saat ini dia sudah berada di depan deretan roti yang diinginkan Zoe. Matanya terpejam beberapa kali sementara tangannya memijat pelipisnya yang sama sekali tidak sakit. Melihat deretan roti khusus wanita dengan berbagai merk dan model, kepalanya mendadak menjadi pusing.Tanpa pikir panjang, tangan Xavier mengambil satu persatu untuk setiap merek dan model roti yang diinginkan oleh Zoe lalu dibawanya keranjang belanja berisi tumpukan roti itu ke kasir. “Anda ingin membeli semua ini?” tanya petugas kasir meyakinkan Xavier. Masalahnya bukan hanya dua atau tiga roti jepang yang dibeli Xavier, tapi lebih dari lima belas roti jepang.Xavier berdehem. Wajahnya merah, menahan malu. Hanya Zoe satu-satunya orang yang bisa menjatuhkan harga dirinya seperti ini. “Hem, hitung semuanya dan masukkan ke tas belanja,” jawab Xavier dengan suara dingin.Si petugas kasir mengangguk. “Baiklah.”Usai melakukan pembayaran, Xavier bergegas kembali ke kamar ra

  • Pelan-Pelan, Pak Dosen!    Bab 80. Minta tolong

    Bab 80. Minta tolong“Iya, aku sangat ingin berduaan dengan Adam. Jadi pergilah!” Tangan Xavier mengepal. Dahinya mengkerut, tatapannya tajam. Bibirnya terkatup rapat, otot wajahnya menegang serta rahangnya mengencang. Pengakuan yang diberikan oleh Zoe seolah membangkitkan kembali rasa cemburunya. Telinganya panas, dia tidak suka mendengar pengakuan itu. Hatinya menolak keras. Baginya Zoe hanya untuknya. Wanita itu tidak akan bisa lari, meski ingin.“Pergi!” Seolah tak puas mengatakan satu kali, Zoe kembali mengusir Xavier. Xavier menghela napas berat. “Apa kamu sedang mengujiku saat ini!” balas Xavier dingin.“Baiklah jika itu maumu, ayo kita tunggu penyelamatmu itu datang.” Bukan menuruti kemauan Zoe untuk pergi, Xavier justru kembali duduk dengan tenang, membuat Zoe yang tadinya memalingkan wajah enggan menatap Xavier terusik. “Kenapa?” seru Xavier saat Zoe menatapnya dengan tatapan protes. “Bukankah ini yang kamu inginkan,” imbuhnya.“Berhenti bermain-main, Eros! Sebaiknya sek

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status