“Sial!”
Zoe menendang kaleng di depannya ke sembarang arah. Dalam perjalanan pulangnya pun, dia masih mengingat kata-kata Xavier. Ancaman Xavier bukan hanya isapan jempol. Laki-laki berwajah tampan tapi berhati iblis itu sama sekali tidak memberikan toleransinya sedikit saja. Nilai mata kuliahnya dibiarkan kosong, meski dia sudah memohon untuk mengerjakan tugas. “Tidak bisakah dia lebih baik sedikit!” gerutu Zoe dengan bibir mencebik. Zoe menghela napas panjang. Kepalanya menengadah menatap langit yang terlihat begitu cerah. Andai saja kehidupannya sama seperti langit hari ini, tentu dia akan sangat bahagia. Sayangnya semua itu hanya ada dalam mimpinya. Jangankan hidup enak, pulang pergi ke kampus saja dia harus bersusah payah. Seperti saat ini, dia harus berjalan puluhan kilometer untuk sampai ke kontrakannya. “Akkhh… bisakah sehari saja hidupku berjalan lancar?!” gerutu Zoe kembali. “Bagaimana caranya biar aku bisa mendapatkan nilai plus di mata kuliah si raja iblis itu? Aku membutuhkan nilai sempurna untuk bisa lulus!” “Haruskah aku merayunya?” Zoe bermonolog sendiri. “Tidak tidak tidak, aku yakin cara ini tidak akan berhasil. Si raja iblis Xavier tidak pernah tersenyum pada wanita, sekalipun wanita itu memiliki paras cantik dan menarik.” Alis Zoe menyipit. “Tunggu dulu, jangan-jangan dia—gay?!” Zoe menutup mulut dengan tangannya, bergidik ngeri membayangkan jika apa yang dikatakannya adalah sebuah kenyataan. “Iya, dia pasti seorang gay. Nyatanya dia tidak pernah terlibat dengan wanita,” celoteh Zoe. “Lalu bagaimana agar aku bisa lulus mata kuliahnya, Tuhan…?” Zoe mengacak rambutnya frustasi. Namun, sedetik kemudian alisnya menyipit menatap panik pada dua sosok pria bertubuh besar yang berdiri di depan kontrakannya. Kedua pria itu terlihat celingukan mengintip keadaan di dalam kontrakannya. Jika bukan karena ayahnya yang berhutang pada mereka, tentu ia tidak akan berurusan para penagih hutang tersebut. Setiap bulan ia harus membayar hutang-hutang ayahnya yang tidak pernah ada habisnya. Ayahnya seorang penjudi dan pemabuk yang suka meminjam uang untuk mencari kepuasannya sendiri. Tidak ingin berurusan dengan mereka, ia memilih untuk kabur. Ia berjalan mengendap-endap, sambil merapalkan doa. Namun, sungguh sial, tetangganya dari arah berlawanan dengan wajah tanpa dosa memanggilnya dengan keras. “Zoe…!” Zoe melebarkan senyum kaku. Kepalanya spontan melirik ke belakang, dua orang yang tadi sedang mencarinya kini berjalan menghampirinya. “Zoe, aku ingin….” “Ha ha ha… nanti saja. Aku masih ada urusan penting,” potong Zoe dengan cepat. Zoe berlari pergi. Ia tidak lagi memperdulikan tetangganya yang terlihat bingung, apalagi saat ada dua orang pria yang mengejarnya. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin. “Haist… sial, apa mereka tidak lelah?!” gerutu Zoe ketika dua pria itu masih mengejarnya. Napasya sudah di ujung tanduk. Ia sudah berlari jauh untuk menghindar, tapi pria-pria itu tak juga menyerah. “Mau kemana kamu?” sergah pria dengan kumis di wajahnya yang tiba-tiba ada di depan Zoe. “Ha ha ha… a–apa kabar?” balas Zoe dengan napas memburu. Zoe mengumpat dalam hati. Sungguh sial nasibnya! Sudah berlari jauh-jauh nyatanya ia tertangkap juga. Lintah darat memang semenakutkan itu, mereka tidak akan dengan mudah melepaskan mangsanya. “Jangan pernah berniat kabur dari kami, paham?!” Satu pria yang ada di belakang Zoe menimpali. Zoe berusaha melebarkan senyumnya, di tengah napasnya yang naik turun. “Aku sama sekali tidak kabur. Tadi aku hanya ingin mengambil bukuku yang ketinggalan di kampus,” sahut Zoe berbohong. “Oh ya… apa kamu yakin?” balas si pria yang memiliki perut buncit. Zoe menganggukkan kepalanya. “Sungguh!” Pria dengan kumis itu menyeringai. “Jangan pernah berpikir untuk kabur dari kami. Bersembunyi di lubang semut pun, kami akan menemukanmu!” Ancamnya. “Sekarang lebih baik kamu bayar hutang ayahmu! Semalam ayahmu berhutang pada kami lagi!” kata si pria kumisan. Zoe mengernyitkan keningnya. “Lagi? Kali ini berapa banyak dia berhutang?” tanya Zoe benar-benar muak. Semalam ayahnya sudah mengambil uang terakhir miliknya, tapi pria itu tetap berhutang pada rentenir. “Dan untuk cicilan hutang ayahku, bukankah aku sudah membayarnya minggu lalu,” balas Zoe. Yang benar saja, minggu lalu dia baru membayar hutang ayahnya sebesar sepuluh juta rupiah. Jika hari ini dia harus membayar lagi, tentu dia tidak bisa. Uang yang dihasilkannya semalam dia gunakan untuk membayar cicilan lainnya dan juga biaya kuliahnya. Pria berperut buncit dan pria berkumis itu saling melemparkan pandangan, lalu tertawa keras. “Kamu pikir uang itu cukup untuk membayar hutang ayahmu. Membayar bunganya saja kurang!” ujar si pria berkumis sarkas. Zoe mengepalkan tangannya, muak dengan keadaannya saat ini. Namun, tak bisa melakukan apa-apa. “Sebaiknya bayar sekarag juga hutang ayahmu! Kami bukan badan amal!” sentak pria berperut buncit. “Aku pasti akan membayarnya, tapi tidak sekarang. Aku benar-benar tidak punya uang sekarang, tolong beri aku waktu?” pinta Zoe memohon. Pria berkumis itu tersenyum miring. “Tidak bisa bayar ya. Baiklah, tapi bagaimana jika kamu membayarnya dengan cara lain?” Zoe mengernyitkan kening. Kakinya melangkah mundur saat melihat tatapan mesum dari pria berkumis itu. Pria itu menatapnya dari atas hingga bawah dengan mata seolah tengah menelanjanginya. “Jangan macam-macam! Aku bisa berteriak kalau kalian berani macam-macam!” Ancam Zoe. Pria berkumis itu mengusap kumisnya sambil tersenyum miring. “Ah… kamu sedang mengancam kami?” “Hanya jika kalian melakukan hal yang aneh-aneh padaku!” seru Zoe. Pria berkumis itu tertawa keras. “Lakukan, maka aku akan mengatakan jika kamu membawa kabur uangku! Aku bisa memberikan mereka bukti-bukti catatan hutang ayahmu. Jika seperti itu, kira-kira mereka akan membela siapa?!” Manik mata Zoe bergerak gelisah. Dia tidak mau berakhir di tangan pria-pria menakutkan itu. “Berikan aku waktu tiga hari!? Aku pasti akan membayarnya,” ucap Zoe akhirnya. “Tiga hari?” ulang si pria berkumis. “Baiklah, kami akan datang tiga hari lagi,” lanjutnya. “Ingat, jangan berpikir untuk kabur ataupun menghilang! Sampai bertemu tiga hari lagi. Aku menunggu uang darimu.” Pria berkumis itu tersenyum miring, tangannya menepuk bahu Zoe sebelum pergi meninggalkannya. Zoe memejamkan matanya. Tubuhnya seketika melorot, menangis sejadi-jadinya. “Bagaimana aku bisa mendapatkan uang dalam tiga hari?” “Zoe…?” Zoe mendongak, matanya yang sembab menatap kesal pada sosok Baskoro yang berdiri di depannya. Tanpa bersuara Zoe melenggang pergi meninggalkan ayahnya menuju ke kontrakannya. Dia sedang tidak ingin diganggu saat ini. “Zoe…!” Baskoro menarik tangan Zoe, membuat putrinya itu berhenti. Zoe menghela napas kesal. Matanya menatap malas pada sosok ayah yang seharusnya menjadi pelindung bagi anaknya, tapi tidak bagi Baskoro. Pria itu justru menyakiti serta mendorongnya jauh ke lembah kegelapan untuk membereskan setiap masalah yang dibuatnya. “Apa lagi?” sahut Zoe geram. “Ayah menabrak seseorang!” terang Baskoro. “Dan mereka meminta ganti rugi,” lanjutnya. Zoe memejamkan mata. Tangannya terkepal kesal. Cobaan apa lagi ini. Beberapa menit yang lalu dia baru ditagih oleh rentenir, dan sekarang ayahnya membawa kabar yang sangat tidak ingin didengarnya. Baskoro menggenggam tangan Zoe, berusaha memohon pada putrinya. “Bantu Ayah membayarnya. Hem…?” “Berapa?” dengus Zoe. ia menghempaskan tangan Baskoro yang terlalu lama menggenggamnya, dan lebih memilih melipat tangannya di atas dada. “Dua ratus juta!”Zoe merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lima belas menit lagi dia harus memulai livenya, tapi entah kenapa rasanya dia malas melakukan apa yang sudah menjadi kebiasaannya itu. Andai penghasilan yang didapatkannya selama ini tidak terus habis, pasti dia akan selalu bersemangat setiap kali memulai livenya. “Eros…?” Tubuh Zoe meremang. Panggilan suara dari Eros, membuatnya kelimpungan. Laki-laki itu tahu dia akan memulai livenya sebentar lagi, tapi dia justru menghubunginya. Selain itu, dia juga belum siap jika Eros menagih janjinya–menghabiskan malam bersama. “Sedang bersiap-siap?” Sapaan suara berat dari Eros, membuat Zoe menggigit bibirnya. Jantungnya berdebar kencang bahkan sebelum Eros mengatakan maksudnya melakukan panggilan telepon. “Heem…,” jawab Zoe. “Boleh jika malam ini kamu tidak melakukannya?” Pinta Eros. Zoe yang awalnya berbaring di kasur, seketika duduk bersila. Permintaan Eros itu terdengar seperti permintaan seorang kekasih yang tidak mau melihat kekasihnya
“Ha ha ha… Pax Xavier.” Zoe mengusap belakang kepalanya. Kali ini dia benar-benar mencari masalah. “Kok Bapak, ada di luar. Bukankah seharusnya Bapak menunggu di dalam? ” Xavier menatap lurus Zoe. Tidak ada ekspresi yang dapat dibaca dari wajah tampannya. Matanya yang tajam serta alisnya yang mengkerut, cukup membuat lawan bicaranya merasa terintimidasi. “Memangnya kenapa kalau saya di luar? Bukankah ini kampus tempatku mengajar. Dimanapun aku berada, itu bukan urusanmu!” sahut Xavier menusuk. “Atau jangan-jangan kamu tidak ingin saya keluar dari ruangan saya, agar saya tidak bisa mendengar umpatan-umpatan yang kamu tunjukkan untuk saya?!” lanjut Xavier terlihat kesal. “Pria tua? Lalu apa lagi?” “Ha ha ha… Bapak terlalu sensitif. Saya sama sekali tidak mengumpat pada Bapak tadi,” sahut Zoe. “Benarkah? Apa kamu yakin?” Zoe mengangguk dengan cepat menjawab pertanyaan Xavier. Meski kenyataannya benar, tentu dia tidak boleh berkata jujur. Hidupnya akan benar-benar berakhir
“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberimu 400.000 koin.”“Eros: memberikan 400.000 koin.”Zoe mengerjapkan matanya beberapa kali, tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara di bawah meja, kakinya sudah bergerak gelisah. Eros telah memberikan empat ratus ribu koin sebanyak empat kali, yang jika dirupiahkan akan mencapai angka dua ratus juta. Itu artinya dia benar-benar akan kehilangan keperawanannya.“Ini nomorku. Mari kita berbincang setelah kamu mengakhiri live malam ini. Eros! ”Zoe menelan ludahnya susah payah. Hidupnya benar-benar akan hancur detik ini juga.“Sayang sekali, malam ini aku terpaksa harus mengakhiri live. Aku harus membahas sesuatu yang menarik dengan orang yang telah memberikan dua ratus juta kepadaku,” kata Zoe kepada para penontonnya.“Untuk kalian semua, jangan bersedih ya. Besok aku akan kembali lagi. Tunggu aku dan nanti kita lakukan sesuatu yang menarik,” imbuh Zoe mengedipkan mata sambil melambaikan tanga
Zoe berjalan mondar-mandir di depan meja laptopnya lengkap dengan kostum penggoda iman yang akan disukai para penontonnya. Beberapa menit lagi dia akan melakukan live, tapi otaknya masih penuh dengan bagaimana mendapatkan uang untuk membayar hutang ayahnya tiga hari lagi dan uang dua ratus juta untuk ganti rugi atas kasus tabrakan yang dilakukan oleh ayahnya. “Apa aku harus menjual tubuhku?” gumam Zoe. ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Otaknya sudah buntu, tidak ada lagi jalan keluar yang bisa dipikirkannya. Meski setiap live Zoe mendapatkan uang, uang-uang itu seakan tidak akan pernah cukup untuk membayar hutang-hutang ayahnya. Zoe menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. “Aku tidak akan memiliki apa-apa lagi jika benar-benar menjual tubuhku!” “Aku hanya memiliki keperawananku yang bisa aku banggakan.” Hati Zoe bergejolak, meski selama ini dia sering melakukan live streaming dengan konten 21+, dia tetap menjaga keperawanannya. Merasa dir
“Sial!” Zoe menendang kaleng di depannya ke sembarang arah. Dalam perjalanan pulangnya pun, dia masih mengingat kata-kata Xavier. Ancaman Xavier bukan hanya isapan jempol. Laki-laki berwajah tampan tapi berhati iblis itu sama sekali tidak memberikan toleransinya sedikit saja. Nilai mata kuliahnya dibiarkan kosong, meski dia sudah memohon untuk mengerjakan tugas. “Tidak bisakah dia lebih baik sedikit!” gerutu Zoe dengan bibir mencebik. Zoe menghela napas panjang. Kepalanya menengadah menatap langit yang terlihat begitu cerah. Andai saja kehidupannya sama seperti langit hari ini, tentu dia akan sangat bahagia. Sayangnya semua itu hanya ada dalam mimpinya. Jangankan hidup enak, pulang pergi ke kampus saja dia harus bersusah payah. Seperti saat ini, dia harus berjalan puluhan kilometer untuk sampai ke kontrakannya. “Akkhh… bisakah sehari saja hidupku berjalan lancar?!” gerutu Zoe kembali. “Bagaimana caranya biar aku bisa mendapatkan nilai plus di mata kuliah si raja iblis itu? Aku m
Suara gedoran pintu yang terdengar begitu nyaring, membuat Zoe berlari ke arah pintu. Zoe mendengus kesal. Matanya menyipit, jengah melihat keadaan yang sama. Baskoro–ayahnya datang dalam keadaan mabuk! “Berikan Ayah, uang!”Zoe tersenyum miring. Uang? Apakah ayahnya kira dia ini bank yang bisa dimintai uang setiap saat. Untuk kebutuhan sehari-hari saja dia harus berhemat, tapi ayahnya justru datang dengan keadaan memuakkan–mabuk dan kalah judi. “Aku tidak punya uang. Kemarin aku harus membayar hutang ayah! Seorang rentenir datang menagih hutang kemari!” jawab Zoe, muak.“Akhh….” Zoe meringis kesakitan. Ayahnya tanpa rasa kasihan menarik rambutnya kuat-kuat.“Itu sudah menjadi tugasmu! Kamu adalah anakku, jadi tidak salah kalau aku mengandalkanmu!” balas Baskoro.Tangan Zoe terkepal. Matanya memerah menahan rasa kesal bercampur benci. Ucapan macam apa itu. Bagaimana bisa seorang orang tua bisa mengatakan kata-kata menyakitkan dan tidak berperasaan seperti itu.“Cepat berikan Ayah ua