“Siapa dia? Untuk apa mereka ke sini?” kata sebuah suara yang kudengar dari arah belakang kepala. Tentu saja aku terkejut dan langsung menoleh.Ahk, dia lagi!Ternyata Mas Ragil sudah berdiri tepat di belakang punggungku hingga saat aku berusaha menghindar, senggolan antar bahu tak bisa kuhindari.“Mas Ragil ini ngagetin aja, sih!” Aku berkata dengan ketus, hampir saja tidak bisa menahan diri dan ingin rasanya memukul pria itu.Aku juga kesal pada Mas Ragil ia sudah bagus menghilang lebih dari sepekan ini, tahu-tahu muncul seperti hantu di siang hari. Lagian, dia lewat dari mana, sih? Perasaan sejak aku tadi berdiri di pintu pagar kontrakan, tidak ada orang lain lagi yang lewat, selain nyamuk atau lalat.Mas Ragil tidak mengomentari gerutuan di mulutku, tapi dia terus melihat ke arah Abid dan Firman yang masih berdiri di dekat mobil mereka masing-masing. Namun, tak lama kemudian mereka pergi.Setelah itu, aku melangkah pergi ke kontrakanku sendiri dan Mas Ragil mengikuti.“Siap
“Kamu mau bicara soal Abid apa soal pernikahan kita?” balasan dari Mas Ragil begitu cepat, membuatku merasa berarti.Percaya diri sekali dia. Aku tidak menjawab lagi pesannya, karena aku berniat untuk menghubunginya kembali setelah selesai melipat pakaian. Namun, ternyata dia menghubungiku terlebih dahulu.Aku membiarkan telepon berdering beberapa saat lamanya hingga panggilannya berakhir dengan sendirinya. Tak lama setelah itu, ia mengirimkan pesan.“Katanya mau ngomong di telepon, kenapa nggak diangkat?” Aku pun menjawab, “Nanti!”Tak ada jawaban. Baru setelah aku selesai membersihkan baju dan mandi serta sholat ashar, barulah aku meneleponnya kembali.“Halo! Gimana, Dek?” Mas Ragil langsung menjawab panggilanku, setelah bunyi nada sambung ke satu.Wah, wah, semangat sekali sih, calon suamiku itu.“Udah sholat ashar belum, Mas?” tanyaku sekedar memastikan kalau ia sudah melaksanakan kewajibannya itu.“Sudah! Itu nomor satu, seperti kamu!”Aku memilih diam mendengar gombalannya ya
Firman menoleh saat ia mendengar suara seseorang memanggil nama Mina, tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia langsung menutup teleponnya terserah sepihak dan tidak peduli kalau Abid marah padanya. Ia menyimpan benda lebih itu ke dalam saku celana, lalu menghampiri Mina. Gadis Itu tampak sedang berbicara dengan salah seorang tetangga kontrakannya. Firman baru mendekat, tidak seberapa mengerti tentang apa yang dibicarakan oleh dua orang wanita itu, tetapi, ia baru kalau ternyata Mina tidak berada di rumahnya. “Saya itu mau pulang, Teh Nena!” kata Mina pada wanita yang telah mengagetkannya. “Loh, memangnya dari mana?” tanya Nena. “Dari laundry Teh Mela, lagi males nyuci!” “Jangan malas-malas Mbak Mina, biar nanti calon suaminya ganteng!” “Ah, teh Nena bisa saja!” “Mina! Kamu di sini? Aku baru saja mau ke rumahmu?” kata Firman memutus percakapan dua wanita, yang segera menoleh dngan cepat, ke arah pria yang tiba-tiba menyapa mereka. “Siapa dia, Mbak Mina, ganteng sekali, calon suamin
“Fir! Kita ngobrolnya di sini saja!” kata Mina seraya melambaikan tangan pada Firman agar mempercepat langkahnya.“Kenapa di sini, nggak di rumahmu saja?” tanya Firman, karena ia merasa kurang bebas kalau harus ngobrol di sana, ada sesuatu yang ingin ditanyakan secara rahasia kepada Mina.Laki-laki itu menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat di sekitarnya ada beberapa ibu-ibu yang memperhatikan mereka. “Memangnya kenapa kalau di sini? Nggak enak kalau kita bicara berdua di dalam rumah, Fir, takut ada fitnah!” kata Mina, ia tidak ingin pada tetangganya berpikiran macam-macam tentang dirinya dan firman. Ia juga khawatir kalau tiba-tiba saja Ragil datang, saat ia berbicara dengan firman di dalam rumah tentu akan jadi masalah.Terkadang kemunculan pria itu tidak bisa diprediksi—tahu-tahu muncul, tapi kemudian ia menghilang.Mina sudah tahu bahwa, ibu-ibu itu memang sangat kurang kerjaan sehingga mereka senang sekali, melihat sesuatu yang baru dan bisa dijadikan bahan gosipan.Apalagi
“Jadi, kamu nggak percaya?” tanya Ragil ikut berdiri.Sebenarnya Ragil tidak mengharapkan perkelahian ataupun ucapan kasar dari laki-laki itu. Walaupun, Firman tampak seperti pria berpendidikan, tapi ia terkesan meremehkan orang lain tanpa pertimbangan. Padahal, yang Ragil katakan hanyalah kejujuran saja. Dalam hati Ia juga gemas dengan Mina, yang terlihat enggan mengakuinya sebagai calon suaminya.Ragil sempat berpikir negatif apakah ia tampak begitu buruk di hadapan calon istrinya.Hari itu Ragil sengaja pergi ke sebuah barbershop untuk memangkas rambutnya agar rapi. Mengingat sebentar lagi adalah hari pernikahan yang sangat penting baginya. Jadi, ia cukup sibuk. Ragil sibuk mempersiapkan pernikahannya, termasuk mas kawin yang sesuai keinginan calon istrinya. Memberi informasi kepada saudara, dan kerabatnya, baik yang dekat, maupun yang jauh. Apalagi, beberapa keluarga wakil dari ayah dan ibunya, mereka tidak bisa hanya sekedar diberitahu saja. Hari ini ia sengaja memakai pak
“Awas kamu, Ragil!” pekik Firman sambil memukul satir mobilnya.Ia patah hati dan merasa khawatir kalau Abid akan berbuat sesuatu padanya, karena kecewa. Ia benar-benar ingin menikahi Mina, terlepas dari siasat Abid dan masa lalu mereka. Namun, kehadiran pria bernama Ragil itu sungguh melukai perasaannya sebagai seorang pria. Kalau saja ia tahu bahwa, dahulu ucapan yang dikatakan oleh ibu Mina hanyalah akal-akalan agar ia gagal menikahinya, maka ia akan nekat melakukan apa yang dia inginkan pada Mina.Firman menjalankan kendaraannya, dan pergi menemui saudara sepupunya. Mereka mengadakan perjanjian untuk bertemu di sebuah tempat. Abid datang tak lama setelah Firman tiba di tempat itu. Ia menatap nyalang pada sepupunya dari dalam mobilnya. Ia kecewa, karena terlanjur berharap banyak pada saudara pria itu agar pikiran dan hatinya tenang, seperti sebelum bertemu Mina. Namun, ternyata Firman tidak bisa diandalkan. Mau tidak mau ia hanya bisa pasrah dengan keadaan, karena tidak mungkin ju
Aku melangkah ke rumahku setelah mengucapkan terima kasih kepada Mas Ragil yang sudah mengakui kalau dia adalah calon suamiku.“Dek Mina! Kamu marah?” katanya sambil mengiringi langkahku.Aku menoleh padanya kesal, “Nggak! Nggak marah!”“Tapi kok cemberut begitu bilang terima kasihnya?” tanyanya semakin membuatku kesal.“Mas! Ingat, ya! Kita ini belum sah! Jadi, jangan sok-sokan ikut campur urusan aku, apalagi buat nurutin kemauan kamu, Mas! Oke?”“Maksud aku itu baik, Dek! Biar laki-laki itu nggak deketin kamu terus!” katanya membela diri.“Mas! Aku tuh cuman nggak suka aja, caranya, tiba-tiba datang, tiba-tiba ngomong begitu, siapa yang nggak kesel coba? Aku kan jadi nggak enak, Mas!”Waktu aku berbicara seperti itu dan kami bertatapan, kulihat sinar matanya sangat menunjukkan kesedihan. Oh aku menjadi merasa bersalah sekali.“Maaf, ya, Dek!”Meskipun aku kasihan, tapi aku tidak menggubris ucapannya itu, lalu masuk begitu saja dan menutup pintu serta menguncinya lagi. Setel
Aku masuk ke rumah setelah mengucapkan salam dan membuka sepatu, tanpa menunggu orang di dalam menjawab salamku. Ruang tamu tampak sepi dan ibu adalah orang yang pertama kali keluar untuk melihatku. Anehnya bukan reaksi senang yang ia tunjukkan sebagaimana layaknya seorang ibu yang senang ketika melihat kedatangan anaknya. Melainkan wajah cemberutnya yang terlihat tidak enak di mataku. Aku lebih heran saat ia bertanya, sambil mengerutkan alisnya.“Loh, kok, kamu sudah pulang, Mina? Memangnya kamu nggak kerja besok?”“Astagfirullah, Bu ...! Anaknya pulang bukannya disambut tapi malah dimarahin, sih? Apa ibu nggak sayang, sama Mina?”“Ya, kan, ibu cuman tanya, bukan berarti nggak sayang, kamu ini mikirnya gimana jadi anak?”“Iya! Aku nggak bisa mikir sepintar Ibuk, akun ggak pintar seperti Ibuk!” Aku langsung berlari ke kamarku sendiri, bukan karena takut ibuku ngomel lagi, tapi karena penasaran seperti apa kamarku setelah direnovasi. Apakah sama dengan yang diceritakan Mas Ragi